Harta di Mesir [Cerpen]


Di Baghdad, hiduplah seorang lelaki yang mewarisi kekayaan besar. Berhubung masih muda dan tidak berpengalaman, dihabiskannya harta itu dengan sembrono dan segera saja, tak ada lagi uangnya yang tersisa. Nyaris menjadi gelandangan, dia berpaling kepada Tuhan, memohon untuk diselamatkan dan agar mendapatkan kembali kekayaannya. Dia menangis tak henti-henti, menyesal karena menyia-nyiakan apa yang telah berlalu dalam hidupnya dan tidak memiliki apa-apa lagi.

Suatu hari, setelah melewatkan waktu berjam-jam untuk meratap dan menangis, pemuda itu tertidur dan bermimpi. Dalam mimpinya, sebuah suara menasihatinya agar pergi ke Mesir, di sana dia yakin akan menemukan harta karun yang telah disembunyikan selama bertahun-tahun. Apa yang menahannya, desak suara itu; mengapa dia tidak bangun dan pergi saja?

Lelaki itu terbangun dalam suasana hati yang aneh, masih mencoba mencerna mimpi ganjil yang baru saja dialaminya. Dia berpikir, toh karena tak akan rugi apa-apa lagi, mengapa dia tidak bergabung dengan kafilah pertama yang menuju Mesir saja? Maka, itulah tepatnya yang dia lakukan.

Setelah beberapa hari, dia tiba di Kairo dalam keadaan melarat, lapar, dan tidak bisa mendapatkan tempat berteduh. Terlalu malu untuk mengemis secara terang-terangan, bahkan di kota asing ini, si pemuda kuatir dirinya akan bertemu dengan seseorang yang dia kenal sewaktu dulu bergelimang harta. Karena itu, dia putuskan untuk menunggu tirai kegelapan turun sebelum meminta-minta sehingga wajahnya tetap tak dikenal. Meski nyaris mati kelaparan, dia kesulitan merendahkan diri karena harus mengemis. Bolak-balik dia pergi, tidak tahu cara mendekati orang, dan tahu-tahu saja, sebagian besar malam telah berlalu.

Pada minggu sebelumnya terjadi perampokan di lingkungan tempat lelaki itu mengemis, dan polisi sedang berjaga-jaga setelah ditegur oleh walikota karena bersikap terlalu lunak terhadap pelaku kejahatan. Mereka diperintahkan untuk menangkap siapa saja yang tampak mencurigakan, bahkan jika orang itu adalah kerabat khalifah. Hukuman untuk pencurian adalah potong lengan! Polisi merasakan tekanan besar untuk menemukan pelakunya, meski mereka tidak yakin bahwa si tersangka benar-benar bersalah.

Ketika mereka melihat lelaki miskin dari Baghdad meringkuk di sudut jalan yang gelap dan menggigil diterpa udara malam yang dingin, lantas mereka memukulinya tanpa ampun. Si pemuda berteriak, memohon agar mereka mengizinkannya menjelaskan mengapa dia ada di sana, dan akhirnya salah satu polisi merasa kasihan dan menghentikan yang lain untuk memukulinya lebih lanjut.

“Ayo, kalau begitu, kau punya waktu satu menit untuk menjelaskan apa yang kaulakukan di jalanan pada tengah malam begini! Kau tidak terlihat seperti penduduk sini. Katakan, apa rencanamu?”

“Aku bukan pencuri biasa,” rengek si orang Baghdad tanpa daya. “Aku tidak berkeliaran merampok orang. Aku berasal dari Baghdad dan asing di kotamu.”

Tanpa basa-basi, pemuda itu menceritakan mimpinya tentang harta karun. Si polisi, yang mendeteksi sedikit kejujuran dalam ceritanya, langsung menyesal dan dengan ramah menasihatinya: “Aku dapat melihat bahwa engkau bukan pencuri atau penjahat, tetapi rupanya engkau kurang cerdas, ya? Bagaimana engkau bisa datang sejauh ini hanya gara-gara mimpi?”

Lelaki malang itu merasa malu dan tertunduk nelangsa. Si polisi melanjutkan, “Aku juga pernah berkali-kali bermimpi bahwa ada harta karun yang terpendam di suatu lingkungan di Baghdad, di rubanah sebuah rumah milik Tuan X. Apakah menurutmu seharusnya aku melepaskan segalanya dan melakukan perjalanan ke sana begitu saja?”

Begitu mendengar namanya diucapkan oleh si polisi, pemuda itu menatapnya dengan tidak percaya. Untuk memastikan bahwa dia tidak salah dengar, dia meminta polisi itu mengulangi nama orang di Baghdad yang baru saja dia sebutkan. Ketika mendengar namanya diucapkan sekali lagi, si pemuda gembira bukan kepalang, tetapi berusaha untuk tidak menunjukkannya. Dia memohon ampunan dari para polisi dan, keesokan paginya, dengan senang hati memulai perjalanan kembali ke Baghdad, bertanya-tanya mengapa dirinya berkeras melakukan pengembaraan yang sedemikian berat, menanggung kesulitan serta kemiskinan seperti itu, hanya untuk menemukan bahwa pada akhirnya apa yang dia cari selama ini tersembunyi dengan aman di rumahnya sendiri!


Cerpen ini dimuat dalam Kumpulan Cerita & Fabel karya Jalaluddin Rumi.