Prolog
Kisah Raja Shahriyar dan adiknya Shahzaman
***
Alkisah—namun hanya Allah yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana—dahulu kala, di daratan India dan Cina hiduplah seorang raja Sassan yang memimpin pasukan besar serta memiliki dayang-dayang, penasihat, dan pelayan yang sangat banyak. Dia meninggalkan dua putra, yang sama-sama tersohor karena keunggulannya berkuda—terutama si sulung, yang mewarisi kerajaan ayahnya dan memerintahnya dengan sedemikian adil sehingga semua rakyatnya mencintai dia. Si sulung bernama Raja Shahriyar. Adiknya bernama Shahzaman dan menjadi raja di Samarkand.
Kedua bersaudara itu terus memerintah dengan bahagia di kerajaan mereka, dan setelah dua puluh tahun Raja Shahriyar sangat merindukan adiknya. Dia memerintahkan Wazir untuk pergi ke Samarkand dan mengundangnya ke istana.
Sang Wazir langsung berangkat menunaikan misi, menempuh perjalanan siang-malam berhari-hari melalui padang pasir dan hutan rimba sampai dia tiba di kota Shahzaman lalu menghadap sang raja. Dia menyampaikan salam Raja Shahriyar serta keinginan rajanya untuk bertemu sang adik. Raja Shahzaman gembira bukan main karena akan mengunjungi kakaknya. Dia bersiap-siap meninggalkan kerajaan, lalu mengerahkan tenda, unta, keledai, pelayan, serta pengurus rumah tangga. Kemudian dia menunjuk wazirnya sebagai wakil dan berangkat ke wilayah kekuasaan Raja Shahriyar.
Begitulah kejadiannya, namun pada tengah malam Raja Shahzaman teringat hadiah yang tertinggal di istana. Dia kembali untuk mengambilnya tanpa dikawal, kemudian memasuki kamar pribadinya. Dia menemukan istrinya berbaring di kursi santai dalam pelukan seorang budak berkulit hitam. Melihat ini, matanya membara, dan dia berpikir, “Aku belum keluar dari kota saja sudah terjadi seperti ini, apa yang akan diperbuat perempuan jahanam ini setelah aku pergi jauh?” Kemudian dia mencabut pedang dan membunuh mereka berdua yang masih berbaring di kursi santai. Begitu kembali pada para pengawalnya, Raja Shahzaman mengajak semuanya berangkat, lalu berjalan terus sampai tiba di ibukota kerajaan kakaknya.
Shahriyar gembira mendengar kabar kedatangan adiknya dan keluar untuk menjumpai sang adik. Shahriyar memeluk tamunya dan menyambutnya di kota yang meriah itu. Tetapi selagi Shahriyar duduk menghibur adiknya, Shahzaman, yang dihantui pikiran akan pengkhianatan istrinya, tampak pucat dan terluka. Shahriyar menyadari sikap tertekan adiknya, namun tidak mengatakan apa-apa, mengira dia mungkin tengah merisaukan urusan-urusan kerajaan. Tetapi lima hari kemudian, Shahriyar bertanya, “Kulihat kau pucat dan gelisah.” Shahzaman menjawab, “Aku dirundung rasa sakit yang amat pedih.” Namun dia merahasiakan pengkhianatan istrinya. Lalu Shahriyar mengajak adiknya pergi berburu, berharap olahraga ini akan melunturkan kemuramannya. Shahzaman menolak, maka Shahriyar pergi berburu sendirian.
Ketika Shahzaman duduk di depan salah satu jendela yang menghadap ke taman Sang Raja, tampak olehnya pintu terbuka di istana. Dari sana muncullah dua puluh orang budak perempuan dan dua puluh orang lelaki berkulit hitam. Di tengah-tengah mereka adalah permaisuri kakak Shahzaman, seorang wanita yang cantik bukan kepalang. Mereka sampai ke air terjun, di sana mereka semua menanggalkan pakaian lalu menduduki rumput. Sang Permaisuri berseru, “Kemari, Mas’ud!” Langsung datanglah seorang budak berkulit hitam, yang menyetubuhinya setelah menghujaninya dengan pelukan dan ciuman. Begitu pulalah yang dilakukan para lelaki berkulit hitam dengan para budak perempuan, bersenang-senang bersama sampai malam menjelang.
Ketika menyaksikan ini, Shahzaman berpikir, “Demi Allah, kemalanganku lebih ringan daripada ini!” Dia tak lagi bermuram durja, kemudian makan dan minum setelah sekian lama mengabaikannya.
Shahriyar, ketika kembali dari perburuan terkejut melihat adiknya kembali bersemangat dan segar bugar. “Adikku, bagaimana bisa,” tanya Shahriyar, “padahal terakhir kali kulihat dirimu, kau pucat pasi dan melankolis, tapi sekarang kau tampak sehat dan terawat?”
“Tentang kesedihanku,” jawab Shahzaman, “akan kuberitahukan alasannya, tapi tak bisa kuungkapkan mengapa keadaanku bisa berubah. Ketahuilah, setelah kuterima undanganmu, aku bersiap-siap untuk pergi dan meninggalkan kota. Tapi mutiara yang hendak kuhadiahkan untukmu tertinggal, jadi aku kembali ke istana. Di sana, di pembaringanku, kutemukan istriku berbaring dalam pelukan seorang budak kulit hitam. Kubunuh mereka berdua lalu pergi ke kerajaanmu, benakku tertekan oleh pikiran yang getir.”
Ketika mendengar kata-kata ini, Shahriyar mendesak adiknya menceritakan secara lengkap. Maka berceritalah Shahzaman tentang semua yang dia lihat di taman Sang Raja hari itu.
Tersentak, namun setengah ragu, Shahriyar berseru, “Aku takkan percaya sampai kulihat sendiri hal itu.”
“Kalau begitu umumkanlah,” saran adiknya, “bahwa kau hendak berburu lagi. Menyamarlah di sini bersamaku, akan kausaksikan apa yang kulihat waktu itu.”
Maka Shahriyar mengumumkan niatnya untuk melakukan ekspedisi lagi. Pasukannya keluar kota membawa tenda, lalu Raja Shahriyar mengikuti mereka. Setelah tinggal di perkemahan beberapa lama, dia memerintahkan budak-budaknya agar tidak seorang pun memasuki tenda Raja. Lalu dia menyamar dan kembali tanpa diketahui ke dalam istana, tempat sang adik menantinya. Mereka berdua duduk di balik salah satu jendela yang menghadap ke taman,. Tidak lama berselang, Ratu dan para dayang-dayang muncul bersama para budak kulit hitam, berbuat persis seperti yang digambarkan Shahzaman.
Agak terpukul melihat itu, Shahriyar berkata pada adiknya, “Mari kita tinggalkan kerajaan dan berkeliling dunia sampai kita temukan apakah ada raja lain yang pernah dipermalukan seperti ini.”
Shahzaman setuju, kemudian mereka pergi diam-diam dan berkelana siang-malam sekian lama sampai tiba di suatu padang rumput di tepi pantai. Mereka minum dari mata air dan duduk untuk beristirahat di bawah sebatang pohon.
Tiba-tiba gelombang laut naik dan berbuih di depan mereka, dari sana muncullah sebatang pilar hitam yang hampir menyentuh langit. Terpaku oleh pemandangan mengerikan itu, mereka memanjat pohon. Sesampainya di puncak pohon, mereka dapat melihat sesosok jin raksasa yang menjunjung peti. Jin itu terseok-seok ke pantai dan berjalan menuju pohon yang tadi menaungi kedua saudara tersebut. Setelah duduk di bawahnya, dia membuka peti itu, di dalamnya ada kotak yang juga dia buka. Dari sana muncullah seorang gadis muda yang cantik, berseri bagai mentari.
“Tuan Putri yang suci dan terhormat, yang kuculik pada malam pernikahanmu,” kata jin itu, “aku akan tidur sejenak.” Kemudian, jin itu meletakkan kepala di lutut gadis tadi dan segera terlelap.
Mendadak si gadis mendongak dan melihat kedua Raja yang tinggi di puncak pohon. Dia meletakkan kepala si jin di tanah, lalu memberi tanda pada kedua raja yang sepertinya berarti, “Turunlah, jangan takut pada jin ini.”
Kedua raja tadi memohon agar dibiarkan bersembunyi, namun si gadis menjawab, “Kalau kalian tidak turun, akan kubangunkan jin ini, dan kalian akan dia buat mati mengenaskan.”
Mereka turun dengan ketakutan. Seketika gadis itu berkata, “Ayo, tikam aku dengan gairahmu.”
Shahriyar dan Shahzaman gemetar, tetapi si gadis mengulang dengan berang, “Jika kalian tidak turuti perintahku, akan kubangunkan jin itu.”
Karena takut akan ancamannya, mereka bergantian tidur dengan gadis itu.
Ketika mereka menemaninya selama yang dia inginkan, si gadis mengeluarkan sebuah kantong besar dari saku, dari sana dia mengambil 98 cincin yang diuntai dengan benang. “Para pemiliknya,” dia tertawa puas, “sudah meniduriku tepat di depan hidung jin dungu ini. Karena itu, berikan cincin kalian juga.”
Kedua raja itu mematuhinya.
“Jin ini,” tambah si gadis, “menculikku pada malam pernikahan dan mengurungku dalam kotak yang dia taruh dalam peti. Dia mengunci peti itu dengan tujuh kunci dan meletakkannya di dasar laut yang bergemuruh. Dia benar-benar tidak tahu akal bulus kami para perempuan.”
Kedua raja terpana mendengar ceritanya, lalu berkata pada satu sama lain, “Jika hal seperti itu bisa menimpa jin yang sakti, kemalangan kita sungguh sepele ternyata.” Lalu mereka langsung kembali ke kota.
Begitu mereka memasuki istana, Raja Shahriyar membunuh istrinya, juga para dayang dan budak kulit hitam. Sejak itu dia menganut kebiasaan menikahi perawan setiap malam, kemudian membunuh sang pengantin perempuan esok paginya. Dia terus melakukan ini selama tiga tahun, hingga menyebarlah rasa takut di kalangan rakyat. Beberapa dari mereka lari dari negeri itu bersama anak perempuan masing-masing.
Akhirnya tibalah hari Sang Wazir berkeliling kota mencari seorang perawan untuk Raja, namun pulang dengan tangan hampa. Karena takut akan amarah Sang Raja, dia kembali ke rumah dengan hati gundah.
Sang Wazir memiliki dua anak perempuan. Yang sulung bernama Shahrazad, sedangkan adiknya Dunyazad. Shahrazad sangat cerdas dan menguasai syair-syair nasihat para pujangga dan legenda raja-raja lama.
Hari itu, Shahrazad memperhatikan kecemasan ayahnya dan bertanya apa yang membuatnya resah. Ketika Sang Wazir menceritakan kesulitannya, gadis itu menjawab, “Serahkan aku untuk diperistri Sang Raja. Aku akan mati dan menjadi tebusan bagi para putri muslimah, atau hidup dan menjadi penyebab kebebasan mereka.”