BUKU SATU
1
Retorika adalah saudara kembar dialektika. Keduanya berkenaan dengan hal-hal yang lebih kurangnya berada dalam cakupan pemahaman semua orang dan tidak secara jelas merupakan bagian dari ilmu tertentu. Karena alasan itu semua orang bisa dibilang menggunakan keduanya, sebab pada taraf tertentu semua orang berusaha mendiskusikan pernyataan-pernyataan, dan mempertahankan pernyataan mereka, atau menyerang lawan bicara. Orang biasa melakukan ini baik secara acak atau melalui praktik dan mendapatkannya melalui kebiasaan. Karena sama-sama mungkin menggunakan keduanya, topiknya bisa secara jelas ditangani secara sistematis, karena adalah mungkin untuk menyelidiki alasan kenapa pembicara tertentu berhasil menggunakannya melalui latihan sementara yang lain secara spontan; dan semua orang akan seketika setuju bahwa retorika adalah bentuk seni terapan.
Para perancang risalah tentang retorika telah membangun sebagian kecil saja dari seni ini. Gaya-gaya persuasi adalah komponen sejati seni ini, sementara yang lain hanyalah aksesori. Namun para penulis ini tidak mengatakan apa pun tentang enthymeme,[1] yang merupakan substansi persuasi retoris, tapi berurusan khususnya dengan hal-hal yang tak esensial. Bangkitnya prasangka, rasa kasihan, marah, dan emosi serupa tak ada hubungannya dengan fakta-fakta mendasar, tapi hanyalah daya tarik personal bagi orang yang sedang menghakimi kasus retorika. Akibatnya jika konvensi-konvensi untuk pengadilan yang mendasari negara-negara terutama dalam negara yang terkelola dengan baik diterapkan di mana saja, maka orang-orang takkan punya sesuatu untuk dikatakan. Semua orang, sudah pasti, berpikir bahwa hukum haruslah menetapkan aturan-aturan itu, tapi sebagian, seperti dalam pengadilan Areopagus, memberikan efek praktis bagi pikiran mereka dan melarang bicara tentang hal-hal yang tak esensial. Ini hukum dan adat yang kuat. Tidaklah benar memperalat hakim dengan cara membuatnya marah atau iri atau kasihan. Selain itu, seorang penegak keadilan jelas tak punya tugas selain menunjukkan bahwa fakta yang dinyatakan bersifat begini atau begitu, bahwa ia terjadi atau tidak terjadi. Tentang apakah satu hal penting ataukah tidak penting, adil atau tak adil, hakim tentu harus menolak untuk dipengaruhi penegak keadilan: ia harus memutuskan sendiri semua poin itu, dan tanpanya ia tak bisa disebut pembuat hukum.
Adalah momen besar ketika hukum-hukum yang dinyatakan secara jelas mendefinisikan semua poin yang bisa mereka tegaskan dan meninggalkan sesedikit mungkin pada hakim untuk memutuskan sendiri, dan ini karena beberapa alasan. Pertama, karena menemukan seseorang atau lebih yang bersifat peka dan mampu mengelola keadilan adalah lebih mudah dibanding menemukan dalam jumlah banyak. Selain itu, hukum dibuat setelah melalui pertimbangan panjang, sedangkan keputusan di pengadilan diberikan melalui pengamatan singkat, yang membuat sulit mereka yang bermaksud untuk membuat agar kasusnya memuaskan klaim keadilan dan kebutuhan. Alasan paling berbobot di antara semuanya adalah bahwa keputusan pengadilan tidaklah khusus melainkan prospektif dan general, sedangkan para anggota peradilan dan hakim bertugas memutuskan kasus-kasus yang dibawa ke hadapan mereka. Mereka sering membiarkan diri sendiri begitu dipengaruhi oleh perasaan pertemanan atau kebencian atau kepentingan pribadi, sehingga kehilangan pandangan jernih atas kebenaran, dan keputusan mereka dikeruhkan oleh persoalan suka atau benci yang merupakan urusan personal. Secara umum, hakim harus diperbolehkan untuk membuat keputusan sesedikit mungkin. Tapi pertanyaan tentang apakah satu hal telah terjadi ataukah tidak, akan terjadi ataukah tidak, sedang terjadi atau tidak, tidak perlu dibebankan pada hakim, karena pengadilan tak bisa melihat itu jauh-jauh hari. Jika demikian, adalah jelas bahwa siapa pun yang meletakkan aturan tentang urusan lain, seperti apakah seharusnya kandungan dari ‘pengantar’ atau ‘narasi’ atau bagian lain sebuah ceramah, ia sedang berteori tentang yang tak esensial, namun seolah itu semua adalah bagian dari seni. Pertanyaan tunggal yang dengannya para penulis ini berurusan adalah bagaimana menempatkan hakim ke dalam sebuah kerangka pikiran tertentu. Tentang gaya persuasi orator yang layak, mereka tak pernah menyampaikan kepada kita, tak ada yang membahas bagaimana cara mendapatkan keahlian dalam hal enthymemes.
Maka meskipun prinsip sistematis yang sama diterapkan dalam bidang orasi politik sekaligus retoris, dan meski yang disebut di awal lebih punya kedudukan tinggi dan lebih sesuai bagi penduduk sebuah kota ketimbang orasi yang berkenaan dengan hubungan pribadi antar individu, para pengarang ini memang tak membahas orasi politik, namun mencoba menulis risalah demi menyenangkan pendengarnya di pengadilan. Alasan tentang ini adalah bahwa dalam orasi politik kurang ada dorongan untuk bicara tentang yang tidak esensial. Orasi politik tidak begitu berkenaan dengan praktik yang prinsipnya sangat ketat dibanding orasi retoris, karena ia menangani urusan yang lebih luas. Dalam sebuah debat politik, orang yang membuat sebuah penilaian memutuskan tentang kepentingan-kepentingan vitalnya sendiri. Maka tak perlu membuktikan apa pun kecuali bahwa fakta-faktanya adalah apa yang dipertahankan oleh pendukung penilaian itu. Dalam orasi retoris, ini belum cukup. Menyesuaikan diri dengan pendengar adalah yang diperlukan di sini. Urusan orang lainlah yang harus diputuskan, sehingga para hakim, yang bermaksud mengejar kepuasan mereka sendiri dan menyimak dengan keberpihakan, menyerahkan diri mereka sendiri kepada para pengritik dan bukannya menjadi hakim di antara mereka. Maka di banyak tempat, seperti sudah kami katakan, pembicaraan yang tak relevan dilarang dalam pengadilan hukum. Dalam kumpulan di tempat umum, mereka yang harus membentuk penilaian adalah mereka yang mampu bertindak dan sekaligus mampu melawan penilaian itu. Maka jelas bahwa studi retorika dalam pengertiannya yang hakiki berkenaan dengan jenis-jenis persuasi. Persuasi jelaslah sejenis pertunjukan, karena kita berada dalam kondisi paling mudah diyakinkan jika kita menganggap bahwa harus ada sebuah pertunjukan. Pertunjukan sang orator adalah sebuah enthymeme, dan ini secara umum adalah cara persuasi yang paling efektif. Enthymeme adalah sejenis silogisme, dan pertimbangan akan segala jenis silogisme tanpa terkecuali adalah urusan dialektika, baik dialektika secara keseluruhan maupun salah satu cabangnya. Maka dengan demikian jelas bahwa ia yang paling mampu melihat bagaimana dan dari elemen-elemen apa sebuah silogisme dihasilkan juga akan menjadi sangat terampil dalam menguasai enthymeme, saat ia mengetahui lebih lanjut seperti apakah topiknya dan dalam hal apakah ia berbeda dari silogisme logika sejati. Apa yang benar dan mendekati kebenaran dipahami oleh satu kemampuan yang sama. Patut pula dicatat bahwa manusia punya naluri alamiah untuk mengetahui apa yang benar dan selalu sampai pada kebenaran. Maka orang yang mampu menebak kebenaran cenderung akan mampu dengan baik menentukan probabilitas. Sekarang telah tampak bahwa para penulis biasa tentang retorika membahas hal-hal yang tak esensial; telah tampak pula kenapa mereka berkecenderungan ke arah orasi retoris.
Retorika berguna karena hal-hal yang benar dan hal-hal yang baik punya kecenderungan alamiah untuk terbukti unggul dibanding lawannya, sehingga jika keputusan hakim bukanlah seperti apa yang seharusnya diputuskan maka kekalahan pastilah ada di pihak para pembicara itu sendiri, dan karenanya mereka pastilah dipersalahkan. Terlebih, di hadapan para audiens, kepemilikan akan pengetahuan paling pasti pun tidak menjamin akan menghasilkan keyakinan secara mudah. Karena argumen berdasarkan pengetahuan menyiratkan instruksi, dan ada orang-orang yang tidak bisa diberi instruksi. Maka kita harus menggunakan jenis-jenis persuasi dan argumen kita, pernyataan yang dimiliki oleh semua orang, saat kita membahas topik-topik yang berkenaan dengan cara menangani audiens dari kalangan umum. Selain itu, kita harus mampu menerapkan persuasi, sejauh penalaran ketat bisa diterapkan, pada sisi yang berkebalikan dari sebuah pertanyaan, bukan agar kita bisa secara praktis menerapkannya dengan kedua cara (karena kita tak boleh membuat orang mempercayai yang salah) tapi agar kita bisa melihat secara jelas seperti apakah faktanya, dan jika orang lain berargumen secara tidak benar maka kita mungkin bisa membuktikan kepadanya bahwa ia salah. Tak ada kemampuan untuk mengambil kesimpulan yang sebaliknya: ini sudah dilakukan sekaligus oleh dialektika dan retorika. Kedua keterampilan ini mengambil kesimpulan yang berkebalikan secara tidak memihak. Meski demikian, fakta yang mendasarinya tidak punya karakteristik ke arah pandangan yang berkebalikan. Tidak, hal-hal yang benar dan hal-hal yang lebih baik hakikatnya secara praktis selalu lebih mudah untuk dibuktikan dan lebih mudah untuk dipercaya. Selain itu, adalah absurd untuk berpegang bahwa seorang manusia harus malu karena tak mampu mempertahankan diri dengan tangan dan kakinya, tapi tak perlu malu kalau tak bisa mempertahankan diri dengan tuturan dan nalar, padahal tuturan yang rasional itu lebih merupakan ciri pembeda manusia dibandingkan kegunaan tangan dan kaki. Dan jika dibantah bahwa orang yang menggunakan kemampuan bicara secara tidak adil akan menyebabkan kerugian, ini adalah sebuah tuduhan yang mungkin dibuat secara umum terhadap semua hal baik kecuali kebajikan, dan di atas segalanya terhadap hal-hal yang paling berguna, seperti kekuatan, kesehatan, kekayaan, dan kepemimpinan. Seorang manusia bisa memberikan keuntungan terbesar dengan cara menggunakan ini semua secara tepat, dan memberi luka dengan cara menggunakan mereka secara salah.
Maka jelas bahwa retorika tidaklah terikat oleh satu kelas atau topik tertentu, tapi sama universalnya dengan dialektika. Ia jelas, sekaligus berguna. Maka jelas bahwa fungsi retorika bukan hanya agar berhasil dalam meyakinkan audiens, tapi lebih ke arah menemukan cara untuk mencapai kesuksesan sejauh situasi memungkinkan. Dalam hal ini ia mirip dengan semua keterampilan lain. Misalnya, fungsi obat bukanlah hanya untuk menjadikan manusia tetap sehat, namun juga membuatnya sedekat mungkin pada jalan menuju kesehatan. Adalah mungkin untuk memberikan perlakuan istimewa terhadap mereka yang bahkan tak pernah bisa menikmati kesehatan prima. Terlebih, jelas bahwa keterampilan ini berguna pula untuk mengenali cara-cara persuasi yang nyata dan tampak, sebagaimana fungsi dialektika adalah untuk mengenali silogisme yang nyata dan jelas. Apa yang membuat seorang manusia menjadi seorang ‘sofis’ bukanlah kemampuannya, melainkan tujuan moralnya. Namun dalam retorika, istilah ‘ahli retorik’ bisa menggambarkan pengetahuan pembicara atas keterampilan ini ataupun tujuan moralnya. Dalam dialektika kondisinya berbeda: seseorang menjadi ‘sofis’ karena ia mempunyai sejenis tujuan moral tertentu, dalam hal ini seorang ‘ahli dialektika’. Ia menjadi sofis bukan karena tujuan moralnya, namun karena kemampuannya.
Marilah kini kita jelaskan prinsip-prinsip sistematis retorika itu sendiri, metode yang benar dan cara-cara agar berhasil dalam mencapai tujuan yang ada di hadapan kita. Kita harus memulai dari awal, dan mendefinisikan apa itu retorika sebelum kita melangkah lebih lanjut.
2
Retorika mungkin bisa didefinisikan sebagai kemampuan mengamati dalam setiap kasus tertentu cara-cara persuasi yang tersedia. Ini bukanlah fungsi yang dimiliki oleh keterampilan apa pun lainnya. Setiap keterampilan lain bisa memerintah atau melakukan persuasi terhadap subjek bahasannya. Misalnya, kedokteran tentang apa yang sehat dan tidak sehat, geometri tentang bidang yang punya ukuran, aritmetika tentang angka, dan hal yang sama berlaku pula pada bidang seni dan sains lainnya. Tapi retorika kita pandang sebagai kemampuan untuk mengamati cara-cara persuasi terhadap nyaris semua topik yang dipaparkan kepada kita, dan itulah kenapa kita bilang bahwa dalam karakter teknisnya ia tidak berkenaan dengan kelas topik khusus atau tertentu.
Di antara gaya-gaya persuasi, sebagian di antaranya merupakan bagian yang erat berhubungan dengan seni retoris, sebagian lainnya tidak. Kusebut tidak, artinya hal-hal seperti itu tidak didukung oleh si pembicara tetapi ada sebagai saksi-saksi yang ada sejak awal, bukti yang diberikan di bawah siksaan, kontrak tertulis, dan seterusnya. Kusebut merupakan bagian tak terpisahkan, maksudnya kita bisa membentuk persuasi sendiri melalui sarana prinsip-prinsip retorik. Satu jenis persuasi tinggal digunakan, yang lainnya harus diciptakan. Di antara gaya-gaya persuasi, ada tiga jenis yang disiapkan melalui kata-kata lisan. Jenis pertama adalah yang tergantung pada karakter personal si pembicara; jenis kedua yaitu pembicara yang menempatkan audiens ke dalam satu kerangka pikir tertentu; jenis ketiga yaitu yang mengandalkan bukti, atau sesuatu yang tampaknya merupakan bukti, diukur dari kata-kata dalam orasi itu sendiri. Persuasi dicapai oleh karakter pribadi si pembicara ketika orasi itu disampaikan sedemikian rupa demi membuat kita berpikir bahwa ia pribadi yang cakap. Kita lebih mudah percaya sepenuhnya kepada orang baik, ini secara umum benar apa pun pertanyaannya, dan sepenuhnya benar ketika keyakinan total adalah hal mustahil dan ketika opini terbelah. Persuasi jenis ini sebagaimana yang lain harus dicapai oleh apa yang dikatakan si orator, tidak melalui apa yang dipikirkan orang tentang karakternya sebelum ia mulai bicara. Tidaklah benar—sebagaimana diasumsikan para penulis dalam risalah mereka tentang retorika—bahwa kebaikan personal si orator tidak berkontribusi apa pun terhadap kemampuan persuasinya. Sebaliknya, karakternya hampir bisa disebut merupakan sarana persuasi paling efektif yang ia miliki. Kedua, persuasi bisa merasuki para pendengarnya ketika orasi itu menggerakkan emosi mereka. Penilaian kita saat kita merasa senang dan ramah tidaklah sama dengan penilaian ketika kita terluka atau merasa benci. Demi menghasilkan efek-efek inilah, sebagaimana kita kehendaki, para penulis tentang retorika sekarang ini bekerja keras. Topik ini akan dibahas secara rinci saat kita sampai pada bahasan tentang emosi. Ketiga, persuasi dihasilkan melalui orasi itu sendiri ketika kita telah membuktikan satu kebenaran atau satu hal yang tampak sebagai kebenaran melalui sarana-sarana argumen persuasif yang sesuai dengan kasus yang bersangkutan.
Maka inilah tiga cara untuk mencapai persuasi yang efektif. Orang yang menguasai ketiganya sudah jelas akan mampu (1) menalar secara logis, (2) memahami karakter manusia dan kebaikan dalam berbagai bentuknya, dan (3) memahami emosi, menamai mereka, dan mendeskripsikannya, demi mengetahui penyebab dan cara untuk membangkitkannya. Maka tampak bahwa retorika adalah sebuah cabang dialektika sekaligus studi etika. Studi etika mungkin bisa disebut studi politis, dan untuk alasan inilah retorika menyamar sebagai ilmu politik, dan para pengajarnya dianggap ahli politik—kadang karena kurang pendidikan, kadang karena maksud berlagak, dan kadang karena kesalahan manusiawi lainnya. Pada kenyataannya, ini sebuah cabang dialektika dan mirip dengannya, sebagaimana kita katakan di awal. Baik retorika maupun dialektika bukan studi saintifik dari satu topik tertentu: keduanya adalah kemampuan untuk memberikan argumen. Ini mungkin adalah nilai penting cakupan mereka dan bagaimana mereka saling berhubungan. Mengenai persuasi yang dicapai dengan bukti atau sesuatu yang tampak sebagai bukti: sebagaimana dalam dialektika ada induksi di satu sisi dan silogisme atau sesuatu yang tampak sebagai silogisme di sisi lain, begitu pula retorika. Contohnya adalah induksi, enthymeme adalah silogisme, dan sesuatu yang tampak sebagai enthymeme adalah sesuatu yang tampak sebagai silogisme. Aku sebut enthymeme sebuah silogisme retoris, dan contohnya adalah sebuah induksi retoris. Siapa pun yang menghasilkan persuasi melalui bukti pada kenyataannya menggunakan enthymeme atau contoh-contoh—tidak ada kemungkinan lain. Dan karena semua orang yang membuktikan apa pun cenderung untuk menggunakan silogisme atau induksi (dan ini jelas bagi kita dari analisis), maka berarti enthymeme adalah silogisme dan contoh-contoh adalah induksi. Perbedaan antara contoh dan enthymeme diperjelas oleh baris-baris dalam topik yang membahas induksi dan silogisme. Saat kita mendasarkan bukti satu preposisi atau sejumlah kasus yang mirip, ini adalah induksi dalam dialektika, contoh dalam retorika. Ketika tampak bahwa pernyataan tertentu bernilai benar, sebagai konsekuensinya pernyataan yang berikutnya dan yang sangat berbeda juga harus benar, secara konstan atau selalu, dan ini disebut silogisme dalam dialektika, dan enthymeme dalam retorika. Jelas pula bahwa masing-masing tipe orasi ini punya keuntungan masing-masing. Kubilang tipe-tipe orasi, karena apa yang telah dikatakan dalam Methodics[2] berlaku sama besar di sini, dalam gaya-gaya orasi tertentu ada contoh-contoh yang terbukti unggul, dalam gaya orasi lain yang terbukti unggul adalah enthymeme; dan dengan cara yang serupa, orator tertentu lebih baik daripada yang terdahulu dan orator lama lebih baik daripada penggantinya. Tuturan yang bergantung pada contoh-contoh sama persuasifnya dengan tuturan jenis lain, tapi mereka yang bergantung pada enthymeme merangsang tepuk tangan lebih keras. Sumber-sumber contoh dan enthymeme dan penggunaan mereka yang tepat akan kita diskusikan belakangan. Langkah kita selanjutnya adalah mendefinisikan proses-proses itu sendiri secara lebih jelas. Sebuah pernyataan bersifat persuasif dan bisa dipercaya karena secara langsung tak perlu dibuktikan atau karena itu tampak terbukti dari pernyataan lain yang terbukti. Kedua kasus itu bersifat persuasif karena ada seseorang yang ia persuasikan. Meski begitu tak ada di antara seni kecakapan itu yang berteori tentang apa yang akan membantu menyembuhkan Socrates atau Callias, tapi hanya tentang apa yang akan membantu satu atau semua pasien dari kelas tertentu. Ini saja urusannya. Kasus-kasus individual amatlah beragam sehingga pengetahuan sistematik tentang itu adalah mustahil. Dengan cara yang sama, teori retorika tidak berkenaan dengan apa yang mungkin terjadi pada para individu seperti Socrates atau Hippias, tapi berkenaan dengan apa yang tampak mungkin bagi para individu dengan tipe tertentu, dan ini berlaku benar dalam hal dialektika. Dialektika tidak menyusun silogismenya dari materi acak, seperti fantasi orang gila, tapi dari materi-materi yang perlu didiskusikan, dan retorika pun mengambil topik-topik yang banyak diperdebatkan. Tugas retorika adalah berurusan dengan hal-hal seperti itu saat kita berdiskusi tanpa skill atau sistem yang memandu kita, mendengar orang-orang yang tak bisa terlibat dalam argumen yang rumit atau mengikuti rantai panjang perdebatan. Topik-topik diskusi kita seperti menunjukkan pada kita berbagai alternatif kemungkinan: tentang hal-hal yang dulunya, sekarang, dan yang akan datang tidak bisa hadir kecuali sebagaimana adanya, dan tak ada yang mengambil kemungkinan itu apa adanya membuang waktu dengan penuh pertimbangan.
Adalah mungkin untuk membentuk silogisme dan menarik kesimpulan dari akibat-akibat silogisme sebelumnya, atau di sisi lain, dari premis-premis yang belum terbukti dan di saat yang sama begitu kecil diterima sehingga mereka membutuhkan bukti. Penalaran jenis pertama akan secara esensial sulit untuk diikuti karena panjangnya, karena kita beranggapan audiens adalah para pemikir yang tak terlatih; mereka yang terakhir ini akan gagal mendapatkan persetujuan, karena mereka berdasarkan pada premis-premis yang tidak secara umum diakui atau dipercayai.
Maka enthymeme dan contoh haruslah berkenaan dengan apa yang ada dalam kontingen utama, contoh menjadi sebuah induksi, dan enthymeme sebuah silogisme, tentang hal-hal seperti itu. Enthymeme haruslah mengandung sedikit pernyataan, sering lebih sedikit daripada pernyataan yang membangun silogisme normal. Karena jika ada di antara pernyataan ini yang mempunyai fakta familier, menyebutnya bahkan tidaklah perlu, itu karena pendengar sendirilah yang menambahkan ini. Maka untuk menunjukkan bahwa Dorieus merupakan pemenang dalam sebuah kontes yang hadiahnya adalah sebuah mahkota, cukuplah bilang ‘karena ia adalah pemenang dalam pertandingan Olimpiade,’ tanpa menambahkan ‘dan dalam pertandingan Olimpiade hadiahnya adalah sebuah mahkota’, satu kenyataan yang diketahui semua orang.
Hanya ada beberapa fakta penting yang bisa membentuk dasar silogisme retoris. Sebagian besar hal yang menjadi dasar kita mengambil keputusan, dan yang menjadi dasar kita mencari tahu, memberikan kita berbagai kemungkinan alternatif. Karena tindakan kitalah yang kita timbang-timbang dan amati, dan semua tindakan kita punya satu kontingen karakter, maka nyaris tidak ada di antara mereka yang ditentukan oleh keharusan. Selain itu, kesimpulan yang hanya menyatakan apa yang biasa atau mungkin pastilah diambil dari premis-premis yang melakukan hal yang sama, sebagaimana kesimpulan yang penting pastilah diambil dari premis-premis penting, dan ini pun jelas bagi kita dari analisis ini. Maka jelas bahwa pernyataan yang membentuk dasar enthymeme, meskipun sebagian darinya mungkin penting, sebagian besarnya biasanya benar. Nah, material enthymeme adalah probabilitas dan tanda-tanda, yang bisa kita lihat masing-masing berkorespondensi dengan pernyataan yang secara umum benar dan pernyataan yang sudah pasti benar. Sebuah probabilitas adalah satu hal yang biasanya terjadi, namun tidak dalam bentuk sebagaimana disugestikan oleh definisinya, meskipun itu biasa terjadi, tapi hanya jika ia berada dalam kategori ‘kontingen’ atau ‘variabel’. Probabilitas punya hubungan yang sama dengan sesuatu yang memungkinkannya terjadi seperti halnya yang universal mempunyai hubungan dengan yang khusus. Tentang tanda, satu jenis tanda mempunyai hubungan yang sama dengan pernyataan yang ia dukung sebagaimana yang khusus mendukung yang universal, sementara jenis tanda yang lain sebagaimana yang universal mendukung yang khusus. Jenis tanda yang tak bisa salah adalah sebuah ‘bukti penuh’; jenis tanda yang bisa salah tak punya nama spesifik. Apa yang kumaksud dengan tanda yang tak bisa salah adalah tanda yang bisa menjadi dasar silogisme, dan ini menunjukkan pada kita kenapa tanda jenis ini disebut ‘bukti penuh’. Ketika orang berpikir bahwa apa yang mereka katakan tak bisa ditolak, maka mereka berpikir bahwa mereka sedang menyodorkan satu bukti penuh, yang berarti bahwa soal itu kini telah didemonstrasikan dan dibereskan. Satu jenis tanda (di mana pernyataan yang ia dukung merupakan hubungan antara yang khusus dengan yang universal) mungkin bisa diilustrasikan seperti itu. Misalnya tanda itu berkata ‘fakta bahwa Socrates bijak dan adil adalah tanda bahwa si bijak itu adil’. Di sini kita jelas punya sebuah tanda; tapi bahwa meski pernyataannya benar, namun argumennya bisa dibantah, karena ia tidak membentuk satu silogisme. Misalnya di sisi lain dikatakan, ‘fakta bahwa ia demam adalah pertanda bahwa ia sakit’, atau ‘fakta bahwa ia mengeluarkan air susu pertanda bahwa ia baru saja melahirkan anak’. Di sini kita punya jenis tanda yang tak mungkin salah, satu-satunya jenis tanda yang membentuk sebuah bukti penuh, karena tanda jenis ini adalah satu-satunya yang tak mungkin dibantah jika pernyataan khususnya benar. Jenis lain tanda, yang pernyataannya mengandung hubungan antara yang universal dan yang khusus, bisa diilustrasikan dengan ungkapan ‘kenyataan bahwa ia bernapas dengan cepat adalah tanda bahwa ia demam’. Argumen ini juga bisa dibantah, bahkan meski pernyataan tentang napas yang cepat itu benar, karena orang bisa bernapas dengan cepat meski tidak kena demam. Maka telah dinyatakan di atas apa itu hakikat probabilitas, tanda, dan bukti menyeluruh, dan apa perbedaan antara mereka. Dalam The Analytics, ada deskripsi yang lebih gamblang tentang poin-poin ini, di sana ditunjukkan kenapa sejumlah penalaran ini bisa digolongkan ke dalam silogisme dan yang lain tidak.
Telah dipaparkan contoh sebagai satu jenis induksi; dan hakikat khusus subjek bahasan yang membedakannya dari jenis-jenis lain juga telah dinyatakan di atas. Hubungannya dengan pernyataan yang didukungnya bukanlah hubungan antara bagian dengan keseluruhan, ataupun keseluruhan dengan sebagian, tapi antara bagian dengan bagian. Ketika dua pernyataan adalah dari dua jenis yang sama, tapi yang satu lebih familier daripada yang lain, maka yang awal menjadi sebuah contoh. Misalnya, ada argumen bahwa Dionysius, saat meminta bantuan seorang pengawal, sedang menyusun rencana untuk menjadikan dirinya seorang tiran. Karena di masa lalu Peisistratus selalu meminta seorang pengawal demi menjalankan sebuah siasat dan menjadikan dirinya seorang tiran segera setelah terlaksana, demikian pula Theagenes di Megara, dan dengan cara yang sama semua contoh lain yang dikenal oleh pembicara dijadikan contoh demi menunjukkan apa yang belum diketahui, bahwa Dionysius punya tujuan yang sama dalam membuat permintaan yang sama: semua ini adalah contoh-contoh satu prinsip umum, bahwa seorang pria yang meminta bantuan pengawal adalah sedang menyusun rencana untuk menjadi seorang tiran. Kini kita telah mendeskripsikan sumber-sumber sarana persuasi yang secara populer dianggap demonstratif.
Ada pembedaan penting antara dua jenis enthymeme yang telah sepenuhnya diabaikan oleh nyaris semua orang—sesuatu yang juga ada antara silogisme yang diperlakukan dalam dialektika. Satu jenis enthymeme sungguh menjadi bagian dari retorika, sebagaimana satu jenis silogisme sungguh merupakan bagian dari dialektika; tapi jenis lain sungguh merupakan bagian dari seni atau keterampilan lain, entah bagi mereka yang telah kita latih atau mereka yang belum kita dapatkan. Tanpa adanya pembedaan ini, orang-orang gagal untuk mengetahui bahwa makin benar cara mereka menangani topik tertentu maka makin jauhlah mereka dari retorika atau dialektika murni. Pernyataan ini akan menjadi lebih jelas jika diekspresikan secara lebih penuh. Maksudku bahwa topik dialektika dan silogisme retoris adalah hal-hal yang dengannya kita menyampaikan baris-baris argumen regular atau universal yang menjadi perhatian, baris-baris argumen yang bisa diterapkan baik pada persoalan tentang sikap yang benar, ilmu pengetahuan alam, politik, dan banyak hal lain yang satu sama lain tak saling berhubungan. Ambil contoh misalnya, baris argumen yang berkenaan dengan ‘lebih kurang’. Pada baris argumen ini kita sama mudahnya mendasarkan satu silogisme atau enthymeme tentang apa pun yang secara mendasar merupakan topik-topik yang tak berhubungan—sikap yang baik, ilmu pengetahuan alam, atau apa pun lainnya. Tapi juga ada baris-baris argumen khusus yang berdasar pada pernyataan sebagaimana diterapkan pada kelompok atau kelas tertentu. Maka ada pernyataan-pernyataan tentang ilmu pengetahuan alam yang dengannya mustahil enthymeme atau silogisme tentang etika bisa menjadi dasar, dan pernyataan-pernyataan lain tentang etika yang tak bisa didasari oleh ilmu pengetahuan alam. Prinsip yang sama berlaku seterusnya. Baris-baris umum argumen tak punya subjek bahasan yang khusus, dan oleh karena itu takkan meningkatkan pemahaman kita tentang kelas hal tertentu. Di sisi lain, makin baik kita membuat seleksi pernyataan yang sesuai untuk baris-baris argumen khusus, makin dekat pula kita, secara tidak sadar, ke arah membangun sebuah ilmu yang berbeda dari dialektika dan retorika. Orang bisa berhasil menyatakan prinsip-prinsip yang dibutuhkan, tapi ilmunya tidak akan lagi bersifat dialektik atau retorik, tapi ilmu yang dengannya prinsip-prinsip ditemukan. Sebagian besar enthymeme pada kenyataannya didasarkan pada baris-baris argumen tertentu ini; secara komparatif sedikit yang jenisnya umum atau biasa. Oleh karena itu dalam karya ini kita harus membedakan, dalam berurusan dengan enthymeme, baris argumen khusus dan umum yang menjadi dasar enthymeme-enthymeme itu. Apa yang kumaksud dengan baris-baris khusus adalah pernyataan yang bersifat khusus bagi setiap jenis hal, apa yang kumaksud dengan baris-baris umum adalah pernyataan yang bersifat umum bagi semua kelas. Kita bisa memulai dengan baris-baris argumen khusus. Tapi pertama-tama, mari kita klasifikasikan retorika ke dalam jenis-jenisnya. Setelah melakukan pembedaan ini, kita bisa membahas mereka satu per satu, dan berusaha menemukan elemen-elemen yang menyusun setiap retorika, dan pernyataan yang digunakan oleh masing-masing.
3
Retorika bisa dibagi menjadi tiga kelompok, menurut tiga kelas pendengar yang ada. Karena dari tiga elemen dalam orasi—pembicara, topik, dan pendengar—pendengarlah yang menentukan tujuan dan sasaran orasi. Pendengar haruslah seorang hakim, dengan keputusan yang harus dibuat tentang masa lalu atau masa depan, atau seorang pengamat. Seorang anggota perkumpulan memutuskan tentang peristiwa masa depan, seorang hakim memutuskan masa lalu: sementara mereka yang hanya memutuskan tentang keterampilan si orator adalah pengamat. Dari sini tampak bahwa ada tiga jenis orasi: 1. Politis, 2. Retoris, 3. Seremonial.
[1] Enthymeme: Sebuah bentuk argumen yang menggunakan bentuk premis-premis yang diterima oleh audiens untuk membuktikan sebuah kesimpulan yang logis. Ia adalah bentuk argumen yang efektif dalam membujuk audiens.
[2] Sebuah risalah yang hilang. Risalah ini diduga membahas beberapa cabang Logika.