Wabah Bab 1

Bagian 1

 

Merepresentasikan satu jenis pemenjaraan atas pihak lain adalah sama masuk akalnya seperti merepresentasikan apa pun yang sungguh ada dengan yang tidak ada.

—Daniel Defoe

 

Berbagai peristiwa ganjil yang menjadi bahasan sejarah ini terjadi tahun 194–, di Oran. Publik menganggap peristiwa itu tidak pada tempatnya, karena melenceng dari kebiasaan. Kesan pertama yang ditimbulkan, sungguh, Oran adalah sebuah kota biasa, tak lebih dari sebuah prefektur[1] Prancis di daerah pantai Algeria.

Konon kota itu sendiri tidaklah asri. Ia terlihat tenang dan butuh banyak waktu untuk menghargai apa yang membuatnya berbeda dari banyak kota pelabuhan lain di seluruh dunia. Bagaimana bisa orang membeberkan, misalnya, ide tentang sebuah kota kecil tanpa merpati, tanpa pepohonan atau taman, di mana kita mendengar kepakan sayap atau kelisik dedaunan—pendeknya, tempat yang netral? Perubahan cuaca hanya bisa dideteksi di langit. Musim semi menyatakan diri hanya melalui kejernihan udara atau keranjang-​keranjang bunga yang dibawa penjual tepi jalan dari tepi kota; inilah musim semi yang dijual di pasaran. Di musim panas matahari membakar rumah-​rumah kering dan meliputi dinding mereka dengan bubuk kelabu: di saat begini orang tak bisa lagi hidup kecuali di balik daun pintu yang tertutup. Di musim gugur, sebaliknya, ada banjir lumpur. Cuaca bagus hanya tiba bersamaan dengan musim dingin.

Cara yang baik untuk mengenal sebuah kota adalah dengan mencari tahu bagaimana orang di sana bekerja, bagaimana mereka bercinta dan bagaimana mereka mati. Di kota kecil kami ini, mungkin karena iklim, semua hal itu dilakukan bersama, dengan kalang kabut dan tanpa banyak pikir. Bisa dibilang bahwa orang-​orang merasa bosan dan mereka berusaha mengadopsi kebiasaan tertentu. Warga kota kami bekerja giat, tapi selalu demi mencari uang. Mereka terutama tertarik pada perdagangan, dan paling penting, kata mereka, berusaha melibatkan diri dalam bisnis. Wajar jika mereka juga menikmati kesenangan-​kesenangan kecil: mereka menyukai perempuan, nonton film dan mandi di laut. Tapi mereka sangat bijak menjalankan semua hobi ini hanya di hari Sabtu dan Minggu, sementara di hari-​hari lain mereka berusaha mendapatkan banyak uang. Di malam hari, ketika meninggalkan kantor, mereka berkumpul di kafe pada waktu yang telah ditentukan, berjalan di boulevard yang sama atau keluar ke atas balkon mereka sendiri. Hasrat orang paling muda di antara mereka singkat dan buas, sementara hidup para tetua terbatas pada permainan boules di klub, makan malam bersama sobat karib atau kelompok orang yang dengannya mereka berjudi main kartu.

Anda sudah pasti akan bilang bahwa ini bukan ciri khas kota kami saja dan bahwa kalau diteliti maka semua orang zaman sekarang seperti itu. Tentu saja, tak ada lagi yang normal belakangan ini kecuali bagaimana melihat orang bekerja dari pagi sampai malam, lalu memilih untuk menghabiskan waktu yang mereka punya dengan cara main kartu, kumpul di kafe, atau ngobrol tak keruan. Tapi ada kota-​kota dan negeri tertentu di mana orang punya kecenderungan lain. Secara keseluruhan, ini tidak mengubah kehidupan mereka; tapi mereka punya kecenderungan ini, dan dengan demikian adalah hal yang positif. Oran, di sisi lain, tampak sebagai sebuah kota tanpa kecenderungan, katakanlah begitu, sebagai sebuah kota yang sepenuhnya modern. Sebagai akibatnya, tidak perlu dijabarkan secara rinci bagaimana penduduk di sana saling mencintai. Pria dan wanita saling melumat secara beringas satu sama lain dalam laku asmara, atau memasuki hubungan rutin yang berumur panjang. Seringkali tak ada titik temu antara dua titik ekstrem ini. Itu pun hal yang unik. Di Oran, sebagaimana tempat mana pun, karena kekurangan waktu dan pikiran, orang harus mencintai satu sama lain tanpa mengetahui soal titik temu.

Sesuatu yang lebih khas tentang kota kami adalah kenyataan betapa sulitnya mati di sana. ‘Sulit’ bukanlah kata yang tepat; ini lebih merupakan sebuah teka-​teki ketidaknyamanan. Jatuh sakit tak pernah menyenangkan, tapi ada kota dan negara tertentu yang mendukungmu saat sakit di mana orang bisa, kalau mau, datang ke sana. Seorang yang sakit butuh kelembutan, ia secara alamiah suka bersandar pada sesuatu. Tapi di Oran, dengan iklim yang ekstrem, banyaknya bisnis yang berjalan, kondisi sekitarnya yang tak menjanjikan, cepatnya hari menjadi malam dan rendahnya cara orang dalam bersenang-​senang—semua menuntut kesehatan yang prima. Orang yang sakit sangatlah kesepian di sini. Jadi bayangkan saja jika ada orang sudah hampir mati, terjebak oleh ratusan dinding yang mendengungkan hawa panas, sementara di saat bersamaan ada orang-​orang, di telepon dan kafe-​kafe, yang sedang membicarakan berbagai rencana keuangan, ongkos pengiriman produk, dan diskon. Anda akan paham kenapa kematian tak mengenakkan, bahkan yang bersifat modern pun, jika terjadi di sebuah tempat yang gersang.

Bahkan informasi ala kadarnya ini bisa memberikan cukup gambaran tentang kota kecil kami. Dalam kesempatan apa pun, tak ada alasan untuk berlebih-​lebihan. Adalah penting untuk ditekankan betapa tak istimewanya kota ini dan kehidupannya. Tapi siapa pun bisa dengan mudah menghabiskan waktu kalau ia punya rutinitas. Melihat betapa kuatnya kota kecil kami mendukung rutinitas, bisa dibilang bahwa segala yang terbaik diusahakan. Sejujurnya, jika dilihat seperti ini, hidup tidaklah terlalu meresahkan. Paling tidak kekacauan tidaklah kami kenal. Dan orang kota kami, yang terbuka, ramah dan bersemangat, selalu menimbulkan rasa hormat para pendatang. Kota ini, yang sama sekali tidaklah seindah lukisan, tanpa vegetasi dan tanpa jiwa, pada akhirnya terlihat tenang; pendeknya, membikin ngantuk. Tapi cukup adil jika ditambahkan bahwa ia terletak di daerah pelosok yang tak tertandingi, di tengah dataran gundul yang dikepung perbukitan benderang, di tepi sebentang pantai yang bentuknya sempurna. Orang hanya perlu menyesali kenyataan bahwa ia dibangun dengan punggung mengarah ke teluk, dan sebagai akibatnya adalah mustahil orang bisa melihat laut. Anda selalu harus berjalan pergi dan melihatnya.

Mulai sekarang, akan mudah menerima bahwa tak ada yang bisa menggiring orang kota kami untuk mengharapkan peristiwa-​peristiwa yang terjadi di musim semi tahun itu dan yang, seperti kemudian kita pahami, menjadi awal mula serangkai kejadian pilu yang oleh sejarah hendak dibeberkan. Bagi sebagian orang fakta ini akan terlihat cukup alamiah; bagi yang lain, sebaliknya, mustahil. Tapi seorang penulis kronik tak bisa, bagaimanapun, memperhitungkan kontradiksi semacam itu. Tugasnya hanyalah berkata: ‘Ini terjadi’, ketika kita tahu bahwa ini sungguh terjadi, bahwa ini memengaruhi hidup seluruh masyarakat dan bahwa sebagai akibatnya ada ribuan saksi yang akan menimbang dalam hati mereka kebenaran dari apa yang sedang ia katakan.

Terlebih, sang narator, yang identitasnya akan dipaparkan juga nanti, tidak akan punya klaim otoritas apa pun dalam sebuah terobosan macam ini jika kesempatan tak memungkinkan baginya untuk mendapatkan kesaksian dalam jumlah cukup dan jika dorongan situasi tidak melibatkannya dalam berbagai situasi yang ia gambarkan. Tentu saja seorang sejarawan, bahkan meski ia seorang amatir, selalu mempunyai dokumen. Narator kisah ini punya dokumen: pertama, kesaksiannya sendiri, lalu kesaksian orang lain sejak—atas dasar peran dia dalam kisah ini—ia mengumpulkan pengakuan semua tokoh dalam cerita ini; dan akhirnya, ia telah menulis teks yang secara kebetulan ia kuasai. Ia bermaksud meminjam dari teks-​teks itu sejauh dipandang perlu dan menggunakannya sesuai keinginan. Ia bermaksud … Tapi mungkin inilah waktunya menyudahi basa-​basi dan pemberitahuan, dan langsung menukik pada kisah itu sendiri. Narasi hari-​hari permulaan itu harus diceritakan secara rinci.

 

Suatu pagi tanggal 16 April, dr. Bernard Rieux keluar dari dalam ruang konsultasi dan menjumpai bangkai seekor tikus di tengah plat tangga. Saat itu ia menyisihkan binatang itu ke tepi tanpa memperhatikannya, lalu melanjutkan langkah menuruni tangga. Tapi ketika sudah berada di jalan, terpikirlah olehnya bahwa tikus itu seharusnya tak berada di sana, dan ia berbalik untuk mengabarkan soal itu pada penjaga apartemen. Reaksi M. Michel tua membuatnya makin sadar akan ketidaksesuaian penemuannya. Baginya kehadiran tikus mati itu hanya tampak sangat aneh, sedangkan penjaga apartemen justru marah. Sebenarnya ia adalah pria yang sukar dibuat percaya: tak ada tikus di rumah itu. Namun meski sang dokter meyakinkannya bahwa memang ada seekor di plat tangga pertama, mungkin sudah mati, M. Michel tetap tak tergoyahkan. Tak ada tikus di rumah itu, sehingga ini pastilah tikus yang datang dari luar. Pendeknya, itu buah kesengajaan orang yang bermaksud melucu.

Sore itu pula Bernard Rieux sedang berdiri di koridor bangunan itu, sedang mencari kunci-​kunci sebelum naik ke flat-​nya, ketika dilihatnya seekor tikus besar muncul ragu-​ragu dari dalam kegelapan koridor, bulunya basah. Makhluk itu berhenti, tampak berusaha menyeimbangkan diri, berhenti kembali, berputar dan berputar dengan pekikan lemah lalu mendadak ambruk, dengan mulut menyemburkan darah. Sang dokter merenunginya sesaat, lalu menaiki tangga.

Ia tidak sedang memikirkan tikus itu. Darah yang tercecer itu membawanya kembali pada topik yang sudah lama menghinggapi benak. Istrinya, yang telah sakit sejak tahun lalu, akan keluar dari sebuah sanatorium di gunung esok hari. Ia mendapatinya terbaring di ranjang kamar mereka, sebagaimana ia perintahkan. Wanita itu sedang menghimpun tenaga untuk perjalanan panjang. Ia tersenyum.

“Aku merasa sudah baikan,” kata istrinya.

Sang dokter menatap wajah yang mengarah kepadanya dalam sinar lampu samping ranjang itu. Bagi Rieux, meski sudah berumur tiga puluh dan banyak menyimpan bekas penyakit, wajah ini masihlah wajah seorang wanita muda, mungkin karena senyum yang mengusir semua keburukan.

“Kalau kau bisa tidurlah,” kata Rieux. “Pelayan akan datang jam sebelas dan aku akan membawamu naik kereta tengah hari.”

Ia mencium kening wanita itu yang agak berkeringat. Senyuman mengikuti langkahnya menuju pintu.

Keesokan hari, 17 April jam delapan pagi, penjaga apartemen menghentikan langkah sang dokter saat ia lewat dan menuduh ada orang berbuat tengil menaruh tiga ekor bangkai tikus di tengah koridor. Mereka pastilah ditangkap dengan jebakan berukuran besar karena tubuh mereka berlumur darah. Sang penjaga apartemen berhenti beberapa saat di depan pintu, menenteng tikus dengan memegang cakar depannya dan menunggu si tertuduh mengaku atas kemauan sendiri dengan melontarkan pernyataan sarkastis. Namun ia kecewa.

“Oh, saya akan menangkap mereka pada akhirnya,” kata M. Michel.

Rieux menjadi penasaran dan memutuskan untuk mulai berkeliling di distrik tepi kota tempat para pasiennya yang paling miskin tinggal. Di sini sampah diangkut jauh lebih siang dan mobilnya, menempuh jalan lurus yang berdebu di daerah ini, menyerempet tumpukan sampah di tepi trotoar. Di satu jalan ia menghitung ada selusin ekor tikus, nongol di atas tumpukan pakaian rombeng dan kupasan kulit sayuran.

Ia mendapati pasien pertamanya berada di ranjang sebuah ruangan menghadap jalan—ruang yang berfungsi sebagai kamar tidur sekaligus ruang makan. Pria itu adalah seorang Spanyol tua, garis wajahnya keras dan tegas. Di depannya di atas selimut terdapat dua panci saus penuh kacang polong. Ketika dokter datang, si sakit, setengah duduk di ranjang, memiringkan punggung ke belakang dengan maksud menghimpun napas, terdengar engahannya satu-​satu seperti seorang yang lama mengidap asma. Istrinya datang membawa baskom.

“Nah, dokter,” kata pria itu, selagi Rieux menyuntiknya. “Mereka muncul. Anda lihat, kan!?”

“Ya,” kata istrinya, “tetangga kami menemukan tiga ekor di antaranya.”

Si pria tua menggosok-​gosokkan tangannya.

“Mereka muncul. Anda bisa lihat mereka di semua tong sampah. Itu karena lapar.”

Rieux segera mendapati bahwa seluruh distrik itu sedang membicarakan tikus. Setelah selesai dengan kunjungannya, ia pulang.

“Ada sehelai telegram buat Anda di atas,” kata M. Michel.

Sang dokter bertanya apakah ia melihat ada tikus lagi.

“Oh, tidak,” sahut penjaga apartemen itu. “Anda tahu, saya selalu mengawasi. Tak ada babi berani masuk.”

Telegram itu memberi tahu Rieux bahwa ibunya akan tiba esok hari. Ia akan menjaga rumah putranya selagi istrinya yang sakit tak ada di sana. Ketika dokter itu datang si perawat masih ada di sana dan ia dapati istrinya turun dari ranjang, mengenakan satu setel pakaian dan make up-​nya menyamarkan wajah pucat. Rieux tersenyum.

“Bagus,” katanya. “Sangat bagus.”

Tak lama kemudian, di stasiun, ia menempatkannya di kereta tidur, dan wanita itu memandang seisi gerbong.

“Tidakkah ini terlalu mahal buat kita?”

“Mahal tapi penting,” kata Rieux.

“Kenapa orang ribut soal tikus?”

“Entahlah. Memang aneh, tapi akan segera berlalu.”

Lalu, dengan sangat cepat Rieux meminta wanita itu memaafkannya: seharusnya selama ini ia menjaganya, namun ia banyak menelantarkannya. Wanita itu menggeleng, seolah memintanya agar tenang. Tapi ia menambahkan:

“Segalanya akan membaik saat kau pulang nanti. Kita akan memulainya dari awal.”

“Ya,” katanya, dengan kedua mata bercahaya. “Kita akan mulai lagi.”

Sesaat kemudian wanita itu berpaling darinya dan memandang ke luar jendela. Orang-​orang saling desak dan saling dorong di atas peron. Mereka bisa mendengar desis mesin uap. Ia memanggil istrinya dengan nama panggilan dan ketika ia berpaling Rieux melihat wajahnya bermandi airmata.

“Jangan,” katanya lembut.

Istrinya tersenyum, agak tegang, mengingsut tangisnya. Ia mendesah dalam dan berkata:

“Pergilah, segalanya akan baik-​baik saja.”

Ia mendekap istrinya, lalu, di atas peron itu, di luar jendela, tak bisa ia lihat apa pun kecuali senyumnya.

“Tolong,” katanya. “Jaga dirimu baik-​baik.”

Tapi wanita itu tak bisa mendengarnya.

Di atas peron stasiun dekat pintu keluar, Rieux berjumpa M. Othon, sang hakim pengawas, sedang menuntun putranya yang masih kecil. Dokter itu bertanya apakah ia sedang bepergian. Bertubuh tinggi dan gelap, sedikit mirip dengan gambaran orang tentang ‘pria penjelajah dunia’, tapi selebihnya seorang pengelola upacara pemakaman, M. Othon menyahut dengan sikap ramah namun nadanya bergegas:

“Saya sedang menunggu Madame Othon yang beberapa hari ini mengunjungi keluargaku untuk beramah tamah.”

Mesin kereta bersiul.

“Tikus … ” kata sang hakim.

Rieux membuat gerakan menuju kereta, lalu memutar tubuh meninggalkan peron.

“Ya,” sahutnya. “Itu sepele.”

Satu-​satunya hal yang ia rekam dalam momen itu adalah pemandangan seorang penjaga stasiun sedang berjalan melintas menenteng sebuah wadah penuh berisi bangkai tikus.

Siang di hari yang sama, saat ia sedang memulai konsultasi, Rieux mendapat kunjungan dari seorang pria muda, seorang wartawan yang, katanya, sudah menelepon pagi tadi untuk menemuinya. Namanya adalah Raymond Rambert. Pendek, berbahu kotak, wajah tegas, dan mata jernih cerdas, Rambert mengenakan pakaian bergaya seorang olahragawan dan terlihat nyaman dengan dunia ini. Ia langsung menuju inti urusan. Ia sedang melakukan penyelidikan untuk sebuah surat kabat Paris terkemuka tentang kondisi hidup komunitas Arab di kota ini dan menginginkan informasi tentang kondisi kesehatan mereka. Rieux mengatakan padanya bahwa kesehatan mereka tidaklah bagus; tapi sebelum lebih jauh ia bertanya apakah wartawan itu bisa menyampaikan kebenaran ini.

“Tentu,” kata si lawan bicara.

“Maksudku, bisakah Anda membuat kritik yang sifatnya menyeluruh?”

“Menyeluruh? Tidak, harus saya bilang tak bisa. Tapi pasti tidak akan ada dasar adanya kritik yang tak terbatas, bukan?”

Rieux dengan pelan menjawab bahwa hujatan total akan sungguh tak berdasar, tapi ia telah mengajukan pertanyaan ini hanya karena ia ingin tahu apakah reportase Rambert bisa digunakan untuk kepentingan yang lebih luas ataukah tidak.

“Aku hanya bisa mengizinkannya jika reportase ini tanpa adanya pembatasan. Jadi aku tidak akan memberikan Anda informasi apa pun demi memberikan kontribusi pada reportase Anda.”

“Anda bicara seperti Saint Just,” sang wartawan berkata sambil tersenyum.

Tanpa mengeraskan suaranya, Rieux berkata bahwa ia tak tahu apa pun soal itu, tapi ini adalah bahasa seseorang yang lelah dengan dunia tempatnya hidup, namun masih punya perasaan terhadap sesama manusia dan oleh karena itu memutuskan untuk menolak ketidakadilan ataupun kompromi dalam bentuk apa pun. Rambert, sambil mengangkat bahu, menatap sang dokter.

“Kupikir saya mengerti,” katanya pada akhirnya, sambil bangkit.

Sang dokter menemaninya sampai ke pintu.

“Terima kasih karena sudah mengerti.”

Rambert tampak tak nyaman.

“Ya,” katanya, “saya paham. Maafkan saya karena telah mengganggu Anda.”

Sang dokter menjabat tangannya dan berkata bahwa ada sebuah laporan rumit harus dituliskan, tentang melonjaknya jumlah tikus yang mati di kota kecil itu belakangan ini.

“Ah!” seru Rambert. “Itu menarik bagi saya.”

Jam lima sore, saat ia sedang berjalan keluar melakukan kunjungan rumah, sang dokter melewati seorang lelaki di anak tangga; ia masih muda, meski badannya terlihat berat dan wajahnya yang lapang mengandung bekas cacar di bawah alisnya yang tebal. Sang dokter pernah menemuinya satu atau dua kali di flat para penari Spanyol di lantai teratas blok bangunan itu. Jean Tarrou dengan penuh minat mengisap rokoknya, sambil menatap penderitaan terakhir seekor tikus saat sedang melepas nyawa di atas anak tangga tepat di depan kakinya. Ia menatap mata kelabu sang dokter dengan sorot yang sedikit menusuk, berkata selamat malam dan menambahkan bahwa penampakan tikus-​tikus ini adalah satu hal yang aneh.

“Ya,” sahut Rieux. “Tapi sekarang sudah mulai meresahkan.”

“Di satu sisi, dokter, tapi hanya di satu sisi. Kita belum pernah melihat situasi seperti ini, itu saja. Tapi bagiku menarik, ya, sangat menarik.”

Tarrou mengusap rambutnya ke belakang, sekali lagi menatap si tikus yang kini tak bergerak, lalu tersenyum kepada Rieux:

“Tapi kalau sudah bicara soal itu, dokter, itu utamanya adalah urusan penjaga apartemen.”

Secara kebetulan sang dokter mendapati penjaga apartemen di gerbang masuk rumah, sedang bersandar pada dinding dekat pintu depan, dengan ekspresi lelah di wajah yang biasanya berbunga itu.

“Ya, aku tahu,” kata si tua Michel ketika Rieux menyebut penemuan barunya. “Mereka kini muncul dua-​dua atau bahkan bertiga. Tapi di bangunan lain pun seperti itu.”

Ia terlihat khawatir dan nyaris tanpa harapan. Ia menyeka lehernya secara mekanis. Rieux bertanya bagaimana perasaannya. Si penjaga apartemen menjawab bahwa, tentu saja, ia tidak bisa bilang bahwa ia sakit, tapi meski begitu, ia merasa tidak seperti biasanya. Dalam pandangannya, ini adalah soal kondisi mental. Tikus-​tikus ini telah menjadi kejutan baginya, dan segalanya akan jauh lebih baik ketika mereka telah lenyap.

Namun keesokan hari, tanggal 18 April, dokter membawa sang ibu pulang dari stasiun dan mendapati M. Michel terlihat lebih malang: dari ruang bawah tanah hingga ke loteng, ada selusin tikus tergeletak di anak tangga. Tempat sampah di rumah-​rumah sekitar penuh dengan bangkai mereka. Ibu sang dokter tidak kaget ketika mendapat kabar itu dari putranya.

“Memang hal seperti itu kadang terjadi.”

Ia adalah seorang wanita mungil berambut perak, dengan mata berwarna gelap dan lembut.

“Aku senang bisa berjumpa kau lagi, Bernard,” katanya. “Tikus-​tikus itu tak bisa mengubah kegembiraanku.”

Ia sepakat; benar bahwa bagi sang ibu segalanya terlihat mudah.

Meski begitu, Rieux menelepon pusat pengendalian hama distrik itu, karena direkturnya ia kenal. Apakah ia telah mendengar tentang tikus-​tikus ini, yang muncul dalam jumlah besar dan mati di tempat terbuka? Ya, Mercier, sang direktur, telah mendapat kabar; mereka bahkan telah mendapati lebih dari lima puluh di antaranya di kantor mereka sendiri, yang jaraknya tak begitu jauh dari pelabuhan. Namun ia masih belum tahu seberapa serius masalah ini. Rieux tidak bisa memberikan pendapat soal itu, tapi ia pikir pusat pengendalian hama harus melakukan intervensi.

“Kami bisa,” kata Mercier, “mengeluarkan aturan. Jika kau sungguh merasa itu penting, akan kuusahakan.”

“Kupikir kau harus membuatnya,” kata Rieux.

Petugas yang ia percaya dalam membersihkan kantor telah memberi tahu bahwa beberapa ratus bangkai tikus telah ditemukan di pabrik besar tempat suaminya bekerja.

Bagaimanapun, sekitar waktu inilah penduduk kota kami mulai menjadi waspada. Sungguh, mulai tanggal 18 dan seterusnya pabrik-​pabrik dan gudang mulai menghasilkan ratusan bangkai tikus. Dalam kasus tertentu, orang perlu menghabisi nyawa mereka kalau sekarat terlalu lama. Tapi, dari tepian hingga ke tengah kota, di mana pun kebetulan dr. Rieux pergi dan ke mana pun penduduk kota kami berkumpul, tumpukan bangkai tikus sudah menunggu, di dalam tempat sampah ataupun berbaris memanjang di dalam selokan. Itulah hari ketika surat kabar sore mengangkat masalah ini, sambil mengajukan pertanyaan apakah pihak otoritas kota bermaksud melakukan tindakan atau tidak, dan langkah darurat macam apakah yang mereka rencanakan untuk melindungi masyarakat dari invasi yang menjijikkan ini. Pihak berwenang sama sekali belum menimbang atau merencanakan apa pun, tapi sudah mulai menggelar sidang untuk mendiskusikannya. Satu aturan dikeluarkan pusat pengendalian hama agar masyarakat mengumpulkan bangkai tikus setiap pagi saat fajar. Ketika sudah terkumpul dalam jumlah banyak, dua mobil layanan masyarakat akan mengangkut binatang itu ke pusat pembuangan, tempat mereka dibakar.

Meski begitu, situasi hari-​hari sesudahnya justru memburuk. Jumlah tikus yang mati terus meningkat dan panenan ini bertambah setiap pagi. Setelah hari keempat, tikus-​tikus mulai muncul dan mati secara berkelompok. Mereka datang dari lantai bawah tanah dan ruangan kecil yang jarang dirambah, gudang bawah tanah dan saluran air, dalam barisan panjang berkelok-​kelok, muncul ke tengah sorot lampu, ambruk dan mati, tepat di samping orang-​orang. Saat malam, di koridor dan gang-​gang, orang bisa dengan jelas mendengar decitan lirih penderitaan mereka. Pagi harinya, di tepi kota, kau akan mendapati mereka bergelimpangan di selokan dengan segaris kecil darah mengalir dari moncong runcing mereka, beberapa di antaranya sudah mulai melepuh dan membusuk, yang lain tergolek kaku dengan sungut mencuat naik. Di tengah kota itu sendiri, kau bisa menemukan mereka dalam timbunan kecil, di atas plat tangga atau halaman rumah-​rumah. Mereka juga mati, satu per satu, di kantor-​kantor dewan, di halaman sekolah, kadang di teras-​teras kafe. Warga kota kami heran menjumpai mereka di bagian-​bagian kota paling sibuk. Di arena parade, di boulevard dan jalur pejalan kaki di dermaga, tikus mencemari pemandangan setiap beberapa langkah. Meski bangkai mereka dilenyapkan setiap fajar, namun sepanjang hari jumlah mereka kembali meningkat. Nyaris setiap orang yang melangkah di malam hari sepanjang jalan paving akan mengalami perasaan diri sedang menginjak sesuatu yang liat, yaitu bangkai yang masih hangat. Seolah tanah di mana rumah-​rumah dibangun sedang memuntahkan isi usus, memunculkan bisul dan barah ke permukaan, yang sampai saat itu menggerogoti dalam tubuh. Bayangkan saja rasa heran penduduk kota kami yang sebelumnya selalu tenang hingga kemudian, beberapa hari lalu, menjadi seperti orang sehat yang mendadak darahnya berontak dan melakukan revolusi!

Hingga kemudian sampailah pada titik di mana Infodoc (agen informasi dan dokumentasi tentang ‘semua yang perlu Anda ketahui tentang segala hal’) mengumumkan dalam program beritanya bahwa 6231 ekor tikus terkumpul dalam sehari lalu dibakar, yaitu tanggal 25. Jumlah ini, yang secara jelas memberikan makna bagi pemandangan harian yang disaksikan setiap penduduk kota di depan mata mereka sendiri, tambah meresahkan mereka. Sampai saat itu, orang hanya mengeluhkan soal insiden yang agak menjijikkan. Kini mereka menyaksikan bahwa ada sesuatu yang mengancam di balik fenomena ini, yang sumber dan penyebarannya belumlah mereka ketahui. Hanya si tua Spanyol pengidap asmalah yang terus-​menerus menggosokkan kedua belah telapak sambil berseru gembira, dengan suara jompo: “Mereka keluar! Mereka keluar!”

Namun, tanggal 28 April Infodoc mengumumkan terkumpulnya sekitar delapan ribu ekor tikus dan kecemasan di kota ini pun sampai pada puncaknya. Orang-​orang menuntut tindakan radikal, menuduh pihak berwenang tak becus bertindak, dan beberapa keluarga yang tinggal di tepi laut sudah mulai bicara soal bagaimana melarikan diri dari tikus-​tikus. Tapi keesokan hari agen informasi itu mengumumkan bahwa fenomena ini telah berhenti secara tiba-​tiba dan bahwa pusat pengendalian hama hanya berhasil mengumpulkan bangkai tikus dalam jumlah kecil. Seluruh penduduk pun menghela napas lega.

Namun di hari itu pula, jam dua belas, dr. Rieux, saat sedang memarkir mobil di depan flatnya, melihat penjaga apartemen berdiri di ujung jalan, melangkah payah dengan kepala menganjur ke muka, lengan dan kakinya bengkok, seperti sesosok boneka. Lelaki tua itu memegang lengan seorang pastor, dokter itu mengenalnya. Ini adalah Bapa Paneloux, seorang Jesuit terpelajar dan militan yang sangat disegani di kota kami, bahkan di kalangan mereka yang tidak begitu peduli dengan agama. Ia menunggu mereka untuk bergabung dengannya. Mata si tua Michel berbinar dan suara siulan terdengar bersama napasnya. Ia merasa kurang begitu sehat dan memutuskan untuk cari udara segar, tapi rasa nyeri di leher, ketiak, dan pangkal paha mengharuskannya untuk berbalik dan meminta bantuan Bapa Paneloux.

“Ada benjolan,” katanya. “Itu menyusahkan saya.”

Menongolkan kepala ke luar jendela mobil, sang doktor menyentuhkan jarinya ke leher bagian bawah Michel yang menganjur kepadanya: tampak semacam benjolan di sana, mirip bungkul sebatang pohon.

“Tiduran saja, agar panasnya turun, dan saya akan datang nanti sore.”

Ketika penjaga apartemen telah pergi Rieux bertanya pada Bapa Paneloux soal pendapatnya tentang kasus tikus-​tikus itu.

“Ini pastilah wabah,” kata sang bapa; dan matanya tersenyum di balik kacamata.

Setelah makan siang Rieux, saat sedang membaca ulang telegram dari sanatorium yang mengumumkan kedatangan istrinya, mendapati telepon berbunyi. Itu adalah salah satu mantan pasiennya, staf kantor walikota. Ia lama menderita penyempitan aorta, dan, karena ia miskin, Rieux memeriksanya tanpa meminta bayaran.

“Ya,” katanya. “Anda ingat saya. Tapi saya menelepon tentang hal lain. Cepatlah datang, karena sesuatu telah terjadi di rumah tetangga saya.”

Napasnya terengah-​engah. Riex berpikir tentang penjaga apartemen dan memutuskan untuk pergi menemuinya nanti. Beberapa menit kemudian ia sudah masuk mendorong pintu sebuah rumah beratap rendah di Rue Faidherbe, di tepi kota. Di tengah tangga naik yang dingin dan berbau busuk, ia menjumpai Joseph Grand, seorang pegawai, yang menjemputnya dari atas. Ia adalah pria lima puluhan tahun, dengan kumis kuning, bertubuh tinggi, bungkuk, dengan bahu sempit dan lengan yang kurus.

“Ia sudah baikan,” katanya saat bertemu Rieux. “Tadinya saya pikir ia tak tertolong lagi.”

Ia bersin. Di lantai kedua (dan teratas), di pintu sebelah kiri, Rieux membaca tulisan dengan kapur merah: ‘Masuk, saya gantung diri’.

Mereka pun masuk. Tali itu tergantung dari langit-​langit di atas kursi, yang kini ambruk ke samping, sementara mejanya terdorong ke sudut; tapi pada ujung tali gantungan itu tidak ada apa pun.

“Saya menurunkannya tepat waktu,” kata Grand, masih sambil kesulitan menyusun kata-​kata, meski ia bicara dengan cara sangat sederhana. “Saya kebetulan akan keluar, lalu mendengar ada suara ribut. Ketika saya melihat tulisan itu … saya pikir apa? Dia cuma melucu. Tapi terdengar suara menggeram yang aneh, bahkan bisa dibilang mengancam.”

Ia menggaruk-​garuk kepala.

“Melakukan seperti itu tentu saja rasanya sakit, pikir saya. Tentu saja saya langsung masuk.”

Mereka telah membuka pintu dan memasuki sebuah ruangan yang terang namun perabotannya terlihat murah. Seorang lelaki bertubuh kecil namun agak gemuk terbaring di atas sebuah ranjang kuningan. Ia sesak napas dan menatap mereka dengan sepasang mata merah. Dokter itu terdiam di tempatnya. Dalam jeda di sela napas pria itu ia pikir dirinya sekaligus mendengar bunyi decitan tikus, tapi tak ada sesuatu pun bergerak di ruangan itu. Rieux mendekati ranjang. Lelaki itu tidak terjatuh dari tempat yang cukup tinggi atau terlalu mendadak, dan perutnya sedikit melepuh. Tentu saja ia akan sesak napas. Ia perlu diperiksa dengan sinar rontgen. Dokter itu memberinya satu suntikan minyak kamper dan bilang bahwa ia akan pulih dalam beberapa hari.

“Terima kasih, dokter,” kata pria itu dengan suara yang tercekat.

Rieux bertanya pada Grand apakah ia telah melaporkan kejadian ini pada polisi, dan pegawai itu terlihat tak nyaman.

“Tidak,” katanya. “Ah, tidak … saya pikir hal paling penting adalah … ”

“Tentu saja,” kata Rieux, menginterupsi. “Saya akan mengambil tindakan nanti.”

Tapi saat ini si sakit beringsut dan duduk di atas ranjang, membantah dengan mengatakan bahwa ia baik-​baik saja dan tak perlu tindakan apa pun.

“Jangan khawatir,” kata Rieux. “Ini tidak seberapa, tapi saya harus membikin pernyataan.”

“Oh!” seru pria itu, lalu kembali berbaring. Ia mulai menangis, dengan sedikit terisak. Grand, yang sejak tadi sibuk memelintir kumis mendekatinya.

“Ayolah, Monsieur Cottard,” katanya. “Anda haruslah paham. Orang akan bilang bahwa dokter bertanggung jawab. Maksudku, bagaimana jika sampai Anda berpikir untuk berusaha melakukannya lagi.”

Tapi Cottard, di sela isakannya, berkata bahwa ia tidak akan mencoba lagi, bahwa itu hanya karena ia panik, dan bahwa yang ia butuhkan hanyalah beristirahat tanpa gangguan siapa pun. Rieux menulis resep.

“Baik,” katanya. ”Anda bisa menebus obat ini, lalu saya akan kembali dalam dua atau tiga hari. Tapi jangan lakukan kebodohan apa pun.”

Di luar, pada plat tangga, ia katakan pada Grand bahwa ia harus membuat laporan, tapi ia akan meminta komisaris polisi agar tidak memulai penyelidikan selama dua hari ke depan.

“Ia jangan ditinggal sendirian malam ini. Apakah ia punya keluarga?”

“Saya tidak tahu. Tapi saya sendiri bisa menemaninya.”

Ia menggeleng.

“Camkan ini: ia termasuk orang yang tak bisa dibilang kukenal. Tapi kita harus saling membantu.”

Secara spontan, Rieux menatap sudut-​sudut gelap koridor dan bertanya pada Grand apakah tikus-​tikus telah sepenuhnya lenyap dari area itu. Pegawai itu tak bisa menjawab. Pastilah orang banyak membicarakan soal ini, tapi ia sangat sedikit memperhatikan rumor yang merebak di sekitarnya.

“Saya memperhatikan urusan lain,” katanya.

Rieux sudah mulai menjabat tangannya. Ia bergegas ingin menemui penjaga apartemen sebelum menulis surat kepada istrinya.

Penjaja koran sore meneriakkan kabar bahwa invasi bangsa tikus telah berakhir. Tapi Rieux mendapati pasiennya terbaring nyaris terjatuh dari ranjang, sebelah tangan di atas perut dan tangan lainnya memegang leher, memuntahkan cairan merah secara kejang ke dalam tempat sampah. Setelah gigih berusaha, penjaga apartemen kembali berbaring di ranjang, napasnya terengah-​engah. Suhu tubuhnya mencapai 38,5 derajat, benjolan limpa ada di lehernya dengan dua bercak kehitaman ada di dalamnya. Ia kini mengeluhkan nyeri dalam perut.

“Panas,” katanya. “Babi itu sedang membakarku.”

Kerongkongannya yang tersumbat membuatnya kesusahan mengucapkan kata-​kata dan kepalanya begitu sakit sehingga cairan mengambang di kedua matanya yang bengkak saat ia berpaling menatap dokter. Istrinya menatap khawatir ke arah Rieux, yang tidak berkata apa pun.

“Dokter,” katanya. “Sakit apa ini?”

“Tidak bisa dipastikan. Sejauh ini kami belum bisa pastikan. Sampai sore ini, kasihlah makanan yang kusarankan dan obat pencahar. Dia harus minum banyak-​banyak.”

Sungguh, penjaga apartemen itu kehausan teramat sangat.

Ketika ia kembali ke rumah Rieux menelepon koleganya, Richard, salah seorang dokter terkemuka di kota itu.

“Tidak,” kata Richard. “Aku belum melihat adanya sesuatu yang luar biasa.”

“Termasuk juga demam panas dan pembengkakan lokal?”

“Hm, ya, memang terjadi begitu: ada dua pasien mengalami pembengkakan limpa.”

“Termasuk abnormal?”

“Huh!” kata Richard. “Anda tahu … apa itu normal?”

Sore itu penjaga apartemen mulai meracau, dan dengan temperatur 40 derajat ia mengeluhkan tikus-​tikus. Rieux berusaha mengobati pembengkakan. Ketika terpentin membakar kulitnya, penjaga apartemen menjerit: “Ow, babi!” Pembengkakan limpa tambah membesar dan mengeras dan tidak nyaman disentuh. Istrinya amat sangat cemas.

“Terus awasi dia,” kata dokter itu. “Dan hubungi saya jika dibutuhkan.”

Keesokan hari, tanggal 30 April, angin yang sudah mulai hangat bertiup di bawah langit biru basah. Ia membawa aroma bunga dari tepi kota paling jauh. Suara pagi di jalanan terlihat lebih riang dan gembira dibanding biasanya. Di seluruh kota kecil kami, terbebas dari ancaman yang membayangi dan bertahan selama seminggu, ini adalah hari kelahiran kembali. Bahkan Rieux, setelah diyakinkan oleh si istri melalui surat, akhirnya menemui penjaga apartemen dalam ringannya suasana hati. Dan pagi itu, sungguh, suhu pria itu turun hingga 38 derajat. Meski lemah, si pasien tersenyum di atas ranjang.

“Ia sudah mulai membaik, bukan begitu dokter?” kata si istri.

“Kita masih harus menunggu.”

Tapi siang harinya suhu badan si pasien tiba-​tiba naik jadi 40 derajat, dan ia terus-​menerus meracau dan muntah lagi. Benjolan limpa di lehernya terasa sakit jika disentuh, dan penjaga apartemen itu tampaknya ingin menaruh kepalanya sejauh mungkin dari tubuh. Istrinya duduk di ujung ranjang dengan tangan di atas selimut, memegang kaki si sakit dengan lembut. Ia menatap Rieux.

“Dengar,” kata Rieux. “Kami akan mengisolasinya dan berusaha menerapkan perawatan darurat. Saya akan menelepon rumah sakit dan kita akan sampai ke sana naik ambulans.”

Dua jam kemudian, dalam ambulans, dokter dan wanita itu merapatkan diri ke tubuh si pasien. Patahan-​patahan kata muncul dari bibirnya yang diliputi oleh sesuatu menyerupai jamur. “Tikus!” katanya. Dengan bibir kehijauan dan sepucat lilin, pelupuk mata berat dan lelah, napas terengah, tersiksa oleh benjolan limpa dan menekankan tubuhnya pada tandu seolah ingin membungkus diri dengannya atau seolah sesuatu telah bangkit dari dalam bumi, memanggil-​manggilnya, penjaga apartemen itu sesak napas di bawah satu beban tak kasatmata. Istrinya menangis.

“Tidak adakah harapan, dokter?”

“Ia sedang menjemput maut,” kata Rieux.

 

Anda mungkin akan bilang bahwa kematian penjaga apartemen itu menandai akhir periode yang penuh dengan tanda bahaya ini, dan awal dari periode lain, yang terhitung lebih berat, di mana kejutan yang pada awalnya hadir digantikan oleh kepanikan. Para warga kota kami, seperti kini disadari, tak pernah berpikir bahwa kota kecil kami akan menjadi tempat yang dipilih oleh ratusan tikus untuk mati dan tempat para penjaga apartemen tewas karena penyakit aneh. Dari sudut pandang ini, sungguh, mereka salah dan mendapati bahwa pikiran lama harus mereka perbarui. Jika semua masalah cukup berhenti sampai di sini, kebiasaan lama tak ragu lagi akan muncul kembali. Tapi penduduk kota kami, yang bukan penjaga apartemen ataupun orang miskin, harus mengikuti jalur yang telah dilalui M. Michel. Di sinilah ketakutan bermula—dan bersamanya, datang renungan mendalam.

Meski begitu, sebelum menggambarkan secara rinci peristiwa baru berikut, narator merasa perlu untuk memberikan pandangan saksi lain dari periode yang baru saja disinggung tadi. Jean Tarrou, yang sudah kita temui di awal kisah ini, telah menetap di Oran beberapa minggu sebelumnya dan sejak itu tinggal di sebuah hotel besar tengah kota. Tampaknya, ia cukup mapan untuk hidup dengan pendapatan pribadi. Tapi meski kota itu sendiri berangsur menjadi terbiasa dengannya, tak ada yang bisa pastikan dari mana ia berasal atau kenapa ia berada di sana. Orang berjumpa dengannya di berbagai tempat publik di seluruh kota. Sejak awal musim semi, ia telah sering terlihat di pantai, seringkali saat sedang berenang, dengan rasa puas di wajahnya. Menyenangkan dan selalu tersenyum, ia tampaknya menikmati semua kesenangan orang normal tanpa perlu diperbudak oleh mereka. Kenyataannya, satu-​satunya kebiasaan yang ia punyai adalah bahwa ia secara rutin suka menghabiskan waktu bersama para penari dan pemusik Spanyol, dan jumlah mereka di kota kami tidak banyak.

Perlu ditambahkan pula bahwa buku catatannya juga mengandung kronik masa sulit itu—meski ini adalah jenis kronik yang tampaknya sengaja ditulis tanpa maksud untuk menjadi penting. Awalnya kita mungkin akan mengira bahwa Tarrou mempunyai cara tersendiri dalam memandang manusia dan berbagai hal melalui lensa teleskop. Pendeknya, di tengah kebingungan massal ini, ia memutuskan untuk menjadi sejarawan sebuah kota tak bersejarah. Tentu saja siapa pun bisa mengkritik bias ini, dan menduga bahwa kronik ini datang dari hati yang kering. Tapi tetap jadi fakta tak terbantahkan bahwa sebagai sebuah kronik masa itu buku catatan ini bisa memberi kita setumpuk temuan kecil yang tak bisa tidak tentu punya nilai penting. Sungguh, sifat ganjil catatan ini akan mencegah kita dari sikap terburu-​buru memberikan penilaian atas tokoh yang menarik ini.

Catatan pertama yang ditulis oleh Jean Tarrou ini bertanggal hari pertama ia tiba di Oran. Dari titik ini catatan menunjukkan betapa dia merasa puas sekaligus penasaran dengan sebuah kota yang secara intrinsik sama sekali tidak menarik ini. Di sini kita temukan deskripsi terperinci tentang dua singa perunggu di kantor walikota, dan renungan menarik tentang tidak adanya pepohonan, tidak menariknya rumah-​rumah penduduk dan tata kota yang menggelikan. Tarrou juga mencantumkan percakapan yang ia dengar saat naik trem atau di tengah jalan, tanpa komentar apa pun kecuali sedikit, perihal percakapan mereka tentang seseorang bernama Camps. Tarrou telah mendengar obrolan dua orang konduktor trem:

“Kau tahu Camps, kan?” kata salah satu.

“Camps? Yang badannya tinggi dan berkumis hitam itu?”

“Ya, itu dia. Dia akhirnya kena.”

“Ya, tentu saja aku tahu.”

“Dan akhirnya mati.”

“Oh! Kapan?”

“Setelah kena tikus.”

“Wah, wah. Seperti apa sakitnya?”

“Aku tak tahu. Suhu panas. Lagipula, fisiknya payah. Dia kena bisul di bawah ketiak. Pontang-​panting dia menanggungnya.”

“Tapi dia kelihatannya mirip orang-​orang pada umumnya.”

“Tidak, dadanya lemah. Dan ia memainkan musik untuk gedung Orpheon. Itu bikin dia capek, terus-​menerus meniup trompet Prancis.”

“Ah!” kata pria kedua. “Kalau dia sakit, seharusnya dia tidak niup alat musik.”

Setelah dialog pendek ini Tarrou penasaran kenapa Camps memasuki Orpheon, padahal sudah jelas itu bukanlah minatnya; dan apakah gerangan alasan mendasar yang mendorongnya menempuh risiko mengorbankan nyawa untuk ambil bagian dalam pawai hari minggu.

Kemudian, Tarrou tampaknya terkesan oleh satu pemandangan yang sering tampil di balkon seberang jendelanya. Kamarnya menghadap jalan kecil di mana kucing biasa tidur di bawah bayang dinding bangunan. Tapi setiap hari, setelah makan siang, waktu di mana seluruh kota mengantuk kepanasan, seorang pria tua bertubuh kecil akan muncul di balkon seberang jalan. Dengan rambut putih disisir rapi, mantap dan tegak dalam pakaian militernya, ia akan memanggil kucing-​kucing dengan seruan ‘puss, puss’ yang lembut sekaligus lirih. Pucat karena mengantuk, kucing-​kucing akan mengangkat mata mereka tanpa merasa perlu bangun. Pria itu lalu akan menyobek-​nyobek sehelai kertas di atas jalan, dan makhluk-​makhluk itu, terpesona oleh hujan kupu-​kupu putih, keluar ke tengah jalan, mengangkat cakarnya ke arah kertas-​kertas itu, menerkamnya. Melihat ini, si lelaki tua akan meludahi kucing-​kucing itu, mantap dan tepat sasaran. Ketika ludahnya mengenai sasaran ia akan tertawa.

Akhirnya, Tarrou terlihat telah sepenuhnya terbawa oleh tokoh komersil sebuah kota yang penampilan, hidup, dan bahkan kesenangannya didikte oleh pertimbangan niaga. Keanehan ini—inilah istilah yang ia pakai dalam buku catatannya—adalah sesuatu yang disukai oleh Tarrou—salah satu pasase tulisan bahkan berakhir dengan seruan memuji: “Akhirnya!” Ini adalah satu-​satunya titik di mana catatan si musafir, dalam periode ini, tampak mengandung sesuatu yang personal. Meski begitu, adalah sulit menaksir makna dan keseriusan pernyataan seperti itu. Jadi setelah memaparkan bagaimana penemuan seekor bangkai tikus menyebabkan kasir di hotel salah menghitung tagihan, Tarrou menambahkan dalam tulisan yang tidak setegas biasanya: «Pertanyaan: bagaimana cara agar tidak kehilangan waktu? Jawaban: alamilah waktu secara penuh. Maknanya: habiskan waktu berhari-​hari di ruang tunggu dokter gigi yang kursinya tak nyaman, tinggal di sebuah balkon hari minggu siang, mendengarkan kuliah tentang satu bahasa yang tidak kau pahami, pilihlah rute kereta api paling berbelit dan paling tak nyaman (sehingga terus-​menerus dalam perjalanan), antrelah tiket bioskop film box office dan seterusnya tapi tidak mengambil tempat duduk, dst.» Tapi segera setelah berboros-​boros dalam bahasa pikiran ini, buku catatan itu memberikan tulisan terperinci jalur-​jalur trem di kota kami, bentuk gondolanya, warna mereka yang tidak menentu dan penampilan mereka yang biasa kotor, dan mengakhiri pengamatan ini dengan ungkapan: ‘Ini luar biasa’—yang tidak menjelaskan apa pun.

Tapi di sini Tarrou sempat menulis pula sehubungan dengan tikus-​tikus itu:

«Tadi, si lelaki tua di balkon seberang amat sangat terganggu. Tak ada lagi kucing. Mereka telah lenyap, terpancing oleh bangkai-​bangkai tikus yang ditemukan dalam jumlah banyak di jalan-​jalan. Menurutku, ini bukan soal kucing makan tikus mati. Aku ingat kucingku benci tikus. Meski begitu, mereka pastilah berkeliaran di ruang bawah tanah dan pak tua bertubuh kecil sangat terganggu. Rambutnya kusut masai dan ia tampak tidak sebugar dan sesehat biasanya. Kau bisa melihat dia khawatir. Sesaat kemudian, ia masuk kembali, tapi ia sempat meludah, satu kali, ke udara.

«Di kota, sebuah trem tak beroperasi hari ini karena mereka menemukan seekor bangkai tikus di dalam; tak seorang pun tahu dari mana tikus itu berasal. Dua atau tiga wanita turun. Tikus itu dilempar keluar dan trem terus berjalan.

«Di hotel itu, penjaga gerbang yang bertugas di malam hari, jenis yang bisa dipercaya, mengabarkan padaku bahwa ia berharap sesuatu yang buruk terjadi pada semua tikus itu. ‘Kalau tikusnya berasal dari dalam kapal … ’ Aku menjawab bahwa kapal-​kapal memang membawa tikus, tapi tak pernah terbukti bahwa tikus membawa keburukan bagi kota-​kota yang dikunjungi. Tapi ia tetap yakin begitu. Aku tanya kemalangan apa yang dia bayangkan akan terjadi. Ia tidak tahu, karena bencana mustahil diprediksi—meski ia tidak akan kaget jika sebuah gempa bumi adalah bentuknya. Aku setuju bahwa itu mustahil diramalkan dan ia bertanya apakah aku tidak khawatir.

«‘Satu-​satunya hal yang menarik minatku,’ aku berkata, ‘adalah kedamaian batin.’

«Ia paham itu sepenuhnya.

«Kulihat ada satu keluarga yang cukup menarik di restoran hotel. Si ayah adalah seorang yang bertubuh tinggi, bersetelan hitam, dan berkerah kaku. Kepalanya botak dan di kedua sisi kepala ia punya sejumput rambut kelabu. Kedua matanya yang kecil bersinar tajam, hidung kurusnya dan bibirnya yang lurus membuat dia terlihat mirip burung hantu. Ia selalu menjadi yang pertama tiba di pintu restoran dan berdiri menyamping sehingga istrinya bisa lewat; dia adalah seorang wanita mungil persis tikus hitam, dan berjalan bersama putranya yang masih kecil dan seorang gadis kecil di belakangnya, keduanya berpakaian seperti anjing sirkus. Ketika si ayah sampai di meja, ia menunggu istrinya duduk, lalu barulah ia sendiri duduk, sebelum dua anjing pudel itu nangkring di kursi mereka. Ia bicara dengan istri dan anak-​anaknya dengan sapaan Anda, dan dengan sopan berkata pada para ahli warisnya:

«‘Nicole, Anda bersikap dengan cara yang sangat tak menyenangkan.’

«Gadis kecil itu sudah hampir nangis. Itulah yang diinginkan sang ayah.

«Pagi ini si bocah lelaki sangat bersemangat membicarakan soal tikus. Ia ingin mengatakan sesuatu selama santap makan itu.

«‘Di atas meja kita tidak bicara soal tikus, Phillipe. Mulai sekarang, kularang Anda menyebut kata itu lagi.’

«‘Ayah Anda benar,’ kata si tikus hitam.

«Dua anjing pudel itu menancapkan hidung mereka ke arah mangkuk dan si burung hantu berterima kasih pada istrinya dengan satu anggukan yang berarti menyetujui.

«Terlepas dari contoh bagus ini, orang di seluruh kota sedang heboh membicarakan soal tikus. Surat kabar mengangkatnya dalam berita. Koran lokal, yang selalu melontar beragam pendapat, kini sepenuhnya sibuk membahas tuntutan kepada pihak berwenang: ‘Apakah para pembesar kota kita sadar bahaya yang mungkin timbul dari bangkai tikus-​tikus yang membusuk ini?’ Sang manajer hotel tak bisa bicara tentang sesuatu yang lain lagi. Tapi itu sebagian karena ia marah soal ini. Seperti tak terbayangkan baginya bahwa tikus-​tikus akan bisa didapati dalam lift sebuah hotel berbintang. Untuk menghiburnya, aku berkata, ‘Tapi semua orang punya masalah yang sama.’

«‘Tepat,’ sahutnya. ‘Kini kita telah jadi seperti semua orang.’

«Ia adalah orang yang menyinggung padaku tentang kasus pertama infeksi tak lazim yang mulai dikhawatirkan orang-​orang. Salah satu pelayan wanita hotel mengalaminya.

«‘Tapi pastilah bukan dari tikus itu,’ ia berkeras.

«‘Kubilang padanya bahwa percaya atau tidak bagiku itu sama saja.’

«‘Ah, saya tahu! Tuan adalah seperti saya, seorang fatalis.’

«‘Aku tak berkata apa pun soal itu, dan dalam kasusku aku bukan seorang fatalis. Sampai kubilang padanya bahwa … ’

Dari sini catatan Tarrou mulai memberikan agak lebih rinci kabar tentang penyakit misterius yang telah menggelisahkan masyarakat. Mengetahui bahwa pak tua bertubuh mungil akhirnya mendapatkan kembali kucing-​kucingnya setelah lenyap mengejar tikus, dan dengan sabar mengoreksi tujuannya, Tarrou menambahkan bahwa selusin kasus penularan telah mulai terjadi, dan sebagian besar di antaranya berakhir maut.

Akhirnya, dalam catatan itu, kita bisa menyalin potret Tarrou tentang dr. Rieux. Sejauh penilaian narator, gambaran ini cukup akurat:

«Terlihat sebagai seorang pria tiga puluh lima tahun. Bertubuh sedang. Bahunya lebar. Wajahnya nyaris kotak. Bermata hitam dan tajam, tapi rahangnya menonjol ke depan. Tak ada yang aneh dengan hidungnya yang kukuh. Rambutnya hitam, dipotong sangat pendek. Mulutnya berbentuk busur, dengan bibir penuh, nyaris selalu tertutup rapat. Ia terlihat lebih seperti seorang petani Sicilia, dengan kulitnya yang sewarna perunggu. Rambut di tubuhnya hitam, juga pakaiannya selalu warna gelap, dan itu cocok baginya.

«Ia berjalan cepat. Ia melangkah turun ke jalan paving tanpa meningkatkan kecepatan, tapi dua atau tiga kali ia naik ke jalan paving di seberang dengan sedikit meloncat. Ia suka melamun kalau sedang menyetir, dan sering membiarkan lampu indikator mobilnya tetap menyala bahkan setelah melewati tikungan. Ia tak pernah mengenakan topi. Terlihat seolah ia tahu apa yang sedang terjadi.»

Gambaran Tarrou sudah benar. Dokter Rieux tahu apa yang terjadi. Ketika jasad penjaga apartemen telah ditempatkan di ruang isolasi, ia menelepon Richard untuk bertanya tentang infeksi di daerah pangkal paha ini.

“Aku tak mengerti,” sahut Richard. “Dua kematian, satu dalam empat puluh delapan jam, yang lain tiga hari lalu. Kutinggalkan kasus kedua suatu pagi karena melihat situasi sudah mulai membaik.”

“Beri tahu aku kalau Anda punya kasus lain,” kata Rieux.

Ia memanggil beberapa orang dokter lain, dan dengan penyelidikan begini ia mendapati sekitar dua puluh kasus serupa dalam beberapa hari terakhir. Hampir semuanya adalah kasus mematikan. Maka ia bertanya pada Richard, presiden Asosiasi Dokter Oran, apakah pasien-​pasien baru ini bisa diisolasi.

“Tak ada yang bisa kulakukan,” kata Richard. “Tindakan haruslah diambil oleh prefek.[2] Sambil lalu, siapa memberitahumu kalau ada risiko penularan?”

“Tak ada yang memberi tahu, tapi gejalanya sangatlah meresahkan.”

Meski begitu, Richard merasa bahwa ‘ia tidak berwenang’. Apa yang ia lakukan adalah melapor kepada pihak berwenang.

Tapi bahkan ketika mereka bicara, cuaca memburuk. Kabut tebal meliputi langit pada hari setelah kematian penjaga apartemen. Hujan yang singkat namun deras menyapu kota, dan hujan mendadak ini diikuti oleh panas yang berguntur. Bahkan laut telah kehilangan warna biru tuanya dan, di bawah langit berkabut, ia mengandung kilau perak atau besi, membuat pedih mata yang menatap. Rasa lesu yang menumpulkan saraf menjalari kota, mendekam seperti seekor siput di atas datarannya, dengan hanya satu area di depan laut. Di tengah deretan dinding yang panjang dan diplaster kasar, di jalanan dengan jendela berdebu dan trem-​tremnya yang kuning kotor, siapa pun bisa merasakan dirinya menjadi tawanan langit. Kecuali pasien tua Rieux yang mampu mengatasi asmanya dan menikmati cuaca itu.

“Cuaca membakarmu,” katanya. “Itu bagus buat paru-​paru.”

Memang terasa membakar, tapi entah lebih ringan ataukah berat tidak bisa dibandingkan dengan panasnya sakit demam. Seluruh kota merasakan tingginya suhu ini, sehingga paling tidak itulah pula perasaan yang menghantui dr. Rieux di pagi ketika ia menuju Rue Faidherbe untuk ambil bagian dalam penyelidikan tentang usaha bunuh diri Cottard. Tapi ia berpikir perasaan ini tidak masuk akal. Ia menganggap itu buah dari ketidaknyamanan dan segala yang ada di pikirannya, sehingga ia putuskan untuk segera mengusir itu dari kepalanya.

Ketika ia tiba di tempat, komisaris belumlah tiba. Grand sedang menunggunya di plat tangga, dan pertama-​tama mereka memutuskan untuk pergi ke tempatnya dan membiarkan pintu terbuka. Pejabat kota itu tinggal di sebuah flat dua ruang, dengan sangat sedikit perabot. Orang hanya bisa melihat rak kayu warna putih berisi dua atau tiga buah kamus dan sebuah papan tulis di mana orang masih bisa membaca tulisan ‘jalanan bertabur bunga’ meski setengah terhapus. Menurut Grand, Cottard menghabiskan malam dengan nyaman, namun pagi tadi ia terbangun sakit kepala, tak sanggup melakukan apa pun. Grand sendiri terlihat lelah dan khawatir, berjalan mondar-​mandir, membuka dan menutup berkas tebal di atas meja, penuh lembar tulisan tangan.

Sementara itu, ia mengabarkan pada dokter itu bahwa ia sangat sedikit mengenal Cottard, tapi ia membayangkan bahwa ia pastilah punya semacam pendapatan pribadi. Cottard adalah orang aneh. Dalam waktu lama mereka tak saling berkata-​kata selain bertukar sapa di anak tangga.

“Saya hanya sempat mengobrol dua kali dengannya. Beberapa hari lalu kotak kapur yang saya bawa pulang jatuh di anak tangga. Kapur warna merah dan biru. Saat itu Cottard keluar dan membantu saya memungutinya. Ia bertanya buat apa pakai kapur warna-​warni begitu.”

Maka Grand menjelaskan bahwa ia berusaha memperbaiki bahasa Latinnya, karena sejak lulus sekolah ia sudah banyak lupa.

“Ya,” katanya pada sang dokter. “Orang meyakinkan saya bahwa Latin berguna untuk memahami kosakata Prancis.”

Jadi ia bermaksud menuliskan kosakata Latin di papan tulisnya. Ia menyalin dengan kapur biru bagian-​bagian kata yang berubah sesuai dengan kelas kata atau pembentukan verba, dan kapur merah ia gunakan untuk bagian-​bagian kata yang tak berubah.

“Saya tidak tahu apakah Cottard paham, namun ia seperti tertarik lalu bertanya apakah ia boleh minta kapur merah. Saya agak kaget, tapi lalu … Tentu saja, saya tak bisa menebak bahwa ia benar menggunakannya untuk keperluan itu.”

Rieux bertanya apa yang menjadi topik percakapan kedua. Tapi sang komisaris sudah tiba, bersama sekretarisnya, bermaksud meminta pernyataan Grand. Sang dokter mengerti bahwa Grand, ketika bicara soal Cottard, selalu menyebutnya sebagai ‘si malang.’ Di satu titik ia bahkan menggunakan istilah ‘keputusan fatal.’ Mereka mendiskusikan motif usaha bunuh dirinya dan Grand meresahkan tentang bentuk kata-​kata. Mereka akhirnya sepakat tentang adanya ‘kedukaan personal.’ Komisaris bertanya apakah ada dalam sikap Cottard sesuatu yang menandakan adanya apa yang ia sebut ‘maksud tertentu.’

“Ia mengetuk pintu saya kemarin,” kata Grand, Meminta saya korek api. Saya kasih satu kotak. Ia minta maaf, bilang bahwa karena kami bertetangga … Lalu ia berjanji akan mengembalikannya nanti. Saya bilang disimpan saja.”

Sang komisaris bertanya pada pegawai itu apakah Cottard tidak memperlihatkan gelagat ganjil.

“Apa yang tampak aneh bagi saya adalah bahwa ia seperti ingin memulai percakapan. Tapi saya sedang bekerja.”

Grand berpaling pada Rieux dan menambahkan dengan nada mawas diri:

“Kerja pribadi.”

Sementara itu, sang komisaris ingin menemui pasien. Tapi Rieux berpikir lebih baik menyiapkan Cottard untuk kunjungan itu. Ketika ia masuk ke ruangannya, lelaki itu sedang duduk di atas ranjang, hanya mengenakan dalaman kemeja warna kelabu. Ia berpaling ke arah pintu dengan sorot khawatir di wajahnya.

“Polisi ya?”

“Ya,” kata Rieux. “Tapi jangan khawatir. Hanya dua atau tiga pertanyaan sebagai formalitas dan mereka akan pergi dengan tenang.”

Tapi Cottard menjawab bahwa itu tak ada gunanya dan bahwa ia tidak menyukai polisi. Rieux memberikan tanda bahwa ia tak sabar.

“Saya sendiri tidak begitu suka mereka. Yang harus Anda lakukan cukuplah menjawab pertanyaan mereka singkat dan benar, lalu selesai.”

Cottard tak berkata apa pun dan dokter itu berbalik menuju pintu. Tapi lelaki bertubuh kecil itu sudah memanggilnya dan meraih tangannya ketika ia mendekati ranjang.

“Mereka tak akan menyakiti orang sakit yang telah gantung diri, bukan begitu, dokter?”

Rieux menatapnya sesaat dan akhirnya meyakinkan dia bahwa hal seperti itu tak perlu ditanyakan—terlepas dari itu, ia ada untuk merawat pasien. Ia jadi terlihat santai dan Rieux pergi untuk menjemput komisaris polisi.

Kesaksian Grand dibacakan kepada Cottard dan mereka bertanya apakah ia bisa katakan secara tepat kenapa ia berbuat seperti itu. Ia hanya menjawab, tanpa menatap komisaris, bahwa ‘kesedihan personal tak terhindarkan.’ Komisaris mendorongnya untuk mengaku apakah ia bermaksud coba lagi. Cottard berkata, secara empatik, bahwa ia tidak punya niat dan bahwa ia hanya ingin dirinya dibiarkan tenang tanpa gangguan.

“Saya harus menekankan,” kata komisaris, dengan nada tersinggung dalam suaranya, “bahwa Anda sendirilah yang justru sedang mengganggu ketenangan orang lain.”

Ia bertanya pada dokter apakah masalahnya serius dan Rieux bilang bahwa ia tidak tahu.

“Cuacalah faktornya, itu saja,” komisaris menyimpulkan.

Dan tak ragu lagi memang cuaca. Segalanya melekat di satu tangan seiring berlalunya hari, dan Rieux merasakan firasat buruk setiap kali ia melakukan kunjungan. Hari itu pula, di pinggiran kota, salah satu tetangga si lelaki tua, dalam keadaan meracau, menekan pangkal pahanya dan mulai muntah. Benjolan-​benjolan limpanya lebih besar dari yang diderita penjaga apartemen. Salah satu darinya telah mulai bernanah dan akan segera meletus seperti buah membusuk. Ketika ia sampai di rumah, Rieux menelepon depot produk obat-​obatan untuk departemen[3] ini. Catatan profesionalnya untuk hari yang disebut itu hanya menyatakan: ‘respon negatif.’ Dan ia sudah mulai dipanggil ke tempat lain untuk kasus serupa. Jelaslah bahwa pembengkakan itu harus dibedah. Dua pembedahan dengan pisau dalam bentuk tanda silang, dan benjolan itu mengeluarkan campuran nanah dan darah. Para pasien mengeluarkan darah dalam derita. Noda gelap muncul di perut dan betis, satu benjolan limpa akan berhenti bernanah, lalu melepuh lagi. Lebih sering ya daripada tidak, pasien meninggal, dengan menguarkan bau menyengat.

Media massa, yang juga bicara banyak soal kasus tikus-​tikus ini, terdiam. Ini karena tikus-​tikus mati di jalan dan orang-​orang mati di ranjang; dan surat kabar hanya mengangkat fenomena yang ada di jalan. Tapi prefektur dan dewan kota mulai bertanya-​tanya tentang apa yang akan terjadi. Sejauh ini masing-​masing dokter tidak menyadari lebih dari dua atau tiga kasus, tak seorang pun berpikir untuk mengambil tindakan. Tapi bagaimanapun, ada seseorang yang harus memutuskan untuk melakukan penambahan, dan itu mengganggu. Hanya dalam beberapa hari saja jumlah kasus kematian berlipat ganda, dan adalah jelas bagi mereka yang memperhatikan penyakit aneh ini bahwa itu semua berhubungan dengan sebuah wabah yang nyata. Ini adalah ketika Castel, salah seorang kolega Rieux, meski jauh lebih tua, datang menemuinya.

“Tentu saja,” katanya. “Anda tahu apa itu, Rieux, bukan begitu?”

“Saya sedang menunggu hasil tes.”

“Ah, aku tahu. Dan aku tak butuh tes. Aku menghabiskan sebagian hidupku bekerja di Cina, dan aku melihat beberapa kasus di Paris, dua puluh tahun lalu—meski tak seorang pun berani membicarakannya ketika itu. Opini publik itu sakral: jangan panik, bagaimanapun jangan panik. Lalu, seorang kolega menasihatiku: “Ini mustahil, semua orang tahu ia lenyap dari Barat.” Ya, semua orang tahu itu, kecuali orang mati. Ayolah, Rieux, kau tahu benar sebagaimana pula aku apakah ini.”

Rieux berpikir. Dari jendela ruang studinya ia menatap bahu tebing berbatu yang menutup teluk di kejauhan. Meski langit biru, ada selapis sinar suram yang terus melembut sejalan dengan berlalunya siang.

“Ya, Castel,” katanya. “Nyaris mustahil dipercaya. Tapi tampaknya ini adalah wabah.”

Castel bangkit dan berjalan menuju pintu.

“Anda tahu apa yang akan mereka bilang pada kita,” dokter tua itu berkata. “Ia lenyap dari daratan berhawa sedang bertahun-​tahun lalu.”

“Apa maksud Anda, lenyap?” balas Rieux, sambil mengangkat bahunya.

“Ya. Dan jangan lupa: di Paris, hampir dua puluh tahun lalu … ”

“Baik. Mari kita berharap agar ini tidak menjadi lebih serius dibanding yang sudah lalu. Tapi ini sungguh luar biasa.”

 

Kata ‘wabah’ sudah mulai disebut untuk pertama kali. Pada titik itu dalam kisah ini, sambil meninggalkan Bernard Rieux di depan jendela, narator mungkin bisa menalar kebimbangan dan keterkejutan sang dokter karena, dengan sedikit perbedaan, reaksinya adalah sama sebagaimana kebanyakan warga kota. Wabah penyakit kenyataannya adalah fakta yang sangat umum, tapi kita mendapati sukarnya memercayai adanya wabah ini jika ia melanda kita. Sejauh ini sudah banyak wabah melanda dunia, sebagaimana banyaknya perang, namun wabah dan perang keduanya selalu mendapati manusia dalam keadaan tidak siap. Dokter Rieux tidak siap, sebagaimana penduduk kota, dan inilah sebab kenapa kita harus paham bahwa ia enggan memercayainya. Orang juga harus mengerti bahwa ia terbelah antara kekhawatiran dan keyakinan diri. Ketika perang pecah orang berkata, “Perang ini tidak akan berakhir; ini terlalu bodoh.” Dan perang jelaslah terlalu bodoh, tapi itu tak mencegah perang itu untuk berlangsung lama. Kebodohan selalu diunggul-​unggulkan, sebagaimana orang akan menyadarinya kalau mereka tidak selalu memikirkan diri mereka sendiri. Dalam hal ini, warga kota Oran mirip seperti warga dunia lainnya, mereka memikirkan diri mereka sendiri; dengan kata lain, mereka manusiawi: mereka tidak percaya ada wabah. Wabah tidak harus mempunyai dimensi manusiawi, jadi orang bilang bahwa ini tidak nyata, bahwa ini sebuah mimpi buruk yang akan berakhir. Tapi ini tidak selalu berakhir dan, dari mimpi buruk satu ke mimpi buruk lain, manusialah yang berakhir, terutama para humanis, karena mereka tidak mempersiapkan diri. Penduduk di kota kami tidak lebih berdosa dibanding penduduk kota lain, mereka hanya lupa untuk tidak berlebih-​lebihan dan berpikir bahwa segalanya masih mungkin bagi mereka, yang menandakan keyakinan bahwa wabah adalah mustahil. Mereka terus melanjutkan urusannya, membuat rencana bepergian dan mempertahankan opini mereka itu. Kenapa mereka harus berpikir tentang wabah, yang menafikan masa depan, menafikan perjalanan dan perdebatan? Mereka menganggap diri bebas dan tak seorang pun akan terbebas sejauh wabah dan bencana itu ada.

Bahkan setelah dr. Rieux mengakui pada temannya bahwa sejumlah orang sakit di berbagai tempat telah secara tak terduga mati karena wabah, bahaya terlihat tak nyata baginya. Sebagaimana ketika seseorang adalah dokter ia mendapatkan ide tentang rasa sakit dan mendapatkan sedikit lebih banyak imajinasi. Saat ia menatap seluruh kota yang ada di balik jendela, kota yang tak berubah, dokter itu nyaris tak bisa merasakan sentuhan pertama rasa mual berkenaan dengan masa depan yang dikenal sebagai kekhawatiran. Ia berusaha menghimpun dalam pikirannya apa yang ia kenal tentang penyakit. Grafik-​grafik berkilasan di kepalanya, dan ia berpikir bahwa tiga puluh atau lebih wabah yang pernah tercatat di dunia ini telah menyebabkan hampir seratus juta kematian. Tapi apa arti seratus juta kematian? Ketika orang berjibaku di medan perang, orang hampir tak lagi tahu apa itu orang mati. Dan jika seorang yang mati tak punya nilai penting kecuali ia terlihat sudah tak bernyawa, maka seratus juta jasad yang tersebar di sepanjang sejarah ini tak lebih hanyalah selapis kabut yang mengalir menembus imajinasi. Dokter itu ingat wabah di Konstantinopel, yang menurut Procopius bertanggung jawab atas jatuhnya sepuluh ribu korban dalam sehari. Sepuluh ribu mayat adalah lima kali jumlah penonton di sebuah bioskop terkemuka. Itulah yang harus kau lakukan. Anda harus menyeret semua orang itu keluar dari lima bioskop, membawa mereka ke alun-​alun di kota dan membuat mereka mampus membentuk satu timbunan, dengan begitu Anda akan lebih paham. Paling tidak, seharusnya dari timbunan mayat tak bernama ini satu di antaranya harus Anda kenal. Tapi tentu saja itu mustahil, meski memang siapa tahu ada, di antara sepuluh ribu wajah. Bagaimanapun, orang seperti Procopius tidaklah bisa berhitung, sebagaimana diketahui. Di Canton, tujuh puluh tahun lalu, empat puluh ribu ekor tikus mati dalam wabah sebelum ia menulari penduduk kota. Tapi di tahun 1871, orang tak punya cara untuk menghitung jumlah tikus. Maka penghitungan adalah soal perkiraan, soal kurang atau lebih, dengan kemungkinan meleset yang tak mengherankan. Meski begitu, jika seekor tikus panjangnya tiga puluh senti, empat puluh ribu ekor tikus yang ditata berbaris akan jadi sepanjang …

Tapi sang dokter resah dengan dirinya sendiri. ia membiarkan dirinya pergi dan ia seharusnya tidak pergi. Beberapa kasus tidaklah bersifat epidemik dan ini adalah soal berjaga-​jaga. Orang harus memperhatikan gejalanya: tubuh gemetar dan meringkuk, mata merah, timbul sejenis bulu di sekitar mulut, pening, timbulnya benjolan limpa, rasa haus tak tertahankan, meracau, tubuh mengandung bercak, merasa gelisah, dan—puncak dari itu semua … Puncak dari itu semua, beberapa kata teringat oleh dr. Rieux, satu kalimat yang kebetulan mencuat dari daftar gejala di teksbook kedokterannya: ‘Detak nadi menjadi pelan dan kematian terjadi sebagai akibat dari sedikit gerakan saja.’ Ya, puncak dari semua itu, orang gantung diri dengan seutas tali dan tiga dari empat orang, itulah memang angkanya, menjadi tak sabaran sehingga mereka melakukan gerakan kecil yang akhirnya meloloskan nyawa.

Dokter itu masih menatap ke seberang jendela. Di satu sisi kaca itu menampilkan langit musim semi yang dingin dan segar, di sisi lain adalah kata yang masih bergema di sekujur ruangan: wabah. Kata itu tidak hanya mengandung apa yang oleh sains dipandang pantas untuk diisi, tapi juga sebaris citra serbaneka yang tak ada hubungannya dengan kelabu dan kuningnya kota ini, yang lumayan sibuk belakangan ini, tak cukup disebut berisik tapi berdengung, pendeknya gembira, dan jika mungkin menjadi gembira dan murung di saat bersamaan. Dan ketenangan yang damai lagi tanpa pikiran itu nyaris serta-​merta bertolak belakang dengan citra lama tentang wabah: Athena tercekik dan ditinggalkan oleh burung-​burung, kota-​kota di Cina penuh dengan orang yang terbaring tanpa suara, para penjahat kota Marseille menimbun mayat yang basah kuyup ke dalam lubang; pembangunan tembok besar di Provence dengan harapan untuk menahan angin wabah, Jaffa dan para pengemisnya yang menjijikkan lagi menakutkan, ranjang-​ranjang yang basah dan lapuk dan menempel di lantai tanah rumah sakit Konstantinopel, orang-​orang sakit yang diseret dengan kait melengkung, karnaval para dokter bertopeng selama masa Black Death, orang-​orang hidup yang bersenggama di berbagai kuburan kota Milan, kereta mayat di kota London yang lumpuh ketakutan, dan siang serta malam—di mana pun dan selalu—diisi oleh jeritan para manusia tak ada habisnya. Semua ini tidak cukup kuat untuk menghancurkan kedamaian hari. Di sisi jauh kaca, deru trem yang tak tampak bergema mendadak dalam sekejap menolak fenomena kebengisan dan rasa sakit. Hanya lautan sajalah, di seberang deretan rumah petak, yang menjadi bukti semua yang selamanya mengganggu dan meresahkan di dunia ini. Dan dokter Rieux, yang sedang memandang teluk, berpikir tentang kayu pembakaran jenazah yang, menurut Lucretius, dibangun orang Athena di tepi laut ketika mereka sedang dilanda penyakit. Si mati dibawa ke sana di malam hari, tapi tanahnya terlalu sempit dan mereka yang hidup saling bertarung satu sama lain dengan obor menyala demi menaruh mayat orang terkasih mereka ke atas tumpukan kayu, menyebabkan tumpahnya darah. Anda bisa bayangkan kayu pembakaran jenazah menyala di hadapan tenangnya air gelap, obor yang bertarung di kegelapan memercikkan bunga api, dan asap tebal beracun membubung ke atas langit. Dan Anda bisa bayangkan itu terjadi di sini …

Tapi nalar mengusir bayangan memusingkan ini. Adalah benar bahwa kata ‘wabah’ telah terucap, adalah benar bahwa saat itu pula wabah memukul dan menghajar satu atau dua korban. Tapi itu bisa berakhir, bukan? Apa yang harus dilakukannya adalah mengakui secara jelas apa yang harus diakui, mengusir bayangan hampa dan mengambil tindakan apa pun yang diperlukan. Setelah itu, wabah akan berhenti karena wabah bersifat mustahil, atau karena ia dihakimi dengan salah. Jika wabah ini berakhir, sebagaimana kemungkinan besar, maka semuanya akan baik-​baik saja. Sebaliknya, mereka akan memahami apakah wabah itu dan tahu adakah makna tertentu yang dibawa olehnya, sehingga pada akhirnya setelah makna ini datang ia pun lenyap.

Dokter itu membuka jendela dan keriuhan kota mendadak meruap masuk. Dari sebuah bengkel terdekat datanglah suara gergaji listrik, pendek namun berulang-​ulang. Rieux menggeleng. Ini jelas pekerjaan sehari-​hari. Sisanya bergantung pada seutas benang dan gerakan tak kentara; orang tak akan terus-​menerus begini. Paling penting adalah mengerjakan tugas secara baik.

 

Dokter Rieux telah sampai titik ini dalam pikirannya ketika Joseph Grand mengumumkan kedatangan diri. Meski ia adalah staf kantor walikota dan tugasnya sangat beragam, namun kadang tenaganya dibutuhkan oleh lembaga statistik dalam melakukan pendataan kelahiran, perkawinan, dan kematian. Karena inilah maka ia menambahkan jumlah sertifikat kematian, dan, karena bertabiat patuh, ia sepakat untuk membawakan satu salinan hasilnya pada Rieux secara pribadi.

Sang dokter melihat Grand datang bersama tetangganya, Cottard. Pegawai itu melambaikan sehelai kertas.

“Grafiknya naik, dokter,” ia mengumumkan. “Sebelas kematian dalam empat puluh delapan jam.”

Rieux mengangguk hormat pada Cottard dan menanyakan bagaimana kabarnya. Grand menjelaskan bahwa Cottard ingin berterima kasih pada sang dokter dan meminta maaf karena masalah yang ia sebabkan. Tapi Rieux sibuk memperhatikan data statistik dalam kertas itu.

“Nah, sekarang,” katanya. “Mungkin kita harus membulatkan pikiran untuk menyebut penyakit ini dengan nama yang tepat. Sejauh ini, kita baru saja mulai. Tapi ikutlah bersama saya. Saya harus pergi ke laboratorium.”

“Ya, ya,” kata Grand sambil menuruni tangga, mengikuti langkah sang dokter. “Kita harus menyebut segala sesuatu dengan nama tertentu. Tapi apa namanya?”

“Saya tak bisa katakan. Bagaimanapun, tak ada gunanya bagi Anda mengetahui.”

“Nah, kan,” kata pria itu. “Tidak semudah itu.”

Mereka menuju ke arah arena parade. Cottard masih belum mengatakan apa pun. Jalanan itu mulai dipadati orang-​orang. Kelam melayang-​layang yang ada di negeri kami telah digantikan oleh malam, dan bintang pertama telah tampak di horizon yang masih cerah. Beberapa detik kemudian lampu-​lampu di atas jalan menyala dan menutup pandangan ke langit. Suara percakapan seperti bernada naik.

“Permisi,” kata Grand di pojokan arena parade. “Saya harus menunggu datangnya trem. Malam bukanlah hal sembarangan bagi saya. Ketika mereka bilang ‘dari mana saja kamu’, orang tak bisa tenang sampai esok tiba … ”

Rieux telah mulai mencatat kebiasaan bahwa Grand suka mengutip pernyataan orang-​orang—ia terlahir di Montelimar—dan menambahkan beberapa ungkapan klise yang diambil entah dari mana, misalnya ‘waktu bermimpi’ atau ‘cahaya dongeng.’

“Nah, itu benar,” kata Cottard. “Tak ada yang bisa menyeret dia keluar rumah setelah makan malam.”

Rieux bertanya pada Grand apakah ia sedang mengerjakan sesuatu untuk kantor walikota; Grand menjawab tidak, ia bekerja untuk dirinya sendiri.

“Ah,” kata Rieux, demi hendak mengatakan sesuatu. “Apakah sudah ada perkembangan?”

“Tak terhindarkan lagi, karena sudah bertahun-​tahun saya mengerjakannya. Meski begitu, di sisi lain pula, tak banyak perkembangan.”

“Tapi soal apakah itu?” tanya sang dokter sambil menghentikan langkah.

Grand bergumam saat ia menaruh topi bundarnya di atas kedua telinga. Rieux memperkirakan bahwa itu adalah soal perkembangan kepribadian. Tapi pegawai itu sudah mulai pergi dan melangkah cepat menuju Boulevard de la Marne, di sela pepohonan ara. Di ambang pintu laboratorium, Cottard mengatakan pada dokter itu bahwa ia ingin menemuinya untuk meminta saran. Rieux yang sedang meraba lembaran statistik itu dalam saku mengundangnya masuk ke ruang konsultasinya, tapi kemudian mengubah rencana dan bilang bahwa ia akan berada di daerah sekitar rumah Cottard esok hari, lalu akan singgah ke rumahnya setelah agak sore.

Setelah meninggalkan Cottard, sang dokter mengetahui bahwa ia sedang memikirkan tentang Grand. Ia sedang membayangkan bahwa di tengah satu wabah, bukan wabah sekarang yang akan terbukti wabah serius, melainkan wabah-​wabah terbesar dalam sejarah. “Ia adalah sejenis orang yang akan selamat dalam kasus itu.” Ia ingat pernah membaca bahwa wabah tidak akan menyerang mereka yang kondisinya lemah, dan justru menyerang mereka yang dari segi fisik cukup subur. Dan makin ia berpikir tentang dirinya, makin pula dokter itu menganggap bahwa ada sedikit misteri sehubungan dengan pegawai itu.

Sungguh, pertama kali melihat Joseph Grand, ia tampak tak lebih dari seorang pegawai di kantor walikota. Bertubuh tinggi kurus, ia tenggelam dalam pakaiannya, selalu memilih pakaian yang terlalu besar untuknya, dengan ilusi bahwa kelak pakaian itu akan sesak dia pakai. Meski gigi rahang bawahnya masih utuh, gigi atasnya sudah banyak yang tanggal sehingga senyumnya, yang selalu melibatkan terangkatnya bibir atas, memberi pemandangan sebuah mulut yang menganga. Jika kita menambahkan ke dalam potretnya ini cara dia berjalan yang terlihat seperti seorang pastor muda, kemampuannya untuk memeluk tembok dan menyelinap ke sebalik pintu, tubuhnya yang menguarkan aroma asap dan gudang bawah tanah, dan setiap kemunculannya yang paling tak diniatkan sekalipun, kita akan sepakat bahwa ia tak bisa dibayangkan berada di tempat lain kecuali di belakang meja, meneliti dengan saksama ongkos masuk pemandian umum yang ada di seluruh kota atau mengumpulkan materi sebuah laporan untuk dituliskan oleh seorang petinggi yang cukup muda, misalnya tentang ketentuan baru pajak yang dibebankan pada tanah keluarga yang nilainya sudah berkurang. Bahkan untuk seseorang yang tidak mengenalnya, ia terlihat hadir di dunia ini demi melangsungkan peran pegawai yang tak menonjol tapi tak bisa dikesampingkan, yang dengannya ia mendapatkan pendapatan harian enam puluh dua franc tiga puluh sen.

Kenyataannya ini adalah pernyataan yang ia tuliskan di atas formulir kepegawaian setelah kata ‘posisi sekarang.’ Ketika dua puluh dua tahun lalu ia menyelesaikan kuliah namun tak sanggup melanjutkan ke jenjang lebih tinggi karena faktor biaya, ia telah menerima pekerjaan ini, dan berkata bahwa ia berharap pekerjaan ini akan segera menjadi pekerjaan tetapnya. Ini hanya masalah membuktikan dalam waktu tertentu bahwa ia berkompetensi untuk menangani persoalan rumit yang berhubungan dengan administrasi kota kami. Setelah itu, ia yakin, ia tidak akan gagal mendapatkan posisi sebagai penulis laporan yang akan memberinya kehidupan yang nyaman. Jelaslah bukan ambisi yang menggiring Joseph Grand, ia menjamin itu dengan satu senyuman melankolis. Tapi ia jauh lebih gembira jika punya prospek kehidupan lebih baik, didukung oleh sarana yang bersih dari rekayasa, dan sebagai akibatnya berkemungkinan bisa bebas menghabiskan waktu senggang dengan kegiatan favorit tanpa rasa sesal. Jika ia menerima tawaran yang diajukan kepadanya, itu dilandasi oleh motif terhormat dan bahkan bisa dibilang bentuk kesetiaan pada yang ideal.

Situasi mengambang ini berlangsung selama bertahun-​tahun, dan biaya hidup telah meningkat tak terukur sedangkan gaji Grand, meski naik secara teratur, tetaplah layak ditertawakan. Ia mengeluhkan ini pada Rieux, tapi tampaknya tidak ada orang lain yang menyadarinya. Dari sinilah keganjilan Grand mengemuka, atau paling tidak salah satu tanda keganjilan itu; karena ia minimal bisa mengutip janji yang ia terima, jika tidak justru haknya, sedangkan ia tidak yakin apakah akan ditepati. Tapi, masalahnya, kepala biro yang pertama mempekerjakannya telah meninggal sejak lama, dan pegawai itu tidak ingat sama sekali bunyi janji yang ia terima. Akhirnya, dan begitulah, janji tinggal janji.

Sejauh pengamatan Rieux, ini adalah karakteristik yang paling tepat menggambarkan warga kota kami ini, Joseph Grand. Inilah yang selalu mencegahnya dari menulis surat keluhan yang ada dalam kepalanya, atau mengambil tindakan apa pun yang dituntut oleh situasi. Ia menganggap dirinya sepenuhnya dilarang untuk menggunakan kata ‘hak’ ketika ia tidak yakin akan haknya, atau kata ‘janji’ ketika kata ini menandakan bahwa ia menuntut sesuatu yang seharusnya ia dapatkan—yang konsekuensinya ia akan tampak lancang dan tidak sopan sebagai seorang pegawai berposisi rendah. Di sisi lain, ia menolak menggunakan kata ‘santunan’, ‘permintaan’, dan ‘rasa terima kasih’, yang ia anggap tak memenuhi harkat pribadinya. Inilah kenapa, karena tak mampu menemukan kata yang tepat, ia terus berada dalam posisi rendahnya sampai usia yang cukup tua. Terlebih, menurut apa yang ia katakan pada dr. Rieux, ia menyadari seiring perjalanan waktu bahwa keberadaan materiilnya terjamin, karena baginya yang penting pada akhirnya adalah bagaimana menyesuaikan kebutuhan dengan pemasukan. Dengan cara ini ia mengakui benarnya ucapan favorit sang walikota, seorang pengusaha di kota kami, yang menegaskan bahwa kalau sudah bicara soal pemasukan—dan ia menekankan ungkapan ini yang merupakan bobot keseluruhan argumen—tak seorang pun yang dikenalnya pernah mengalami mati karena kekurangan pangan. Pokoknya, orang nyaris asketis seperti Joseph Grand dalam realitasnya telah, paling tidak, membebaskan diri dari kekhawatiran semacam itu. Ia masih berusaha menemukan kata yang tepat.

Di satu sisi, kita bisa bilang bahwa kehidupannya patut diteladani. Ia adalah salah satu pria, sejarang pria serupa di mana pun juga, yang selalu punya keberanian untuk mengungkapkan perasaan mendalamnya. Sungguh, sedikit hal yang ia paparkan tentang diri sendiri menjadi saksi kebaikan hati dan kesetiaan yang takut diakui oleh orang zaman sekarang. Ia tidak malu mengakui bahwa ia menyayangi para keponakan dan adik perempuannya: gadis itu adalah satu-​satunya saudara yang masih tersisa, dan ia akan mengunjunginya dua tahun sekali di Prancis. Ia mengakui bahwa dirinya sedih tiap kali mengenang orangtua, yang meninggal ketika ia masih muda. Ia tidak mengelak betapa di atas segalanya ia menyukai lonceng tertentu di dekat rumahnya yang bergema lembut sekitar jam lima sore. Tapi bahkan untuk menemukan kata demi mengungkapkan emosi sederhana pun baginya butuh usaha sangat keras. Akhirnya masalah ini jadi kekhawatiran utamanya. “Oh, dokter,” katanya, “Saya berharap saya bisa belajar mengungkapkan perasaan diri saya sendiri.” Ia menyinggung hal ini pada Rieux setiap kali ia berjumpa.

Malam itu, saat ia melihat pegawai itu pergi, sang dokter tiba-​tiba menyadari apa yang dimaksud oleh Grand: ia pastilah sedang menulis sebuah buku atau sesuatu semacam itu. Pikiran ini meyakinkan Rieux dalam perjalanannya menuju laboratorium, tempat yang akhirnya ia tuju. Ia tahu bahwa adalah konyol baginya dengan perasaan ini, tapi ia tidak bisa percaya bahwa wabah ini sungguh akan melanda sebuah kota di mana kita masih akan menemukan di dalamnya para pegawai rendahan yang lembut hati dan melewatkan waktu senggangnya dengan berbagai obsesi yang terhormat. Lebih tepatnya, ia tidak bisa membayangkan obsesi itu akan sesuai dengan konteks bencana, sehingga ia menyimpulkan bahwa, dalam tataran praktis, wabah tidak akan menjadi masa depan bagi penduduk kota kami.

 

Keesokan harinya, sebagai akibat dari apa yang dianggap sebagai kebutuhan mendesak, Rieux membujuk kantor prefektur untuk membentuk sebuah komisi kesehatan.

“Adalah benar bahwa penduduk mulai khawatir,” Richard menyepakati, “dan gosip melebih-​lebihkan segalanya. Prefek menyampaikan kepadaku: “Mari kita bertindak cepat, kalau mau Anda begitu, tapi jangan ribut-​ribut.” Bagaimanapun, beliau yakin bahwa ini adalah alarm yang berbunyi tidak pada saatnya.”

Dalam mobil Bernard Rieux membawa Castel saat ia hendak menuju kantor prefektur.

“Apakah Anda tahu,” kata Castel, “bahwa departemen ini tak punya serum?”

“Saya tahu. Saya menelepon gudang. Manajernya kelabakan. Serum itu harus didatangkan dari Paris.”

“Kuharap itu tidak akan memakan waktu lama.”

“Saya telah mulai mengirim telegram,” sahut Rieux.

Sang Prefek bersikap ramah, namun tetap tegang.

“Mari kita mulai, Tuan-​tuan sekalian,” katanya. “Apakah saya harus merangkum situasi yang sedang berkembang?”

Richard berpikir bahwa itu tidaklah diperlukan. Para dokter sudah tahu situasi sekarang. Persoalannya hanyalah memutuskan tindakan apa yang tepat.

“Pertanyaannya,” kata si tua Castel, tanpa basa-​basi, “adalah memutuskan apakah kita sedang berurusan dengan wabah ataukah tidak.”

Dua atau tiga orang dokter memprotes, sementara yang lain tampak ragu-​ragu. Tentang sang Prefek, ia langsung menegakkan duduknya di kursinya dan secara spontan berpaling ke arah pintu, seolah hendak memeriksa apakah pintu itu sungguh telah mencegah penyebaran wabah dari seberang koridor. Richard mengumumkan bahwa menurut pendapatnya mereka seharusnya tidak panik: apa yang bisa mereka katakan secara pasti adalah bahwa ini sebuah penyakit menular yang menyerang pangkal paha, dan bahwa adalah berbahaya, secara sains maupun kehidupan, untuk meloncat ke arah kesimpulan. Si tua Castel, yang dengan tenang mengunyah kumis kuningnya, mengarahkan mata jernih ke arah Rieux. Lalu ia menatap penuh kemurahan hati ke arah semua yang hadir dan mengumumkan bahwa ia tahu benar ini adalah wabah, tapi, tentu saja, jika mereka mau mengakui fakta itu secara resmi, mereka harus mengambil tindakan tegas. Ia tahu bahwa, di bawah permukaan, ini adalah apa yang oleh koleganya selalu ditunda-​tunda, dan sebagai akibatnya, agar tak membuat mereka tertekan, ia bersedia menyatakan bahwa ini bukanlah wabah. Sang Prefek risau dan berkata bahwa bagaimanapun itu bukan pendekatan yang bijak.

“Yang penting ditegaskan,” kata Castel, “adalah bukan soal apakah pendekatan itu bijak, namun apakah itu membuat kita berpikir.”

Karena Rieux belum mengatakan apa pun, mereka meminta pendapatnya.

“Ini satu penyakit menular, mirip tifus, tapi dengan pembengkakan limpa dan muntah. Saya membedah sejumlah benjolan itu. Dengan cara itu saya mampu menganalisisnya, sehingga laboratorium berpikir bahwa analisis itu bisa mendeteksi baksil wabah. Namun, sebenarnya, kita harus katakan bahwa modifikasi mikroba tertentu tidak bersesuaian dengan deskripsi klasik tentang wabah.”

Richard menekankan bahwa ini berarti mereka tidak boleh terburu-​buru menilai dan bahwa mereka paling tidak perlu menunggu hasil statistik dari serangkaian analisis yang telah ia mulai beberapa hari belakangan.

“Ketika sebuah mikroba,” kata Rieux, setelah hening sejenak, “mampu memperbesar limpa empat kali lipat dalam tiga hari, dan membuat dinding ganglianya jadi sebesar jeruk, maka itulah saatnya kita harus melakukan sesuatu. Sumber penularan mulai berlipat ganda. Dalam taraf ini, jika penyakit tak dihentikan, ia bisa membunuh separuh penduduk kota dalam waktu dua bulan ke depan. Oleh karena itu tidaklah masalah apakah Anda akan menyebutnya wabah ataukah demam berkepanjangan. Masalahnya adalah Anda harus menghentikan usaha penyakit ini dalam membunuh separuh jumlah penduduk.”

Richard merasa bahwa mereka seharusnya tidak membuat gambaran yang terlalu gelap, dan bahwa bagaimanapun tak ada bukti penularan karena para kerabat pasien masih tetap tak terpengaruh.

“Tapi yang lain telah mati,” Rieux menegaskan. “Dan, tentu saja, penularan tak pernah bersifat absolut, karena jika begitu kita akan mengalami pertumbuhan ide yang tanpa akhir tentang cara menaklukkan penyakit, sekaligus kehilangan populasi secara besar-​besaran. Ini bukan soal gambar yang terlalu gelap, tapi soal bagaimana bersikap waspada.”

Meski begitu, Richard berpikir ia bisa menyimpulkan situasi sekarang dengan berkata bahwa seandainya ada cara untuk menghentikan penyebaran penyakit ini, dengan anggapan bahwa ia tidak berhenti atas kemauan sendiri, maka mereka harus menerapkan tindakan pencegahan serius yang dikuatkan oleh hukum, sehingga dengan demikian mereka akan secara resmi mengakui adanya serangan wabah, bahwa tak ada kepastian absolut tentang situasi itu, dan sebagai akibatnya mereka harus mempertimbangkan masalah ini lebih jauh.

“Pertanyaannya,” Rieux berkeras, “bukanlah bagaimana mengetahui apakah tindakan yang dikuatkan oleh hukum itu adalah tindakan yang serius, tapi apakah tindakan itu penting dalam mencegah terbunuhnya separuh jumlah penduduk kota. Masalah sisanya adalah soal administrasi, dan demi menyelesaikan masalah itulah negeri ini memberi kita seorang prefek.”

“Bisa dimengerti,” kata sang prefek. “Tapi saya membutuhkan pengakuan Anda secara resmi bahwa kita mengalami serangan wabah.”

“Jika kita tidak mengakuinya,” kata Rieux, “ia masih akan mengancam untuk membunuh separuh jumlah penduduk kota.”

Richard menginterupsi dengan gugup.

“Kenyataannya adalah bahwa kolega kita di sini memercayai adanya wabah itu. Deskripsinya tentang gejala wabah membuktikan hal itu.”

Rieux menjawab bahwa ia tidak mendeskripsikan sebuah gejala, namun ia mendeskripsikan apa yang ia lihat. Dan apa yang ia lihat adalah ganglia, perubahan warna kulit dan demam disertai racauan, dan itu terbukti membawa maut dalam empat puluh delapan jam. Apakah Richard telah bersiap untuk mengemban tanggung jawab karena menyatakan bahwa epidemi akan berhenti tanpa usaha pencegahan?

Richard bimbang dan menatap Rieux.

“Sejujurnya, katakanlah padaku apa yang Anda pikirkan: apakah Anda yakin bahwa ini adalah wabah?”

“Anda mengajukan pertanyaan yang salah. Ini bukan soal kosakata, melainkan masalah waktu.”

“Pendapat Anda, kalau begitu,” kata sang prefek, “adalah bahwa andai pula ini bukanlah wabah, maka tindakan pencegahan akan tetap layak dilakukan.”

“Jika saya harus beropini, maka itulah opini saya.”

Para dokter itu saling meminta pendapat dan akhirnya Richard berkata:

“Jadi kita harus mengemban tanggung jawab dengan bertindak seolah penyakit ini adalah sebuah wabah.”

Susunan kata-​kata itu disambut dengan tepuk tangan yang hangat.

“Itukah pula yang Anda pikirkan, kolegaku yang baik?” tanya Richard.

“Aku tidak meributkan susunan kata-​kata,” kata Rieux. “Mari kita bilang saja bahwa kita janganlah bertindak seolah separuh penduduk kota tidak terancam kematian, karena memang kenyataannya akan seperti itu.”

Di tengah kegelisahan bersama itu, Rieux melangkah pergi. Beberapa saat kemudian, di tepi kota yang berbau minyak goreng dan urine, seorang wanita menjerit sekarat, pangkal pahanya diliputi darah, dengan wajah terarah kepadanya.

 

Hari setelah konferensi itu, penularan penyakit sedikit berkembang. Bahkan beritanya dimuat di sejumlah surat kabar, namun sambil memberi kesan bahwa itu tak berbahaya, karena mereka hanya menyebutnya sambil lalu saja. Sehari kemudian, Rieux bisa membaca sejumlah poster kecil warna putih yang dengan cepat disebarkan prefektur di sejumlah sudut kota yang tak terlalu mencolok mata. Dari poster ini, tetaplah sukar disimpulkan bahwa pihak berwenang menghadapi kenyataan. Tindakan itu jauh dari sifat hukum yang tegas, dan tampak bahwa banyak hal telah dikorbankan untuk menghindari terganggunya opini publik. Bagian pengantar dekrit itu mengumumkan bahwa sejumlah kasus demam yang sangat berbahaya telah terdeteksi di tengah masyarakat kota Oran, meski belumlah dimungkinkan adanya kesimpulan apakah ini menular ataukah tidak. Kasus-​kasus ini tidak secara spesifik bersifat mengganggu dan sudah pasti bahwa penduduk kota akan tetap tenang. Meski demikian, karena alasan kewaspadaan sebagaimana bisa dipahami oleh semua orang, sang prefek mengambil beberapa tindakan pencegahan. Jika tindakan itu ditafsirkan dan diterapkan secara semestinya, maka tindakan itu akan secara pasti menghentikan ancaman wabah. Sebagai akibatnya, sang prefek tidak sedikit pun meragukan bahwa penduduk kota di bawah wewenangnya akan mendukung dengan cara yang sangat bersemangat atas apa yang sedang ia kerjakan.

Setelah itu, poster mengumumkan sejumlah langkah umum, di antaranya adalah program ilmiah pengendalian hama tikus dengan cara penyuntikan gas beracun ke dalam saluran limbah, dan pengawasan ketat dilakukan terhadap saluran air. Para penduduk dihimbau agar memperhatikan sanitasi secara saksama dan akhirnya siapa pun yang terjangkiti kutu agar mendatangi klinik pengobatan setempat. Sebagai tambahan, diwajibkan bagi setiap keluarga agar mengabarkan kasus penyakit apa pun sesuai diagnosa dokter, dan bersedia diisolasi di bangsal khusus yang ada di rumah sakit. Bangsal-​bangsal ini diperlengkapi dengan beragam fasilitas memadai untuk merawat pasien dalam waktu yang sesingkat-​singkatnya, dan dengan peluang kesembuhan paling besar. Beberapa syarat tambahan yaitu kewajiban untuk mengantihamakan ruangan pasien dan kendaraan yang dia bawa. Dan akhirnya, para kerabat pasien dihimbau agar menjalani tes kesehatan.

Dokter Rieux berpaling dari pengumuman itu dan beranjak menuju ruang bedahnya. Joseph Grand, yang sedang menunggunya, sekali lagi mengangkat lengan ketika melihatnya datang.

“Ya,” kata Rieux. “Saya tahu. Grafiknya naik.”

Sehari sebelumnya, sekitar sepuluh orang pasien didapati meninggal di kota itu. Dokter itu mengatakan pada Grand bahwa ia bisa menemuinya malam itu karena ia akan mengunjungi Cottard.

“Ide yang bagus,” kata Grand. “Anda akan membuatnya merasa baikan. Kukira ia sudah berubah sekarang.”

“Dalam hal apa?”

“Ia telah menjadi sopan.”

“Apa sebelumnya tidak?”

Grand ragu-​ragu. Ia tak bisa bilang bahwa Cottard tidaklah sopan, karena itu memang tidak benar. Ia adalah pria yang pendiam, tertutup, dan sedikit mirip babi liar. Kamarnya, restoran sederhana, beberapa acara keluar yang misterius … itulah seluruh hidup Cottard. Secara resmi, ia adalah seorang salesman, penjual wine dan minuman beralkohol lainnya. Kadang, ia akan mengunjungi dua atau tiga orang lelaki yang tiada lain pastilah pelanggan. Kadang di malam hari ia akan pergi nonton bioskop yang letaknya di seberang jalan. Pegawai itu bahkan mengetahui bahwa Cottard tampaknya lebih menyukai film-​film gangster. Bagaimanapun, salesman itu suka menyendiri dan mudah curiga.

Menurut Grand, semua ini telah berubah:

“Saya tak tahu bagaimana mengatakannya, tapi saya punya kesan, Anda tahu, bahwa ia sedang berusaha menjadi orang kanan, bahwa ia ingin semua orang mendukungnya. Ia sering mengobrol dengan saya, mengundang saya keluar bersamanya dan saya tak selalu bisa menolak. Bagaimanapun, ia memikat perhatian dan, bagaimanapun, saya telah menyelamatkan nyawanya.”

Sejak percobaan bunuh dirinya, Cottard tak lagi menerima kunjungan. Di jalanan, di toko-​toko, ia memancing simpati. Tak seorang pun pernah bicara selembut dia di hadapan pedagang kebutuhan pokok atau menunjukkan minat berlebih saat menyimak pembicaraan seorang pedagang tembakau.

“Pedagang tembakau itu,” Grand menambahkan, “ia benar-​benar ular betina. Saya juga bilang begitu pada Cottard, tapi dia bilang bahwa saya salah dan bahwa wanita itu punya keunggulan tertentu kalau Anda tahu cara memandangnya.”

Dua atau tiga kali Cottard juga pernah membawa Grand ke restoran mahal atau kafe di kota. Bahkan, ia sudah mulai mengunjungi tempat-​tempat itu secara rutin.

“Di sana asyik,” katanya. “Lalu, Anda akan bisa menemukan teman yang ramah.”

Grand telah mengetahui bahwa staf restoran itu sangat perhatian pada si salesman dan paham apa sebabnya ketika melihat bahwa ternyata Cottard memberikan tip yang besar untuknya. Ia tampak sangat menghargai perhatian yang ia terima sebagai balasannya. Suatu hari, ketika maître d’hôtel[4] melihatnya memasuki pintu dan membantunya mengenakan mantel bulu, Cottard berkata kepada Grand:

“Ia seorang pria yang baik, ia akan membuktikannya.”

“Membuktikan tentang apa?”

Cottard ragu.

“Hm, bahwa aku bukan orang brengsek.”

Terlepas dari itu, suasana hatinya mudah berubah-​ubah. Suatu hari ketika pedagang kebutuhan pokok tampak kurang ramah, ia pulang ke rumah dalam keadaan cukup marah.

“Dia berpaling pada yang lain, kodok itu,” katanya berulang kali.

“Yang lain itu siapa?”

“Pokoknya semua.”

Grand bahkan menyaksikan satu pemandangan ganjil di kios pedagang tembakau. Di tengah hangatnya percakapan, wanita itu bicara tentang peristiwa penangkapan yang terjadi di Algiers, yang menimbulkan kegemparan. Itu melibatkan seorang teman muda salah seorang pelayannya, yang kemudian membunuh seorang Arab di sebuah pantai.

“Jika mereka menjebloskan semua orang tak berguna ke penjara,” kata pedagang tembakau, “orang-​orang terhormat bisa tidur pulas.”

Tapi wanita itu terdiam ketika dilihatnya Cottard mendadak jadi sangat kesal dan melesat keluar dari dalam kios tanpa mengucapkan permisi. Grand dan wanita itu menatap dengan kedua lengan terkulai lesu, melihat Cottard lenyap.

Setelah itu Grand akan menunjukkan kepada Rieux perubahan lain dalam kepribadian Cottard. Cottard selalu memegang opini yang sangat liberal, dan ungkapan favoritnya ‘ikan besar selalu makan ikan kecil’ membuktikan hal itu. Tapi belakangan ia hanyalah membeli surat kabar paling konservatif di Oran, dan orang tak bisa menjauhkan diri dari kesan bahwa ia sengaja membacanya di tempat umum. Sebagaimana pula, beberapa hari kemudian setelah bangun tidur, ia meminta Grand, yang sedang menuju kantor pos, agar berbaik hati mengirimkan wesel sejumlah seratus franc yang biasa ia kirimkan setiap bulan pada seorang adik perempuan yang tinggal jauh entah di mana. Tapi ketika Grand sudah hendak berangkat, Cottard berkata:

“Kirimkan untuknya dua ratus franc. Itu akan menjadi kejutan menyenangkan baginya. Ia membayangkan bahwa aku tak pernah memikirkannya, padahal sebenarnya aku sangat sayang dia.”

Akhirnya ia terlibat percakapan aneh dengan Grand. Cottard sangatlah penasaran memikirkan kerja, apa pun itu, yang dilakukan oleh Grand setiap malam, dan ia meminta Grand menjawab pertanyaannya soal itu.

“Jadi,” kata Cottard. “Anda sedang menulis sebuah buku?”

“Bisa dibilang, tapi urusannya lebih rumit dari itu.”

“Oh!” seru Cottard. “Andai saja aku bisa melakukan apa yang Anda lakukan.”

Grand terlihat kaget dan Cottard terbata-​bata mengatakan bahwa seorang seniman pastilah memandang berbagai hal dengan jauh lebih mudah.

“Kenapa?” tanya Grand.

“Memang, karena seorang seniman punya lebih banyak hak dibanding kebanyakan orang, semua orang tahu itu. Dia bisa melarikan diri dari berbagai konsekuensi.”

“Ayolah,” Rieux berkata pada Grand pada hari penemuan poster-​poster itu. “Urusan tikus-​tikus ini telah memasuki kepalanya, sebagaimana dialami banyak orang lain, begitulah. Atau jika tidak, ia takut ketularan.”

Grand menyahut:

“Kupikir tidak begitu, dokter, dan jika Anda menginginkan pendapatku … ”

Lori pengendali hama tikus melintas di bawah jendela dengan suara nyaring dari gas sisa pembakaran. Rieux tidak menyahut sampai ia mendapatkan harapan dirinya didengar dan secara sambil lalu meminta pendapat pegawai itu. Grand menatapnya secara serius.

“Ia adalah seorang pria,” katanya, “yang mempunyai nurani.”

Sang dokter mengangkat bahu. Sebagaimana komisaris polisi, ia punya ikan lagi untuk digoreng.

Di siang itu juga Rieux berjumpa dengan Castel. Serum itu belum tiba.

“Soal itu,” kata Rieux, “apakah akan ada gunanya? Bakteri ini sangatlah aneh.”

“Oh, tidak,” kata Castel. “Aku tidak sepakat. Binatang kecil itu selalu terlihat beda satu sama lain, padahal di bawah permukaan mereka sama.”

“Jadi Anda pikir begitu? Pada kenyataannya, kami tak tahu apa pun soal itu.”

“Tentu saja tidak, kukira. Tapi semua orang sama saja.”

Sepanjang hari, dokter itu merasakan dalam dirinya sedikit pusing yang ia dapatkan saat berpikir tentang wabah. Akhirnya ia mengakui bahwa ia takut. Dua kali ia memasuki kafe yang ramai: seperti Cottard, ia merasa butuh kehangatan manusia. Rieux berpikir betapa konyol dirinya, namun pikiran ini membantunya ingat bahwa ia telah berjanji untuk mengunjungi si salesman.

Petang itu sang dokter mendapati Cottard berdiri di depan meja makannya. Ketika Rieux datang, di hadapannya ada sebuah novel detektif, tapi hari sudah terlalu sore sehingga sulit membaca buku di ruangan yang sudah remang. Namun, semenit sebelumnya, Cottard pastilah sedang bermeditasi di ruangan temaram itu. Rieux bertanya apa kabarnya. Cottard duduk dan menggeram bahwa ia baik-​baik saja, tapi akan lebih baik jika ia bisa pastikan bahwa tak ada yang merecokinya. Rieux menandaskan bahwa orang tak bisa terus-​menerus sendirian.

“Oh, bukan begitu. Saya sedang bicara tentang orang yang berminat untuk menjerat Anda dalam masalah.”

Rieux tak berkata apa pun.

“Awas, ini bukan situasiku, tapi saya sedang membaca novel ini. Di sini, seorang lelaki yang malang tiba-​tiba diringkus pada suatu pagi. Orang membicarakan kejadian itu, namun ia tak tahu apa pun. Mereka sedang bicara tentang dirinya di kantor-​kantor, menuliskan namanya di atas daftar kartu. Apakah menurut Anda itu adil? Apakah Anda pikir ada yang berhak melakukan hal itu pada seorang manusia?”

“Itu tergantung,” kata Rieux. “Tentu saja, di satu sisi, orang tak pernah punya hak. Tapi semua itu kebetulan. Anda tak bisa tetap berada di sangkar terus-​terusan. Anda harus keluar.”

Cottard terlihat jadi marah karenanya, berkata bahwa ia selalu keluar, dan, jika perlu, ia bisa membuat seluruh tetangganya bersaksi. Bahkan di luar daerah, ia punya banyak kenalan.

“Anda tahu Monsieur Rigaud, arsitek itu? Dia teman saya.”

Ruangan itu menjadi gelap. Jalanan tepi kota itu mulai diisi oleh orang-​orang, dan helaan napas lega terdengar di luar saat mereka melihat menyalanya lampu-​lampu jalan. Rieux berjalan keluar menuju balkon dan Cottard mengikuti. Dari setiap bagian kota, sebagaimana setiap malam, embusan angin ringan membawa gumam suara-​suara, aroma daging tumbuk; dan aroma wangi kebebasan yang berdengung sedikit demi sedikit mengisi jalanan seiring mengalirnya arus anak muda dengan suara mereka yang berisik. Raungan perahu-​perahu yang tak kentara dan debur pelan yang bangkit dari laut dan keramaian malam, momen inilah yang dikenal baik dan disayangi oleh Rieux, namun kini terdengar menekan baginya karena semua yang ia tahu.

“Bisakah kita nyalakan lampunya?” ia bertanya pada Cottard.

Ketika cahaya telah kembali ke ruangan itu, lelaki kecil itu menatapnya melalui sepasang mata yang berkedip-​kedip.

“Katakan padaku, dokter, jika saya jatuh sakit apakah Anda akan membawaku ke rumah sakit?”

“Kenapa tidak?”

Pada titik ini, Cottard bertanya apakah pernah ada orang ditangkap ketika sedang berada di klinik atau rumah sakit. Rieux berkata bahwa itu pernah, namun tergantung kondisi pasien.

“Saya percaya pada Anda,” kata Cottard.

Lalu ia bertanya pada dokter itu apakah ia mau berbaik hati membawanya ke kota naik mobil.

Di pusat kota, keramaian jalan sudah mulai berkurang dan lampu-​lampu lebih jarang. Anak-​anak sedang bermain di halaman. Ketika Cottard bertanya padanya, dokter itu menghentikan mobil di muka sekelompok anak yang sedang bermain engklek dan berteriak-​teriak. Tapi salah satu dari mereka, dengan rambut hitam yang tampak berminyak, dibelah tengah dan wajahnya kotor, menatap Rieux dengan sepasang mata mengintimidasi. Sang dokter memalingkan pandang. Cottard, yang berdiri di atas paving, menjabat tangannya; suaranya serak dan ia berkesulitan dalam menyusun kata-​kata. Dua atau tiga kali ia menatap ke belakangnya.

“Orang sedang bicara tentang wabah. Benarkah itu, dokter?”

“Orang-​orang selalu bicara, itu normal,” kata Rieux.

“Anda benar. Dan ketika selusin orang mati, mereka akan bilang inilah akhir dunia. Itulah yang tidak kita inginkan.”

Mesin mobil sudah mulai meretih. Tangan Rieux ada di atas persneling. Tapi ia sekali lagi menatap si anak yang masih memandanginya dengan sorot serius tak tergoyahkan. Lalu mendadak, tanpa peralihan ekspresi, senyum anak itu pecah merekah.

“Jadi apa yang kita butuhkan?” tanya sang dokter, membalas senyum si bocah.

Cottard tiba-​tiba memegang pintu dan, sebelum berlari pergi, berteriak dengan suara penuh tangisan dan kemarahan:

“Bumi bergetar! Ada gempa!”

Tak ada gempa dan, bagi Rieux, hari berikutnya berlalu hanya dengan melakukan perjalanan panjang menuju empat sudut kota, diskusi bersama keluarga pasien, dan bicara dengan para pasien itu sendiri. Belum pernah ia temukan pekerjaan yang begitu berat untuk ditanggungkan. Sampai saat itu, orang sakit masih bisa ia periksa dengan mudah, mereka datang sendiri di tempat tertentu untuk menemuinya. Kini, untuk pertama kali, sang dokter merasa bahwa mereka menjadi tertutup, tenggelam di tengah dalamnya kesakitan bersama sejenis keheranan campur kecurigaan. Ini adalah pertarungan yang belum biasa ia hadapi. Sekitar jam sepuluh, menghentikan mobilnya di depan rumah si tua pengidap asma yang selalu terakhir ia kunjungi, Rieux mendapati dirinya berat untuk bangkit dari tempat duduk. Ia tetap di situ, menatap kegelapan jalan dan bintang-​bintang yang muncul dan hilang di langit hitam.

Pasien tua itu sedang duduk di ranjang. Ia terlihat bernapas lebih mudah dan sedang menghitung kacang polong sambil memindahkannya dari satu panci ke panci lain. Ia menyambut sang dokter dengan riang.

“Jadi, dokter, apakah ini kolera?”

“Dari mana Anda dapat ide itu?’

“Ada di koran. Radio juga bilang begitu.”

“Tidak, ini bukan kolera.”

“Bagaimanapun,” kata si tua, dengan kegembiraan meluap, “mereka melebih-​lebihkan, bukan begitu, orang-​orang arogan itu?”

“Jangan dipercaya,” kata sang dokter.

Ia telah memeriksa si lelaki tua dan kini duduk di tengah ruang yang terlihat nelangsa itu. Ya, ia khawatir. Ia tahu bahwa di bagian kota ini pula selusin pasien akan menunggunya esok hari, membungkuk karena benjolan limpa mereka. Hanya dua atau tiga kasus pembedahan bisul yang ia lakukan membawa hasil. Tapi sebagian besar di antaranya harus menginap di rumah sakit, dan ia tahu apa artinya rumah sakit bagi orang miskin. “Saya tak ingin ia digunakan untuk eksperimen mereka,” kata istri si sakit kepadanya. Ia tidak akan digunakan untuk eksperimen mereka, ia akan mati dan selesai sudah. Langkah yang diambil belumlah sesuai standar, itu sangat jelas. Tentang ‘bangsal yang diperlengkapi beragam fasilitas memadai’, ia tahu seperti apa itu: dua bangunan semi permanen yang dengan cepat mengusir pasien lain, jendela-​jendelanya disegel dan seluruhnya dilindungi dengan pita sanitasi. Jika epidemi tidak berhenti atas kemauan sendiri, ia akan dikalahkan oleh tindakan yang diambil pemerintah setempat yang memang selama ini diimpikan.

Namun malam itu laporan resmi pemerintah masih bersikap optimistik. Keesokan hari, agen Infodoc mengumumkan bahwa tindakan yang diambil oleh prefektur diterima tanpa reaksi berlebih dan telah ada tiga puluh pasien yang melaporkan diri. Castel menelepon Rieux.

“Berapa banyak ranjang ada di bangsal luar?”

“Delapan puluh.”

“Di kota ini pasti ada lebih dari tiga puluh pasien, bukan?”

“Ada beberapa yang takut dan yang lain, sebagian besarnya, bahkan tidak punya waktu untuk merasa takut.”

“Apakah kompleks pemakaman sudah dicek?”

“Belum. Saya menelepon Richard untuk bilang bahwa kita membutuhkan langkah komprehensif, bukan kata-​kata manis, jadi kita harus memasang penangkal epidemi, jika tidak maka percuma.”

“Lalu?”

“Ia bilang dia tidak punya kuasa. Menurut pendapat saya, ini akan makin parah.”

Tentu saja, dalam tiga hari saja bangsal semi permanen itu sudah penuh. Richard berpikir bahwa mereka bisa mengalihgunakan bangunan sekolah dan membangun rumah sakit pembantu. Rieux menunggu kedatangan vaksin dan ia melakukan pembedahan benjolan limpa. Castel kembali ke buku-​buku tuanya dan menghabiskan banyak waktu di perpustakaan.

“Tikus-​tikus mati karena wabah atau sesuatu semacam itu,” ia menyimpulkan. “Itu menyebabkan beredarnya puluhan ribu lalat dan dari merekalah penyakit menular, sampai pada taraf di mana kita tak bisa mengendalikannya lagi.”

Rieux tetap diam.

Sekitar masa ini cuaca kelihatan tetap. Matahari mengisap kubangan dari hujan yang terakhir turun. Langit biru cerah merekahkan cahaya kuning, gumam pesawat terbang dalam panas yang bertambah … ini adalah waktu di mana segala hal mengundang ketenangan. Meski begitu, dalam empat hari penularan penyakit menunjukkan pelonjakan: enam belas meninggal, lalu dua puluh empat, dua puluh delapan, tiga puluh dua. Di hari keempat mereka mengumumkan pembukaan rumah sakit pembantu di sebuah sekolah usia dini. Penduduk kota, yang sampai titik ini terus menyembunyikan kecemasan di balik candaan, tampak lebih tertekan dan tidak banyak bicara saat berada di jalan.

Rieux memutuskan untuk menelepon prefek.

“Apa yang kita lakukan tidaklah cukup.”

“Saya mendapati grafik,” kata sang prefek, “benar-​benar meresahkan.”

“Lebih dari sekadar meresahkan. Bahaya sudah bisa dipastikan.”

“Saya akan meminta instruksi dari pemerintah pusat.”

Rieux menjauhkan gagang telepon di hadapan Castel.

“Instruksi? Apa yang dibutuhkan adalah imajinasi.”

“Dan serum?’

“Ini akan tiba kurang dari seminggu lagi.”

Melalui Richard, prefektur meminta laporan Rieux yang bisa dikirimkan ke ibukota koloni itu sambil meminta instruksi. Rieux mencantumkan satu deskripsi klinis dan grafik-​grafik. Di hari yang sama, mereka menghitung ada empat puluh kematian. Sang prefek memutuskan, sebagaimana ia katakan, untuk mengambil langkah tegas mulai besok pagi. Tetaplah wajib bagi mereka untuk menyatakan penyakit apakah itu dan mengisolasi pasien. Rumah-​rumah orang sakit ditutup dan diantihamakan, kerabat mereka dikarantina dan pemakaman diorganisir pihak berwenang dalam kondisi yang akan diuraikan pada saatnya nanti. Sehari kemudian serum itu tiba melalui pesawat. Ada cukup banyak kasus yang sudah ditangani, tapi jika epidemi menyebar jumlah itu jadi terlihat kecil. Membalas telegram Rieux, ia menyebut dirinya diberi tahu bahwa pasokan darurat jumlahnya terbatas dan mereka harus mulai memproduksi stok baru.

Sementara itu, dari semua distrik sekitar, musim semi tiba membanjiri pasar. Ribuan mawar layu dalam keranjang penjual bunga tepi jalan, dan aroma mereka yang manis mengembang ke seluruh kota. Secara permukaan, tak ada yang berubah. Trem-​trem selalu penuh saat jam keberangkatan dan kepulangan, selebihnya kotor dan kosong. Tarrou mengamati si pria tua mungil, dan ia meludahi kucing-​kucing. Grand pulang ke rumah setiap malam untuk mengerjakan karyanya yang misterius. Cottard berkeliling dan M. Othon, sang hakim pengawas, masih memamerkan koleksi medalinya. Si lelaki tua pengidap asma memindahkan kacang polongnya dari satu panci ke panci lain, dan siapa pun bisa secara kebetulan berjumpa Rambert sang wartawan, terlihat tenang dan menyimak penuh perhatian. Di malam-​malam, keramaian orang masih tetap memadati jalanan dan antrean memanjang di luar bioskop. Epidemi itu seperti menurun dan selama beberapa hari mereka menghitung hanya ada sepuluh kematian. Lalu, tiba-​tiba, angka melonjak. Pada hari ketika angka kematian mencapai tiga puluh, Bernard Rieux menatap telegram resmi yang diulurkan prefek kepadanya, sambil berkata, “Ini gawat.” Di situ terbaca; ‘NYATAKAN BAHWA ADA WABAH, TUTUPLAH KOTA.’


[1] Prefektur adalah kota utama di sebuah departemen di Prancis. Waktu kisah ini terjadi, Algeria adalah bagian administratif negara Prancis.

[2] Prefek: Wakil pemerintah di satu wilayah, bertugas mempertahankan hukum, termasuk mengendalikan tindakan otoritas lokal agar sesuai dengan aturan dari pusat.

[3] Departemen: Pembagian wilayah administratif Prancis, setara dengan kabupaten di Indonesia. Sejumlah 102 departemen Prancis dikelompokkan ke dalam 18 region (setara dengan provinsi).

[4] maître d’hôtel: Karyawan restoran yang bertugas menyambut tamu, memberi mereka tempat duduk, melayani reservasi, dan memastikan bahwa para tamu puas.