Laila & Majnun Bab 1

1

Alkisah, pada zaman dahulu di negeri Arab, hiduplah seorang pemimpin kabilah, seorang Sayid yang sangat termasyhur. Bani Amir nama kabilah itu. Tidak ada seorang pun yang dapat menandingi kejayaan sang Sayid. Kegagahberaniannya telah masyhur di seluruh jazirah Arab. Kedermawanannya kepada para fakir miskin dan keramah-​tamahannya dalam menjamu para musafir telah terkenal ke mana-​mana. Namun, meski dicintai oleh semua orang dan mendapatkan tempat terhormat layaknya seorang sultan atau kalifah, dia tidak merasa bahagia. Sebuah kesedihan yang sangat mendalam menggerogoti hatinya dan menggelapkan hari-​harinya. Sang Sayid tidak memiliki anak.

Apalah artinya kekuasaan yang besar dan kekayaan yang melimpah bagi seorang laki-​laki apabila ia tidak memiliki anak? Apa gunanya kemuliaan dan kekuasaan bila tidak ada yang akan mewarisinya kelak? Apa artinya semua kesenangan hidup itu jika ia tidak dapat merasakan kebahagiaan dan keceriaan yang dibawa oleh seorang anak? Hal inilah yang selalu dipikirkannya sepanjang waktu. Dan, semakin ia memikirkannya, semakin besar kesedihannya. Tidak pernah ia berhenti berdoa kepada Tuhan agar dianugerahi seorang anak. Namun, doa-​doanya tidak kunjung terkabul. Ia merindukan bulan purnama yang tak kunjung muncul, sebuah kebun mawar yang tak pernah berbunga. Meski demikian, ia tidak pernah berhenti berharap.

Keinginannya yang membara untuk memperoleh keturunan telah membakar jiwanya sampai pada suatu titik di mana ia melupakan semua hal lain. Karena satu hal yang sangat diidamkan hatinya, namun tidak dimilikinya, ia mengabaikan semua kenikmatan yang telah dianugerahkan Tuhan kepadanya—kesehatannya, kejayaannya, kekuasaannya. Namun, bukankah demikian sifat manusia? Ketika keinginan-​keinginan kita tidak juga terpenuhi dan doa-​doa yang selalu kita panjatkan tidak kunjung dikabulkan Tuhan, apa pernah kita berpikir bahwa itu semua Dia lakukan demi kebaikan kita? Kita selalu merasa yakin bahwa kita mengetahui apa yang kita butuhkan. Namun, kebutuhan seringkali keliru dengan keinginan. Dan hal-​hal yang kita inginkan—namun tidak kita butuhkan—kadang menjadi penyebab kejatuhan kita. Tentu saja jika kita dapat melihat apa yang disimpan masa depan untuk kita, kita tidak akan pernah salah dalam mengajukan keinginan. Tapi masa depan adalah hal yang tersembunyi dari pandangan kita. Benang takdir seseorang terbentang jauh menembus dunia kasatmata, kita tidak dapat melihat ke mana ia akan berujung. Siapa yang dapat mengetahui bahwa kenikmatan pada hari ini dapat membawa kesengsaraan di keesokan hari, atau kesengsaraan pada hari ini akan berbuah kenikmatan di hari esok?

Dan demikianlah, sang Sayid selalu berdoa, berpuasa, dan berderma, hingga, ketika ia baru saja akan menyerah, Tuhan akhirnya mengabulkan permintaannya. Ia dianugerahi seorang anak laki-​laki. Seorang anak yang menawan bagaikan sekuntum mawar yang baru merekah, laksana sebuah berlian yang kecemerlangannya dapat mengubah malam menjadi siang. Untuk merayakan kelahiran anak yang sangat didambanya itu, sang Sayid membuka pundi-​pundi hartanya kemudian menebarkan emasnya seolah emas itu adalah pasir. Ia ingin membagi kebahagiaannya kepada semua orang. Sebuah pesta perayaan besar-​besaran pun diadakan.

Sang anak diasuh dengan penuh kasih sayang dan kelembutan. Seorang perempuan dipekerjakan untuk menyusui dan merawatnya agar kelak ia tumbuh menjadi seorang laki-​laki yang besar, sehat, dan kuat. Dan memang begitulah kenyataannya. Empat belas hari setelah hari kelahirannya, sang bayi telah menyerupai bulan purnama dengan segala keelokannya, memancarkan cahaya ke seluruh permukaan bumi, dan mempesonakan mata semua orang yang memandangnya. Pada hari kelima belas, orangtuanya memberinya nama Qais. Namun semua ini mereka lakukan secara diam-​diam, tersembunyi dari orang-​orang, agar bayi itu terhindar dari pengaruh jahat.

Setahun telah berlalu, ketampanan bayi laki-​laki itu telah merekah sempurna. Ia tumbuh menjadi seorang anak yang ceria dan periang, sekuntum bunga yang dirawat dengan penuh kelembutan di dalam kebun mawar kebahagiaan masa kanak-​kanak. Di akhir usianya yang ketujuh, garis-​garis kedewasaan mulai tampak di pipinya yang merah mawar. Siapa pun yang memandangnya, bahkan dari kejauhan sekalipun, akan mendoakan keberkahan Tuhan atasnya. Dan, di akhir usianya yang kesepuluh, orang-​orang mulai menceritakan kisah-​kisah tentang ketampanannya, seolah mereka sedang mengisahkan sebuah dongeng.

2

Menyadari kebutuhan anaknya akan pendidikan, sang Sayid kemudian menempatkan Qais di bawah bimbingan seorang guru yang sangat termasyhur akan ketinggian ilmunya, seorang ulama yang kepadanyalah semua bangsawan Arab memercayakan anak-​anak mereka untuk dapat memperoleh kearifan serta kecakapan yang dibutuhkan untuk menghadapi kerasnya kehidupan di gurun pasir. Sudah saatnya membuang mainan-​mainan sang anak dan menggantinya dengan buku-​buku pelajaran.

Qais adalah seorang murid yang tekun dan memiliki semangat belajar yang tinggi. Dalam waktu yang singkat ia telah mengalahkan teman-​teman sekelasnya dalam semua bidang pelajaran. Ia adalah murid terbaik yang pernah diajar oleh sang guru. Qais sangat unggul dalam membaca dan menulis. Ketika ia berbicara, baik itu dalam diskusi serius atau hanya sebuah percakapan biasa, lidahnya akan menebarkan mutiara-​mutiara kearifan. Betapa menyenangkan bila mendengarkannya berbicara.

Namun kemudian, sesuatu yang sungguh tidak pernah diduga terjadi. Teman-​teman sekelas Qais, sama halnya dengan Qais, adalah anak-​anak dari golongan terhormat suku-​suku Arab, dan di antara mereka juga terdapat beberapa anak perempuan. Suatu hari sang guru menerima seorang murid baru, seorang gadis yang sangat cantik. Qais dan semua murid laki-​laki di kelas itu seketika jatuh hati pada sang gadis.

Nama gadis itu adalah Laila, berasal dari kata bahasa Arab ‘lail,’ yang berarti ‘malam,’ karena di bawah bayangan rambutnya, wajahnya bersinar bagaikan bulan purnama yang memancarkan keindahan cahaya. Matanya hitam, dalam, dan bersinar-​sinar bagaikan mata seekor rusa. Dan dengan sebuah kibasan bulu matanya, ia mampu mengubah seluruh dunia menjadi puing-​puing. Mulutnya yang mungil terbuka hanya untuk mengucapkan hal-​hal yang indah. Apabila ada orang yang menggodanya—baik dengan kata-​kata maupun dengan senyuman—pipinya akan memerah, seolah mawar-​mawar merah merekah pada pipinya yang seputih susu.

Hati yang sekeras apa pun akan segera mencair begitu memandang keajaiban ciptaan ini. Namun, di antara semua teman-​temannya, Qais-​lah yang memiliki hasrat paling besar terhadap Laila. Ia telah tenggelam di dalam lautan cinta bahkan sebelum ia mengerti makna cinta itu sendiri. Ia telah menyerahkan hatinya kepada gadis ini bahkan sebelum ia menyadari betapa berharga hati yang telah diserahkannya itu. Perasaan Laila pun tidak jauh berbeda, ia telah jatuh cinta kepada Qais. Api telah menyala di dalam hati mereka, dan cahayanya saling memantul di antara mereka. Lantas apa yang bisa mereka lakukan untuk menjinakkan nyalanya? Tidak ada. Mereka masih remaja. Dan remaja menerima apa pun yang terjadi pada diri mereka tanpa banyak pertanyaan. Cinta bagaikan bejana anggur yang telah mengisi penuh cawan mereka, dan mereka meminum apa pun yang dituangkannya. Lalu mereka menjadi mabuk karena tidak menyadari kekuatan sang anggur. Mabuk yang pertama kali adalah mabuk yang paling memusingkan. Jatuh yang pertama kali adalah jatuh yang paling menyakitkan. Luka pertama selalu menjadi yang terperih.

Dan keadaan ini terus berlanjut, mereka terhanyut begitu jauh sehingga sulit untuk kembali. Mereka terpesona oleh kekuatan gaib yang sumbernya tidak mereka kenali, yang pengaruh sihirnya terlalu kuat untuk mereka lawan. Mereka meminum lebih banyak lagi anggur dari cawan cinta, siang dan malam. Semakin banyak mereka minum, semakin dalam mereka terbenam ke dalam satu sama lain. Mata mereka menjadi buta dan telinga mereka menjadi tuli terhadap dunia di sekeliling mereka. Qais dan Laila telah kehilangan diri mereka … dan saling menemukan satu sama lain.

3

Orang-​orang berkata bahwa cinta pertama adalah yang terindah, dan kenangan bahagianya tidak akan pernah mati. Bagi Qais dan Laila hal tersebut benarlah adanya. Mereka terlampau bahagia hingga tidak pernah mempersoalkan bahwa cinta di antara mereka dapat menghilang secepat kedatangannya.

Bagi Qais, Laila bagaikan sang matahari yang terbit ke dalam cakrawalanya dengan keindahan dan kemilau yang tiada banding. Semakin hari ia bersinar semakin terang, menyinari tidak hanya kehidupan Qais, tetapi juga kehidupan semua orang yang beruntung bertemu dengan gadis cantik itu. Murid-​murid laki-​laki yang lain pun ikut terpesona oleh kemilau cahayanya yang menyilaukan mata. Selama waktu belajar, mereka akan memandangi Laila dengan mulut menganga, sampai sang guru harus memukul mereka dengan tongkat agar mereka kembali berkonsentrasi. Jika sekolah sedang libur, mereka akan berkerumun di sepanjang jalan yang akan dilalui Laila, berharap dapat memandang sekilas lesung di pipi gadis itu. Dan jika mereka dapat memandangnya, mereka akan merasa bagaikan buah delima yang telah masak dan siap meledak dalam hasrat. Serupa itulah daya tarik yang terpancar dari Laila.

Tentu saja Qais sadar bahwa teman-​teman sekelasnya pun memiliki hasrat terhadap Laila. Namun ia sadar bahwa tidak ada seorang pun dari mereka yang menginginkan Laila melebihi dirinya, sehingga sepak terjang teman-​temannya itu tidak sedikit pun mengganggunya. Sekalipun begitu, ia tetap merasa gelisah. Ia merasakan sebuah firasat buruk akan suratan takdir yang tengah menantinya. Dengan memiliki keajaiban kecantikan Laila, ia sadar bahwa ia tidak akan pernah aman. Ia tahu bahwa selalu ada seseorang—atau sesuatu—yang akan mengusik mereka. Tiba-​tiba seluruh keadaan mulai berubah. Dan apa yang semula ia kira sempurna kini mulai tampak cacatnya. Perlahan, hampir tidak terlihat, awan hitam mulai muncul di kaki langitnya.

Namun, bukankah selalu begitu keadaannya? Tidak ada satu pun yang abadi: semua hal di dunia yang fana ini ditakdirkan akan binasa suatu hari nanti.

Sementara sepasang kekasih ini berjemur di dalam kemilau cahaya cinta mereka masing-​masing, mereguk anggur yang memabukkan, dan menikmati surga yang melenakan, mata dunia sedang menyaksikan mereka. Apakah orang lain tahu apa yang telah terjadi antara Qais dan Laila? Tidakkah orang-​orang melihat curi-​curi pandang dan tatapan sembunyi-​sembunyi yang berlangsung di antara mereka berdua? Mampukah orang-​orang membaca gelagat dan memecahkan isyarat tersembunyi dari cinta rahasia yang mengikat hati mereka berdua? Siapakah yang tahu tentang cinta mereka, seberapa banyakkah mereka tahu? Tidak ada yang dapat menjawabnya. Sampai suatu hari, di pasar, sebuah bisikan terdengar, “Qais dan Laila sedang jatuh cinta. Belum pernahkah kalian mendengar kabar itu?”

Sebuah kabar burung, orang bilang, dapat menyebabkan sebuah kerajaan runtuh. Dan segera desas-​desus tersebar ke seluruh kota, dari perkemahan ke perkemahan, dari mulut ke mulut.

Perlahan-​lahan sepasang kekasih ini mulai menyadari betapa butanya mereka selama ini. Orang-​orang telah melihat mereka berduaan, mendengar mereka bercakap-​cakap, melihat mereka tertawa-​tawa. Dan mereka, di dalam kepompong cinta mereka, sama sekali tidak menyadari hal ini. Tirai telah terkoyak, dinding telah runtuh, dan kinilah saatnya untuk berbuat sesuatu. Untuk menyelamatkan diri, dan melindungi cinta mereka, Qais dan Laila berusaha untuk tidak lagi memandang satu sama lain, serta mengunci rapat bibir mereka yang haus akan cinta.

Namun hasrat dan kehati-​hatian sulit untuk bersatu, dan cinta, sekali terlepas ke alam bebas, tidak akan dapat disembunyikan lagi. Kehati-​hatian tidak dapat membungkam sebuah hati yang terbelenggu oleh keindahan sang kekasih. Apa yang dapat dilakukan Qais? Jiwanya adalah sebuah cermin bagi kemilau cahaya Laila: bagaimana mungkin ia dapat menyembunyikan kemilau itu? Laila bersinar di dalam dirinya bagaikan matahari siang di langit yang cerah: bagaimana mungkin cahaya benderang seperti itu dapat disembunyikan? Bagaimana mungkin ia dapat berpaling, bahkan untuk sedetik pun, dari satu-​satunya hal yang memberi arti dalam hidupnya? Hati Qais sudah tidak dapat dikendalikan. Sekuat apa pun ia mencoba untuk menyembunyikan cintanya terhadap Laila, ia akan gagal dengan menyedihkan. Bersama Laila, ia akan merasakan sakitnya anak panah gunjingan orang-​orang. Jauh dari Laila, pedihnya perpisahan menusuk hatinya bagai sebuah belati.

Qais tidak dapat menemukan jalan untuk keluar dari kesulitan dan kebingungan yang dialaminya. Setelah kehilangan hatinya, kini ia juga kehilangan pikirannya. Yang dapat dilakukannya hanyalah berjalan kesana-kemari dalam keadaan tidak sadarkan diri, memuja kecantikan Laila, dan menceritakan kebaikan-​kebaikan gadis itu terhadap setiap orang yang dijumpainya. Semakin banyak orang yang berjumpa dan mendengar ucapan-​ucapannya, semakin bertambah ganjil penampilannya dan semakin aneh tingkah lakunya. Orang-​orang kemudian mulai menertawai dan mencemoohnya. Mereka meneriakinya, “Inilah dia si orang gila, inilah dia si ‘majnun’!”

Bagi keluarga Laila, keadaan ini tidak dapat dibiarkan lagi. Tidak hanya kehormatan Laila, tapi juga kehormatan seluruh kabilah sedang dipertaruhkan. Apa mereka akan membiarkan nama baik kabilah mereka tercoreng oleh tingkah laku seorang laki-​laki gila dari Bani Amir ini? Apakah mereka akan tinggal diam sementara nama baik Laila ternodai? Mereka harus segera bertindak. Hal pertama yang mereka lakukan adalah melarang Laila meninggalkan tendanya. Seorang penjaga ditempatkan di pintu tenda Laila untuk mencegah Qais menemuinya. Demikianlah, mereka menyembunyikan purnama dari pungguk yang merindukannya.

Dan tidak ada yang dapat dilakukan Laila untuk menghalanginya. Ia terpaksa menyembunyikan kesedihannya—kesedihan yang mengoyak hatinya. Hanya bila sedang sendirianlah, ia dapat melepas topengnya dan membiarkan airmata kesepiannya mengalir.

4

Perpisahan Qais dengan Laila mengakibatkan perpisahannya juga dengan semua orang yang dicintainya—sanak saudaranya, sahabat-​sahabatnya, orangtuanya, dan rumahnya. Jika Laila menyembunyikan tangisannya, Qais menangis terang-​terangan, menunjukkan kedukaannya kepada dunia.

Ia berkelana tanpa arah, melewati pasar di mana orang-​orang sedang berdagang. Ia berbicara sendiri, dituntun oleh hatinya yang merindu, tidak menyadari kehadiran dan cemoohan orang-​orang di sekitarnya. Dan selama ia berkelana dari pasar ke pasar, dari tenda ke tenda, ratapan kidung cinta selalu mengalir keluar dari bibirnya. Matanya selalu basah oleh airmata kerinduan. Setiap orang yang berjumpa dengannya akan berteriak. “Itu dia si ‘majnun,’ si orang gila. Hai, Majnun!”

Tempurung kewarasan Majnun telah retak, menampakkan kekalutan jiwanya. Ia telah tersingkap, terbuka: emosi dan perasaannya yang terdalam telah tampak dengan jelas. Tidak hanya kehilangan Laila, ia juga telah kehilangan dirinya sendiri. Kepedihan hatinya terbayang di raut wajahnya; berpijar seperti api, hingga semua orang dapat melihatnya dengan jelas. Qais adalah luka yang berjalan dan berbicara. Qais, orang yang hilang, yang dilupakan; Qais, orang yang dimusuhi oleh takdir.

Semakin lama penderitaannya berlanjut, semakin Qais menjadi seperti apa yang dikatakan orang-​orang tentangnya: Majnun, si ‘orang gila.’ Bukankah merupakan suatu kegilaan bila kita terbakar selamanya dalam nyala api? Bukankah merupakan kegilaan jika kita tidak dapat makan dan tidur sedikit pun? Semakin Qais mencari obat penyembuh, semakin parah sakitnya. Dan setiap hari, ketika matahari akan terbenam, bayang-​bayang jiwa Qais yang putus asa akan berjalan mengikuti di belakang sampai ke pinggir kota, lalu menyepaknya ke tengah padang pasir, berjalan bertelanjang kaki, tanpa jubah sehelai pun melindungi tubuhnya.

Memang Majnun telah menjadi gila, namun ia sangat mahir dalam merangkai syair. Dalam keterpisahannya dengan Laila—sebuah perpisahan yang membuatnya menjadi budak Laila—ia tergerak untuk merangkai syair-​syair pujian dan sajak-​sajak yang sangat indah untuk memuji kecantikan Laila, rangkaian syair-​syair yang tidak pernah didengar sebelumnya oleh telinga manusia.

Dalam keheningan malam ia akan menyelimuti dirinya dengan jubah kegelapan, lalu berjalan diam-​diam menuju kemah Laila. Kadang-​kadang ada orang lain yang menemaninya—seorang teman yang sama seperti Majnun, pernah merasakan cinta serta pedihnya perpisahan. Majnun berjalan sangat cepat, bagaikan angin gurun yang berembus. Setelah sampai, ia akan berdiri di depan pintu kemah Laila sambil menggumamkan doa-​doa, lalu segera pulang.

Begitu dekat, namun terasa begitu jauh. Betapa berat bagi Qais untuk menyeret tubuhnya dari depan tenda kekasih tercintanya itu dan kembali pulang. Bila pergi menuju tenda Laila, ia akan berjalan cepat sekali hingga seakan ia sedang terbang. Dalam perjalanan pulangnya, ia akan berjalan terhuyung-​huyung bagaikan seekor hewan yang terluka. Mengapa takdir begitu kejam? Hatinya telah hancur bagaikan perahu yang karam diterjang badai. Apa yang tersisa dari dirinya kini tengah terombang-​ambing di dalam belas kasihan sang ombak. Rumahnya telah menjadi penjara di mana orang-​orang selalu berbicara kepadanya, namun tidak pernah mendengarkannya. Rumah di mana orang-​orang selalu menasihatinya, tapi tak pernah mau memahaminya. Akhirnya ia sampai pada satu titik di mana ia tidak lagi ambil pusing dengan kata-​kata mereka. Ia tidak lagi peduli dengan apa pun. Hanya kata ‘Laila’ yang sangat berarti baginya kini. Ketika orang membicarakan hal lain, ia akan menutup telinganya dan mengunci mulutnya.

Suatu hari ia akan berjalan kesana-kemari dalam keadaan tidak sadarkan diri. Pada hari berikutnya ia akan tersuruk seperti orang mabuk, mengerang dan menangis. Syair-​syair cinta mengalir dari bibirnya. Ia memanggil angin timur dan memintanya untuk menyampaikan sebuah pesan kepada Laila, yang kabilahnya berkemah di gunung Najd.

“Angin timur, cepatlah pergi. Temuilah dia di sana,” ujarnya. “Belailah rambutnya dengan lembut, dan berbisiklah di telinganya. Katakan padanya, ‘Orang yang telah mengorbankan segalanya untukmu menyampaikan salam dari jauh. Titipkan seembus napasmu melalui sang angin untuk memberitahu dia bahwa engkau masih memikirkannya.’

“Duhai kekasih, andai aku tidak dapat mempersembahkan jiwaku kepadamu, maka lebih baik aku membuangnya dan kehilangan ia untuk selamanya. Aku terbakar dalam api cinta. Aku tenggelam dalam airmata kesedihan. Bahkan matahari yang menyinari dunia dapat merasakan panasnya bara hasratku. Aku adalah ngengat yang terbang menembus malam untuk mengitari nyala lilin. Oh, lilin jiwaku, jangan siksa aku ketika aku mengelilingimu! Kau telah memikatku, kau telah merampas tidurku, akalku, juga tubuhku.

“Engkau adalah penyebab kepedihanku, namun, meski demikian, cinta yang kurasakan padamu merupakan satu-​satunya pelipurku, satu-​satunya obat penyembuhku. Sungguh aneh, sebuah obat yang sekaligus penyebab rasa sakit yang lebih hebat! Andai saja kau dapat mengirimiku sebuah tanda! Andai sang angin dapat menyentuh bibirmu dan membawa kecupanmu kepadaku. Namun, aku akan menjadi cemburu kepada sang angin, dan menyesal sendiri karena telah menyuruhnya.

“Kekuatan jahat telah memisahkan kita, duhai kekasihku. Takdir telah menebarkan mantra jahatnya dan memukul jatuh cawan dari tanganku: anggur telah habis dan aku sekarat kehausan. Dan sekarang takdir sedang menertawakanku sementara aku terbaring sekarat. Memang, aku telah dikutuk oleh kekuatan jahat, oleh takdir, oleh apa pun namanya. Siapakah yang tidak akan takut terhadap musuh seperti ini? Orang-​orang berusaha untuk melindungi diri mereka dari kekuatan jahat dengan mengenakan azimat biru; bahkan sang matahari, yang sangat takut akan kegelapan, mengenakan langit biru sebagai jubah untuk menangkal pengaruh jahat. Aku tidak mengenakan sebuah azimat pun sehingga aku harus kehilangan segalanya. Benar, segalanya. Aku telah kehilangan segalanya karena aku telah kehilanganmu, karena engkau adalah segalanya bagiku. Kalau bukan ulah takdir, maka ulah siapa lagi ini? Dan bila ini memang ulah takdir, maka sudah sepantasnya aku untuk takut. Dan untuk marah … ”

5

Fajar baru menghamparkan jubah emasnya ke atas permukaan bumi, menyematkan kancing keemasan matahari ke telinga langit, menyingkirkan bintang-​bintang dalam sekejap.

Dan kini Majnun mulai tampak. Ia dan teman-​temannya berdiri tidak jauh dari tenda Laila. Ia telah mengambil risiko yang sangat besar. Tidak pernah sebelumnya Majnun berdiri sedekat ini tanpa jubah kegelapan malam yang melindunginya. Kesabarannya telah habis, ia sudah tidak tahan lagi dengan keadaan ini. Hatinya melebur karena Laila, dan sebelum hatinya binasa seluruhnya, ia harus berjumpa dengan Laila. Bagaikan orang mabuk ia berjalan terhuyung-​huyung ke arah tenda Laila, sementara syair-​syair cinta berjatuhan dari bibirnya.

Dan tiba-​tiba ia telah di sana, tepat di ambang pintu kuil tersuci hatinya. Ia harus menggosok matanya untuk meyakinkan diri bahwa ia tidak sedang bermimpi. Tepat di hadapannya, berdiri tenda Laila. Dan yang menakjubkan, tirai pintu tenda itu sedang tersingkap. Dan di dalam sana, di bawah temaram cahaya, nyata terlihat, Laila tengah duduk di pintu masuk tenda itu. Majnun mengeluarkan sebuah erangan yang memilukan, seolah ia akan jatuh pingsan. Erangan itu mengejutkan Laila. Gadis itu pun keluar dan menyaksikan Majnun tengah berdiri di depan pintu tendanya. Untuk sedetik, yang terasa bagaikan sebuah keabadian, mata mereka bertemu, dan di dalam cermin tatapan mata masing-​masing mereka dapat membaca keseluruhan kisah ketakutan, kerinduan, kepedihan, dan rasa cinta mereka. Airmata menggenangi pelupuk mata mereka selama mereka saling berbicara dalam kebisuan yang mengungkapkan sejuta bahasa, saling bertukar keluh dengan desir angin sebagai perantara mereka.

Laila adalah cahaya fajar; Majnun adalah sebatang lilin yang meleleh perlahan di hadapannya karena hasrat. Laila dalam segala keindahannya adalah taman mawar; Majnun adalah mercusuar kerinduan. Laila menebarkan benih cinta; Majnun menyiraminya dengan airmatanya. Laila adalah roh keindahan dari dunia gaib; Majnun adalah obor membara yang menerangi jalannya dari dunia gaib menuju dunia manusia. Laila adalah melati yang mekar di musim semi; Majnun adalah sebidang tanah di musim gugur, di mana tidak ada satu pun melati yang dapat tumbuh. Laila dapat memikat dunia dengan sekilas tatapan matanya; Majnun adalah budaknya, seorang darwis yang berputar-​putar di hadapannya. Laila memegang cawan yang menampung anggur cinta; Majnun berdiri mabuk oleh aromanya.