Sang Penjudi Bab 1

Bab 1

Akhirnya aku kembali setelah pergi selama dua minggu. Rombonganku sudah berada di Roulettenburg[1] selama tiga hari. Kupikir mereka akan gegap-gempita menyambut kedatanganku, namun ternyata dugaanku keliru. Jenderal hanya memandangku dengan tatapan masa bodoh, menyapaku dengan angkuh, dan langsung menyuruhku menemui saudarinya. Kentara betul kalau mereka telah memperoleh pinjaman entah dari mana. Bahkan aku merasa Jenderal agak segan menatapku. Marya Filippovna tampak sedang sangat sibuk dan hanya melontarkan basa-basi seperlunya, meski begitu dia toh tetap menerima uang yang kusodorkan, menghitungnya sebentar, lalu mendengarkan seluruh laporanku. Mezentsov, terus orang Prancis kate itu, dan seorang tamu dari Inggris atau entah dari mana, akan datang untuk makan malam nanti. Seperti biasanya, begitu pegang uang pasti langsung diadakan jamuan makan malam, ala Moskow. Begitu melihatku, Polina Alexandrovna langsung menanyakan kenapa aku pergi lama sekali, tapi dia pun buru-buru berlalu tanpa menunggu jawabanku. Jelas dia sengaja melakukannya. Kami toh harus bercakap-cakap. Banyak hal yang telah terjadi.

Aku diberi satu kamar sempit di lantai empat hotel ini. Di sini aku dikenal sebagai rombongan Jenderal. Aku bisa lihat sendiri kalau rombongan kami sudah cukup tenar di sini. Semua orang di sini menganggap Jenderal sebagai seorang bangsawan Rusia yang kaya raya. Sebelum makan malam dia menyuruhku, di sela-sela kesibukan lain, untuk menukar lembaran dua ribu franc menjadi pecahan. Aku menukarnya di kantor hotel. Mungkin karena itulah sekarang mereka memandang kami sebagai jutawan, paling tidak untuk seminggu ini. Aku bermaksud mengajak Misha dan Nadya jalan-jalan, tetapi sewaktu menuruni tangga aku dipanggil menghadap Jenderal karena dia ingin mengetahui ke mana aku hendak membawa kedua anaknya berjalan-jalan. Lelaki itu jelas-jelas merasa sungkan menatap mataku langsung meski dia ingin betul, namun setiap kali dia menatapku, aku balik memelototinya dengan garang—dan itu jelas kurang sopan—sehingga dia jadi gelisah. Dengan gaya yang muluk-muluk, mencampuradukkan kalimat demi kalimat sehingga akhirnya malah berbelit-belit dan membingungkan, dia menyampaikan dengan tegas kalau aku harus membawa anak-anak berjalan-jalan di suatu taman yang jauh dari vokzal.[2] Kemudian tiba-tiba dia menjadi geram dan melanjutkan: “Jangan sekali-kali mengajak mereka ke vokzal, apalagi ke ruang permainan rolet. Maaf jika aku berterus terang begini,” lanjutnya, “tapi aku tahu kau masih suka bertindak sembrono dan mungkin jago bermain judi. Meski aku bukanlah penasihatmu dan tak berharap juga mengambil peran itu, setidaknya aku tetap memiliki hak untuk memintamu agar tidak menodai nama baikku, semacam itulah … ”

“Tapi aku bahkan tak punya uang sepeser pun,” kataku kalem. “Mana mungkin kehilangan uang kalau punya pun tidak.”

“Kau akan mendapatkannya segera,” jawab Jenderal dengan agak tersipu. Kemudian dia mengaduk-aduk laci mejanya, memeriksa buku kas, dan ternyata dirinya masih berutang padaku sekitar seratus dua puluh rubel.

“Bagaimana cara menghitungnya?” tanyanya. “Karena harus diubah menjadi thaler. Begini saja, aku genapkan jadi seratus thaler, ambillah—sedangkan sisanya tetap akan tercatat, tenang saja.”

Aku terima uang itu tanpa berkata-kata.

“Tolong jangan tersinggung dengan kata-kataku, aku tahu kau sangat perasa … Anggap saja yang kukatakan ini hanyalah sebagai wejangan, dan toh dalam batas-batas tertentu aku berhak melakukannya … ”

Dalam perjalanan pulang bersama anak-anak sebelum makan malam, aku berpapasan dengan rombongan kami. Mereka pergi untuk melihat-lihat reruntuhan bangunan kuno. Dua kereta mentereng dan kuda-kuda yang gagah! Mlle Blanche satu kereta dengan Marya Filippovna dan Polina, sedangkan si Prancis kate, si orang Inggris, dan Jenderal menunggang kuda. Orang-orang di jalan berhenti dan memandang terkagum-kagum karena iring-iringan itu memang mengesankan, namun keterpukauan itu sama sekali tak ada artinya bagi Jenderal. Aku menghitung bahwa dengan empat ribu franc yang aku dapatkan ditambah berapapun jumlah yang berhasil mereka pinjam di sini, sudah terkumpul setidaknya tujuh atau delapan ribu franc. Namun jumlah itu tak ada apa-apanya bagi Mlle Blanche.

Mlle Blanche bersama ibunya juga menginap di hotel yang sama dengan kami, begitu juga si Prancis kate itu. Para pelayan hotel memanggilnya ‘Monsieur le comte,’ sedangkan ibu Mlle Blance dipanggil ‘Madame la comtesse.’ Yah, barangkali keduanya sungguh-sungguh seorang comte dan comtesse.[3]

Aku baru sadar Monsieur le comte akan mengabaikan diriku ketika kami berkumpul makan malam. Jelas Jenderal bahkan tak berpikir untuk memperkenalkan kami atau memperkenalkan diriku kepadanya, dan Monsieur le comte sendiri pernah berkunjung ke Rusia dan tahu betul betapa rendahnya kedudukan seorang outchitel[4]—begitulah mereka menyebutnya—di Rusia sana. Bagaimanapun juga, dia sudah kenal denganku. Namun harus kuakui, aku merasa sebagai tamu tak diundang pada makan malam ini; sepertinya Jenderal lupa memberi perintah, kalau tidak dia pasti akan menyuruhku makan di table d’hôte.[5] Aku datang atas inisiatif sendiri sehingga Jenderal menatapku dengan pandangan tidak senang. Marya Filippovna yang baik hati segera menyediakan tempat duduk untukku; tetapi pertemuanku dengan Tn. Astley membantuku, dan suka tak suka aku akhirnya menjadi bagian dari jamuan makan malam itu.

Aku pertama kali bertemu orang Inggris aneh ini di Prusia, tepatnya di dalam gerbong kereta ketika aku sedang menyusul rombongan kami, dia duduk di depanku; kemudian kami kembali bertemu saat memasuki Prancis, dan akhirnya di Swiss; dua kali bertemu dalam rentang dua minggu ini—dan sekarang secara tak terduga aku bertemu dengannya di Roulettenburg. Belum pernah dalam hidupku aku bertemu seseorang yang lebih pemalu darinya; saking pemalunya dia sampai tampak seperti orang dungu, dan tentu saja dia menyadari hal itu karena dia sama sekali tidak bodoh. Namun dia sangat baik dan sopan. Aku berhasil membuatnya bicara pada pertemuan pertama kami di Prusia. Dia memberi tahu bahwa pada musim panas itu dia berada di Nordkap, dan bahwa dia sangat ingin mengunjungi pekan raya Nizhny Novgorod. Entah bagaimana caranya dia bisa kenal Jenderal, tetapi aku yakin dia jatuh cinta setengah mati pada Polina. Saat gadis itu masuk, wajah Tn. Astley langsung merona. Dia sangat senang bisa duduk di sebelahku, dan sepertinya dia menganggapku sebagai sahabatnya.

Sewaktu makan, si Prancis kate itu bukan main lagaknya, bersikap seenak jidatnya sendiri dan sombong kepada semua orang. Aku ingat sewaktu di Moskow dia sering membual sampai mulutnya berbusa-busa. Dia terus mengoceh tentang keuangan dan kondisi politik Rusia. Jenderal kadang berani menyanggahnya—tetapi dengan amat sopan, asalkan tidak merugikan kepentingannya sendiri.

Suasana hatiku sendiri sedang kacau. Dan tentu saja sebelum makan malam usai, tercetuslah satu pertanyaan yang selama ini terus kutanyakan pada diri sendiri: “Mengapa aku terus dekat-dekat dengan Jenderal dan tidak meninggalkannya sedari dulu?” Sesekali aku melirik ke arah Polina Alexandrovna; dia sama sekali tidak menggubrisku. Ujung-ujungnya aku jadi jengkel dan memutuskan untuk bersikap kurang ajar.

Kekurangajaranku dimulai dengan tiba-tiba menyela obrolan mereka, tanpa alasan yang jelas, dengan suara lantang dan tanpa diminta lebih dulu. Aku sedang ingin bertengkar terutama dengan si Prancis kate itu. Aku menoleh ke arah Jenderal dan tiba-tiba, dengan suara lantang dan cukup jelas, menyela omongannya dengan menyatakan bahwa mustahil bagi orang Rusia untuk makan di table d’hôte hotel ini pada musim panas. Jenderal menatapku dengan terheran-heran.

“Apabila Tuan seorang yang punya harga diri,” lanjutku, “Tuan pasti akan menjadi sasaran pelecehan dan harus tabah menghadapi penghinaan serendah itu. Di Paris, di Rhine, atau bahkan di Swiss, ada begitu banyak orang Polandia bangsat dan orang Prancis pendukung mereka yang makan di table d’hôte sehingga apabila kebetulan ada orang Rusia di sana, mustahil dia bisa buka mulut untuk membantah mereka.”

Aku mengatakannya dalam bahasa Prancis. Jenderal menatapku dengan bingung, tak tahu apakah harus marah atau hanya melongo saja menanggapi kelancanganku.

“Jadi seseorang di luar sana telah memberimu pelajaran,” tukas si Prancis kate itu dengan ketus dan menghina.

“Di Paris, awalnya aku bertengkar dengan seorang Polandia,” jawabku, “lalu dengan seorang perwira Prancis yang mendukungnya. Namun kemudian beberapa orang Prancis di sana memihakku setelah aku memberi tahu mereka tentang niatku untuk meludahi kopi monsinyur.”

“Meludahi?” tanya Jenderal dengan kebingungan dibuat-buat, bahkan dia sampai melihat kepada semua orang untuk minta dukungan. Si Prancis kate itu memandangku curiga.

“Memang begitulah, Tuan,” jawabku. “Setelah dua hari penuh dibujuk bahwa aku harus pergi sebentar ke Roma untuk menangani urusan kita, maka pergilah aku ke kantor kedutaan Kepausan untuk mendapatkan visa jalan. Di sana aku bertemu seorang biarawan kecil berusia lima puluh tahunan, tampangnya kaku dan datar, yang setelah mendengar penuturanku dengan sangat sopan tetapi tampaknya tidak peduli, memintaku untuk menunggu. Meski sedang terburu-buru, aku pun duduk menunggu, mau bagaimana lagi memangnya, dan mengambil L’Opinion nationale,[6] dan mulai membaca sejumlah kecaman melecehkan terhadap Rusia. Selagi membaca itulah aku mendengar seseorang berjalan lewat dari ruangan sebelah untuk menemui Monsinyur; dan aku melihat si biarawan membungkuk hormat kepada orang itu. Aku mengulangi permohonanku, tapi dia menanggapinya dengan lebih dingin lagi dan memintaku untuk menunggu. Beberapa saat kemudian datang seorang lagi—sepertinya orang Austria—untuk kepentingan bisnis. Permintaannya didengarkan dengan sungguh-sungguh dan langsung diantar ke atas. Melihat itu aku jadi sangat jengkel. Aku berdiri, menghampiri biarawan itu, lalu mengatakan dengan tegas bahwa karena sekarang Monsinyur sudah bisa menerima tamu, maka seharusnya dia juga sudah bisa menerimaku. Biarawan itu sontak terlonjak kaget. Dia benar-benar tak bisa memahami bagaimana seorang warga Rusia biasa berani-beraninya menempatkan dirinya pada level yang setara dengan tamu-tamu Monsinyur. Dengan sikap kurang ajar, seolah senang karena bisa menghinaku, dia melihatku dari kepala sampai kaki lalu membentak: “Kau pikir Monsinyur akan bersedia menaruh kopinya hanya untuk menemuimu?” Aku balas membentaknya, bahkan lebih keras lagi: “Asal kau tahu, aku akan meludahi kopi Monsinyur! Jika kau tidak segera menyelesaikan pasporku, aku akan menemuinya sendiri.”

“Apa! Saat ini kardinal sedang duduk bersama beliau!” pekik biarawan itu sembari mundur ketakutan, bergegas menuju pintu dan merentangkan tangannya lebar-lebar, menunjukkan bahwa dia rela mati ketimbang membiarkanku masuk.

“Kemudian aku menyatakan bahwa aku seorang barbar penganut aliran sesat, ‘que je suis hérétique et barbare,’ sehingga gelar uskup agung, kardinal, monsinyur, dan sebagainya itu tak ada artinya bagiku. Singkatnya, aku menunjukkan kepadanya bahwa aku tidak akan pergi sebelum urusanku selesai. Biarawan itu memandangku dengan dongkol, lalu menyambar pasporku dan membawanya ke atas. Semenit kemudian aku mendapatkan visa. Ini, apa Tuan ingin melihatnya?” aku mengeluarkan pasporku dan menunjukkan visa Roma.

“Meski begitu … ” kata Jenderal.

“Kau selamat karena menyebut dirimu seorang barbar penganut aliran sesat,” ujar si Prancis kate itu sambil tersenyum menyeringai. “Cela n’était pas si bête.”[7]

“Apa aku harus berlaku layaknya orang Rusia kebanyakan? Mereka hanya akan duduk mengkeret, bahkan sekadar menciap-ciap pun tak berani, dan barangkali bersedia menyangkal bahwa mereka adalah orang Rusia. Paling tidak orang-orang di hotelku di Paris mulai menghargaiku setelah aku menceritakan tentang pertengkaranku dengan biarawan itu. Si pan[8] Polandia gemuk itu, yang paling memusuhiku di table d’hôte, tersisih ke belakang. Orang-orang Prancis itu bahkan muak ketika aku menceritakan bahwa sekitar dua tahun lalu aku bertemu seorang pria yang pada tahun 1812 ditembak oleh seorang chasseur[9] Prancis—semata-mata karena si tentara ingin menembakkan senapannya. Pria itu baru berusia sepuluh tahun, masih seorang bocah pada waktu kejadian, dan keluarganya belum berhasil pergi dari Moskow.”

“Mustahil,” amarah si Prancis kate itu mulai mendidih, “seorang tentara Prancis tak akan menembak seorang bocah!”

“Tapi itulah yang terjadi,” jawabku. “Seorang pensiunan kapten terhormat yang menceritakannya padaku, dan aku melihat sendiri bekas luka peluru di pipinya.”

Si Prancis mulai berbicara berbusa-busa untuk membantah. Jenderal berusaha mendukungnya, tetapi aku menyarankan agar dia membaca, misalnya, petikan-petikan dari Catatan-Catatan karya Jenderal Perovsky,[10] yang ditawan Prancis tahun 1812. Akhirnya Marya Filippovna mulai menyampaikan sesuatu untuk mengalihkan topik obrolan. Jenderal sangat gusar kepadaku karena si Prancis dan aku hampir saja mulai adu mulut. Namun Tn. Astley tampaknya senang menyimak perdebatanku dengan si Prancis itu. Sembari bangkit dari kursi, dia mengundangku minum wine bersamanya. Pada malamnya aku berhasil bercakap-cakap dengan Polina Alexandrovna selama lima belas menit. Perbincangan kami berlangsung pada waktu berjalan-jalan. Kami semua pergi ke taman dekat vokzal. Polina duduk di sebuah bangku di depan air mancur dan menyuruh Nadenka bermain bersama anak-anak lain tak jauh dari sana. Aku juga membiarkan Misha bermain di dekat air mancur, dan kami akhirnya tinggal berdua saja.

Pada awalnya, tentu saja, kami membicarakan soal bisnis. Polina benar-benar kesal ketika aku hanya memberinya tujuh ratus gulden. Dia awalnya yakin aku bakal pulang dari Paris membawa sekurang-kurangnya dua ribu gulden setelah menggadaikan berliannya.

“Aku butuh uang,” ujarnya, “dan harus mendapatkannya, apa pun caranya, kalau tidak, bisa celaka.”

Aku bertanya tentang apa saja yang terjadi selama kepergianku.

“Tak ada yang penting, kecuali kami menerima dua kabar dari Petersburg, pertama Nenek sakit keras, dan dua hari kemudian sepertinya dia wafat. Kabar itu dari Timofei Petrovich,” tambah Polina, “dan dia orang yang bisa diandalkan. Tapi kami masih menunggu kabar terakhir yang lebih pasti.”

“Jadi semua orang di sini masih menanti kepastian?” tanyaku.

“Tentu saja semua orang, selama enam bulan ini hanya kabar itulah yang ditunggu-tunggu.”

“Termasuk dirimu?” tanyaku.

“Meski aku tak punya hubungan kekerabatan dengan Nenek, mengingat aku hanyalah putri tiri Jenderal, tapi aku yakin Nenek akan mengingatku dalam surat wasiatnya.”

“Menurut dugaanku kau akan dapat banyak,” kataku sungguh-sungguh.

“Ya, dia memang menyayangiku, tapi kenapa kau menduga begitu?”

“Katakan padaku,” aku menjawab dengan balik bertanya, “apakah si Marquis kira-kira juga mengetahui seluruh rahasia keluarga ini?”

“Kenapa kau ingin tahu?” tanya Polina sembari menatapku tajam dan dingin.

“Memangnya kenapa? Jika tebakanku tidak keliru, Jenderal telah meminjam uang darinya.”

“Tebakanmu benar.”

“Nah kalau begitu, apakah Marquis mau meminjamkan uang apabila dia tak mengetahui kondisi kesehatan Nenek? Jika kau perhatikan, sewaktu membicarakan Nenek saat makan malam tadi, tiga kali atau lebih dia memanggilnya ‘Nenek’—‘la baboulinka.’ Sungguh sebutan yang akrab sekali!”

“Ya, kau benar. Segera setelah mengetahui kalau aku juga akan mendapat warisan, dia akan langsung melamarku. Itukah yang ingin kau ketahui?”

“Loh, lamarannya sesudah itu? Kupikir dia sudah mengajukannya sejak lama.”

“Kau sudah tahu kalau dia belum melamarku!” ujar Polina sewot. “Di mana kau bertemu orang Inggris itu?” tanyanya setelah diam sejenak.

“Aku tahu kau pasti akan menanyakannya.”

Aku menceritakan pertemuanku sebelumnya dengan Tn. Astley sepanjang perjalanan. “Dia pemalu dan gampang jatuh cinta, dan tentunya dia sudah jatuh cinta padamu, kan?”

“Ya, dia jatuh cinta padaku,” jawab Polina.

“Dan pastinya sepuluh kali lebih kaya daripada si Prancis itu. Ataukah si Prancis itu punya suatu kelebihan lain? Masih belum bisa dipastikan, ya?”

“Tidak. Dia punya semacam kastil. Jenderal memberitahuku kemarin. Jadi, apakah itu sudah cukup untukmu?”

“Kalau aku jadi kau, aku pasti akan menikahi orang Inggris itu.”

“Kenapa?” tanya Polina.

“Memang si Prancis itu lebih tampan, tetapi wataknya keji, sedangkan orang Inggris itu, selain jujur juga sepuluh kali lebih kaya,” tukasku.

“Memang betul, tapi si Prancis itu seorang marquis dan lebih cerdas,” jawab Polina dengan sangat kalem.

“Betulkah itu?” tanyaku dengan kalem juga.

“Betul sekali.”

Kentara sekali kalau Polina jengkel menanggapi pertanyaanku, dan aku melihat dia ingin memancing kemarahanku dengan nada jawabannya yang asal-asalan. Aku langsung memberitahunya.

“Wah, melihatmu marah seperti itu membuatku geli. Itulah ganjaranmu karena aku telah mengizinkanmu mengajukan pertanyaan dan membuat dugaan seperti itu.”

“Aku merasa punya hak untuk mengajukan segala macam pertanyaan kepadamu,” jawabku dengan kalem, “justru karena aku siap menerima ganjaran apa pun darimu, dan merasa hidupku kini tak ada lagi artinya.”

Polina tertawa tergelak-gelak.

“Terakhir kali, sewaktu kita di Gunung Schlangenberg, kau bilang bersedia terjun dengan kepala duluan begitu mendengar perintah dariku, dan aku yakin tingginya lebih dari tiga puluh meter. Suatu hari nanti aku akan memberimu perintah itu, semata-mata untuk melihat apakah kau akan menepati kata-katamu, dan kau boleh percaya pada niatku ini. Kau membenciku—justru karena aku memberikan keleluasaan sangat besar kepadamu, dan kebencian itu semakin menjadi-jadi karena aku sangat membutuhkanmu. Tapi untuk saat ini aku benar-benar membutuhkanmu—jadi aku harus menjagamu baik-baik.”

Dia berdiri. Dia mengakhiri ucapannya dengan jengkel. Akhir-akhir ini dia selalu menutup perbincangan denganku dengan jengkel, dan sikapnya terang-terangan menunjukkan kedengkiannya padaku.

“Izinkan aku bertanya, siapa Mlle Blanche?” tanyaku, tak ingin membiarkannya pergi begitu saja tanpa mendapat penjelasan.

“Kau sudah tahu siapa itu Mlle Blanche. Tak ada lagi yang perlu kutambahkan. Mlle Blanche mungkin kelak akan menjadi Madame la Générale—tentunya apabila rumor wafatnya Nenek sudah dipastikan, karena Mlle Blanche, ibunya, dan sepupu jauhnya, yaitu si Marquis, semuanya sudah tahu kalau kami bangkrut.”

“Dan Jenderal benar-benar jatuh cinta kepadanya?”

“Sekarang bukan itu intinya. Nah, dengarkan baik-baik, ambil tujuh ratus florin ini dan pergilah main judi, menangkan sebanyak-banyaknya di meja rolet. Saat ini aku butuh uang, dengan cara apa pun.”

Setelah mengatakan ini, dia memanggil Nadenka dan pergi ke vokzal menemui rombongan kami. Sedangkan aku berbelok ke kiri di jalan pertama yang kutemui, sembari merenung terheran-heran. Seakan kepalaku baru saja dihantam godam setelah mendengar perintahnya untuk bermain rolet. Aneh: banyak hal yang harus kupikirkan, tetapi pikiranku malah larut menelaah perasaanku terhadap Polina. Sungguh, pikiranku jauh lebih enteng selama bepergian dua minggu daripada sekarang, pada hari kepulanganku ini, meski sepanjang perjalanan aku terus merindukannya seperti orang gila, selalu bergegas seperti sedang kesurupan, dan selalu terbayang-bayang dirinya, bahkan sampai terbawa mimpi. Sampai pernah suatu kali (sewaktu berada di Swiss), ketika aku tertidur di kereta, sepertinya aku mengigau sedang berbicara dengan Polina, yang membuat teman-teman seperjalananku tergelak-gelak. Namun kini, sekali lagi aku bertanya kepada diri sendiri: apakah aku mencintainya? Dan lagi-lagi aku tak bisa menjawab, atau lebih tepatnya, sekali lagi aku menjawab, untuk keseratus kalinya, bahwa aku membencinya. Ya, dia membuatku benci. Ada saat-saat tertentu (tepatnya setiap kali percakapan kami selesai) ketika aku rela mengorbankan separuh hidupku untuk mencekiknya! Sumpah, jika memungkinkan untuk menikam dadanya pelan-pelan, sepertinya aku akan menyambar kesempatan itu dengan senang hati. Namun aku juga berani bersumpah demi Tuhan, apabila sewaktu kami berada di puncak Schlangenberg dulu itu dia benar-benar mengatakan kepadaku: “Terjun,” aku akan langsung terjun, bahkan dengan senang hati. Aku tahu itu. Bagaimanapun caranya, persoalan ini harus diselesaikan. Dia betul-betul paham akan hal ini, dan gagasan bahwa aku terang-terangan menyadari tentang ketidakmampuanku untuk menggapai dirinya, juga ketidakberdayaanku untuk memenuhi angan-anganku—gagasan ini aku yakin memberinya kesenangan luar biasa, jika tidak, bagaimana mungkin seseorang yang sangat berhati-hati dan cerdik seperti dirinya bisa bersikap akrab dan seterbuka itu denganku? Aku beranggapan sikapnya kepadaku selama ini tak ubahnya seorang permaisuri dari zaman dulu yang tanpa malu-malu akan menanggalkan seluruh pakaiannya di hadapan budak laki-lakinya karena tak menganggapnya sebagai seorang manusia. Dan memang, seringkali dia tidak menganggapku sebagai seorang manusia.

Namun sekarang aku mendapat tugas darinya—menang rolet dengan cara apa pun. Tak ada waktu untuk memikirkan mengapa dan seberapa cepat aku harus menang, dan pikiran-pikiran baru macam apa yang telah lahir di kepala yang selalu penuh perencanaan itu. Selain itu, selama dua minggu ini, banyak fakta-fakta baru bermunculan, yang hingga kini masih belum kuketahui. Semua ini harus dipikirkan, semua ini harus dipahami, kalau bisa sesegera mungkin. Namun sementara ini tak ada waktu untuk itu, aku harus pergi ke meja judi.

 

 

[1] Kota fiktif Roulettenburg kemungkinan besar terinspirasi dari kota Wiesbaden yang terletak di Sungai Rhine, Jerman, tempat Dostoevsky pertama kali berkenalan dengan judi.

 

[2] Vokzal merupakan kata serapan dari bahasa Inggris vauxhall yang aslinya adalah sebuah taman rekreasi pada abad ke-17 di London. Dalam bahasa Rusia berarti ruang terbuka untuk pertunjukan dan hiburan yang dilengkapi dengan ruang minum teh, ruang makan, ruang permainan judi, dan sebagainya. Vokzal pertama berdiri sangat dekat dengan stasiun Pavlosk yang merupakan jalur kereta api pertama di Rusia, yaitu jalur Petersburg—Pavlosk sehingga pada perkembangannya kata vokzal juga berarti stasiun kereta api.

 

[3] Gelar kebangsawanan di Prancis, seperti count dan countess di Inggris.

 

[4] Guru privat atau tutor.

 

[5] Suatu susunan hidangan lengkap yang disajikan kepada tamu dengan harga yang telah ditentukan.

 

[6] Sebuah surat kabar Prancis yang didirikan kaum liberal, isinya sering mengecam kebijakan Tsar Rusia di Polandia.

 

[7] Itu tidak terlalu bodoh.

 

[8] Sebutan untuk ‘tuan’ dalam bahasa Polandia.

 

[9] Resimen infantri ringan Prancis.

 

[10] Vasily Perovsky (1794–1857), seorang jenderal yang berpartisipasi dalam perang melawan Napoleon pada 1812.