Retorika Klasik Bab 1

Pendahuluan

Retorika klasik adalah salah satu versi paling awal dan paling meyakinkan dari apa yang saat ini disebut sebagai studi media. Meski para ahli retorika Yunani kuno memusatkan perhatian terutama pada produksi dan analisis pidato publik, baik di ruang sidang, di badan legislatif, atau pada acara seremonial, teknik yang mereka kembangkan diandaikan dapat diterapkan pada hampir semua sistem komunikasi, termasuk seni-​seni visual yang melibatkan bahan-​bahan yang mudah dicetak ataupun dibentuk, seni musik, tulisan dan diskursus ilmiah.

Menurut dua definisi paling berpengaruh dari zaman kuno, retorika adalah seni menemukan cara persuasi yang paling efektif dalam konteks tertentu, atau seni berbicara dengan baik. Seni berbicara dengan ‘baik’ di sini menyiratkan aspek estetika, pragmatis, logika dan moral dalam berkomunikasi. Retorika sangat memperhatikan interaksi antara sang seniman, penonton, dan pesan dalam konteks tertentu.

Retorika muncul sebagai diskursus soal teknis karena tingginya nilai yang diberikan pada komunikasi lisan, persuasi, dan debat timbang-​menimbang di negara-​negara kota yang banyak tumbuh di kawasan Mediterania kuno. Kerangka kerja baru untuk pengambilan keputusan kolektif, serta pengganti prosedur-​prosedur hukum formal atas penyelesaian konflik kekerasan, menuntut partisipan yang dapat dengan jelas mengartikulasikan isu-​isu ini kepada orang lain dan menggerakkan audiens untuk mengambil tindakan tegas, bahkan ketika kesejahteraan individu atau keluarga mereka tidak sedang dipertaruhkan. Selain itu, perluasan komunitas politik dan budaya di luar jaringan kekerabatan, dan kegigihan komunitas tersebut dari waktu ke waktu, memerlukan artikulasi penyatuan cita-​cita dan memori-​memori kultural melalui prosedur formal berupa pujian, celaan, dan kenangan, yang tanggung jawabnya secara bertahap beralih dari para pendeta dan penyair kepada para orator dan negarawan.

Para guru retorika paling awal membangun sistem pengajaran-​instruksional mereka berdasarkan strategi komunikasi sukses yang mereka temui dalam praktik para pembicara dan penulis di tengah-​tengah mereka. Pada gilirannya, pelatihan yang mereka berikan menghasilkan harapan tertentu di kalangan masyarakat politik, peradilan dan seremonial yang sudah melek informasi itu. Para guru retorika kemudian menciptakan semacam putaran umpan balik di mana semakin efektif mereka mengajar, semakin besar kebutuhan akan pengajaran yang berkelanjutan. Sebagai hasilnya, produksi buku-​buku panduan bagi siswa retorika punya kehidupan tersendiri, dimulai (mungkin) pada akhir abad kelima SM (Sebelum Masehi) dan berlanjut hingga akhir Yunani klasik. Tidak ada dua buku pegangan retorika berisi serangkaian pedoman yang persis sama, karena para penulisnya berusaha melakukan diferensiasi, membedakan diri dari para pesaing dan pendahulunya tanpa menyimpang terlalu jauh dari topik dan pendekatan yang standar.

Maka buku yang sedang Anda baca ini berniat untuk menciptakan kembali versi retorika klasik yang dicita-​citakan melalui kutipan langsung dari para penulis kuno terkemuka di bidang ini tanpa mau menonjol-​nonjolkan suatu teks atau pendekatan apa pun. Teks-​teks yang diterjemahkan di sini mencakup karya-​karya yang aslinya ditulis dalam bahasa Yunani dan Latin, berasal dari abad keempat SM hingga abad ketiga M (Masehi) Pembaca akan sesekali melihat perbedaan definisi, perbedaan istilah atau penamaan topik antara penulis yang satu dengan penulis yang lain. Masuknya varian-​varian semacam itu memang disengaja, karena dengan begitu memberi kesan bahwa pengajaran retorika itu bersifat cair dan kadang kontroversial.

Karya-​karya yang dihadirkan di sini juga beragam secara sejarah konteksnya dan jenis orasi yang dirujuknya, apakah orasi tentang demokrasi deliberatif Athena, apakah orasi yudisial yang memainkan peran kunci dalam sistem politik dan hukum Republik Romawi, hingga pidato-​pidato dari apa yang disebut kaum sofis yang melakukan perjalanan dari kota ke kota selama masa kejayaan Kekaisaran Romawi. Kemampuan adaptasi retorika klasik terhadap perubahan situasi sosial dan politik di dunia kuno mengantisipasi kebangkitan dan penggunaan kembali retorika pada abad-​abad setelah berakhirnya zaman kuno.

Teks-​teks yang dipilih untuk diterjemahkan dalam volume ini disusun bukan dalam urutan kronologis, tetapi menurut logika instruksi pengajaran yang menjadi ciri pelatihan retorika di era Yunani kuno: pertama, nasihat bila memasuki studi lapangan, diikuti dengan serangkaian definisi yang mungkin; gambaran umum sistem; dan bagian terpisah tentang lima tugas kanonik orator (penemuan, penyusunan, gaya, ingatan, dan cara penyampaian).

Pada titik ini, model kuno dikesampingkan, dan tiga bagian tambahan membahas aspek-​aspek retorika klasik yang melintasi pembagian kuno tetapi terbukti tetap menarik bagi siswa generasi berikutnya. Ini termasuk bagian uraian singkat tentang model dasar kognisi manusia yang memberi banyak informasi pada pengajaran retorika, terutama dari para penulis Romawi; bagian yang lebih panjang tentang teori dan praktik ornamentasi (hiasan bumbu-​bumbu penyedap), atau pengerjaan ulang bahan mentah bahasa agar lebih mengesankan (subjek yang sangat menarik bagi para ahli teori seni-​seni lain disamping seni berbicara di depan umum (public speaking); dan rangkaian bacaan yang menggambarkan pengalaman hidup para orator kuno—mulai dari pendidikan masa kanak-​kanak, hingga berkarier di publik dan seterusnya. Memang, salah satu alasan paling kuat untuk mempelajari retorika klasik adalah insight-​insight yang diberikannya atas kehidupan sehari-​hari dan interaksi sosial masyarakat warga terpelajar dari masyarakat Yunani kuno itu.

Meski kadang terlihat seperti sebuah topik yang penuh disiplin atau terlarang, retorika adalah aliran darah kehidupan politik, hukum dan pemerintahan Yunani kuno, sebuah wacana bersama yang memungkinkan komunikasi lintas etnis, lintas status dan lintas ideologi. Para ahli retorika dan orator yang ditampilkan dalam buku ini termasuk orang luar politik yang menduduki jabatan tinggi, profesor terkemuka dan guru sekolah anonim, penduduk asli daratan Yunani dan Italia serta Gaul (Prancis modern), Spanyol, Asia Kecil (Turki modern) dan Rhodes. Volume yang lebih besar dapat dengan mudah mencakup bahan materi dari Afrika Utara, Suriah, Inggris dan lainnya.

Dari teks-​teks yang dikutip panjang lebar dalam buku ini, yang paling awal adalah Rhetoric karya Aristoteles (384–322 SM), filsuf Yunani yang penting, murid dan penerus Plato dan pendiri pusat penelitian dan pengajaran ilmiah yang mencakup biologi, fisika, zoologi dan meteorologi, serta politik, psikologi, etika, logika dan sastra. Ia lahir di Stagira, Yunani utara, dan menghabiskan sebagian besar hidupnya di Athena, yang merupakan pusat aktivitas intelektual Yunani, namun akhirnya direkrut ke istana Makedonia oleh Raja Philip untuk menjadi mentor bagi putranya, yang nanti menjadi penguasa termasyhur, Alexander Agung.

Meski tulisan-​tulisan politiknya mengapresiasi pencapaian demokrasi Athena, namun nada tulisan-​tulisannya tetap konsisten bernuansa konservatif dan menunjukkan preferensi kepada kepemimpinan yang tertib di pihak pemilik properti masyarakat. Kembali ke Athena setelah Alexander naik takhta Makedonia dan memulai karier penaklukannya, Aristoteles melanjutkan pengajaran dan penelitian di sana, dan meninggal secara tiba-​tiba, menyusul tak lama setelah Alexander Agung meninggal dunia.

Rhetoric Aristoteles adalah naskah tiga jilid, yang dianggap Aristoteles sebagai perluasan karyanya di bidang politik. Seperti semua karya Aristoteles yang masih terpelihara, karya itu terdiri dari catatan-​catatan rinci yang dikumpulkan oleh filsuf itu sendiri atau murid-​muridnya untuk digunakan di kalangan para ahli. Risalah ini tidak memiliki polesan gaya dan memuat sejumlah penyimpangan topik, koreksi-​koreksi bertahap, dan ringkasan-​ringkasan kecil. Risalah ini membahas beberapa masalah dengan sangat rinci dan mengabaikan masalah lain dengan sekali sebutan saja.

Meski bentuknya analitis, namun mengandung banyak pernyataan yang bersifat evaluatif. Terlepas dari semua itu, teks ini adalah pekerjaan yang sangat berharga karena dua alasan. Pertama, memperkenalkan terminologi secara jelas dan terpilah-​pilah berbagai aspek retorika, seperti etos, pathos dan logos (persuasi melalui karakter, emosi dan penalaran), entimem (argumen formal mengenai kebenaran-​kebenaran yang mungkin atau silogisme retorika dalam bahasa percakapan) dan tipologi pidato-​pidato sebagai apakah itu yudisial (berkenaan dengan pengadilan), deliberatif (menjelajahi argumen yang mendukung atau menentang suatu tindakan) atau epideictic (ucapan pujian dan celaan).

Kedua, memberikan penekanan khusus pada pidato deliberatif, yakni pidato yang dilakukan di depan majelis-​majelis atau perkumpulan-​perkumpulan politik mengenai kebijakan publik. Dengan demikian, Aristoteles menerima begitu saja nilai politik deliberatif yang bebas namun teratur yang bertujuan untuk mempersuasi suatu badan pembuat keputusan tentang keuntungan dari suatu tindakan. Ia berupaya membangun kerangka perdebatan rasional di mana di dalamnya semua peserta mendapat informasi tentang isu yang sedang didiskusikan.

Urutan berikutnya secara historis adalah risalah Latin anonim yang disebut Rhetoric to Herennius. Mungkin disusun pada tahun 80-​an SM untuk pembaca yang jumlahnya kian banyak, yaitu kaum muda Romawi dan Italia yang ambisius dalam politik, risalah ini tampaknya sangat mirip dengan bentuk dan gaya buku-​buku pedoman Yunani Helenistik. Risalah ini lebih ringkas dan rinci dibanding tilikan Aristoteles dalam cakupannya mengenai mekanisme pembuatan pidato dan latihan persiapan yang harus dilakukan oleh para pelajar retorika. Jika Aristoteles memberi tinjauan sistematis tentang disiplin retorika, penulis risalah Herennius ini menunjukkan bagaimana mempraktikkannya langkah demi langkah, dengan memberikan banyak contoh.

Dalam buku ini, Rhetoric to Herennius digunakan sebagai sumber utama petunjuk tentang bagaimana mengidentifikasi masalah, daftar panjang gambaran pikiran dan gambaran pidato yang berkontribusi memperkaya gaya pembicara dan gaya sistem-​memori yang digunakan untuk membantu orator menyampaikan pidato dengan berangkat dari persiapan minimal.

Banyaknya contoh yang terkandung dalam risalah tersebut, yang sebagian besar disusun oleh penulis untuk tujuan pengajaran, dan banyak menyebut-​nyebut episode-​episode sejarah Romawi dari generasi sebelumnya, memberikan pandangan ‘orang dalam’ tentang kedua jenis kasus sehari-​hari dan pribadi-​pribadi yang mungkin ditemui dalam kehidupan publik Romawi dan penggunaan pidato retoris yang efektif pada saat-​saat kontroversi dan krisis. Penulis tampak setidaknya bersimpati terhadap program politik sayap reformasi elite Romawi, tokoh-​tokoh seperti Gracchi dan Saturninus bersaudara, yang mengupayakan pemberdayaan majelis rakyat (dengan mengorbankan senat) dan berulang kali mengusulkan reformasi pertanahan sebagai solusi untuk masalah ekonomi dan demografi Italia yang parah. Memang benar, penggunaan retorika oleh para pendatang baru dan para reformis di Roma turut menyebabkan rendahnya penghargaan terhadap guru-​guru retorika, setidaknya pada beberapa periode sejarah Romawi.

Terlepas dari arti penting politiknya, contoh-​contoh yang diberikan oleh penulis anonim juga memberi akses terhadap kemungkinan reaksi pendengar atau pembaca Romawi terhadap berbagai perangkat yang ditemukan dalam sastra Latin, baik puisi maupun prosa. Dengan memberi tahu murid-​muridnya tujuan yang dapat mereka capai dengan menggunakan itu, misalnya, metafora atau pertanyaan retoris atau susunan kata yang tidak biasa, penulis membantu pembaca modern memahami bagaimana reaksi orang-​orang Roma terhadap penggunaan kata-​kata tersebut oleh orang lain. Mudahnya penulis ini, seperti penulis lain dalam buku ini, berpindah antara contoh dari prosa dan contoh dari puisi memberi gambaran bagaimana retorika memberi informasi pada setiap jenis komposisi sastra.

Penyusunan Rhetoric to Herennius mungkin terjadi pada masa dewasa orator Romawi paling terkenal, Marcus Tullius Cicero (106–43 SM). Selain banyak pidatonya, yang membuatnya masyhur dan mendapat kekuasaan politik selama masa hidupnya, Cicero menyusun dialog-​dialog filosofis, surat-​surat, puisi-​puisi epik (kebanyakan hilang) dan beberapa risalah tentang retorika, termasuk buku pegangan teknis, On Invention (yang menurutnya ia tulis ketika masih muda), sebuah dialog yang lebih reflektif, On the Orator, dan memoar tentang orator Romawi terkenal bernama Brutus, semuanya ditampilkan dalam volume yang sedang Anda baca ini.

Cicero lahir di kota kecil Arpinum dari sebuah keluarga lokal terkemuka tetapi hanya memiliki sedikit koneksi penting di Roma. Keberhasilan awalnya sebagai pembela di ruang pengadilan mendorongnya menaiki tangga politik dan ia mencapai jabatan hakim tertinggi, yaitu konsul, pada tahun 63 SM, pada usia termuda yang diperbolehkan secara hukum. Seperti kebiasaan para mantan konsul, Cicero tetap aktif terlibat dalam urusan politik, hukum dan budaya di Roma, sampai munculnya Triumvirat Pertama, sebuah perjanjian pembagian kekuasaan informal antara Pompeyus, Julius Caesar dan Crassus yang dimulai pada tahun 59 SM sehingga menyebabkan pengunduran dirinya untuk sementara dari politik dan forum.

Selama periode ini ia mempertahankan profil publiknya dengan menulis risalah-​risalah, termasuk karya magisterialnya On the Orator, yang membahas pentingnya retorika dan pidato bagi kelancaran fungsi Republik Romawi dan mengeksplorasi kewajiban-​kewajiban budaya dan moral para pembicara publik. Cicero kembali ke kehidupan publik, hanya untuk mundur lagi pada masa kediktatoran Julius Caesar (48–44 SM), sekali lagi tetap terlibat dengan urusan Romawi dengan menulis risalah-​risalah filosofis dan retorika, termasuk Brutus (46 SM), yang mengintegrasikan narasi sejarah pidato Romawi menjadi ratapan elegi atas prospeknya di bawah kediktatoran.

Kembalinya Cicero untuk terakhir kalinya ke kehidupan publik setelah pembunuhan Julius Caesar meliputi serangkaian pidato yang ditujukan kepada penerus Caesar, Mark Antony, yang menyebabkan dia dieksekusi oleh tentara Antony pada tahun 43 SM.

Dalam volume ini, pilihan karya Cicero, On Invention, berfungsi untuk memperkenalkan prinsip-​prinsip disposisi atau penyusunan retorika—salah satu cabang retorika yang paling lugas, karena mengulas bagaimana sebuah pidato itu diurai menjadi bagian-​bagian komponennya, termasuk di situ gerak tubuh, bahasa, dan teknik persuasif yang sesuai untuk masing-​masing komponen itu.

On the Orator adalah sumber untuk tiga bab buku kita ini: Mengapa Mempelajari Retorika? (Bab 1), Retorika dan Pemahaman (Bab 9), dan Hiasan Retorika (Bab 10). Karya ini secara keseluruhan bertujuan untuk merekam percakapan yang terjadi di antara tokoh-​tokoh Romawi pada tahun 91 SM, tak lama sebelum dunia Romawi diguncang oleh serangkaian konflik Perang Saudara, pembunuhan politik, dan pelarangan yang merenggut nyawa sejumlah tokoh yang diwakili dalam dialog tersebut. Presentasi Cicero tentang komitmen karakternya terhadap kekuatan kefasihan yang kohesif memperoleh kekuatan emosional dari kesadaran pembacanya akan konsekuensi yang diakibatkan oleh runtuhnya institusi-​institusi yang menjaga pertimbangan-​pertimbangan rasional.

Pembicara utama dalam On the Orator karya Cicero adalah Crassus, yang berargumen tentang kebijaksanaan dan kefasihan berbicara sebagai satu kesatuan serta menampilkan orator ideal sebagai sejenis pahlawan budaya yang menyebarkan berbagai pengetahuan yang tersedia dalam masyarakat Romawi saat itu.

Sebaliknya, Antonius mengungkapkan skeptisisme tentang pentingnya latihan teknis dalam retorika dan kemampuan setiap manusia untuk menguasai kurikulum yang dikembangkan Crassus. Diskusi mereka, yang melibatkan sejumlah lawan bicara, bukanlah perdebatan yang tajam melainkan diskusi bersama di mana masing-​masing pihak mendorong pihak lain untuk memperbaiki, merumuskan kembali atau mengembangkan lebih lanjut posisinya. Para partisipan menerapkan, dalam konteks diskusi yang bersahabat, prinsip-​prinsip wacana retorika yang mereka kembangkan bersama.

Dua pembicara utama itu banyak memanfaatkan pembelajaran yang terkandung dalam buku pegangan retorika Yunani, namun menyajikannya dengan anggun, tanpa nada menuntut yang terkadang ditemukan di buku-​buku teks.

Uraian Crassus tentang ornamen khususnya, mengintegrasikan diskusi tentang perangkat-​perangkat retorika dan ritme prosa ke dalam pendekatan budi bahasa yang halus dan beradab terhadap kehidupan dan bahasa. Oleh karena itu tidak mengherankan jika penemuan naskah lengkap On the Orator (De Oratore) di Italia pada tahun 1421 dianggap sebagai peristiwa penting oleh para humanis Eropa, yang menafsirkan risalah tersebut sebagai kemajuan baik dalam teori gaya artistik maupun model seni diskursus yang berperadaban.

Dari Brutus kita mendapatkan catatan retrospektif Cicero tentang perkembangan kariernya sebagai orator, khususnya persaingannya dengan orator yang sedikit lebih tua, Hortensius, yang meninggal beberapa tahun sebelum penulisan risalah tersebut. Seperti dalam On the Orator, Cicero mencoba menunjukkan bagaimana perbedaan politik, perbedaan temperamental dan perbedaan gaya dapat mengaburkan komitmen bersama yang mendasar terhadap prinsip komunikasi yang bertanggung jawab secara etis.

Risalah tersebut juga menyajikan silsilah pencapaian retorika, di mana setiap generasi belajar dari pendahulunya dan memberikan inspirasi serta contoh bagi generasi penerusnya. Dalam catatan Cicero, retorika tidak hanya menjadi alat untuk mengatasi isu-​isu kontemporer yang mendesak, namun juga cara hidup terhormat yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikut, karena ia berupaya untuk meneruskan kepemimpinannya kepada Brutus.

Terlepas dari perpecahan politik di akhir republik yang dikhawatirkan Cicero akan mengakibatkan hilangnya keahlian kefasihan berbicara, prestasinya sendiri sebagai orator, negarawan, dan penulis menjadi inspirasi dan acuan dalam aliran retorika yang berkembang pesat di bawah Kekaisaran Romawi. Pilihan politiknya diperdebatkan, nasibnya diratapi, gayanya dipelajari dan, secara umum dikagumi.

Di antara pengagumnya yang paling bersemangat adalah ahli retorika paling berbakat di Roma, Marcus Fabius Quintilianus, yaitu Quintilian (35–100 M). Kehidupan Quintilian tidak terdokumentasi dengan baik seperti kehidupan Cicero, tetapi ia memiliki karier yang sukses sebagai orator dan instruktur sebelum menyusun magnum opusnya, Oratorical Instruction. Ditujukan terutama pada sesama instruktur, traktat Quintilian ini menggambarkan pembentukan dan karier seorang orator dari masa bayi hingga pensiun. Tentu saja ia mencakup banyak hal yang sama dengan Aristoteles, penulis Rhetoric to Herennius dan Cicero, namun ia menambahkan pada pembahasan mereka sebuah diskusi yang kaya tentang apa yang sebenarnya terjadi di kelas retorika dan di muka pengadilan berdasarkan pengalaman dan observasi pribadinya.

Quintilian memahami orator yang ideal adalah sejenis orang bijak Romawi (Romanus sapiens), yaitu orang yang memadukan pengetahuan dan kebijaksanaan yang mendalam dengan kemampuan berbicara dengan baik dan efektif dalam berbagai situasi. Membaca risalahnya membantu pembaca modern untuk melihat bagaimana dan mengapa retorika menjadi bentuk pendidikan yang disukai di kalangan elite dan sektor masyarakat Romawi yang sedang bergerak ke atas. Ia dapat dihormati sebagai salah satu pendukung pertama dan paling fasih atas pandangan bahwa pendidikan liberal arts mempersiapkan siswa tidak hanya untuk berkarier, tetapi juga untuk berpartisipasi penuh dalam kehidupan sipil dan budaya, dan, dalam pandangan Quintilian, tidak lain untuk mewujudkan potensi tertinggi seseorang sebagai manusia.

Sebagai pengakuan atas kontribusi khusus Quintilian, pilihan yang diambil dari risalahnya mencakup pembahasan tentang berbagai kemungkinan definisi retorika, penjelasannya tentang latihan untuk mempersiapkan anak laki-​laki berlatih retorika, penolakannya terhadap sistem memori yang diusulkan dalam Rhetoric to Herennius dan sejumlah anekdot (beberapa di antaranya memang lucu) tentang upaya salah arah yang disengaja untuk membangkitkan emosi pendengar, atau penggunaan gerak tubuh dan efek vokal. Sementara beberapa risalah lainnya menggambarkan titik temu antara pidato publik dan ideologi politik, Quintilianus menempatkan kita pada posisi orator yang gelisah yang coba menyampaikan pendapatnya di hadapan para pesaing, hakim, dan kritikus. Ia juga memberikan banyak bukti tentang kelangsungan ilmu retorika dan ilmu pidato di bawah para kaisar Romawi.

Meskipun persidangan terbuka yang bermuatan politik seperti yang menjadi ciri karier Cicero sebagian besar telah berakhir, dan perdebatan di senat dalam kadar yang berbeda-​beda dibatasi oleh kehadiran kaisar atau wakil-​wakilnya, aktivitas persidangan sehari-​hari dalam menguji kasus-​kasus dan pembahasan kebijakan terus berlanjut, menyediakan saluran bagi bakat dan pelatihan retorika.

Selain itu, jenis pendidikan yang dijelaskan oleh Quintilian tampak bermanfaat bagi pejabat Romawi di berbagai tingkat pemerintahan, karena pendidikan tersebut mengajarkan bagaimana melihat perspektif yang berlawanan, mengevaluasi bukti, dan mengembangkan serta menganalisis argumen. Terlepas dari semua penekanannya pada praktik pembuatan pidato, Quintilian memberi pemahaman tentang retorika sebagai jenis formasi intelektual yang juga menjadi ciri pendekatan Aristoteles dan Cicero.

Risalah terakhir yang diambil untuk volume ini adalah kumpulan Lives of the Sophists (Kehidupan Para Sofis) oleh Lucius Flavius Philostratus (sekitar 170–250 M). Philostratus adalah seorang intelektual Yunani yang telah mencapai kedudukan tinggi di istana kaisar di Roma, mungkin sebagai bagian dari lingkaran di sekitar permaisuri Julia Domna. Kisahnya tentang para intelektual keliling namun terkenal, yang disebut kaum sofis, dari abad kelima SM hingga ke masa hidupnya, berfungsi sebagai semacam pembenar atas status intelektualnya sendiri, selain untuk memperingati prestasi sekelompok orang yang sering menjadi duta besar di antara komunitas Yunani satu sama lain yang akhirnya sampai ke Roma.

Meskipun terdapat banyak perdebatan, di zaman kuno dan di kalangan cendekiawan modern, mengenai arti sebenarnya dari istilah ‘sofis’ itu, individu-​individu yang dijelaskan oleh Philostratus memiliki kemampuan yang sama fasihnya dalam berbicara dan cerdas di hadapan banyak orang tentang beragam topik, seringkali dengan sedikit atau tanpa waktu persiapan. Kelompok sofis yang digambarkan Philostratus tidak menggantikan tempat para praktisi di ruang-​ruang pengadilan atau di majelis-​majelis politik—dan mereka juga sering berpartisipasi dalam kegiatan-​kegiatan tersebut—namun biografi mereka menggambarkan kegunaan pidato sebagai bentuk pertunjukan dan hiburan juga.

Meskipun pidato-​pidato yang mereka sampaikan untuk memuji suatu kota atau memberi nasihat kepada tokoh-​tokoh dari masa lalu mungkin tampak kecil saja nilainya dalam arti praktis, namun pidato-​pidato tersebut berfungsi untuk menumbuhkan identitas lokal dan kosmopolitan dalam konteks kekaisaran Romawi yang multi-​etnis. Memang, di antara kisah-​kisah paling mencolok yang diceritakan tentang kaum sofis adalah kisah-​kisah yang dikatakan dapat menyenangkan bahkan pendengar yang tidak memahami apa yang mereka katakan. Di kalangan kaum sofis, retorika tampaknya telah menemukan cara untuk membebaskan bahasa dari makna.

Sejalan dengan desakan Cicero bahwa orator yang serius memerlukan pemahaman luas akan berbagai isu dan disiplin ilmu, retorika klasik sebagai suatu bidang, jika dipandang secara sinoptik, dapat dilihat tidak hanya mencakup bahasa, sastra, dan sistem komunikasi, tetapi juga politik, psikologi, hukum, sejarah, estetika dan perkembangan anak. Namun, setidaknya dalam satu hal, wacana tersebut bukan bersifat universal: ilmu retorika dan ilmu pidato di dunia kuno secara hampir eksklusif hanya dimiliki oleh laki-​laki.

Tak satu pun dari ahli retorika yang disajikan di sini atau dikutip dalam teks-​teks ini adalah perempuan, dan referensi tentang orator perempuan sangat sedikit dan jarang ditemukan dalam catatan-​catatan kuno. Hal ini mungkin lebih membingungkan daripada yang terlihat, karena kita mendengar tentang partisipasi perempuan dalam pelatihan filsafat, kehadiran perempuan dalam pembacaan sastra, dan karya sejumlah kecil penyair perempuan masih bertahan atau secara eksplisit disebut dalam sumber-​sumber kuno. Anak perempuan juga memiliki akses terhadap pengajaran dasar-​dasar bahasa dan sastra, setidaknya dalam beberapa konteks.

Dicabutnya perempuan dari dunia retorika, yang sejalan dengan pengecualian mereka dari jabatan politik dan praktik hukum, mungkin sebagian disebabkan oleh pemahaman implisit sepanjang masa Yunani kuno bahwa pidato politik dan hukum adalah hak istimewa yang diberikan sebagai imbalan atas siap sedianya kaum laki-​laki untuk bertugas di militer. Retorika sering disandingkan dengan prestasi militer sebagai kontributor kesejahteraan masyarakat, seperti dalam pembukaan risalah Cicero, On the Orator; dan terminologi yang digunakan untuk menggambarkan prosedur ruang sidang, baik dalam bahasa Yunani maupun Latin, mencerminkan bahasa konfrontasi fisik yang agresif. Memang, justru pada periode ketika laki-​laki kelas atas dibebaskan dari wajib militer, retorika digunakan untuk yang tidak ada hubungannya dengan pengelolaan urusan sipil sehari-​hari. Sampai batas tertentu, pencarian kejayaan di medan perang telah digantikan oleh persaingan memperebutkan hadiah di sekolah-​sekolah retorika

Masalah terakhir yang mengganggu sejarah retorika adalah dugaan persaingan dengan filsafat dalam meraih keunggulan di antara disiplin ilmu. Awalnya perselisihan retorika dan filsafat adalah perselisihan profesional mengenai siapa yang akan mewarisi peran tradisional penyair dan pendeta sebagai pendidik bagi generasi penerus. Diskusi antara filsuf Socrates dan ahli retorika Gorgias dalam Gorgias karya Plato dapat dibaca sebagai upaya untuk menegosiasikan batas-​batas antara kedua bidang tersebut (atau, seperti yang dikatakan Quintilian, penegasan tentang nilai retorika yang sebenarnya).

Namun seiring berjalannya waktu, menjadi jelas bahwa filsafat dan retorika, pada umumnya berhubungan dengan model-​model cara manusia berpikir dan berkomunikasi yang secara mendasar berbeda. Para filsuf seperti Plato menekankan pengamatan pemikir otonom dan penggunaan realitas eksternal untuk sampai pada kebenaran abstrak dan pengetahuan yang didekontekstualisasikan, sementara para ahli retorika umumnya memahami pemikiran manusia sebagai sesuatu yang membumi dan bersifat interaktif atau terdistribusi.

Yang pasti, terjadi penyerangan dari satu kubu ke kubu lain. Misalnya, Aristoteles, dalam retorika filosofisnya, berusaha menghilangkan retorika dari beberapa kecenderungan praktis yang terkandung di dalamnya dan sifat interaktifnya, lalu memberikan arti khusus pada argumen-​argumen retoris atau entimem, yang dalam pandangannya, dimodelkan pada silogisme.

Sementara itu, bergerak ke arah yang berlawanan, para filsuf Stoa, dengan penjelasan mereka tentang kesinambungan otak, tubuh dan lingkungan serta sifat fisik dari semua tindakan, termasuk berpikir, mengamati dan berbicara, memberi landasan filosofis bagi ajaran para ahli retorika seperti Crassus dalam buku Cicero, On the Orator, atau Quintilian, yang dalam Oratorical Instruction, secara eksplisit memperoleh definisi retorika dari kaum Stoa.

Meskipun pendekatan terhadap pemikiran yang terinternalisasi dan otonom cenderung mendominasi diskusi akademik setidaknya sejak Pencerahan, banyak ilmuwan kognitif mulai kembali ke pemahaman tentang kognisi yang diwujudkan, dieksternalisasi, dan didistribusikan. Apakah pergeseran pemahaman kita tentang kognisi akan mengarah pada kebangkitan minat terhadap retorika masih harus dilihat.

Sementara itu, kita dapat mengapresiasi retorika klasik karena arti penting historisnya, idealisme politiknya, wawasannya mengenai motivasi manusia, dan analisisnya mengenai teknik-​teknik persuasi yang masih valid. Pilihan tulisan-​tulisan berikut nanti akan mengilustrasikan semua aspek retorika kuno ini, baik dalam teori maupun praktik, dan mudah-​mudahan, memberikan landasan bagi kebangkitan retorika klasik saat ini.

1
WHY STUDY RHETORIC
Mengapa Kita Belajar Retorika?

Biasanya risalah-​risalah mengenai soal-​soal teknis dimulai dengan penjelasan deskriptif tentang manfaat yang dapat diperoleh lewat studi secara cermat tentang materi-​materi yang dihidangkan. Di halaman-​halaman pembuka dialognya, On the Orator, orator besar Romawi, Cicero, memberi pembenaran (justifikasi) untuk mempelajari retorika dengan merefleksikan tentang situasi Roma terkini pada waktu itu. Dalam pandangannya, retorika memberi kerangka umum untuk pertimbangan rasional dan resolusi konflik yang membawa manfaat bagi kesejahteraan masyarakat seperti halnya kecakapan militer. Dia, bersama dengan pembicara utama dalam dialog tersebut, Crassus, menegaskan sifat komprehensif tantangan yang dihadapi orator, yaitu pada luasnya pendidikan yang dituntut dari seorang orator.

Bagi Cicero, dan juga Crassus, filsafat hanyalah salah satu manifestasi dari kemampuan manusia untuk berpikir rasional dan berkomunikasi, dengan demikian filsafat merupakan komponen pendidikan retorika, bukan menggantikannya. Seperti pembicara-​pembicara fiksi dalam dialognya, Cicero menyuarakan rasa hormatnya terhadap keahlian teknis para guru retorika Yunani, tetapi juga menyatakan bahwa sama seperti kekuasaan Romawi telah melampaui Yunani, maka kefasihan Romawi harus pula melampaui standar yang ditetapkan oleh bahasa Yunani. Ia berusaha mengalihkan hasrat warga Roma untuk mencapai kejayaan ke arah budaya, bukan prestasi militer atau politik.

 

Cicero
On the Orator
1.1–23, 30–34, 45–54, 64–5

Setiap kali kurenungkan masa lalu, Adikku Quintus,[1] tampak bagiku orang-​orang yang menikmati jabatan politik dan terkenal karena prestasinya pada masa jaya-​jayanya republik benar-​benar diberkati, karena mereka dapat mempertahankan suatu jalan hidup yang bebas dari risiko terlibat berbagai skandal, hingga memasuki masa pensiun yang bermartabat. Itulah yang terjadi ketika kuputuskan bahwa adalah tepat—dan mendapat persetujuan publik—bagiku untuk mulai bersikap rileks dan mengubah perhatianku pada minat-​minat intelektual, setelah bekerja keras di ruang pengadilan yang tak ada habisnya dan ketika tuntutan tugas kehidupan politik sudah berhenti, aku mengundurkan diri dari jabatan karena makin bertambahnya usia.

Tapi beratnya urusan-​urusan publik serta berubah-​ubahnya situasi pribadiku membuyarkan semua harapan dan rencana itu. Tempat[2] yang tampaknya paling damai dan tenang justru menjadi tempat tumpukan masalah terbesar dan gangguan paling keras. Meskipun kita mendambakan dan berdoa bagi perdamaian, tidak ada peluang yang muncul untuk bersama-​sama mempraktikkan dan memuliakan seni yang telah kita tekuni sejak masa kanak-​kanak.

Karena pergolakan yang terjadi saat ini telah dimulai ketika kita masih muda, dan selama menjadi konsul,[3] aku terjun ke dalam perjuangan yang akan menentukan segala sesuatu, dan seluruh waktu kuhabiskan sejak saat itu tidak lain untuk menjaga agar gelombang yang datang menyerangku tidak menghancurkan masyarakat kita secara keseluruhan.

Meski demikian, terlepas dari keadaanku yang sulit dan keterbatasan waktu, aku berkomitmen untuk menggumuli studi-​studi kita, dan apa pun waktu luang yang dimungkinkan oleh sikap bermuka dua musuh, masalah hukum teman-​teman, dan urusan negara, aku akan tetap mengabdikan diri pertama dan terutama untuk menulis. Aku tak ingin mengecewakanmu, saudaraku, kapan pun engkau mendesak atau memintanya, karena tak seorang pun yang lebih berhak atas ketaatan atau kasih sayangku.

Tujuanku adalah untuk menghidupkan lagi rangkaian kenangan yang belum pernah diceritakan secara cukup rinci namun dapat memenuhi permintaanmu untuk mempelajari hal-​hal paling penting dari orang-​orang terkenal dan fasih berbicara yang dipercaya selalu memperhatikan setiap aspek kefasihan berbicara. Seperti yang sering kamu katakan padaku, ajaran-​ajaran yang tersedia bagi generasi muda kita dalam buku-​buku pegangan berbahasa Latin masih kurang lengkap dan belum berkembang, sama sekali tidak mutakhir apalagi sesuai dengan praktik yang telah kukembangkan dalam banyak orasi; sehingga engkau ingin aku menerbitkan sesuatu yang lebih rinci dan lengkap.

Terlebih lagi, engkau sering tidak setuju denganku dalam diskusi kita tentang retorika, karena aku berpendapat bahwa kefasihan berbicara bergantung pada pelatihan artistik yang canggih, sementara engkau berpikir bahwa kefasihan bukan berasal dari pengajaran yang cermat dan justru identik dengan semacam kejeniusan bawaan dilengkapi dengan pengalaman.

Bagiku, setiap kali aku mencari sosok contoh teladan yang memiliki bakat dan keistimewaan luar biasa, kudapati diriku bertanya-​tanya mengapa ada lebih banyak orang yang patut dikagumi dalam bidang kehidupan di luar bidang kefasihan berbicara. Ke mana pun engkau mengarahkan perhatian, akan terlihat banyak orang yang unggul dalam setiap jenis seni, bahkan yang paling menuntut sekalipun.

Siapa yang tidak akan menempatkan jenderal di atas orator ketika mengukur kemanfaatan atau prestise pengetahuan praktis orang-​orang terkemuka? Siapa yang dapat menyangkal bahwa dari kota ini saja dapat menghadirkan pemimpin militer terkemuka dalam jumlah hampir tak terbatas, namun hampir tidak ada yang unggul dalam hal berbicara di depan umum? Di zaman kita sekarang, ada banyak orang yang mampu memerintah dan memimpin republik, berkat akal sehat dan kebijaksanaan praktis mereka; di generasi orangtua kita dan nenek moyang kita, lebih banyak lagi orang-​orang seperti itu. Namun dalam kurun waktu yang lama, tidak ditemukan orator yang baik, dan hampir tidak ada orator yang layak di setiap generasi. Dan seandainya seseorang berpendapat bahwa ilmu retorika lebih baik dibandingkan dengan disiplin ilmu lain yang dicatat dalam buku-​buku pegangan yang ada dan berbagai jenis tulisan dibandingkan dengan prestasi gemilang seorang jenderal atau penasihat ulung seorang senator yang baik, biarkan dia berhenti dan mempertimbangkan siapa dan seberapa banyak ia unggul dalam disiplin ilmu lain itu. Dia akan segera mengakui kurangnya jumlah orator di masa lalu dan sekarang.

Tentunya engkau sadar bahwa para pemikir paling terpelajar menganggap filsafat, sebagaimana orang Yunani menyebutnya, sebagai pencipta atau induk dari semua seni yang layak dihormati. Sulit untuk membuat daftar semua orang yang berpengetahuan luas dan sangat beragam pendekatannya itu yang telah mengembangkan topik penyelidikan filosofis individual atau sudah mencakup segala hal yang mereka bisa dalam mendiskusikan pengetahuannya secara sistematis dan metodis. Siapa yang tidak kenal dengan topik-​topik membingungkan dan beragam metode canggih yang dikuasai para ahli matematika? Adakah yang sudi mengabdikan dirinya pada musik atau studi sastra yang dianut oleh apa yang disebut grammatici[4] tanpa memahami kekuatan dan kekuasaan tak terbatas dari disiplin ilmu tersebut? Aku pikir akan adil bila mengatakan bahwa dari semua seni dan ilmu pengetahuan liberal, puisi dan pidato memiliki jumlah paling sedikit praktisi yang istimewa. Dan di antara kelompok ini, di mana keunggulan sejati sangat jarang ditemukan, jika engkau memeriksa daftar orang-​orang Romawi dan Yunani yang digabung sekalipun, akan ditemukan jauh lebih sedikit lagi orator daripada penyair yang baik.

Situasi ini bahkan lebih luar biasa lagi karena disiplin ilmu lain punya sumber-​sumber esoteris yang tersembunyi, sedangkan retorika sepenuhnya berasal dari sumber-​sumber pengalaman biasa dan menyangkut kapasitas manusia untuk komunikasi verbal. Dalam semua seni yang lain, keunggulan menuntut titik berangkat dari pengetahuan tertentu dan ada rasa sentimen non-​ahli; akan tetapi dalam orasi, kejahatan terbesar adalah meremehkan bahasa konvensional dan perasaan-​perasaan yang biasa. Apalagi, tak mungkin untuk mengklaim bahwa ada lebih banyak siswa di bidang seni dan sains lainnya, atau bahwa mereka termotivasi oleh kesenangan lebih besar atau harapan lebih tinggi atau prospek imbalan yang lebih menjanjikan. Untuk melampaui Yunani, yang selalu menegaskan kepemimpinannya dalam kefasihan berbicara, khususnya Athena, yang menemukan semua prinsip yang melaluinya “power of speech” ditemukan dan disempurnakan, di kota kita semua ini, tidak ada upaya yang berkembang sekuat ini, kecuali mengejar kefasihan berbicara.

Setelah kekaisaran kita mantap terbentuk dan keteraturan hidup yang damai memberi kesempatan untuk punya waktu luang, tidak ada pemuda ambisius yang gagal mendedikasikan hidupnya sepenuhnya untuk bidang ‘public speaking’. Pada awalnya, karena tidak mengetahui seluruh disiplin ilmu, karena berpikir bahwa tidak ada gunanya berlatih dan tidak ada seni yang bisa dipelajari, mereka mencapai sebanyak yang mereka bisa melalui kecerdasan dan imajinasi murni. Belakangan, ketika mereka telah mendengarkan para orator Yunani beraksi, menjadi akrab dengan tulisan-​tulisan mereka dan mendatangkan guru-​guru Yunani, para pendahulu kita sangat bersemangat untuk belajar.

Keagungan dan kompleksitas bidang ini membuat mereka bersemangat, begitu pula banyaknya jenis kasus yang dapat diterapkan, sehingga apa pun jenis pengajaran yang dilakukan masing-​masing dilengkapi dengan praktik-​praktik latihan, yang lebih berharga daripada ajaran guru mana pun. Saat itu, seperti sekarang, muncul imbalan luar biasa yang diberikan atas upaya ini, dalam bentuk pengaruh, kekayaan, dan kemajuan politik. Bakat bawaan masyarakat kita, seperti yang bisa kita lihat dari berbagai contoh, jauh melampaui bakat semua bangsa lain. Jika demikian kasusnya, siapa yang tidak terkejut ketika mengetahui bahwa hanya sedikit orator yang tercatat dalam tradisi, terlepas dari era atau situasi politik?

Memang benar, retorika adalah bidang yang lebih besar daripada yang mungkin disangka orang, karena retorika dihimpun dari lebih banyak seni dan disiplin ilmu. Alasan lain apa yang bisa diberikan untuk jumlah siswa yang begitu besar, ketersediaan guru yang begitu melimpah, bakat para praktisi yang begitu luar biasa, variasi kasus yang tak terbatas, dan imbalan besar yang diberikan kepada kefasihan berbicara, kecuali keagungan yang nyaris tak bisa dipercaya dan kesulitan luar biasa dari subjek ini?

Karena harus ada pengetahuan yang terjamin mengenai hal-​hal yang tak terhitung jumlahnya itu, yang tanpanya aliran kata-​kata menjadi kosong dan menggelikan; bahasa didisiplinkan melalui pilihan kata dan susunan kalimat; setiap emosi yang diberikan alam kepada manusia harus dipahami secara menyeluruh, karena kekuatan dan metode retorika memang diarahkan untuk menenangkan atau menggairahkan pikiran para pendengar; harus ada pesona dan kecerdasan tertentu serta pengetahuan yang sesuai dengan orang yang berdiri bebas, cepat dan tangkas dalam merespons, serta serangan yang dipadukan dengan kehalusan budi dan keanggunan. Semua sejarah sebelumnya, terutama contoh-​contoh yang menarik, harus ada dalam ingatan; pengetahuan tentang hukum dan masalah perdata juga tidak dapat diabaikan.

Haruskah aku terus berbicara tentang cara penyampaian? Pidato harus dipoles dengan gerakan tubuh, gestur, ekspresi wajah, nada dan variasi lafal. Kebesaran dan kecemerlangannya terlihat jelas dalam seni aktor panggung yang kurang terkenal sekalipun: sebab setiap orang yang berupaya untuk menjaga wajah, suara, dan gerakannya tetap datar-​datar saja (moderat), bayangkan betapa sedikitnya yang sanggup kita saksikan tanpa rasa jengkel. Dan bagaimana dengan memori, rumah harta karun dari segalanya itu? Tanpa memori sebagai penjaganya, segala sesuatu yang ditemukan atau diciptakan oleh si pengucap, betapa pun hebatnya, tidak akan ada guna.

Oleh karena itu, mari kita berhenti mencari penjelasan atas sedikitnya penonton para pembicara yang baik, karena sekarang kita paham bahwa kefasihan berbicara bergantung pada berbagai pencapaian, yang masing-​masing memerlukan upaya besar untuk diceritakan secara rinci. Sebaliknya, mari kita dorong anak-​anak kita dan semua orang yang kemuliaan dan martabatnya kita sayangi untuk menerima kehebatan bidang ini, percaya bahwa mereka dapat memperoleh apa yang mereka cari jika tidak melalui ajaran, guru dan latihan-​latihan yang bisa dilakukan setiap orang, tentu melalui cara lain.

Menurut saya, tidak ada seorang pun yang pantas menyandang gelar orator kecuali ia menguasai semua topik dan disiplin ilmu. Orasi harus muncul dan berangkat dari pemahaman terhadap duduk perkara yang ada. Jika orator tidak mengetahui duduk perkara, dia hanya akan memberikan pidato yang kosong dan kekanak-​kanakan. Yang pasti, saya tidak akan menimpakan beban yang begitu berat, apalagi bagi para orator kita, yang sangat terlibat dalam kehidupan kota, sehingga saya melarang mereka untuk tidak mengetahui apa pun. Namun kekuatan orator dan profesinya yang fasih tampaknya mengharuskan dia berbicara secara lengkap dan formal tentang setiap topik yang diajukan kepadanya.

Tentu saja tantangan ini tampak sangat besar, bahkan tidak terbatas, bagi kebanyakan orang. Saya juga menyadari bahwa orang-​orang Yunani yang cerdas dan berpengetahuan luas, termasuk beberapa orang yang memiliki banyak kesempatan untuk belajar, telah membagi seni berbicara dan, alih-​alih menguraikan setiap aspek, telah mengisolasi jenis pidato yang dipraktikkan di pengadilan dan dalam pertimbangan-​pertimbangannya hanya diperuntukkan bagi orator.

Dalam buku-​buku saya ini, saya tidak akan membahas lebih dari apa yang telah dimasukkan ke dalam kategori ini setelah penyelidikan yang cermat dan banyak diskusi, menurut konsensus dari otoritas-​otoritas yang ternama. Saya tidak akan mencari daftar ajaran-​ajaran spesifik berdasarkan pelatihan-​pelatihan yang kita terima di awal masa remaja, namun berdasarkan ajaran-​ajaran yang saya yakini disampaikan oleh para pendahulu kita yang paling fasih, dan dengan cara yang sesuai dengan status tinggi mereka. Bukan berarti saya meremehkan karya para penulis dan guru-​guru Yunani. Sebab, petunjuk seperti itu sudah tersedia bagi semua orang dan tidak dapat disajikan lebih indah atau diungkapkan dengan lebih tepat dalam terjemahan saya. Maka maafkanlah aku, saudaraku, karena memberi lebih banyak wewenang kepada orang-​orang yang dianggap fasih oleh orang-​orang Romawi daripada orang-​orang Yunani.

Cicero kemudian menjelaskan latar dan konteks dialog selanjutnya, dengan menempatkannya pada tahun 91 SM di tempat peristirahatan Tusculan milik mantan konsul Lucius Licinius Crassus. Dia menyebut tokoh-​tokoh hebat lainnya, seperti Marcus Antonius, Quintus Mucius Scaevola dan Quintus Lutatius Catulus, semuanya mantan konsul, saudara tiri Catulus yakni Gaius Julius Caesar Strabo Vopiscus, dan dua politisi yang sedang naik daun dari generasi muda, Gaius Aurelius Cotta dan Publius Sulpicius Rufus.

Pembaca Romawi yang jeli akan zaman Cicero pasti memahami bahwa tahun 91 SM melambangkan ketenangan yang tidak begitu nyaman sebelum badai kekacauan perang saudara meletus. Crassus meninggal pada akhir tahun itu, dan empat lawan bicara lainnya tewas tidak lama kemudian dalam pergolakan politik. Namun di Tusculan, para orator meluangkan waktu untuk terlibat dalam diskusi yang penuh semangat namun bersahabat mengenai hakikat dan fungsi sebuah orasi, dan cara terbaik untuk mencapai kefasihan berbicara.

[Crassus][5] memulai dengan mencatat bahwa Sulpicius dan Cotta tampaknya layak mendapat pujian daripada nasihat karena mereka telah mencapai kompetensi berbicara di depan publik yang tak tertandingi oleh kolega-​kolega mereka dan sebanding dengan yang lebih tua.

“Tak ada hal yang lebih menakjubkan,” katanya, “selain mampu, dengan berbicara, untuk mempertahankan perhatian majelis-​majelis, memikat pikiran orang, dan mengarahkan keinginan mereka ke arah mana pun yang Anda inginkan. Kegiatan yang satu ini selalu berkembang dan menonjol di kalangan masyarakat yang bebas, terutama di masyarakat yang tenang dan damai.

‘Karena apa yang lebih menakjubkan dari kemampuan seseorang, baik sendiri-​sendiri atau bersama dengan beberapa teman lain, untuk secara efektif menjalankan kemampuan alamiah yang diberikan oleh alam bagi kemanfaatan semua orang? Apa yang lebih menarik di telinga dan pikiran daripada sebuah orasi-​pidato yang telah diperkaya dengan opini-​opini yang bijaksana dan tutur bahasa yang mengesankan? Apa yang sebegitu kuat dan mengesankan kecuali kemampuan seseorang untuk memengaruhi emosi masyarakat, ketelitian para hakim, pertimbangan bijaksana para senator semuanya melalui pidato? Betapa mulianya, betapa pantas bagi orang merdeka, untuk murah hati dalam memberikan bantuan kepada orang-​orang yang memohon kepadanya, menyadarkan orang-​orang yang menderita, menjamin kelangsungan hidup mereka, pembebasan dari bahaya, melestarikan hak-​hak warga negara?

Dan betapa pentingnya memiliki senjata yang dapat digunakan untuk melindungi diri sendiri atau dengan aman menuduh orang lain atau ketika terluka mampu membalaskan dendam! Namun Anda tidak perlu selalu memikirkan forum, bangku sidang, podium pembicara, atau gedung senat. Apa yang lebih menyenangkan di saat bersantai atau lebih pantas bagi orang yang berbudaya daripada percakapan humor-​jenaka dan sama sekali tidak kasar? Bagaimanapun, keuntungan terbesar kita dibandingkan binatang liar adalah kemampuan kita untuk berkomunikasi satu sama lain dan mengungkapkan pikiran kita dalam ucapan.

‘Kalau begitu, siapa yang tidak mengagumi kemampuan ini dan menganggapnya sangat layak untuk dikembangkan agar dapat mengungguli manusia lain sebagaimana manusia unggul atas hewan? Untuk sampai pada poin paling penting ini, apalagi bila bisa mengumpulkan orang-​orang yang terpencar-​pencar ke dalam satu lokasi atau membawa mereka dari cara hidup yang buas dan kasar ke kondisi peradaban kita saat ini, atau memberikan komunitas-​komunitas yang sudah mapan hukum-​hukum, pengadilan, dan hak-​hak mereka?

‘Dan agar tidak usah bersusah payah mengejar lebih jauh berbagai keuntungan yang hampir tak terhitung jumlahnya itu, saya akan merangkumnya dulu secara singkat: adalah keyakinan saya bahwa bimbingan dan kebijaksanaan para orator yang ideal adalah basis bukan hanya untuk martabatnya sendiri namun juga kesejahteraan bagi sebagian besar warga dan negara secara keseluruhan.’

Scaevola menanggapi Crassus, bahwa Crassus memberi terlalu banyak porsi kekuasaan pada kefasihan berbicara dan menjadikan tugas orator lebih besar dari yang sebenarnya. Dia secara implisit membedakan kefasihan berbicara dari kebijaksanaan dan menunjukkan contoh-​contoh di mana pembicara yang fasih bisa saja membujuk orang lain untuk melakukan tindakan yang salah atau tindakan tak bermoral. Tapi Crassus tidak yakin.

Crassus menjawab:

‘Saya sadar betul, Scaevola,[6] bahwa orang-​orang Yunani rutin mendiskusikan dan memperdebatkan hal ini. Karena saya mendengar dari orang yang paling terkemuka, ketika sebagai quaestor saya datang ke Athena dari Makedonia, ketika Akademi berada dalam performa terbaiknya, seperti sering dikatakan orang, ketika Charmadas, Clitomachus, dan Aeschines memimpin.[7] Ada juga Metrodorus, yang bersama orang-​orang lain dengan rajin menghadiri orasi-​orasi Carneades, yang konon pembicara paling tajam dan paling ekspansif; Mnesarchus juga, yang pernah belajar dengan Panaetius itu, sedang berada di masa jayanya; begitu pula Diodorus, murid Critolaus[8] yang berkeliling dari satu tempat ke tempat lain. Dan masih banyak lagi pangeran dan bangsawan filsafat yang berupaya seakan kompak dalam satu suara menyingkirkan para orator dari pemerintahan, menyangkal bahwa orator punya cara pembelajaran tersendiri atau pengetahuan tentang hal-​hal penting dan membuangnya ke ruang-​ruang sidang pengadilan dan majelis-​majelis yang tidak penting seperti ke tempat penggilingan.

“Tetapi saya tidak setuju dengan mereka (para filsuf itu) atau dengan Plato, yang mengemukakan argumen-​argumen seperti itu dan celakanya sampai sejauh ini dialah pembicara yang paling serius dan paling fasih. Saya membaca buku dia Gorgias[9] dengan sangat cermat bersama Charmadas ketika saya berada di Athena dan cukup terkejut karena ketika mengolok-​olok orator, Plato sendiri tampil sebagai orator terbaik. Sebab kontroversi tentang sebuah kata telah lama menyiksa orang-​orang Yunani, yang lebih menyukai perselisihan daripada kebenaran.

‘Tapi mengapa, jika istilah “orator” dibatasi pada seseorang yang memiliki kemampuan untuk berbicara secara cerdas di pengadilan atau di hadapan rakyat atau di senat, masih perlu untuk mengaitkan banyak hal dengan orang itu. Sebab orator tidak dapat memikul tanggung jawab tersebut dengan baik tanpa banyak pengalaman dalam urusan publik, tanpa pengetahuan tentang peraturan, adat kebiasaan dan hukum, dan tanpa memahami sifat dan kebiasaan-​kebiasaan manusia. Tetapi jika dia mengetahui hal-​hal ini, yang tanpanya dia tak dapat memberikan apa pun bahkan panduan dasar dalam kasus-​kasus hukum, apa sebenarnya kekurangan dia dalam hal pengetahuan tentang hal-​hal yang paling besar?

Bahkan jika Anda membatasi kekuasaan orator hanya pada berbicara dengan teratur, canggih dan berpengetahuan luas, saya masih ingin tahu siapa yang dapat mencapai hal ini tanpa mengetahui bahwa Anda menolak untuk memberikan status tersebut? Karena tidak ada keutamaan sejati dalam berbicara kecuali si pembicara mengetahui apa yang dibicarakannya.

‘Jadi, jika filsuf alam Democritus[10] berbicara dengan cara yang halus, seperti yang dilaporkan dan tampaknya juga begitu bagi saya, maka pokok materinya adalah tilikan seorang ilmuwan alam, adapun budi bahasanya yang halus mencerminkan dia seorang orator; dan jika Plato berbicara sangat baik, seperti yang kutahu, tentang hal-​hal yang jauh dari kontroversi publik; jika Aristoteles juga, jika Theophrastus,[11] jika Carneades juga, dalam topik perdebatan mereka fasih dan menarik serta canggih, mari kita terima bahwa masalah yang mereka diskusikan adalah milik disiplin ilmu lain, namun bahasa mereka adalah bagian dari disiplin ini yang sekarang sedang kita diskusikan dan selidiki.

‘Karena kita juga melihat bagaimana mungkin mendiskusikan topik yang sama dengan cara yang kering dan lemah, seperti misalnya Chrysippus,[12] yang dikatakan orang sangat suka berdebat dan dalam hal ini bukannya tidak memadai dalam filsafat, namun kurang fasih yang diperoleh dari seni yang berbeda. Lalu apa bedanya atau bagaimana Anda membedakan kekayaan orasi orang-​orang yang telah saya sebutkan tadi dari kelemahan orang lain, yang tidak memanfaatkan keberagaman gaya dan keanggunan orasi tersebut? Ada satu hal yang dibawa oleh penutur yang baik sebagai milik mereka sendiri, yakni: bahasa yang tertata, anggun, dan ditandai dengan seni dan kehalusan tertentu.

Namun gaya bicara seperti ini, jika inti masalahnya tidak dirasakan dan dipahami oleh orator, maka tidak ada gunanya sama sekali dan menjadikannya cemoohan orang banyak. Sebab apa yang begitu tidak masuk akal kecuali bunyi-​bunyian kosong dari bahasa yang sangat bagus dan canggih, namun tidak memiliki substansi dan pengetahuan? Oleh karena itulah, apa pun gagasannya, dari disiplin ilmu apa pun, dalam bentuk apa pun, orator, yang seolah-​olah sedang membela kasus kliennya, akan membicarakannya dengan cara yang lebih baik dan lebih anggun daripada orang yang menemukan atau mengembangkannya.

‘Sekarang, jika seseorang mengklaim bahwa topik dan isu tertentu merupakan perhatian khusus para orator dan bahwa pengetahuan mereka terbatas hanya di ruang pengadilan, saya akui bahwa cara kita berbicara lebih konsisten diterapkan dalam isu-​isu tersebut; namun, urusan ini mencakup banyak hal yang tidak diajarkan atau dipahami oleh para instruktur, yang disebut ahli retorika itu. Siapa yang tidak menyadari bahwa kekuatan terbesar seorang orator adalah menghasut pikiran manusia untuk marah atau benci atau sedih dan mengingatkan mereka dengan emosi-​emosi yang sama itu menuju kelembutan dan belas kasihan? Tidak ada satu pun yang dapat ia capai dalam pidatonya kecuali ia punya pemahaman menyeluruh tentang kodrat manusia, tentang keseluruhan kebudayaan manusia dan tentang cara dan sarana untuk mengembangkan atau mengubah keyakinan-​keyakinan manusia.

‘Dan keseluruhan bidang penyelidikan ini mungkin tampak cocok bagi para filsuf, dan para orator tidak akan pernah keberatan dengan penjelasanku ini. Namun begitu dia menyerahkan pemahaman akan beberapa hal kepada para filsuf, agar mereka sendiri yang mengembangkannya secara panjang lebar, biarkan para filsuf itu menyatakan pemahaman mereka sendiri dalam ucapan, mengakui bahwa pemahaman tersebut tidak ada artinya tanpa sepengetahuan para filsuf. Karena inilah keahlian khusus seorang orator, seperti sudah sering kutekankan: pidato yang serius dan anggun yang disesuaikan dengan pikiran dan perasaan manusia.’

Setelah menolak klaim Scaevola bahwa filsafat dan retorika adalah dua hal yang saling mengeksklusi, Crassus membuat argumen yang sama sehubungan dengan studi hukum. Seseorang dapat mencapai kemajuan dengan mengambil spesialisasi dalam bidang filsafat atau hukum, namun itu tidak berarti bidang tersebut terlarang bagi orator.

Oleh karena itu, jika ada yang mencari pengertian umum dan khusus tentang istilah “orator”, menurutku orator yang benar-​benar pantas menyandang gelar bermartabat itu adalah orang yang, apa pun topik yang dibicarakan, akan senantiasa berbicara bijaksana, tertib, halus dan akurat, sambil membawa diri secara bermartabat. Dan jika ungkapanku “tentang topik apa pun” tampak terlalu luas, itu dapat dipotong dan dipangkas sesuai keinginan masing-​masing orang.

Namun aku akan tetap menyatakan bahwa meskipun seorang orator tidak mengetahui isi dari ilmu pengetahuan dan seni lainnya dan hanya menangkap dan memahami apa yang relevan dengan perdebatan politik dan hukum, tetap saja jika ia merasa perlu untuk berbicara tentang hal-​hal lain, begitu ia telah mempelajari hal-​hal khusus itu dari para spesialis, dia akan mengatakannya dengan jauh lebih efektif dibandingkan mereka yang punya kompetensi khusus untuk itu.


[1] Quintus: Cicero mengalamatkan risalah ini untuk adik laki-​lakinya Quintus Tullius Cicero (sekitar 102–43 SM), yang naik pangkat menjadi praetor dan menjabat sebagai gubernur Asia.

[2] Tempat yang dimaksud: Roma, sebagai pusat imperium yang terus berekspansi.

[3] konsul: Cicero memegang jabatan konsul, jabatan terpilih tertinggi di Republik Romawi, pada tahun 63 SM.

[4] grammatici: adalah para sarjana dan guru yang berspesialisasi dalam menjelaskan dan menafsirkan bahasa dan sastra. Ketika sistem pengajaran di Roma sudah teratur, para ahli grammatici mengajar siswa tingkat rendah sementara ahli retorika (rhetores) mengajar para siswa tingkat lanjut.

[5] Crassus: Lucius Licinius Crassus (140–91 SM), konsul 95 SM, dalam pandangan Cicero adalah salah satu orator terkemuka dari generasi sebelum dia, bersama dengan Marcus Antonius, konsul 99 SM. Publius Sulpicius Rufus (tribun Plebs 88 SM) dan Gaius Aurelius Cotta (konsul 75 SM) adalah bangsawan-​bangsawan muda, yang digambarkan dalam On the Orator sedang mencari bimbingan dari Crassus dan Antonius.

[6] Scaevola: Quintus Mucius Scaevola (konsul 117 SM), juga disebut Augur karena keanggotaannya yang lama di College of Augurs, terkenal sebagai orator dan sarjana hukum.

[7] Quaestor adalah pejabat keuangan yang menemani seorang gubernur ke suatu provinsi. Akademi tersebut didirikan oleh Plato, dan masih berkembang hingga saat berlangsungnya percakapan ini di Athena. Charmadas, Clitomachus dan Aeschines semuanya adalah filsuf-​filsuf lapis kedua Yunani.

[8] Metrodorus … Critolaus: Metrodorus mungkin adalah filsuf Metrodorus dari Stratonicea, yang perlu dibedakan dari Metrodorus dari Scepsis, yang terkenal dengan sistem ingatannya. Carneades (214/13–129/8 SM) memimpin gerakan filsafat yang dikenal sebagai Akademi Baru. Pandangannya sering dibahas dalam risalah-​risalah filosofis Cicero. Panaetius dari Rhodes (hidup sekitar 185–109 SM) adalah seorang filsuf Stoa penting yang pendekatannya punya pengaruh besar di Roma, termasuk pada karya-​karya Cicero sendiri. Critolaus adalah seorang filsuf keliling terkemuka, pengikut aliran pemikiran yang diprakarsai Aristoteles. Diodorus dari Tirus adalah penggantinya sebagai kepala sekolah keliling di Athena. Carneades dan Critolaus keduanya merupakan bagian dari delegasi filsafat terkenal ke Roma pada tahun 156/5 SM. Crassus di sini mengacu pada perwakilan tiga dari empat gerakan filsafat utama pada periode tersebut.

[9] Plato … Gorgias: Plato (sekitar 429–347 SM), filsuf Athena terkenal. Dalam dialognya, Gorgias, ia menampilkan Socrates terlibat dalam perdebatan dengan orator Gorgias dan yang lainnya mengenai makna dan nilai retorika.

[10] Democritus: Democritus adalah seorang filsuf Yunani yang aktif pada paruh kedua abad ke-5 SM. Hanya sebagian kecil dari tulisannya yang tersisa, di mana ia mengembangkan teori atom tentang alam semesta.

[11] Theophrastus: Theophrastus adalah penerus Aristoteles sebagai pemimpin gerakan Peripatetik (filsuf yang berkeliling). Dia banyak menulis tentang topik etika, logika dan ilmu pengetahuan alam.

[12] Chrysippus: Chrysippus dari Soli (sekitar 280–207 SM) adalah pembela filsafat Stoa yang produktif dan gigih.