Kisah Tujuh Putri Bab 1

Kisah Putri India di Hari Sabtu di Wisma Hitam Saturnus

Di hari sabtu, ketika Raja Bahram yang berpakaian serba hitam selesai melakukan pemujaan di Kuil Api,[1] ia singgah di Wisma Saturnus dan mengunjungi Putri India. Dibelai lilin beraroma parfum kayu gaharu, mereka berasyik masyuk, bercengkerama sampai malam yang hitamnya diharumkan oleh musik menggantikan sutra putih hari itu. Lalu sang raja meminta si jelita dari Kashmir agar membuka untuknya kotak wasiat cerita-​cerita yang bagai angin malam akan membuai sang raja hingga terlelap, dikuasai oleh anggur dan cinta.

“Semoga tambur dari surga menyambut Yang Mulia,” sahut gadis itu dengan mata secerdik mata gazelle, “dan semoga hidupnya sepanjang usia dunia! Semoga semua kepala tunduk di bawah singgasananya dan kemakmuran membuatnya hasratnya kian terpuaskan!”

Setelah itu sang putri berdoa dan mulai menyampaikan kisahnya.

Kisah Cinta Tak Berbalas

Ketika saya masih kecil di kampung halaman, orang-​orang di keluarga kami sering bicara tentang seorang wanita yang biasa berkunjung sekali sebulan. Ia berwajah cantik, saleh dan dermawan, tapi selalu berbusana serba hitam dari ujung rambut sampai ujung kaki. Ini membuat kami heran.

“Katakan apa sebabnya?” keluargaku bertanya suatu hari.

“Apakah kau bersedih? Adakah sesuatu yang menyiksa atau menakutkanmu, sehingga kau terus-​menerus berpakaian hitam seperti itu? Kenapa tidak kau ceritakan pada kami kesedihanmu?”

Karena kaget, wanita itu bermaksud mengelak. Namun dalam kebingungannya ia tidak melihat cara lain kecuali menyampaikan kebenaran sehingga ia pun berkata, “Kau mengusik satu rahasia dari tempat persembunyian dan tak ingin membiarkan tidurnya tenang tanpa gangguan. Dengarkan dan berpeganglah pada kata-​kataku!

“Kau tahu, aku dulu seorang budak kaisar perkasa, dan meski ia kini wafat dan tak lagi tersentuh oleh puji ataupun cerca, aku masih tak bisa berkata yang lain atasnya kecuali kebaikan. Ia yang memiliki segalanya berada di atas kita semua, melindungi si miskin bagaikan gembala melindungi domba dari si serigala. Maka ia terus bersikap seperti itu meski bintang-​bintang memberikan takdir yang keras dan langit sendiri berteriak dan memanggilnya ‘Raja Berjubah Hitam’. Itu setelahnya. Bagaimanapun apa yang akan aku sampaikan kepadamu sudah berlalu. Kejadiannya seperti ini: raja kami, ketahuilah, dikuasai oleh satu hasrat, yaitu ingin tahu dan mendengar tentang segala yang dialami orang di dunia ini. Itulah kenapa ia membangun sebuah penginapan musafir yang lebih besar dan indah dari yang bisa kau bayangkan: semua ruangannya tanpa terkecuali dilapisi permadani, piala-​piala besar berisi makanan yang selalu siap santap dan sebarisan pelayan yang akan menjamu para tamu. Tiap kali seorang musafir mengunjungi kota, siapa pun dia dan dari mana pun ia datang, sang raja akan mengundangnya. Ia diterima bagai seorang pangeran, dan setelah tamu itu beristirahat sekian lama, sang raja sendiri akan menemuinya secara langsung, mengajukan sejumlah pertanyaan tentang tanah asalnya, perjalanannya, rencana dan petualangannya, dan tidak akan puas sebelum ia berhasil membentuk gambaran tentang hidup si tamu, sepotong demi sepotong, bagai sebentang permadani, dan menyimpannya di dalam satu bilik ingatan.

Begitulah sang raja menghabiskan hari-​harinya bertahun-​tahun. Ia kumpulkan dalam jiwanya kehidupan orang lain, seolah itu adalah butiran batu mulia, dan meski ia tahu tentang mereka lebih dari makhluk mana pun di dunia ini namun ia makin dan kian merasa haus.

Lalu mendadak sesuatu terjadi namun tak kami pahami: sang raja menghilang. Suatu pagi ia lenyap. Tak seorang pun bisa membayangkan ke mana ia pergi. Ia pergi tanpa meninggalkan kata atau pesan, tak ada jejak sedikit pun. Seperti burung ajaib simurgh yang berleher panjang, ia dalam diam membentangkan sayapnya dan terbang. Siapa yang akan memberi tahu kami berita tentang simurgh?

Kami menunggu; apa lagi yang bisa kami lakukan? Kami menanti dan hari-​hari berlalu, begitu banyak, tak terhitung. Kemudian ia datang lagi. Di depan mata kami ia menaiki singgasana seolah tak pernah pergi ke mana pun. Dialah raja kami, namun di sisi lain ia bukan. Ia berpakaian hitam dari ujung rambut sampai ujung kaki—serban, jubah, kemeja, segalanya.

Sebagaimana sebelumnya, ia mengendalikan kekaisaran layaknya seorang raja budiman dan bijaksana, tapi tanpa alasan apa pun ia terus mengenakan setelan serba hitam ini bagai sedang berkabung—dan bibirnya yang dulu ceria kini lupa tersenyum dan bergembira.

Semua orang yang melihatnya heran, namun tak berani bertanya, “Kenapa jadi begini? Kenapa paduka berduka?” Tak seorang pun, sampai suatu hari aku bertanya, karena aku bisa melihat ia mengundangku agar bertanya.

Itu terjadi suatu malam, saat aku sedang duduk berdua dengannya, sedangkan hatiku penuh cinta dan iba. Ia berbaring, dan selagi aku pegang kakinya di pangkuanku dan membelainya, ia mendadak meratapi nasibnya.

“Lihat,” katanya, “betapa bintang-​bintang telah merampokku dan betapa langit telah mempermainkanku, padahal aku seorang raja. Aku dihalau keluar dari taman surga tempatku tinggal dan menjadi bahan pergunjingan di tengah gelapnya dunia. Tak seorang pun menanyakanku sampai sejauh ini; surgamu, ke mana kau menghilangkannya? Dan tak seorang pun bertanya kenapa jubah ini hitam.”

Ketika kudengar sang raja yang malang berkata begitu, aku lembut membelai kakinya dengan pipiku, dan setelah memilih kata-​kataku secara saksama, aku menjawab:

“Paduka pelindung kaum teraniaya dan paling mulia di antara semua raja! Bagaimana bisa salah satu dari kami punya keberanian mengoyak langit dengan kapak perang? Bagaimana bisa seseorang menanyakan tentang rahasia paduka? Paduka adalah satu-​satunya yang mengenal rahasia ini, dan paduka akan membeberkannya hanya pada siapa yang paduka ingini.”

Begitulah aku bicara, dan inilah yang dipercayakan sang raja padaku:

“Kau tahu,” ia memulai, “kebiasaanku menerima musafir yang melintasi kerajaan, menjamu mereka dengan pesta, dan meminta mereka menceritakan kisah hidup mereka. Nah, alasan menghilangnya diriku berhubungan dengan itu. Dengarlah!

Suatu hari seorang tak dikenal yang dibawa ke hadapanku berbeda dari semua orang asing yang kutemui sebelumnya. Pakaiannya, serban, dan sepatunya—pendeknya, segala yang ia kenakan adalah hitam, sebagaimana kau kenakan saat menyambutku. Dan tepat ketika aku kembali dan menjadi bahan keherananmu, aku pun bertanya-​tanya saat itu tentang si musafir berpakaian hitam, dan wajar jika menjadi khawatir setelah mendapati apa yang membuatnya mengenakan pakaian hitam itu, karena aku memandang ia tak akan mengubah penampilannya, sehingga pastilah ada alasan rahasia di balik itu. Maka aku meminta agar ia diperlakukan secara istimewa, lalu setelah perjamuan makan dan minum ia beristirahat, dan aku memasuki kamarnya, duduk dan berkata:

“Maukah kau, sobatku, membuka untukku kitab petualanganmu sehingga aku bisa mengetahui alasan kenapa kau berduka dan memahami makna jubahmu?”

Namun yang menjadi bahan keherananku, si orang asing tak mau mengaku untuk itu.

“Jangan tanyakan hal itu!” ia berteriak penuh emosi. “Tak ada sepatah kata pun! Apa yang ingin Anda ketahui tak bisa saya jelaskan pada siapa pun.”

Namun aku menekannya bahkan lebih keras:

“Katakan padaku! Jangan berusaha menghindar. Apa makna pakaianmu yang serba hitam?”

Mulai saat itu, si orang asing mendapatkan ketenangannya kembali.

“Maafkan saya,” sahutnya dengan sedih, “tapi permintaan Anda mustahil dikabulkan. Tak ada jawaban untuk pertanyaan itu, siapa pun yang bertanya, kecuali Anda juga mengenakan jubah hitam … ”

Saat itu aku tidak paham makna kata-​katanya, dan makin ia menolak hasratku maka makin kuat pula rasa penasaranku ingin memasuki jantung teka-​teki itu. Aku sepenuhnya lupa martabat yang seharusnya dipertahankan seorang raja, dan aku bersikeras, bahkan memohonnya, sampai karena malu akan ketidaksabaran dan desakanku hingga tak tahu harus berbuat apa, akhirnya ia mau mengaku:

“Di Cina, nun jauh di sana, ada sebuah kota yang sangat indah, namun ia disebut ‘Kota yang Digelapkan’. Ini sebuah tempat berduka, yang penduduknya, meski rupawan bagai rembulan, selalu berjalan dengan pakaian hitam dan siapa pun yang mengunjungi kota itu dan tinggal di sana cukup lama pada akhirnya menjadi seperti mereka. Kenapa? Jangan tanya saya! Bahkan jika Anda menghukum mati saya sekalipun, tak akan ada yang bisa Anda dapatkan dari saya.”

Bersama kata-​kata ini si orang asing mohon diri, menaiki binatang tunggangannya dan meneruskan perjalanan. Aku dibiarkan kebingungan. Apa yang harus kulakukan? Siang dan malam, terjaga ataupun bermimpi, misteri orang berpakaian hitam itu mengejarku, seolah dalam sebuah permainan catur aku telah menjadi sadar bahwa satu gerakan saja cukup membuat lawanku mati; namun meski nekat berusaha aku tak bisa ingat gerakan ini. Semua usaha sudah kulakukan. Tak peduli seberapa banyak buku kubuka, seberapa banyak cendekiawan kumintai bantuan, percuma saja. Tak bisa kutemukan pemecahan atas teka-​teki itu.

Lalu kuputuskan untuk melupakan pengalamanku itu seperti melupakan mimpi buruk, memulihkan kesabaranku dan jika mungkin mendapatkan ketenangan pikir kembali. Namun betapa pun banyak aku berusaha dan betapa pun lama, aku tak berhasil. Duri itu masih menancap terlalu dalam. Aku makin putus asa. Aku mirip seorang penunggang kuda di sebuah ngarai sempit, tidak bisa maju maupun mundur, dan aku takut kegilaan sedang menyuruk-​nyuruk di atas leherku. Aku tak bisa terus-​menerus seperti ini.

Akhirnya aku melakukan satu-​satunya hal yang masih tersisa untukku: kutinggalkan singgasana dan kerajaanku, membawa serta sejumlah pengawal terpercaya bersamaku, juga sejumlah emas dan intan yang memungkinkan untuk dibawa bepergian. Dengan tenang aku memulai pencarian atas kota misterius yang digambarkan si orang asing kepadaku. Sungguh aku harus berhasil!

Dan ternyata aku menemukannya. Tamu tak dikenal itu tidak berdusta kepadaku. Kota itu terletak di Cina, mirip sebuah kebun surga, dan penduduknya cantik-​cantik, mirip lukisan yang hidup—namun lukisan yang diberi pigura hitam. Karena semua orang mengenakan pakaian hitam legam, dan wajah pucat mereka menatapku seperti rembulan terapung di laut gelap.

Jadi aku telah menemukan kota itu; tapi apakah rahasianya? Aku menyewa sebuah ruangan di penginapan, dan ketika telah tenang aku pun memulai penyelidikanku.

Kupikir usahaku demi menemukan pemecahan teka-​teki yang tampaknya diketahui siapa pun kecuali aku itu seharusnya tidak terlalu sulit.

Tapi aku salah. Ke mana pun aku bertanya dan betapa pun lama aku menyimak, tampaknya tak seorang pun tahu apa yang dengan penasaran berusaha kuketahui. Tak seorang pun yang akan memberiku jawaban.

Setahun berlalu, dan aku masih belum bisa ke mana pun setelah hari kedatangan. Lalu ketika aku sudah mulai kehilangan keberanian, Takdir membiarkanku berjumpa seorang pria yang padanya aku mengalami ketertarikan sangat kuat sejak pandangan pertama. Aku telah cukup bersinggungan dengan bermacam jenis orang, jadi aku tidak begitu khawatir tentang nama dan pekerjaannya. Ia seorang tukang jagal, tapi meski begitu ia manusia penuh kebaikan dan kelembutan. Ia tak pernah mengucapkan kata-​kata tak sopan tentang siapa pun.

Aku merasa bahwa apa pun taruhannya aku harus sering membersamai pria ini dan melakukan segala yang kubisa demi bersahabat dengannya. Betapa terkejut pria budiman itu. Sehari setelah aku menemukannya, dengan berbagai alasan aku memuji, menghormati, dan menghujaninya dengan hadiah-​hadiah. Maka perlahan aku terjerat oleh hatinya yang tanpa dosa: ia mulai percaya kepadaku sementara di saat bersamaan sejumlah hadiah yang kucurahkan kepadanya membuatnya bingung.

Lalu suatu hari ia mengundangku ke rumahnya. Kudapati santap makan disajikan untukku, lengkap dan amat sangat meriah. Tak ada makanan yang tidak ia tawarkan kepadaku, dan ketika kami mencicipi semua masakan dan bicara tentang Tuhan dan dunia—meski tentu saja tidak tentang satu hal yang diam-​diam menjadi titik terpenting bagiku—majikanku keluar lalu masuk lagi membawa semua hadiah yang kuberikan kepadanya sejak awal persahabatan kami. Ia taruh di hadapanku segunung emas dan intan dan kain ini, ditambahkan dengan barang-​barang miliknya sendiri, dan aku amat sangat terkejut ketika ia berkata:

“Maafkan saya! Tapi lihat, saya selalu puas dengan memiliki sangat sedikit—buat apa semua kekayaan itu? Kenapa Anda memberikannya kepadaku? Bagaimana bisa saya membalas Anda secara layak? Jika Anda punya keinginan, jika saya bisa membantu Anda dengan cara tertentu maka silakan Anda sampaikan! Bahkan meski saya punya seribu nyawa dan Anda menginginkan semuanya, saya akan suka rela mengorbankannya untuk Anda, meski itu tetap belum cukup.”

“Tuanku yang baik,” sahutku, “Apa maksudnya? Kau bukan budakku. Tidak. Tidak. Aku tak bisa tahan mendengar kau bicara tak masuk akal seperti itu di hadapanku.”

Dan sambil menunjuk ke arah hadiah-​hadiahku aku melanjutkan:

“Apa artinya sampah macam ini bagi pria seperti kita?”

Bersama kata-​kata ini aku memberi tanda pada para pelayanku yang berdiri di belakangku. Mereka maju dan mengeluarkan dari dalam petiku segunung koin emas yang membuat semua hadiahku di awal jadi tidak berarti: sobatku yang tak menyadari alasan rahasia di balik kemurahan hati ini menjadi keheranan bercampur malu.

“Anda sedang membuat saya berutang budi seumur hidup!” pekiknya dalam keputusasaan. “Kembali Anda hujani saya dengan hadiah dan membuat saya merasa malu—seolah saya telah mengembalikan hadiah Anda di awal dengan maksud agar Anda menambahkan lebih banyak lagi. Padahal justru sebaliknya: saya mengembalikannya karena tak ingin menerima begitu banyak dari Anda tanpa memberikan apa pun sebagai balasannya … tapi kini, ditambah ini … Saya tegaskan pada Anda, saya tak mau menerima apa pun, betapa pun Anda ingin saya menerimanya. Bilang saja apa yang Anda inginkan dari saya, atau ambil kembali semua hadiah itu, yang di awal dan yang baru datang.”

Itu adalah momen bagiku untuk bertindak. Ketika aku mendengar ia bicara seperti ini dan menyadari sekali lagi betapa tulus persahabatannya denganku maka aku memutuskan di dalam hati untuk menyembunyikan maksudku darinya lebih lama lagi. Kubilang padanya seluruh kisahku, mengakui bahwa aku seorang raja dan juga menjelaskan padanya kenapa aku telah meninggalkan takhta dan kerajaanku di belakang demi berkelana ke Kota yang Digelapkan. Lalu aku memungkasinya dengan berkata, “Aku tak sanggup membongkar kebenaran. Katakan padaku! Katakan! Apa penyebab kesedihanmu? Kenapa kau mengenakan pakaian serba hitam? Kenapa kau berduka tanpa alasan apa pun? Dan kenapa kau merahasiakannya?”

Setelah pria itu mendengar kata-​kataku, wajahnya berubah aneh. Ada masalah apa dengannya? Apa yang terjadi padanya? Ia gemetar bagai seekor domba yang mendadak diserang seekor serigala. Lama ia pejamkan matanya, gemetar ketakutan dan tak berucap sepatah kata pun.

Lalu ia berkata:

“Anda salah mengajukan pertanyaan ini kepada saya. Lebih baik tak usah bertanya. Namun tunggulah sampai hari gelap. Lalu saya akan memberi Anda satu jawaban—satu-​satunya jawaban yang mungkin.”

Ketika malam tiba dan orang-​orang tidur di rumah mereka masing-​masing, sobatku itu berkata:

“Nah, sekarang sudah tepat saatnya. Akan saya tunjukkan pada Anda apa yang ingin Anda ketahui dan membeberkan rahasia di hadapan mata.”

Bersama kami tinggalkan rumahnya dan ia mendahuluiku dalam perjalanan panjang menembus kegelapan. Kami tidak berjumpa seorang pun dan aku merasa seperti hantu di dunia orang mati. Akhirnya kami tiba di sebuah bangunan tak terurus yang bentuk dan tingginya tak terlihat jelas di kegelapan.

Sobatku berhenti dan memasuki halaman dalam bangunan yang telah runtuh itu melalui lubang di dinding. Aku mengikutinya. Tapi ada apa sekarang? Tak jauh dariku, di sebuah sudut, aku melihat sebuah keranjang yang dibuat dari reranting pohon yang dipelintir, digantung dengan seutas tali. Sobatku memegangnya, mendorongnya dengan kedua tangan ke arahku dan berkata, “Jika Anda sungguh bermaksud mengetahui alasan sikap diam ini dan kenapa pakaian serba hitam ini, Anda harus duduk sesaat lamanya di atas keranjang ini, tergantung di antara langit dan bumi.”

Apakah aku takut? Ya! Bagiku keranjang itu mendadak tampak penuh ular dan dalam bayanganku tali tambang yang mengikat dan menggantung keranjang itu berubah menjadi seekor naga. Tapi aku ingat betapa dekat aku sekarang dengan tujuanku dan bahwa aku lebih baik memercayai tukang jagal itu meski maksudnya tidak jelas bagiku; jadi aku dengan cepat naik ke atas keranjang. Tapi lalu apa yang terjadi? Tepat setelah aku mulai duduk, keranjang itu terangkat dan membawaku ke langit. Apakah ini sihir? Apakah keranjang itu ditarik oleh mesin rahasia tertentu, yang diketahui oleh pria itu dan dijalankan olehnya? Bagaimana mungkin aku tahu?

Mendekam tak berdaya di dalam keranjang sempit, menjadi tawanan dengan seutas tali menggantung di atas leherku yang dengannya hidupku tergantung, aku melayang naik dan naik dan naik sampai mendadak tali itu tersangkut pada sebuah simpai besi dan gondola itu jadi tenang di samping puncak sebuah pilar yang sangat besar. Aku pindah ke atas pilar itu, tapi kemudian mendapati aku hanya beralih ke penjara yang lain: tak ada anak tangga bagiku untuk turun dari ketinggian yang mengilukan ini ke atas bumi.

Ratapan dan kemarahan tidaklah akan berguna bagiku, tak ada gunanya pula mempersalahkan si tukang jagal yang telah mengkhianatiku, atau begitulah dia menurutku. Di sekelilingku tak ada apa pun kecuali kehampaan kubah langit yang terbuka lebar, yang korbannya adalah aku. Aku gemetar, tak berani melihat ke atas ataupun ke bawah, kupejamkan mata, dikuasai ketakutan dan ketidakberdayaan, berusaha berdamai dengan nasib. Sia-​sia. Alangkah dalamnya kini aku meratapi apa yang telah kulakukan. Meratapi keingintahuan yang tak terpuaskan ini! Kerinduan untuk pulang menguasaiku bersama damba: andai saja aku tak pernah meninggalkanmu! Tapi sudah terlalu kasip. Hanya ada satu yang bisa menolongku—Tuhan!

Aku mulai berdoa. Mendadak setelah beberapa saat seekor burung muncul, sangat besar bagaikan gunung, dan mendarat di sampingku di atas lantai. Bulu-​bulunya mirip reranting sebatang pohon. Ia punya cakar sebesar undakan singgasana, dan ketika membuka paruh terlihatlah olehku sebuah gua besar. Aku kaget karena pilar itu tidak runtuh dipijak olehnya, dan ketika aku menatap teman baruku itu hatiku dicekam ketakutan dan keputusasaan. Tapi monster itu tak memedulikanku. Ia mulai merapikan penampilan dan menggaruk-​garuk tubuhnya, dan rasa kagetku tak terhingga melihat kerang-​kerang kecil dan kantong penuh kesturi berjatuhan bersama bulu-​bulu yang rontok dari punggungnya. Ini sungguh burung yang bukan main!

Setelah beberapa saat, burung itu tertidur, tapi tak ada cukup ruang untuk kami berdua, burung itu meliputiku dengan sayapnya, hingga aku megap-​megap mirip orang tenggelam.

Di saat bersamaan, satu pikiran baru memasuki benakku.

Bagaimana, pikirku, jika aku memegang salah satu kaki burung ini dan membiarkannya membawaku pergi bagai mangsanya? Itu tak terlalu berbahaya dibanding tetap berada di atas pilar ini, terancam dari berbagai sisi, tak bisa menggapai langit ataupun bumi. Seorang jahat tak beriman telah mengkhianatiku—tapi kenapa? Apakah ia tergoda oleh apa yang menjadi milikku? Itulah kenapa ia ingin melenyapkanku? Aku tak bisa percaya! Tapi apa pun alasannya, aku harus berusaha lolos dengan bantuan burung ini. Itulah satu-​satunya harapanku.

Setelah membuat keputusan, aku menjadi tenang. Lalu langit berubah merah, waktu ayam jantan berkokok sudah dekat dan burung raksasa di atasku itu terbangun. Ia mengepakkan sayapnya dengan tak sabaran, dan sambil berdoa kepada Yang Maha Kuasa aku hampir tak sempat memegang kakinya ketika ia melesat naik dari atas pilar, mengayunku bagai angin badai dan membawaku menembus udara. Ke mana? Aku tak tahu, dan tidak pula aku berpikir tentangnya; tak ada yang bisa dilakukan kecuali berpegang dengan seluruh kekuatanku selagi burung itu melesat selama berjam-​jam dan matahari perlahan mendaki undakan naik sampai tengah hari di mana ia membakar kami tepat di atas kepala.

Pada akhirnya bahkan sobatku itu tampak merasa kepanasan dalam jubah bulunya, sehingga sayapnya bergerak pelan dan kian pelan, lalu ia meluncur turun makin dekat ke bumi dan aku menyadari bahwa ia mencari tempat berteduh. Aku pun melihat ke bawah, dan kulihat kami sudah serendah pucuk tombak dari permukaan tanah yang terbentang bagai sehelai permadani hijau. Aroma bunga-​bunga berembus ke arah kami dan membuatku senang.

Kenapa tidak tinggal di sini? Adakah tempat yang lebih baik untuk istirahat? Sementara di dalam hati aku memanjatkan seratus puja-​puji pada penolongku, di saat bersamaan kakiku memijak rumput selembut bantal. Di sana aku berbaring, tetap berbaring selama mungkin satu jam penuh, secara berangsur memulihkan kekuatan dari petualangan malamku dan tegangan perjalananku di udara. Pikiran-​pikiran suram menyerangku: di manakah aku berada dan apa yang menantiku di hadapan? Akhirnya aku mengejar awan-​awan ini dari jiwaku, bersyukur bahwa di balik kesulitan itu aku mendapati situasiku membaik, dan kutegakkan diriku, melihat sekelilingku dan mengamati keadaan lingkungan baruku.

Sungguh, aku punya alasan untuk merasa puas. Tempat di mana aku berada terlihat seperti sepotong surga yang jatuh ke bumi, tak tersentuh dan masih alami seolah belum pernah ada manusia menjejakkan kaki di sini. Sejauh mata memandang, aneka macam bunga beragam bentuk dan warna ada di sini, mekar di tengah lanskap hijau yang bersinar seperti hidup itu sendiri, di antaranya ada sejumlah mata air yang mengalir ke sejumlah kolam—cermin-​cermin mimpi yang membuat semua keajaiban ini tampak hidup dua kali.

Bunga-​bunga sedap malam memeluk anyelir, melati bertautan dengan mawar, dan pohon judas mengembangkan bunga-​bunga ungu ajaibnya menaungi padang rumput. Bahkan butir-​butir pasir terlihat bagai debu emas dan bebatuan kemilau bagaikan permata. Di dalam kolam, ikan seperti koin perak berlesatan, dan di atas mereka lereng gunung sehijau zamrud ditumbuhi hutan kecil pohon sipres, populir, dan jati. Aroma kayu gaharu dan cendana berembus ke arahku.

Apakah ini adalah lanskap yang dimimpikan oleh orang yang tinggal di surga? Makin aku nikmati pemandangan ini, makin bahagialah diriku. Kedamaian kembali ke dalam hatiku dan aku merasa seperti seseorang yang menemukan harta karun dan sedang menaruhnya di atas timbangan.

“Terpujilah Tuhan!” kataku pada diri sendiri. Berjalan kesana-​kemari, selalu kudapati bahan kesenangan baru yang tampaknya bukan milik siapa pun, seolah tercipta demi kesenanganku semata. Aku memuaskan mataku melihat bunga-​bunga itu dan berkali-​kali mencicipi bermacam buah-​buahan.

Betapa mendadak telah jauh kutinggalkan segala kesedihan dan nestapa. Apakah aku bahkan masih ingat tentang Kota yang Digelapkan dan rahasianya yang telah dengan bulat hendak kusingkapkan? Bagaimana bisa? Keajaiban satu jam ini sudah cukup untuk menghapus banyak isi kitab ingatanku. Dalam kegembiraan, siapa yang peduli pada penderitaan yang sudah berlalu?

Pada akhirnya, setelah berjalan cukup lama dalam kekaguman dan kebahagiaan, aku duduk di bawah teduh pohon sipres untuk menikmati tidur siang sampai matahari dalam jubah merahnya turun dan malam bangkit bersama mekarnya bintang yang berkedip-​kedip dalam jubah biru tua. Angin pelan membangunkan dan membelaiku; awan musim semi yang terbawa oleh angin mencipratkan sedikit hujan, sejuk bagaikan mutiara jatuh di atas daun dan rerumputan. Tak lama setelah gerimis reda sesuatu yang baru pun mengejutkanku. Dari kejauhan aku melihat sepercik sinar, mendekat dengan cepat, dan aku segera menyadari apa artinya ini. Arak-​arakan manusia bergerak ke arahku, dan sosok-​sosok mereka menjadi terlihat jelas bagiku. Mereka adalah para gadis, masing-​masing wajahnya bercahaya, sehingga aku lupa akan dunia dan diriku sendiri. Mereka terlihat seperti bunga memikat yang bergerak, terbungkus sutra, lengan mereka diliputi renda keemasan nan menggoda, telinga dan leher mereka berkilau bagai permata. Di balik tirai cahaya lilin yang ada di jemari mereka berwarna cokelat kemerahan, bibir mereka tersenyum memikat—siapa yang bisa melukiskannya? Apa artinya mirah delima, kuntum tulip, dan tangkai mayang dari Khuzestan dibanding dengan mereka? Sebagian dari anak-​anak surga ini berjalan di depan membawa permadani dan sebuah singgasana yang begitu berharga sehingga orang tak bisa menemukan tandingannya di dunia ini. Dan ketika mereka hampir mencapai aku, yang duduk di bawah teduh sambil berusaha menjinakkan ketidaksabaranku, mereka bentangkan permadani ke atas tanah dan menurunkan singgasana itu di depan mereka. Apa yang kemudian terjadi?

Tak lama kemudian, dengan dikelilingi pengawalnya datanglah ia yang deminya semua ini telah diatur. Ketika ia muncul, sang Ratu Peri, tercantik di antara para jelita, duduk sambil mengangkat cadar dari wajahnya, dan kupikir rembulan telah turun dari langit atau matahari telah terbit di tengah malam dan ribuan bintang jadi terlihat pucat karenanya. Bagaimana ini bisa terjadi? Apakah ini nyata ataukah mimpi?

Sementara itu, sang ratu duduk dengan kepala membungkuk seolah sedang terpekur, lalu ia panggil salah satu gadis dan aku dengar ia berkata sambil memeluk lembut gadis itu: “Aku merasa ada seseorang di sini—orang asing, anak manusia; carilah dia dan bawalah ke hadapanku!”

Gadis itu langsung mematuhinya; aku melihat ia melesat ke bawah pepohonan, dekat denganku. Aku tidak lari, berharap agar aku ditemukan. Ia segera menemukanku dan berhenti di hadapanku dengan heran. Ia pegang tanganku: alangkah senang aku menjadi tahanan. “Ikut aku, cepat,” bisiknya, “sang ratu sedang menunggumu!”

Apakah aku sendiri punya hasrat yang lebih besar? Aku tidak melawan, membiarkan diriku diseret olehnya, merasa seperti burung gagak di samping seekor merak. Dari tempatnya duduk di singgasana, sang junjungan menatap kami. Aku berlutut dan dengan rendah hati mencium debu di bawah kakinya. Namun ia tidak membiarkan ini.

“Berdirilah!” pintanya. “Tempatmu bukan tempat seorang budak. Kuhargai tamuku, dan seseorang setampan, cendekia, dan segagah dirimu layak mendapatkan kursi kehormatan. Duduklah bersamaku di atas takhta ini. Pendamping rembulan adalah bintang malam.”

“Jangan bicara seperti itu kepadaku, Ratu Bidadari,” sahutku. “Aku hanyalah hambamu yang paling lata. Hanya Sulaiman yang berhak menyanding Ratu Balqis, dan aku bukan Sulaiman. Aku iblis yang tersesat di gurun surga.”

“Tak usah berdalih!” sahut sang ratu. “Aku sangat paham ilmu sihir, dan kau tak bisa menipu pandanganku. Dengar! Segala yang ada di sini akan menjadi milikmu, siapa pun akan tunduk pada perintahmu, tapi kau sendiri tidak boleh membangkang padaku. Kau harus melakukan apa yang kuingin, harus selalu menginginkan apa yang kuperintahkan, karena hanya dengan itulah kau bisa memahami rahasiaku, dan berbahagia dalam cintaku. Kau siap?”

“Bagaimana bisa abdimu menjadi yang lain kecuali bayanganmu?” sahutku. “Bagaimana mungkin mahkotanya lebih mulia dibanding debu yang ada di atas undakan takhtamu?”

Tapi sang ratu memohonku secara lahir batin agar menempati tempat duduk di sisinya.

“Kau adalah tamuku, pria budiman,” katanya. “Tamu yang harus dicintai!”

Aku kebingungan. Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi padaku. Aku bangkit dari tanah hanya karena ia mendesak dan memintaku. Salah satu pengawal meraih lenganku, membawaku menaiki undakan, dan akhirnya duduklah aku di samping Ratu Rembulan. Dalam kegembiraan aku hampir tak sanggup berpikir atau bicara, tapi aku menyimak suaranya seolah itu musik, dan ia menyenangkan telingaku dengan seribu kata manis.

Sementara itu, mengikuti perintah sang ratu, para gadis menyiapkan santapan. Kegembiraan yang kualami tak terbayangkan. Aromanya saja … kesturi, cendana, sari mawar, semuanya mengapung di udara bagai awan menaungi gunung, aneka santapan di atas meja baiduri, dan di atas piala yang bagian luar dan dalamnya berlapis mirah delima—kenikmatan mata dan penciuman melimpah ruah, bahkan sebelum mulai bersantap.

Lalu masakan berkepul-​kepul dan minuman dingin disajikan, lebih nikmat dibanding ciptaan juru masak mana pun, dan setelah kami puas menikmatinya maka giliran para musisi bermain.

Seruling, harpa, dan rebab mulai bersuara. Padang rumput itu pun jadi semarak, dan tarian pun dimulai mengiringi lagu … Oh, kebahagiaan yang telah lenyap! Tidakkah aku bisa melihat mereka sekarang dengan mataku, seolah nyata. Alangkah bercahaya, alangkah cemerlang!

Kadang dengan kepala mereka di atas tanah, tangan mereka bergerak lincah, dan kaki mereka menari di langit seperti sayap. Kadang mereka menari di ujung jempol kaki dengan lilin menyala di atas kepala, terlihat seolah mereka adalah lilin itu sendiri, yang tinggi dan bersinar … Akhirnya, lelah dan kehausan, kami semua kembali ke tempat istirahat, dan kembali anggur nikmat diedarkan di antara kami.

Apakah aku masih ingat siapakah diriku saat itu? Masih adakah jam-​jam, siang, dan malam? Tidakkah waktu berdiri tak bergerak ke mana-​mana? Sang ratu secara pribadi mengisi pialaku—sungguh penuang minuman yang bukan main!

Sang ratu mulai merasa panas, lalu menanggalkan selendang berenda emas dari rambut dan wajahnya. Aku nyaris tak bisa menahan diri untuk tidak berseru kagum. Sungguh seindah lukisan! Aku tak berdaya, bagai orang mabuk, dikuasai anggur dan asmara, dan penampilannya yang penuh kuasa membuat bibirku gemetar dengan kata-​kata penuh gairah. Ia tidak menolak, malah senyumnya tampak membalasi cintaku! Aku tak bisa mengendalikan diri, kembali berlutut, dan ketika aku mencium ujung rambutnya, dan berkali-​kali mencium betisnya, makin pula ia berkata, “Jangan! Cukup!” dan makin gencar pula aku menciuminya.

Seolah selubung antara kami telah tanggal, kata-​kata kami dan jiwa kami saling berkejaran, dan burung harapan membangun sarang di atas kami.

“Kau yang hasratnya ingin kuketahui,” kataku, “Kau yang layak mendapatkan kejayaan dunia, tapi bahkan tak kukenal—katakan padaku siapa namamu!”

“Turk-​taz (Perampok) adalah nama panggilan pemberian ayah,” ia tertawa, “dan ia mungkin berpikir bahwa aku merampok hati manusia yang jatuh cinta!”

Sangat kaget, aku menyahut, “Alangkah ganjil. Aku juga dipanggil Turk-​taz oleh para sahabatku! Bisakah jiwa kita terhubung sebagaimana nama kita? Mari kita saling merampok. Mari kita siapkan santapan jiwa kita dari anggur ajaib. Mari kita cecap manis dan getirnya pesta cinta kita bersama.”

Mendengar kemurahan ini ratuku tidak menyahut, tapi sebuah janji tersembunyi di matanya tampak mendekatkan harapan, dan ia berkata padaku: “Saatnya sudah tepat dan kebahagiaanmu sudah dekat.”

Senyumnya, yang memberiku keberanian, berkata, “Berilah ciuman. Saatnya sudah tepat dan sahabatmu berkehendak.”

Maka aku memeluk dan menciumnya; dan jika aku memberikan satu ciuman maka ia mengembalikannya seribu kali. Ini membuatku mabuk melebihi anggur mana pun. Hasratku kehilangan kendali, darah di jantungku terlonjak—Turk-​taz bisa mendengar debarnya; ia berpaling dan berkata:

“Malam ini, sayangku, berpuaslah dengan ciuman-​ciumanku; jangan mencabik warna biru di langit. Lebih dari itu adalah tidak baik. Mari kita bercengkerama sejauh kau masih mampu menguasai diri sendiri—tapi jika kau tak bisa lagi, jika tabiat merampas kendali dari tanganmu, pilihlah salah satu gadisku. Mereka semua cantik; mereka cocok dengan kekasih mereka sampai malam bertemu fajar. Katakan padaku manakah yang kau sukai, dan akan kuberikan mereka kepadamu sebagai abdi dan kekasih, dan ia akan memuaskanmu dan membasahi apimu. Jika di malam berikutnya kau inginkan yang lain, atau bahkan dua sekalian—maka siapa yang kau pilih akan jadi milikmu.”

Begitulah kata sang ratu sambil membelaiku lembut. Ketika aku menjadi bingung dan terdiam, ia sendiri kemudian melihat sekeliling di antara para gadis, lalu memanggil salah satu yang baginya sangat layak disayangi, dan dengan luwes memercayakan kami satu sama lain:

“Sekarang pergilah dan lakukan apa yang ingin kalian lakukan … ”

Apa yang bisa kukatakan? Gadis itu meraih tanganku dan membawaku menuju ke gerbang sebuah kastil kecil beratap genting keemasan. Ia mempersilakanku masuk lebih dahulu lalu ia mengikuti.

Kami memasuki sebuah aula di mana sebuah kursi Turki dibuat dari permadani dan bantal guling sutra aneka warna, dikelilingi oleh lilin tinggi beraroma ambar yang terbakar bersama api berwarna sedap malam. Kini tak ada yang bisa mengejutkanku. Rasa kelelahan yang teramat sangat menenangkan gejolak jiwaku, dunia membisu dan meliputi kami berdua. Kami bersatu seperti penyanyi pria dan wanita. Kami berbaring berdampingan di atas bantal.

Di dalam mahkota rambutnya yang merupakan jalinan ranting dedalu aku menemukan kuntum mawarnya—lembut, lunak, dan hangat. Aku membuka cangkang bibirnya yang rapat dan tutup permatanya yang lain. Ia berbaring bersamaku sampai cahaya pertama membangunkan kami, lalu ia bangkit dan berdiri di hadapanku seperti kebahagiaan itu sendiri. Di sebuah ruangan yang bersebelahan ia menyiapkan mandiku dan aku membersihkan diri dengan air mawar dari mangkuk dan teko kuning keemasan, yang berkilau berkat intan merah.

Selesai berpakaian kudapati pasanganku telah lenyap, jadi aku keluar untuk mencarinya. Fajar telah tiba, meski jalinan bintang bak mutiara belumlah pudar. Aku bersembahyang dan menatap sekelilingku, tapi padang rumput di antara kolam-​kolam dan hutan itu telah jadi kosong dalam suasana semburat, dan tak terlihat ada siapa pun. Ke manakah sang Ratu dan para pengawalnya? Dan kenapa ia tinggalkan aku seorang diri?

Kepalaku masih berat oleh karena anggur, jiwaku lebih gelap dari tanah yang ditinggalkan, jadi aku istirahatkan lengan dan betisku di atas untaian kembang malam yang sedang memudar dan segera tertidur kembali, sementara takdir berdiri berjaga di sampingku sambil membisikkan impian indah ke dalam telinga.

Ketika aku terbangun, malam, sang gazelle itu, telah berada di bawah cangkang langit yang membuka kantung berisi kesturi pekat. Aku duduk, dan tepat seperti malam sebelumnya angin sepoi bertiup bersama awan musim semi, menyebarkan butir mutiara dan aroma wangi mawar, melati, dan violet.

Dan lihat! Seolah waktu tak berubah, para peri itu muncul kembali, sambil memekik dan tertawa, mereka membangun kembali takhta dengan emas dan intan, dan di atas permadani halus mereka persiapkan santapan meriah.

Tapi kembali semua ini tampak surut ketika kulihat Turk-​taz si ratu malam ada di antara para gadis itu, namun sangat cantik seperti hari pertama musim semi. Ia memenjarakan mataku dan detak jantungku, dan aku tak bisa menggerakkan tangan dan kakiku tanpa ia mengizinkan. Kembali ia menempati takhtanya, dan hanya ketika mendengar panggilannyalah aku muncul dari balik bayang, dan sekali lagi ia mendesak agar aku duduk di sampingnya.

Segalanya berulang: santapan nikmat yang tidak membuat tubuh gemuk ataupun membuat semangat layu, lagu diiringi harpa yang penuh dengan kemanisan meluap-​luap bagaikan sarang lebah penuh madu, tarian di bawah cahaya bintang dan anggur ajaib yang menyalakan cinta dan membuat jiwa melayang. Kali ini sang ratu bahkan lebih bergairah padaku, budaknya, dan sesaat kemudian dengan kedipan mata ia dan gadis-​gadis itu pun undur diri. Di bawah kubah malam aku sendirian bersama sobatku. Hatiku tersulut api dan segera percikannya mengaliri darahku, juga kepala dan pikiranku. Dengan jemari gemetar kusentuh untaian rambutnya yang bagai sutra dan membuat jalan ke arah tali barut emas yang terikat di pinggangnya.

Bagaimana bisa aku menanggungnya: kenapa tangan pengemis tak menyentuh apa pun kecuali dinding luar taman surga? Siapa bisa tahan? Aku ayunkan kedua lengan merengkuhnya dan dalam banjir hasrat kutarik ia ke arahku, turun ke bawah, menenggelamkan diri ke dalam … Tapi sekali lagi si kekasih membelenggu hasratku dan tetap menahanku di halaman depan.

“Sudahkah kau lupa perjanjian kita?” katanya. “Ini bukan malam untuk memecahkannya! Berpuas dirilah! Ciumlah aku dengan bibirmu, sentuh aku dengan gigimu dan mari kita bermain di sekitar api—tapi sekarang jangan meminta lagi. Ia yang tahu batas dan mengenali kegembiraan yang ada di dalamnya bisa menikmatinya sepanjang hidup; tapi barangsiapa melangkah lebih jauh, digiring api hasrat, pada akhirnya akan membentur ketiadaan.”

Aku mendengar kata-​kata ini, tapi aku tak sanggup menerimanya.

“Tolong aku,” aku memohon padanya, nyaris kehilangan akal. “Demi Tuhan, jangan biarkan aku tenggelam karena ombak ini dan jadi tiada oleh duri beracun! Karena, lihat, seperti orang gila aku terjerat untaian rambutmu. Bebaskan aku atau kalau tidak bunuhlah aku, penggallah kepalaku yang kuletakkan di depan kakimu dengan pedangmu. Kenapa kau menyiksaku seperti ini? Tidakkah kau mawar dan aku adalah hujanmu? Kau adalah sungai dan aku dahaga di tepianmu! Kau tidak menginginkanku, makhluk nestapa ini. Apakah kau akan menyantapku bagai sebutir anggur bersama semangkuk susu, menggunakanku sebagai sebatang jarum di atas kain sutramu, atau apakah kau akan membiarkan tiada—bukan masalah! Aku sudah sepenuhnya tersesat dalam dirimu.”

“Bersabarlah!” sahut sang ratu. “Apa arti satu malam, jika sebagai gantinya kau bisa menyaksikan cahaya abadi dari sebatang lilin yang tak pernah padam? Akankah kau menjual seluruh sumur sebagai ganti setetes air saja? Mengganti seluruh kedamaian demi satu hasrat membara? Menukar madu dengan satu sengatan? Ciumlah aku, bermainlah dengan rambutku dan gadis-​gadisku, dan berpuaslah dengan apa yang kau temukan kemarin malam, karena, sobatku, setelah menangkap seekor ikan kecil kau pada akhirnya juga menangkap citra rembulan di dalam kolam, tapi tidak tanpa kesabaran … ”

Mendengarnya bicara seperti itu, nalar pun kembali padaku. Aku merasa malu dan menyesal. Tapi untuk seberapa lama? Fajar masih amat jauh, dan ketika bibirku menyentuh bibirnya rasa demam langsung menghantam tubuhku dan melemparkan api ke dalam nadiku.

Sekali lagi sang ratu memanggil salah satu gadis pengiringnya dan mempersilakan kami berdua agar undur diri. Tentu saja tak bisa dibayangkan adanya gadis yang lebih cantik darinya. Namun pelukannya tak cukup memuaskan dahagaku, lukaku tidak sembuh di bawah ciuman-​ciumannya dan hasratku tak menjadi jinak …

Setelah malam memecahkan kendi hitam dan mengenakan kain pucatnya, pasanganku meninggalkanku.

Aku duduk di bawah pohon sipres dan ketika mataku berkelana ke seluruh bentangan tanah tempat si burung raksasa membawaku ini dua hari lalu, yang kemudian membuatku girang bagai berada di taman surga, aku mendapati tempat ini kosong dan ditinggalkan. Jiwaku membeku. Malam itu, begitulah tampaknya bagiku, telah membawa pergi semua kesenangan dan warna. Aku mengutuk sinar matahari yang kini memandikan dunia dan menutup mataku.

Hal serupa terjadi selama dua puluh sembilan hari dan malam. Setiap hari aku menanti dengan tak sabaran tenggelamnya sang surya dan kembalinya sang ratu dan para pengiringnya, yang tanpanya hidup tak lagi menawarkan kegembiraan apa pun. Setelah mereka pergi, aku memimpikan mereka, entah terjaga atau tertidur. Apa lagikah yang kuharapkan untuk mengetahui dunia? Dengan ringan hati, akan kukorbankan segalanya demi satu malamku yang diwarnai perayaan meriah. Tidakkah aku adalah Raja Negeri Kebahagiaan? Tidakkah tempat tinggalku adalah Surga Firdaus, dan tidakkah keinginanku telah terkabul?

Di antara itu semua, kecuali yang terbesar—karena malam demi malam Ratu Rembulanku hanya menawarkan harapan dan janji-​janji, dan ketika cintaku padanya hampir menghancurkan segala dasar, ia mengirimku bersama salah satu pengiringnya ke istana kecil beratap genting keemasan.

Betapa aku tak tahu berterima kasih! Karena satu pemuasan ini ditolak, aku hanya memikirkan dia dan tidak memikirkan apa yang dihadiahkan kepadaku dengan meriah malam demi malam.

Ketika malam ketiga puluh telah membentangkan helaian rambutnya ke atas seluruh bumi, warna batu ambar helaian itu menjadi lebih gelap dari sebelumnya, karena kali ini langit sedang menyembunyikan rembulan dalam pelukannya. Si gadis peri tiba sebagaimana sebelumnya, dalam sebuah lingkaran lilin, dan bahkan lebih jelita. Lalu sang ratu datang dan menaiki takhtanya.

Sekali lagi ia dengan anggun menawariku tempat duduk di sebelah kanannya. Seperti sebelumnya, kami berpesta dengan gembira dan minum anggur ungu; seperti sebelumnya, kami menyaksikan tarian gadis-​gadis, menyimak lagu-​lagu mereka dan permainan harpa. Tapi makin lama itu berlangsung, makin bengis api membakar hatiku. Seolah di menit ini kenangan-​kenangan dari semua hasrat dan nafsu yang dirasakan sepanjang hari-​hari dan malam terdahulu mengumpul menjadi satu. Apakah kegilaan membuatku menggebu? Tapi mau bagaimana lagi? Di malam tak berembulan ini, para iblis yang berusaha kukekang dengan belenggu memutus rantai mereka dan balas mengikatku sebagai korban permainan mereka yang tiada berdaya.

Aku menjadi gila mirip keledai kelaparan yang mendadak disodori segenggam jagung atau seorang pengidap ayan di malam rembulan baru. Bagai laba-​laba yang gila cinta, tanganku menggenggam rambut kekasihku, membelai lengannya yang keperakan dan berusaha menyentuh tubuhnya seperti maling menggapai harta pusaka. Penolakannya justru memperbesar hasratku dan meningkatkan demamku.

Antara cinta dan iba, sang ratu, ketika melihat ini, memegang tanganku, menciumnya, dan berkata:

“Jangan sentuh pusaka terkunci! Ia yang ingin mencuri apa yang tidak dengan sah diberikan kepadanya takkan pernah mencapai sasaran. Bagaimana bisa kau membongkar kunci anggur ini? Bersabarlah, pohon palem itu sudah jadi milikmu, dan kau akan menyantap kurmanya andai kau bisa menunggu.”

“Oh, suryaku! Pelita mataku!” sahutku. “Bagaimana bisa aku, lampu murah ini, tidak meredup ketika berhadapan dengan cahaya wajahmu? Kau tunjukkan manisnya airmu bagiku, yang sekarat kehausan, lalu kau berkata, ‘Tutup matamu; jangan minum!’ Tapi kau pasti memahami bahwa, menatapmu begini, nalarku terbang; aku tak punya kekuatan untuk bertarung denganmu, penggodaku. Bagaimana bisa aku melepaskan kebahagiaan itu? Bahkan jika kau sesosok roh, dan aku hanya manusia biasa—kita sama-​sama tercipta dari tanah liat! Seberapa lama aku harus kelaparan, menggigit bibir dan menelan uap yang mengumpul di mulutku? Kini akhirilah kesedihanku dan penuhilah hasrat hatiku! Jangan terus-​menerus bilang padaku, ‘Kau jangan bersedih, aku adalah sobatmu!’ Buktikan padaku hari ini bahwa kau sungguhlah sobatku. Seberapa lamakah kau menghendaki aku membiarkan waktu dan kebahagiaanku lari bagai seekor kelinci, oh kau yang pinggangnya ramping bak seekor gazelle? Aku takut bahwa pada akhirnya takdir akan mengkhianatiku, karena ia sebengis serigala tua, secerdik rubah, dan membunuh korbannya bagai seekor singa atau macan tutul … Menyerahlah pada hasratku malam ini! Jika tidak, aku akan mati. Bermurah hatilah pada tamumu, sebagaimana raja dan sultan di sepanjang zaman!”

Begitulah kata-​kataku, dan dalam kegilaan aku mendekapnya erat, tapi kembali ia menolak dan memohonku:

“Aku akan melakukan apa pun yang kau inginkan, tapi sekarang kau harus mundur! Dan percayalah padaku: aku adalah budakmu, apa pun yang bisa kuberikan, termasuk hidupku, tidak akan pernah cukup berharga bagi seorang tamu sepertimu. Apa yang kau pinta akan kau dapatkan, tapi kau memintanya terlalu awal. Tunggulah, dari sebatang duri akan kuciptakan untukmu Surga Firdaus, dan membuatmu mengisap aroma parfum kayu gaharu dari daun pohon sipres—hanya saja kau harus menunggu. Ambillah segalanya dariku kecuali satu buah ini, yang sampai kini belum masak: pipiku, bibirku, buah di dadaku, kecuali mutiara tersembunyi itu. Jika kau punya kesabaran barang satu malam saja maka kau tidak akan menyesali apa pun sepanjang seribu malam ke depan. Lihat, sekali lagi akan kuberi kau satu pengiringku—seorang gadis secantik rembulan purnama, agar kau lebih mudah membatalkan niatmu!”

Bersama kata-​kata ini ia berusaha mengajakku bernalar, tapi meski telingaku mendengar apa yang ia katakan, namun jiwaku yang meluap dan mabuk tidaklah begitu. Aku merasa bahwa sang ratu benar, bahwa aku harus merasa malu pada diri sendiri dan bersikap tenang dan paham—tapi, aduh, suara lain dalam diriku lebih kuat; aku tak bisa lolos dari takdir yang membawaku ke arah kesedihan ini. Kuikuti panggilan menggoda itu, yang datang padaku dari kejauhan seolah menembus kabut asap:

“O, insan pandir! Gunakanlah waktu ini—ia takkan pernah kembali. Setelah itu, yang terjadi biarlah terjadi … ”

Dan kepada peri kesayanganku itu aku membalas:

“Sungguh kau mempersulit diriku. Tidakkah cukup bahwa kau telah merampok kedamaian jiwaku? Ribuan insan harus kehilangan hidup mereka karena mencari harta pusaka itu. Aku telah menemukannya, jadi kenapa aku harus melepaskannya? Apa peduliku jika kemudian aku harus menderita! Tidak, sejauh masih ada hidup dalam diriku, takkan kulepaskan dirimu—maka berikanlah dirimu padaku, atau kucurkanlah darahku, karena aku milikmu, baik jiwa maupun indraku. Maut tak berarti apa pun bagiku jika itu adalah harga yang harus kubayarkan karena memilikimu. Biarkan aku terbakar cinta malam ini bagai sebatang lilin: nyalakanlah aku, karena aku hidup hanya melalui apimu, karena tahun kehidupan tiada lain menembus matahari. Nah, sampai kini aku telah dan masih bermimpi. Ya, aku telah mati—karena bukankah tidur adalah saudara kembar mati?—dan impianku adalah kau. Tapi bagaimana bisa aku memimpikan kau, jika kau tidak ada? Bangunkanlah aku kini dari tidurku, bangunkanlah aku sehingga aku bisa hidup, atau bunuhlah aku cepat dan akhiri ini semua selamanya … ”

Dengan kata-​kata ini, aku menyerangnya untuk kali ketiga, dan permohonan serta pintanya agar aku bersabar telah kehilangan kekuatan.

“Aku berjanji,” ia meratap, “bahwa kau akan mendapati pemuasan diri esok hari, andai saja hari ini kau bisa menahannya—tinggal semalam ini saja!”

Percuma saja! Darahku berderap lebih keras dari semua kata-​katanya, dan kegigihannya dalam menolak membuat hasratku berlipat ganda. Aku mendekapnya bagai seekor binatang buruan dan tanganku menembus kainnya, menyasar tubuhnya bagaikan sebilah pisau tajam. Aku sudah mulai berdiri di depan pintu harta pusaka itu, bertekad menerobos pintu masuk dan menukar mirah delimanya dengan bunga semak koronilla. Ketika ia menyadari bahwa tak ada lagi yang bisa menahanku, ia berkata:

“Pejamkan matamu sesaat lamanya, sehingga aku bisa mendedahkan harta pusakaku di hadapanmu dan kau bisa memilikinya.”

Aku merasa yakin bahwa sang ratu akhirnya menyerah, siap memenuhi permintaanku dan memupus dahagaku. Hatiku melonjak girang dan aku langsung mematuhinya. Hanya dibutuhkan beberapa detik, lalu ia berkata:

“Bukalah matamu!”

Aku mematuhinya, siap merengkuh pengantinku dengan pelukan lenganku ke dalam kebahagiaan abadi; tapi apa yang kemudian kulihat? Di sekelilingku tak ada apa pun kecuali kegelapan terpekat, dan aku dalam kesepian paripurna, tergantung oleh seutas tali di keranjang yang sama, yang tadi membawaku ke atas puncak pilar, sebelum si burung raksasa membawaku pergi jauh.

Hanya saja kali ini keranjang itu jatuh ke tanah di bawah sana, dan sobatku menungguku dengan pakaian serba hitam. Ia memelukku dan, dengan airmata di pelupuk ia meminta maaf kepadaku.

“Jika saya menggunakan waktu seratus tahun untuk menyampaikan pada Anda kisah itu, yang merupakan kisah hidup Anda sendiri, Anda tidak akan memercayai saya,” katanya. “Nah, Anda kini tahu rahasianya, Anda sudah setuju, tapi bagaimana bisa menaruh itu dalam pemahaman tentang sikap diam dan kenapa dalam ratapan tanpa suara kita memyelimuti tangan dan kaki kita dengan kegelapan?”

“Dalam selubung hitammu,” sahutku, “kau adalah kakakku, kau bicara kebenaran. Kumohon padamu, dan biarkan pula aku memiliki pakaian hitammu!”

Ia memprotes, tapi di saat bersamaan aku memulai perjalanan kembali ke negeriku dan kampung halaman yang dulu kutinggalkan demi menyingkap misteri. Setelah menemukan jawabannya kini aku pulang sebagai seorang Raja Berjubah Hitam—ratapanku melambung ke langit bagai guntur yang tercipta dari awan badai hitam. Sejauh aku masih hidup, aku takkan pernah berhenti mendukai kebahagiaan yang gagal kudapatkan karena kesalahanku sendiri itu … ”

Kisah ini, kata putri berbusana hitam, disampaikan padanya oleh sang raja dan sejak saat itu karena rasa sayangnya pada sang raja maka ia pun tak mengenakan yang lain kecuali pakaian berwarna malam.

Malam memberikan keagungan pada rembulan; maka hitam adalah warna sutra di dalam payung istana, yang di bagian tengahnya memperlihatkan sosok burung elang emas. Tak ada warna yang lebih baik dari hitam—tidakkah kau lebih memilih daging ikan hitam daripada tulangnya yang putih? Tidakkah rambut hitam adalah tanda kemudaan? Kotoran tidaklah secara langsung mengacu pada warna hitam, dan melalui kehitaman pupil maka mata bisa melihat cahaya dunia. Apa yang layak menjadi buaian rembulan jika bukan sutra hitam langit malam? Tujuh lapis langit punya tujuh warna, tapi tak ada yang lebih agung dari warna hitam.

* * *

Saat sang putri mengakhiri kisahnya, Raja Bahram memuji putri India itu, meraihnya ke dalam pelukan, dan keduanya terlelap dalam satu peraduan.


[1] Bisa disimpulkan bahwa Raja Bahram, dan masyarakat yang diceritakan pada saat itu, adalah penganut majusi, atau yang dikenal di Barat sebagai zoroastrianisme.