Bab 1
Ular
Ibu memekik lirih. Ia sedang makan sup di ruang makan. Kupikir mungkin ada yang tidak beres dengan supnya. “Ada rambut?” tanyaku. “Bukan.” Ibu kembali menyuapkan sesendok sup ke dalam mulut, seolah tak terjadi apa pun. Setelah itu, ia palingkan kepalanya ke sebelah, mengarahkan pandang ke pohon sakura yang sedang mekar bunganya di luar jendela dapur dan, dengan kepala masih meneleng, menerbangkan sesuap sup lagi ke sela bibirnya. Ibuku makan tidak seperti yang disarankan oleh majalah-majalah wanita sehingga tidak berlebihan jika digunakan kata ‘menerbangkan.’
Naoji, adik laki-lakiku, pernah bilang padaku ketika ia sedang minum: “Hanya karena punya gelar, bukan berarti orang itu bangsawan. Ada bangsawan-bangsawan besar yang tak punya gelar selain yang telah diberikan oleh alam padanya, dan lainnya lagi seperti kita yang punya gelar tapi tak punya apa pun selainnya hampir bisa dibilang orang paria dan bukannya bangsawan. Iwashima, misalnya (menyebut salah satu teman sekolah, seorang kakushaku[1]), tidakkah ia terlihat olehmu lebih rendah dibanding mucikari yang kau temui di jalanan? Si tolol celaka itu mengenakan tuxedo di hari perkawinan sepupunya. Jangankan menganggap dia perlu muncul dengan setelan itu, aku justru dibuatnya hampir muntah mendengar bahasa yang sok terpelajar saat ia memberikan sambutan ramah tamah. Gaya berlagak itu cuma tampilan murahan yang sama sekali tak ada hubungannya dengan sikap luwes. Seperti halnya rumah sewa di sekitar kampus yang memajang nama ‘Kos-kosan Berkelas’, sebagian besar golongan bangsawan lebih pantas disebut ‘Pengemis Berkelas.’ Bangsawan sejati tidaklah pasang tampang macam Iwashima itu. Mama satu-satunya bangsawan di rumah kita. Dia sungguh murni. Ada sesuatu dalam dirinya yang tidak bisa kita tandingi.”
Ambillah contoh soal makan sup. Kami diajarkan untuk sedikit memiringkan piring, lalu menyendok sup dengan gaya menyamping, dan membawanya ke mulut, masih dengan gaya menyamping. Ibu, di sisi lain, menaruh jemari tangan kirinya di tepi meja dan duduk sangat tegak, dengan kepala terangkat tinggi dan sama sekali tak memandang ke arah piring. Ia meluncurkan sendok ke dalam sup dan bagai burung sriti—begitu anggun dan gesit sehingga perbandingan itu cocok—membawa sendok itu ke mulut dengan kemiringan yang pas, lalu menuangkan sup dari titik itu ke sela bibirnya. Lalu, dengan tatapan polos ke sekeliling, ia menerbangkan sendok itu seperti satu sayap kecil, tak pernah mencecerkan satu tetes sup pun atau membuat sedikit pun suara menyeruput atau suara sendok terantuk piring. Ini mungkin bukan cara makan sup sesuai tata krama, tapi bagiku ini sangat menarik hati dan sungguh menunjukkan ciri khas. Sungguh, alangkah lebih nikmatnya rasa sup kalau kau menyantapnya dengan cara seperti dilakukan Ibuku, duduk tegak tanpa melihat ke arahnya. Tapi seperti kata Naoji, sebagai pengemis berkelas dan tak bisa makan seperti cara ibuku, aku membungkuk di atas piring dengan gaya murung seperti diajarkan oleh tata krama.
Cara makan ibu, bukan hanya sup tapi juga segala menu, adalah sepenuhnya beda dari cara normal orang di meja makan. Ketika dagingnya datang, ia langsung memotongnya menjadi bagian-bagian kecil dengan pisau dan garpu, lalu memindahkan garpu ke tangan kanan dan dengan gembira mengganyang daging sepotong demi sepotong. Kembali, selagi kami berusaha keras agar piringnya tak mengeluarkan suara ribut, Ibu dengan tanpa peduli memunguti tulang dengan jemari dan mengunyah dagingnya. Bahkan tindakan yang kurang sopan pun bukan hanya akan terlihat menarik namun juga erotis andai Ibu yang melakukannya. Dia memang cenderung bertindak lain.
Aku kadang berpikir kalau kami makan pakai tangan rasanya akan lebih nikmat, tapi aku menghindarinya, karena kalau seorang pengemis berkelas macam aku meniru tingkah Ibu secara buruk maka aku akan terlihat makin mirip pengemis.
Adikku Naoji berkata, kami bukan tandingan bagi Ibu, dan aku dengan susah payah campur putus asa berusaha menirunya. Pernah di kebun belakang rumah kami di Jalan Nishikata—di suatu malam terang bulan awal musim gugur—Ibu dan aku sedang duduk di bungalow tepi kolam sambil mengagumi rembulan ketika kemudian ia bangkit dan menuju ke rumpun terdekat bunga yang sedang bermekaran. Ia memanggilku dari sela kuntum-kuntum putih, sedikit tertawa, “Kazuko, tebaklah apa yang sedang ibu lakukan sekarang.”
“Memetiki bunga.”
Dalam tawa pelan, suaranya sedikit meninggi. “Pi-pis!”
Aku merasa ada sesuatu yang sungguh kekanak-kanakan namun menyenangkan dalam dirinya yang tak mungkin kutiru.
Meski sangat menyimpang dari topik pengalaman makan sup pagi ini, tapi aku tahu dari sebuah buku yang sedang kubaca bahwa di zaman monarki para wanita bangsawan Prancis biasa pipis tanpa rasa bersalah di taman-taman istana atau di satu sudut koridor. Kepolosan semacam itu menarik hatiku, dan aku bertanya-tanya tidakkah Ibu juga salah satu dari wanita terakhir semacam itu.
Paling tidak, pagi ini ia memekik lirih—ah—ketika sedang menyeruput sup, dan aku bertanya apakah ada rambut, hanya untuk mendengar jawaban tidak.
“Mungkin terlalu asin.”
Sup pagi ini pakai kacang hijau, dengan sebuah panci buatan Amerika aku mendapat ransum dan memasaknya menjadi sejenis sup yang kental. Aku masih minder dengan kemampuanku memasak, meski ini seharusnya menjadi salah satu kebanggaan diri seorang anak gadis, dan aku terus mengkhawatirkan supnya, bahkan meski ibu sudah bilang tidak ada yang salah.
“Kau membuatnya enak sekali,” kata Ibu dengan nada serius. Setelah selesai makan sup, ia makan kue beras yang dibungkus rumput laut.
Aku tak pernah suka sarapan dan aku belum merasa lapar sebelum jam sepuluh. Pagi ini aku berusaha masak sup, tapi ini sekadar upaya memasak sesuatu. Aku taruh beberapa kue beras di atas piring dan memukul-mukulnya dengan sumpit, menumbuknya. Aku ambil sepotong dengan sumpit, kupegang miring ke kanan ke arah mulutku, mengikuti cara ibu saat makan sup, dan menyorongkannya ke mulut, seolah sedang menyuapi seekor burung kecil. Selagi aku buang-buang waktu dengan makananku, Ibu, yang sudah mulai selesai makan, bangkit perlahan dan berdiri dengan punggung bersandar tembok yang dihangatkan oleh sinar pagi. Ia menontonku makan sesaat lamanya dalam hening.
“Kazuko, jangan begitu cara makannya. Kau harus berusaha sarapan dengan cara yang paling kau sukai.”
“Apa Ibu suka cara makan begitu?”
“Jangan pedulikan aku—aku sudah tidak sakit lagi.”
“Tapi akulah orang yang tidak sakit itu.”
“Tidak, tidak.” Ibu tersenyum sedih sambil menggelengkan kepala.
Lima tahun lalu, aku terbaring sakit karena apa yang disebut gangguan paru-paru, meski sepenuhnya sadar bahwa sakit itu kubikin sendiri. Penyakit ibu belakangan ini, sebaliknya, sungguh meresahkan dan menekan. Namun Ibu justru tak memperhatikan apa pun kecuali aku.
“Ah,” desahku.
“Ada masalah apa?” Kali ini giliran Ibu bertanya.
Kami bertukar pandang dan sejenak mengalami semacam pemahaman absolut. Aku tertawa kecil dan wajah ibu menyala dalam senyum.
Tiap kali aku disergap oleh pikiran yang memalukan, pekikan lirih itu keluar dari mulutku. Kali ini aku tiba-tiba ingat dengan sangat jelas peristiwa sekitar perceraianku enam tahun lalu, dan sebelum aku sadar satu pekikan lirih telah keluar. Kenapa ibu juga menjerit begini, entahlah. Tidak mungkin ia mengingat pengalaman memalukan di masa lalu sebagaimana kualami. Tidak, namun ada sesuatu di situ.
“Apa yang sedang kau ingat, Ibu?”
“Aku sudah lupa.”
“Tentang aku?”
“Bukan.”
“Tentang Naoji?”
“Ya!” Lalu, menimbang kembali kata-katanya, ibu menelengkan kepala dan menambahkan, “Mungkin.”
Adikku Naoji mendapat panggilan ketika masih kuliah dan dikirim ke sebuah pulau di Pasifik Selatan. Tak ada kabar darinya, dan ia masih hilang, bahkan setelah perang berakhir. Ibu telah pasrah tidak akan berjumpa lagi dengan Naoji. Paling tidak, itulah yang dikatakannya, tapi aku sendiri masih belum ‘pasrah’. Aku hanya terus berpikir kami pasti akan berjumpa dia lagi.
“Kupikir aku telah berhenti berharap, tapi kalau aku makan sup yang nikmat aku teringat Naoji, dan aku tak tahan. Andai saja dulu aku bersikap baik padanya … ”
Sekitar masa ketika Naoji masuk sekolah menengah, ia jadi fanatik menggemari sastra, dan mulai menjalani hidup mirip anak jalanan, sehingga hanya Langit saja yang tahu seberapa sedih kiranya Ibu. Dan meski tingkah lakunya menyedihkan, Ibu tetap memikirkan Naoji saat ia makan sup dan menjerit lirih. Dengan marah, kusorongkan makanan ke dalam mulut, dan mataku menjadi panas.
“Dia tidak apa-apa. Naoji tak apa-apa. Bergajul macam Naoji tak akan mati. Mereka yang mati adalah orang-orang lembut, manis, dan cantik. Naoji tidak akan mati bahkan meski Ibu memukulnya dengan tongkat.”
Ibu tersenyum. “Kalau begitu kukira kau akan mati muda.” Ia meledekku.
“Kenapa begitu? Aku jelek dan buruk rupa! Delapan puluh tahun cocok bagiku!”
“Sungguh? Kalau begitu, ibumu cocok berumur sampai sembilan puluh!”
“Ya,” kataku, agak bingung. Para bergajul berumur panjang. Si cantik mati muda. Ibu cantik. Tapi aku ingin dia berumur panjang. Aku bingung harus bilang apa. “Ibu orang yang rumit,” protesku. Bibir bawahku mulai gemetar, dan airmata menggenang.
Entahlah, apakah aku harus bercerita tentang ular itu. Suatu siang, empat atau lima hari lalu, anak-anak tetangga menemukan selusin atau lebih telur ular tersembunyi di dalam tiang-tiang pagar kebun. Mereka menegaskan bahwa itu adalah telur ular. Terpikir olehku bahwa andai ada selusin ular melata keluar dari dalam rumpun bambu, kami takkan pernah bisa masuk kebun tanpa bersikap luar biasa waspada. Kubilang pada anak-anak itu, “Kita bakar saja telur-telur itu,” dan anak-anak itu ikut aku, menari-nari kegirangan.
Kubuat timbunan dedaunan dan ranting kering dekat gerumbul semak, menyalakan api, lalu melemparkan telur-telur itu ke dalam api satu per satu. Telur-telur itu hanya sebentar saja terkena api. Anak-anak kembali menaruh dedaunan dan ranting kering di atas api dan membuat nyala jadi lebih besar, tapi kelihatannya telur-telur itu tetap tak mau terbakar.
Gadis dari gudang seberang jalan bertanya dari balik pagar tentang apa yang sedang kami kerjakan.
“Membakar telur-telur ular. Saya takut nanti telurnya akan menetas.”
“Seberapa besarkah telurnya?”
“Sebesar telur puyuh dan warnanya putih bersih.”
“Kalau begitu, itu hanya telur ular biasa, tidak berbisa. Telur mentah memang tak mudah terbakar.”
Gadis itu tertawa seolah semua ini sangat lucu.
Api itu telah menyala selama setengah jam, tapi telur-telur tetap tak mau terbakar. Kusuruh anak-anak itu mengambil telur-telur itu dari dalam api, lalu menguburnya di bawah pohon prem. Kukumpulkan sejumlah batu kecil sebagai penanda kuburan.
“Ayo semuanya, berdoa!” Aku berlutut dan menjalinkan tangan. Anak-anak itu dengan patuh berlutut di belakangku dan menjalinkan tangan dalam doa. Setelah itu, kutinggalkan mereka dan perlahan kunaiki undakan batu. Ibu berdiri di puncak tangga, di bawah teduh pancak pohon fuji.
“Kau telah berbuat kejam,” katanya.
“Kupikir itu mungkin telur ular berbisa, tapi ternyata telur ular biasa. Tapi sudah kukuburkan dengan baik. Tak ada yang perlu dikhawatirkan.” Aku sadari betapa sialnya aku karena terlihat oleh ibu.
Ibu sama sekali tak suka takhayul, tapi ia takut setengah mati dengan ular sejak sepuluh tahun lalu, ketika ayah meninggal di rumah lama kami di Jalan Nishikata. Tepat sebelum ayah meninggal, ibu melihat apa yang ia pikir merupakan seutas tali hitam terkulai di dekat ranjang ayah, lalu memungutnya, hanya untuk mendapati ternyata itu adalah seekor ular. Ia melata keluar menuju lorong, lalu lenyap. Hanya ibu dan pamanku Wada yang melihatnya. Mereka saling pandang tapi tak berkata apa pun, takut mengganggu ketenangan ayah di saat-saat terakhirnya. Itulah kenapa bahkan Naoji dan aku (yang kebetulan ada di ruangan itu) tak tahu apa pun soal ular itu.
Tapi dari kenyataan karena pernah melihat pada malam meninggalnya Ayah, aku tahu bahwa ada banyak ular melata di sekitar pepohonan dekat kolam kebun. Sekarang umurku dua puluh sembilan; itu artinya ketika ayahku meninggal sepuluh tahun lalu aku sudah berumur sembilan belas, dan bukan lagi anak-anak. Sepuluh tahun telah berlalu, tapi ingatanku tentang apa yang terjadi waktu itu masih sepenuhnya jernih, dan aku tidak mungkin salah. Aku sedang berjalan di dekat kolam, bermaksud memotong bunga-bunga untuk upacara pemakaman. Aku berhenti di dekat serumpun bunga tsutsuji dan tiba-tiba melihat adanya seekor ular kecil membelit ujung ranting tsutsuji. Ini sedikit mengejutkanku. Lalu ketika aku ingin memotong sebatang ranting mawar kerria di rumpun sebelahnya, seekor ular juga kulihat. Di pohon mukuge sebelahnya lagi, di pohon momiji, di pohon hahakigi, fuji, dan sakura—di setiap rumpun dan pepohonan—ada ular. Ini tidak sepenuhnya membuatku takut. Aku hanya merasa ular-ular itu, seperti juga diriku, berduka atas meninggalnya Ayah dan telah merayap keluar dari liang mereka untuk mengucapkan salam hormat kepada rohnya. Kemudian, ketika aku berbisik pada Ibu tentang ular-ular di kebun itu, ia menanggapinya dengan tenang, dan hanya sedikit menelengkan kepala, seolah sedang memikirkan sesuatu. Ia tidak berkomentar apa pun.
Namun adalah benar bahwa dua kejadian yang melibatkan ular ini membuat Ibu tambah membenci mereka setelah itu. Atau mungkin lebih tepat jika dibilang bahwa ia takut dan takjub sehingga pada akhirnya membenci mereka.
Ketika Ibu mendapati bahwa aku telah membakar telur-telur ular itu, ia pastilah merasakan adanya firasat buruk di balik tindakan itu. Kesadaran ini membuatku berpikir betapa aku telah melakukan sesuatu yang keterlaluan—membakar telur. Aku amatlah tersiksa oleh ketakutan sehingga aku mungkin telah menyebabkan Ibu tertimpa kutukan jahat sehingga peristiwa itu tak bisa kulupakan, tidak saat itu atau esok harinya, atau lusanya. Namun pagi ini di ruang makan, aku melontarkan ucapan bodoh tentang kematian wanita cantik di usia muda itu, sesuatu yang sudah telanjur kukatakan, tak bisa ditutupi lagi dengan perkataan apa pun, dan akhirnya aku menangis. Kemudian, ketika aku sedang membersihkan peralatan makan, aku mendapatkan sensasi tak tertanggungkan, bahwa ada ular kecil yang akan memperpendek hidup ibu, dan ular itu berdiam di dadaku.
Di hari yang sama aku melihat seekor ular di kebun. Itu sebuah pagi yang indah dan tenang, dan setelah menyelesaikan pekerjaan di dapur aku berencana akan mengeluarkan sebuah kursi rotan ke tengah halaman dan mengerjakan rajutan. Ketika aku melangkah menuju kebun sambil membawa kursi itu, aku melihat ular di dekat batang tanaman bunga shōbu. Reaksiku hanyalah sedikit merasa jijik. Kubawa kursi kembali ke beranda, duduk, dan mulai merajut. Sorenya, ketika aku menuju kebun, bermaksud mengambil buku lukisan Marie Laurencin dari dalam perpustakaan (ada di gudang tepi kebun), seekor ular menggeliat pelan menyeberangi halaman rumput. Itu adalah ular yang sama yang kulihat di pagi hari, seekor ular yang lembut dan anggun. Dengan tenang ia menyeberangi halaman. Ia berhenti ketika sampai di bawah teduh tanaman mawar liar, mengangkat kepala, dan menjulurkan lidahnya yang serupa nyala api. Ia tampaknya sedang mencari-cari sesuatu, tapi setelah beberapa saat ia akhirnya menurunkan kepala ke tanah, seolah merasa lelah. Aku membatin, “Pastilah itu ular betina.” Lalu kesan paling kuat yang kuterima adalah keindahan ular itu. Aku menuju ke gudang dan mengeluarkan buku lukisan. Dalam perjalanan kembali aku melihat sekilas ke arah tempat si ular tadi berada tapi ia telah lenyap.
Menjelang malam, selagi aku minum teh bersama Ibu, kebetulan aku melihat ke arah kebun, tepat saat ular yang sama kembali muncul, dekat undakan ketiga tangga batu.
Ibu juga melihatnya. “Apakah itu ular?” Ia bergegas mendekat padaku dan berdiri ketakutan di sampingku, menggenggam tanganku. Terkilas di benakku apa yang kiranya sedang ia pikirkan.
“Ibu berpikir dia adalah ibu dari telur-telur itu?” terlontarlah kata-kata ini.
“Ya, ya.” Suara ibu tegang.
Kami saling berpegangan tangan dan berdiri tanpa suara, menatap ular itu sambil menahan napas. Setelah bergelung malas di atas undakan batu, si ular mulai melata kembali. Dengan gerakan tersendat-sendat, ia dengan lemah melintasi batu undakan itu, lalu meluncur ke arah tanaman bunga shōbu.
“Ular itu berkeliaran di seputar kebun sejak pagi tadi,” bisikku. Ibu mendesah dan duduk dengan payah di atas kursi.
“Itulah dia, aku yakin. Ia mencari telurnya. Kasihan!” ibu bicara dengan suara tertekan.
Aku terkikik gugup, tak tahu apa lagi yang bisa kulakukan.
Matahari yang menyinari wajah ibuku membuat sinar matanya nyaris kebiruan. Wajahnya yang tampak memberi kesan rasa marah amatlah cantik sehingga aku seperti ingin memeluknya. Waktu itu terpikir olehku bahwa wajah Ibu agak mirip dengan wajah ular malang yang baru saja kami lihat, dan entah kenapa aku punya firasat seolah ular dalam dadaku suatu saat akan memangsa ibu ular yang cantik dan dirundung nestapa ini.
Kutaruh tanganku di atas pundak ibu yang lembut dan rawan, dan merasakan sentakan badani yang tak bisa kejelaskan.
Di awal Desember-lah, pada tahun di mana Jepang menyerah tanpa syarat, kami meninggalkan rumah di Jalan Nishikata di Tokyo dan pindah ke rumah yang agak bergaya Cina di daerah Izu ini. Sepeninggal ayahku, Paman Wada—adik ibuku dan kini orang satu-satunya yang punya hubungan darah dengannya—telah mengambil alih peran dalam mengurus keuangan keluarga kami. Tapi dengan berakhirnya perang segalanya berubah, dan Paman Wada mengabarkan pada Ibu bahwa kami tidak bisa terus-menerus hidup seperti itu, bahwa kami tak punya pilihan lain kecuali menjual rumah itu dan memberhentikan semua pelayan, dan hal terbaik yang harus kami lakukan adalah membeli sebuah tempat yang kecil namun asri entah di desa mana, tempat kami bisa hidup sesuai selera kami. Pemahaman Ibu soal uang lebih buruk dibanding seorang anak kecil, dan ketika Paman Wada menggambarkan padanya situasi kami, reaksi Ibu terlihat hendak memasrahkan pada paman segala keputusan yang ia anggap terbaik.
Di akhir November, datanglah sepucuk surat kilat khusus dari pamanku, mengabarkan pada kami bahwa vila Shishaku[2] Kawata dijual. Rumah itu terletak di dataran tinggi di tengah pemandangan indah, meliputi pula tanah subur seluas setengah hektare. Daerah itu, katanya, terkenal dengan keindahan bunga prem, dan berhawa hangat di musim dingin serta sejuk di musim panas. Surat Paman Wada diakhiri dengan: “Aku percaya kau akan menikmati kehidupan di sana. Namun tampaknya penting bagimu untuk berunding dengan pihak pertama. Jadi maukah kau datang ke kantorku besok?”
“Ibu akan datang?” tanyaku.
“Aku harus,” katanya, sambil tersenyum dengan cara yang sangat menyedihkan. “Ia memintaku.”
Ibu berangkat esok harinya setelah tengah hari. Ia ditemani mantan sopir kami, yang akan menjemput sekitar jam delapan malam.
Ibu masuk ke kamarku dan duduk dengan tangan di atas meja, seolah ia akan jatuh saat itu juga. “Semua sudah diputuskan,” itulah kata-katanya.
“Apanya yang telah diputuskan?”
“Semuanya.”
“Tapi,” kataku, terkejut, “bahkan itu sebelum ibu melihat sendiri seperti apa rumah itu?”
Ibu menaruh sebelah siku ke atas meja, menyentuh kening dengan tangannya, dan mendesah pelan. “Kata Paman Wada, tempatnya bagus. Aku merasa seolah akan segera pindah ke sana, bahkan tanpa perlu membuka mata.” Ia mengangkat kepala dan tersenyum tipis. Wajahnya tampak sedikit kisut dan sangat cantik.
“Ya, bagus juga,” aku mengamini, tunduk oleh murninya kepercayaan Ibu pada Paman Wada.
“Kalau begitu tutuplah matamu juga.”
Kami berdua tertawa, tapi setelah tawa reda, kami merasa amat sangat tertekan.
Para pekerja datang setiap hari ke rumah kami sejak saat itu, dan kami pun mulai berkemas-kemas untuk pindah. Paman Wada juga mengunjungi kami dan membuat sejumlah aturan penting sehingga segala yang bisa dijual bisa pula diberikan pada orang lain. Okimi, si pelayan wanita, dan aku sibuk dengan tugas seperti misalnya mengatur bermacam pakaian dan membakar sampah di kebun, tapi Ibu tak memberi kami sedikit pun bantuan. Ia menghabiskan waktu setiap hari di kamarnya, mengerjakan sesuatu yang tak penting.
Suatu ketika aku memberanikan diri bertanya padanya, dengan agak tajam, “Ada masalah? Bukankah Ibu yakin ingin pergi ke Izu?”
“Tidak ada masalah,” jawabnya, dengan wajah terlihat bimbang.
Membutuhkan waktu sekitar sepuluh hari untuk merampungkan segala persiapan pindah. Suatu petang, ketika aku sedang berada di kebun bersama Okimi membakar kertas bekas dan jerami, Ibu muncul dari kamarnya dan berdiri di serambi, menatap nyala api tanpa suara. Angin kelabu yang dingin bertiup dari barat, dan membuat asapnya merunduk ke tanah. Kebetulan aku menatap wajah ibuku dan terkejut mendapati raut wajahnya lebih pucat dibanding sebelumnya.
“Ibu, kau kelihatan kurang sehat!” pekikku. Ibu menjawab dengan senyum lesu, “Tak apa-apa.” Ia berpindah tanpa suara kembali ke kamar. Malam itu, karena futon telah dikemasi, Okimi tidur di sofa sedangkan Ibu dan aku tidur bersama di kamarnya di atas futon yang dipinjam dari seorang tetangga.
Ibu berkata dengan suara yang terdengar begitu tua dan lemah sehingga membuatku takut, “Aku akan pergi ke Izu karena kau ada bersamaku, karena aku punya kau.”
Aku tersentak mendengar ucapan tak disangka ini. “Dan bagaimana jika ibu tak punya aku?” aku bertanya tanpa memedulikan diri sendiri. Tangis Ibu tiba-tiba meledak. “Yang terbaik bagiku adalah mati. Kuharap aku bisa mati di rumah ini, tempat ayahmu mati.” Ia bicara terputus-putus, menangis kian tersedu.
Tak pernah Ibu bicara padaku dengan suara selemah itu, dan tak pernah sebelumnya ia membiarkan aku melihat dia menangis dengan sebebas itu. Tidak bahkan ketika ayah meninggal, atau ketika aku menikah, atau ketika aku kembali pada Ibu dalam keadaan hamil, atau ketika melihat si bayi di rumah sakit, atau ketika si bayi kemudian sakit dan terus terbaring di ranjangku, atau, dalam hal itu, ketika Naoji melakukan sesuatu yang buruk—tak pernah ia menunjukkan kelemahan diri semacam itu. Selama sepuluh tahun sejak meninggalnya ayah, Ibu bersikap seringan dan selembut waktu ayah masih hidup. Naoji dan aku memanfaatkan sifatnya itu untuk tumbuh tanpa memedulikan apa pun. Kini Ibu tak lagi punya uang. Ia telah membelanjakannya demi kami, Naoji dan aku, tanpa menahan satu perak pun, dan ia terpaksa meninggalkan rumah ini, tempat di mana ia menghabiskan tahun-tahun panjang untuk kemudian memasuki sebuah hidup yang sengsara tanpa seorang pun pelayan. Jika Ibu bertabiat buruk dan kikir dan suka memarahi kami, atau sejenis orang yang diam-diam menggunakan beragam cara demi memperkaya diri, ia tidak akan mau mati dengan cara begitu, tak peduli betapa lama waktu berlalu. Untuk pertama kalinya dalam hidupku aku menyadari betapa mengerikan, sengsara, dan betapa tak tertolong hidup ini tanpa uang. Hatiku diluapi perasaan, tapi aku amatlah merasa pedih sehingga airmata tidak keluar. Aku bertanya-tanya apakah perasaan yang dulu kualami adalah apa yang oleh orang disebut sebagai ‘martabat manusia.’ Aku terbaring di sana, menatap langit-langit, merasa tak sanggup bergerak sedikit pun, dan tubuhku kaku bagai sebongkah batu.
Keesokan harinya, seperti kuduga, Ibu jelas terlihat sakit. Sebentar-sebentar ia berhenti, seolah setiap menit ketertundaan untuk meninggalkan rumah ini adalah sangat berharga; tapi Paman Wada datang mengabarkan pada kami bahwa kami harus segera berangkat hari ini juga menuju Izu. Hampir semua koper telah diangkut. Ibu mengenakan mantel dengan keengganan yang tampak jelas, lalu sambil membungkuk tanpa kata pada Okimi dan pekerja lain yang mengucapkan selamat tinggal pada kami, ia berjalan keluar dari rumah di Jalan Nishikata.
Kereta api bisa dibilang tanpa penumpang, dan kami semua bisa menemukan tempat duduk. Paman amat sangat bersemangat dan adakalanya ia menggumamkan beberapa larik dari lakon-lakon Nōh. Pucat dan dengan mata tertunduk, Ibu terlihat sangat kedinginan. Kami turun di Nagaoka dan ganti naik bus, lalu setelah sekitar seperempat jam turun lagi dan mulai berjalan menuju ke arah gunung. Kami mendaki tanjakan landai sampai kemudian tiba di sebuah desa kecil. Di tepinya ada sebuah vila bergaya Cina, dibangun dengan penuh gaya.
“Lebih menyenangkan daripada yang kubayangkan, Ibu,” kataku, masih sambil terengah-engah karena lelah mendaki.
Ibu berdiri di depan gerbang pondok itu. “Ya, benar,” sahutnya, ekspresi gembira muncul di matanya sesaat.
“Pertama, hawanya sejuk. Segar!” cetus pamanku, jelas menyiratkan kepuasan.
“Memang,” Ibu tersenyum. “Nikmat. Udaranya nikmat.”
Kami bertiga tertawa.
Di dalam, kami mendapati barang-barang bawaan kami tiba dari Tokyo. Bagian depan rumah penuh bertumpuk aneka kotak.
“Kedua, dari ruang duduk bisa terlihat pemandangan indah.” Pamanku, terbawa suasana, menyeret kami ke sana dan mengajak kami duduk untuk mengagumi pemandangan itu.
Itu sekitar jam tiga sore, dan matahari musim dingin dengan lembut menimpa halaman rumput. Di kaki tangga yang menuju ke halaman rumput, ada sebentang kolam kecil dikelilingi oleh pohon-pohon prem, dan di seberang kebun ada kebun pohon jeruk siam. Sebentang jalan desa, sawah, rumpun pohon cemara, dan di kejauhan bisa terlihat laut. Saat aku duduk di ruang tengah itu, laut terlihat setinggi payudaraku.
“Lanskap yang teduh,” kata ibu dengan nada tumpul.
“Pasti karena udaranya. Sinar matahari di sini sepenuhnya berbeda dari matahari Tokyo, bukan begitu? Seolah sinarnya menembus kain sutra,” aku menyambut dengan keriangan berlebihan.
Di lantai dasar ada dua ruangan yang cukup luas, satu ruangan resepsi bergaya Cina, sebuah aula, sebuah kamar mandi, lalu ruang makan dan dapur. Di lantai atas, ada ruangan bergaya Barat dengan sebuah ranjang besar. Itu saja isi keseluruhan rumah ini; tapi kupikir sama sekali tidak akan membuat kami merasa terkekang, bahkan untuk bertiga sekalipun, kalau Naoji kembali.
Pamanku pergi ke satu-satunya penginapan di desa itu untuk mengatur acara makan kami. Pesanan kini telah dikirimkan, dan ia menyajikannya di ruang tengah dan mulai makan. Whisky yang ia bawa menuntaskan perjamuan ini. Ia sangatlah riang dan berkeras untuk menceritakan petualangannya di Cina bersama Shishaku Kawata, bekas pemilik rumah itu. Ibu hampir sama sekali tak menyentuh makanan, dan segera setelah itu ketika suasana mulai gelap ia bergumam, “Aku ingin rebahan sebentar.”
Aku mengeluarkan futon dari dalam kemasan dan membantu ibu membentangkannya. Sesuatu dalam dirinya amatlah meresahkanku sehingga aku mencari termometer untuk mengukur suhu badannya. 102 derajat.
Bahkan pamanku terlihat tak nyaman. Paling tidak, ia pergi ke desa untuk mencari dokter. Ketika aku kabarkan pada Ibu, ia hanya mengangguk dengan ngantuk.
Kulekapkan tanganku ke atas tangan ibuku yang kecil lalu mulai menangis. Ia begitu menyedihkan, amat sangat menyedihkan—tidak, kami berdua menyedih. Airmata tak mau berhenti. Sambil menangis aku berpikir bahwa aku akan mati di tempat itu juga bersama Ibu, bahwa kami tak punya apa-apa lagi untuk diharapkan, bahwa kehidupan kami telah berakhir ketika kami meninggalkan rumah di Jalan Nishikata.
Sekitar dua jam kemudian paman kembali bersama dokter desa. Ia terlihat sudah tua dan berpakaian formal, kostum Jepang bergaya lama.
“Mungkin gejala radang paru-paru. Meski begitu, tak perlu khawatir.” Dengan sedikit bimbang, ia memberikan Ibu suntikan lalu berpamitan.
Demam Ibu tak menurun hingga esok harinya. Paman memberiku 2000 yen dengan permintaan agar meneleponnya andai Ibu harus dimasukkan rumah sakit. Hari itu ia kembali ke Tokyo.
Aku mengeluarkan sesedikit mungkin peralatan masak dari dalam kotak dan mulai memasak bubur beras. Ibu menelan tiga sendok, kemudian menggelengkan kepala. Menjelang tengah hari, dokter itu datang lagi. Kali ini berpakaian sedikit santai. Tapi masih memakai kaus tangan putih.
Aku menyinggung perlunya Ibu dibawa ke rumah sakit. “Tidak,” kata dokter itu. “Saya tidak yakin itu perlu. Kali ini saya akan kasih suntikan yang lebih manjur, dan demamnya mungkin akan reda.” Jawabannya tetap tak meyakinkan sebagaimana kemarin, dan ia berpamitan segera setelah memberikan ‘suntikan yang lebih manjur’.
Sore itu wajah Ibu berubah merah terang dan ia mulai banyak berkeringat. Ini, mungkin, akibat pengaruh suntikan itu. Ibu berkata, saat aku sedang memakaikan pakaian malamnya, “Siapa tahu dia memang dokter hebat!”
Suhu tubuhnya turun menjadi normal. Aku begitu gembira sehingga bergegas pergi ke penginapan desa dan membeli selusin telur dari si pemilik. Kurebus telur setengah matang dan menyajikannya pada Ibu. Ia makan tiga butir dan separuh mangkuk bubur beras.
Keesokan harinya dokter hebat itu datang lagi dengan setelan formal. Ia mengangguk murung ketika aku berterima kasih atas manjurnya suntikan itu, dengan mimik seperti hendak bilang ‘tepat seperti sudah kuduga.’ Ia memeriksa kondisi ibu dengan saksama, lalu berpaling padaku dan berkata, “Ibu Anda sudah sembuh. Maka beliau sudah mulai bisa makan apa pun yang diinginkan.”
Cara bicaranya begitu ganjil sehingga aku harus berusaha sebisa mungkin menahan diri agar tidak tertawa. Kubimbing dokter itu ke arah pintu. Ketika aku kembali ke kamar Ibu, kudapati ia sedang duduk di ranjang.
“Dia sungguh dokter yang hebat. Aku tak sakit lagi,” ia bicara dengan nada melamun, seolah sedang bicara dengan diri sendiri. Mimik wajahnya sangat bahagia.
“Ibu, bolehkah aku bukan kerai? Di luar salju turun!”
Serpihan salju seperti mahkota bunga perlahan mulai berjatuhan. Kubuka kerai secara penuh dan, duduk di samping Ibu, menonton salju itu. “Aku tak sakit lagi,” kata Ibu, sekali lagi seolah kepada diri sendiri. “Kalau aku duduk di sini seperti ini bersamamu, membuatku merasa seakan segala yang telah terjadi hanyalah mimpi. Sejujurnya, ketika tiba waktu untuk pindah, aku membenci rencana itu. Aku akan memberikan apa pun demi bisa tinggal sehari, atau bahkan setengah hari, lebih lama di rumah kita di Jalan Nishikata. Aku merasa jadi mayat hidup ketika harus naik kereta, dan ketika sampai di sini, setelah satu atau dua saat memuaskan, aku merasa hatiku hendak meledak karena rindu pada Tokyo, terutama kalau hari sudah mulai gelap. Lalu segalanya menjadi hampa di depanku. Ini bukan penyakit biasa. Tuhan membunuhku, dan hanya setelah Ia membuatku menjadi seorang yang sepenuhnya beda dari yang semula, ia menghidupkanku kembali.”
Sejak hari itu hingga sekarang, kami telah berusaha melanjutkan hidup kami sebagai penyendiri di pondok gunung ini. Kami menyiapkan menu makan, merajut di serambi, membaca di ruangan bergaya Cina, minum teh—dengan kata lain, menjalani eksistensi tanpa acara yang nyaris sepenuhnya terpisah dari dunia. Bulan Februari, seluruh desa terbenam dalam mekarnya kuntum bunga prem. Hari-hari yang tenang tak berangin susul-menyusul hingga pertengahan Maret, dan bunga-bunga itu masih bertahan di rantingnya sampai akhir bulan. Di saat apa pun orang melihat dalam satu hari, bunga-bunga itu terlihat luar biasa indah, dan keharumannya membanjiri ruangan tiap kali aku membuka pintu kaca. Menjelang akhir Maret, angin akan datang setiap malam, dan saat kami duduk di ruangan yang temaram sambil minum teh, guguran mahkota prem terbang melalui jendela dan masuk ke cangkir kami. Kini di bulan April percakapan kami, saat sedang merajut di serambi, biasanya terarah pada soal bagaimana rencana menanami ladang. Kata ibu, ia ingin membantu. Bahkan saat aku menuliskan kata-kata ini, satu pikiran membuatku tersentak, yaitu seperti Ibu bilang, kami telah mati, untuk kemudian hidup kembali sebagai orang yang berbeda. Tapi kukira kebangkitan kembali seperti Yesus tidaklah mungkin dialami orang biasa. Ibu bicara seolah masa lalu telah terlupakan, tapi tetap saja, ketika ia mencicipi rasa sup di pagi ini ia memikirkan Naoji dan memekik. Sungguh, belum sepenuhnya luka dari masa lalu tersembuhkan.
Oh, aku ingin menuliskan apa pun, dengan polos dan sama sekali tanpa menyembunyikan apa pun. Aku kadang secara diam-diam berpikir bahwa kedamaian di rumah gunung ini tak lebih sekadar dusta dan kepalsuan. Bahkan sambil menganggap bahwa ini adalah waktu rehat yang dikaruniakan Tuhan bagi Ibu dan aku, aku tak bisa menghindari bayang gelap yang mengancam, yang mulai mendekati kami. Ibu berpura-pura seolah bahagia, tapi ia bertambah kurus setiap hari. Dan di dalam dadaku seekor ular berdiam menggemukkan diri sambil mengorbankan Ibu, betapapun kerasnya aku berusaha menekan. Andai saja ini hanya bersifat musiman kemudian berlalu! Betapa aku pernah sampai hati melakukan hal tercela, membakar telur-telur ular, hanya menunjukkan betapa parahnya kondisiku waktu itu. Segala yang kulakukan hanya membuat kedukaan Ibu lebih mendalam dan melemahkan kondisi tubuhnya.
Soal cinta … tidak, pernah aku menuliskannya, dan sekarang tak bisa lagi.
[1] Kakushaku: Gelar kebangsawanan, di Jepang, sejajar dengan Count.
[2] Shishaku: Gelar kebangsawanan di Jepang, sejajar dengan Viscount.