Gelandangan di Paris dan London Bab 1

1

Rue du Coq d’Or, Paris, jam tujuh pagi. Teriakan-​teriakan tertahan penuh amarah terdengar saling bersahutan di jalan. Nyonya Monce, pemilik hotel di seberang tempat tinggalku, berjalan ke trotoar untuk membentak seorang penyewa di lantai tiga. Kakinya tertancap di sepatu kayu dan rambut abu-​abunya melambai-​lambai.

NYONYA MONCE: ‘Perempuan Jalang! Berapa kali aku bilang jangan menggites kutu di dinding? Kamu pikir hotel ini punya bapakmu, ha? Kenapa tidak kamu buang saja lewat jendela seperti orang lain? Dasar pelacur!’

PEREMPUAN DI LANTAI TIGA: ‘Persetan!’

Begitulah. Berbagai macam teriakan bersahut-​sahutan begitu daun jendela di setiap sisi jalan terempas membuka. Kemudian separuh penghuni di sepanjang jalan bergabung dengan keributan itu. Sepuluh menit kemudian mereka mendadak terdiam manakala satu skuadron kavaleri melewati jalan itu dan orang-​orang berhenti berteriak untuk menonton.

Aku gambarkan adegan ini, hanya untuk menyajikan suasana Rue du Coq d’Or. Meski keributan itu bukan satu-​satunya hal penting yang terjadi di sana, namun tetap saja, kami jarang menjumpai pagi tanpa paling tidak satu adegan riuh rendah itu. Pertengkaran, teriakan memelas para pedagang kaki lima, sorakan anak-​anak yang berlarian mengejar kulit jeruk, serta nyanyian keras dan bau bacin kotoran kuda di malam hari, telah menyusun atmosfer jalan ini.

Ini adalah jalan yang sangat sempit—mirip jurang yang berdinding rumah-​rumah tinggi dan pucat, doyong dengan ganjil seolah mereka dibekukan saat sedang roboh. Semua bangunan adalah hotel dan terisi penuh dengan para penyewa, kebanyakan orang-​orang Polandia, Arab, dan Italia. Di lantai dasar setiap hotel itu terdapat bistro-​bistro, kamu bisa minum sampai mabuk hanya dengan uang seharga satu shilling. Pada Sabtu malam, sepertiga penduduk laki-​laki di kawasan ini mabuk. Ada pertengkaran memperebutkan perempuan, dan buruh-​buruh kasar dari Arab yang tinggal di hotel-​hotel paling murah bertengkar tanpa alasan yang jelas, berkelahi dengan menggunakan kursi dan kadang dengan revolver. Di malam hari, polisi selalu berpatroli berdua. Tempat ini selalu ramai. Dan di tengah keramaian dan kekotoran ini tinggal orang-​orang Prancis terhormat yang menjadi penjaga warung, pembuat roti, dan pencuci pakaian, dan sebagainya, yang selalu menutup diri dan diam-​diam mengumpulkan kekayaan. Sebuah gambaran sempurna tentang kawasan kumuh di Paris.

Hotel tempat aku tinggal bernama Hotel des Trois Moineaux. Sebuah bangunan lima lantai yang gelap dan reyot. Terdiri dari 40 kamar yang dipisahkan oleh pembatas dari kayu. Kamar-​kamarnya kecil dan kotor, karena tak ada pembantu, sementara Nyonya F., sang induk semang, tidak punya waktu untuk bersih-​bersih. Dindingnya setipis kayu korek api. Untuk menyembunyikan celah retakan, mereka memasang berlapis-​lapis kertas dinding berwarna merah jambu, yang lama-​lama terkelupas dan menjadi sarang kutu yang tak terhitung banyaknya. Di dekat langit-​langit setiap hari kutu-​kutu itu berbaris panjang seperti barisan tentara, dan pada malam hari mereka menjadi sangat lapar sehingga orang harus bangun setiap beberapa jam sekali untuk melakukan pembantaian massal terhadap mereka. Manakala kutu-​kutu itu menjadi sangat banyak, orang harus membakar sulfur agar mereka terusir ke kamar sebelah; kemudian penghuni kamar sebelah akan membalasnya dengan membakar sulfur agar kutu-​kutu itu kembali ke tempat asalnya. Hotel itu kotor, tapi nyaman, karena Nyonya F. dan suaminya adalah orang baik. Harga sewa kamar bervariasi antara tiga puluh sampai lima puluh franc seminggu.

Para penyewa adalah penduduk yang selalu berpindah, kebanyakan orang asing, yang datang tanpa bekal, tinggal selama seminggu kemudian menghilang. Pekerjaan mereka beragam—tukang sepatu, buruh bangunan, tukang batu, buruh kasar, pelajar, pelacur, pemulung. Tingkat kemiskinan sebagian dari mereka sungguh fantastis. Di sebuah kamar tinggal seorang mahasiswa Bulgaria yang bekerja membuat sepatu mewah untuk pasar Amerika. Dari jam enam sampai jam dua belas dia duduk di ranjang, membuat selusin pasang sepatu dan mendapatkan tiga puluh lima franc; setelah itu dia pergi kuliah di Sorbonne. Dia belajar Agama, dan buku-​buku teologinya tertelungkup di lantai yang dipenuhi potongan-​potongan kulit samak itu. Di kamar lain tinggal seorang perempuan Rusia dan anak laki-​lakinya, yang menyebut diri mereka seniman. Sang ibu bekerja enam belas jam sehari, menjahit kaus kaki seharga dua puluh lima centime sepotong, sementara si anak, yang berpakaian necis, selalu nongkrong di kafe-​kafe Montparnasse. Ada satu kamar dihuni oleh dua penyewa, seorang pekerja siang hari dan seorang pekerja malam hari. Di kamar yang lain seorang duda tidur seranjang dengan dua anak perempuannya yang menginjak remaja, dua-​duanya menderita bengek.

Ada banyak karakter eksentrik di hotel ini. Kawasan kumuh di Paris adalah tempat berkumpulnya kaum eksentrik—orang yang telah terjerumus ke lorong hidup yang sunyi dan kelam, serta sudah tak mau lagi untuk mencoba hidup normal. Kemiskinan membebaskan mereka dari standar tingkah laku normal, sebagaimana uang membebaskan orang dari pekerjaan. Beberapa penyewa di hotel kami hidup dengan cara unik dan tidak terbayangkan.

Keluarga Rougier, misalnya, pasangan kakek nenek bertubuh kate, berpakaian compang-​camping yang menjalankan bisnis tak lazim. Mereka menjual kartu pos di Boulevard St. Michel. Uniknya, kartu-​kartu pos itu dijual dalam sampul bersegel sebagai foto-​foto porno, padahal isinya adalah foto-​foto kastil di lembah sungai Loire; si pembeli akan sangat terlambat untuk menyadarinya, dan tentu saja tidak akan protes. Pasangan ini mendapatkan sekitar seratus franc seminggu, dan dengan pengaturan pembelanjaan keuangan yang ketat mereka selalu dalam keadaan setengah lapar dan setengah mabuk. Kamar mereka berbau sangat menyengat, sehingga tercium dari ruang di bawah kamar mereka. Menurut Nyonya F., keduanya tidak pernah berganti pakaian selama empat tahun ini.

Atau ada juga Henri, yang bekerja di got. Orangnya tinggi, berambut keriting dan melankolis, terlihat agak romantis dengan sepatu bot yang dikenakannya. Keanehannya adalah tidak pernah berbicara selama berhari-​hari, kecuali untuk urusan pekerjaan. Setahun lalu dia bekerja sebagai sopir dengan bayaran yang lumayan sehingga bisa menabung. Suatu hari dia jatuh cinta, dan manakala si gadis menolaknya, dia lepas kontrol dan menendangnya. Setelah ditendang, si gadis malah jatuh cinta kepada Henri dan selama dua minggu mereka tinggal bersama, menghabiskan ribuan franc uang Henri. Kemudian si gadis mengkhianatinya; Henri menikam lengan atas gadis ini, sehingga dia dipenjara selama 6 bulan. Setelah ditusuk, si gadis malah semakin mencintai Henri, kemudian mereka berbaikan dan berencana untuk membeli taksi setelah Henri keluar dari penjara, lalu menikah dan hidup layak. Tapi dua minggu kemudian di gadis berkhianat lagi, dan ketika Henri keluar dari penjara gadis itu sudah bunting. Henri tidak menikamnya lagi. Dia ambil semua tabungannya dan mabuk-​mabukan hingga membuatnya dipenjara lagi; setelah itu, dia bekerja sebagai tukang got. Tidak ada yang bisa membujuk Henri untuk berbicara. Jika kamu tanya mengapa dia bekerja di got dia tidak akan menjawab, dia hanya akan menyilangkan pergelangan tangannya, menggambarkan posisi diborgol, dan menggoyangkan kepalanya ke selatan, ke arah penjara. Dalam sehari, nasib sial telah mengubahnya menjadi orang tolol.

Atau ada juga R, orang Inggris, yang dalam setahun tinggal enam bulan bersama orangtuanya di Putney dan enam bulan lagi di Paris. Selama di Prancis dia minum empat liter anggur setiap hari, dan enam liter di hari Sabtu; pernah suatu kali dia pergi jauh-​jauh ke Azores, hanya karena anggur di sana paling murah di Eropa. Dia makhluk lembut, jinak, tidak pernah bertingkah kasar, tidak suka ribut, dan selalu mabuk. Dia akan rebahan di ranjangnya sampai tengah hari, kemudian dari tengah hari sampai tengah malam dia akan berada di pojok bistro, terus menenggak minuman dengan tenang. Sambil minum dia berbicara dengan gayanya yang elegan, seperti suara perempuan, tentang mebel antik. R adalah satu-​satunya orang Inggris di kawasan ini selain aku.

Ada banyak lagi yang cara hidupnya eksentrik seperti orang-​orang ini: Monsieur Jules, orang Rumania, yang sebelah matanya diganti mata kaca tapi tidak pernah mengakuinya, Furex si tukang batu dari Limousin, Roucolle si kikir—dia meninggal sebelum kedatanganku, Laurent tua si pedagang baju bekas, yang kalau mau membuat tanda tangan harus menyalin contoh tanda tangannya dari selembar kertas yang disimpan di sakunya. Akan sangat menyenangkan untuk menulis beberapa bagian biografi mereka, kalau ada waktu. Aku mencoba menyajikan gambaran tentang orang-​orang di kawasan kami, bukan karena keganjilannya, tapi karena mereka semua adalah bagian dari cerita. Aku sedang bercerita tentang kemiskinan, dan aku pertama kali mencecap kemiskinan ketika berada di kawasan kumuh ini. Kawasan kumuh ini, dengan kotoran dan kehidupannya yang tak lazim, mulanya merupakan objek studi tentang kemiskinan yang kuamati, tapi kemudian menjadi latar belakang dari pengalaman-​pengalamanku sendiri. Karena itulah aku paparkan kehidupan di sana.

2

Kehidupan di kawasan ini. Bistro kami, misalnya, terletak di lantai dasar Hotel des Trois Moineaux. Sebuah ruangan kecil dengan lantai batubata, terletak separuh di bawah tanah, dengan meja berbau uap anggur, dan foto pemakaman berjudul ‘Credit est mort’; dan pegawai bercelemek merah yang mengiris sosis dengan pisau lipat besar; dan Madam F., seorang perempuan petani Auvergnant yang mengagumkan, berwajah keras seperti kerbau, yang ‘demi kesehatan perutnya’ minum Malaga sepanjang hari; dan permainan dadu sebagai pembangkit selera makan; dan lagu tentang ’Les Fraises et Les Framboises’, dan tentang Medelon, yang berbunyi, ‘Comment epouser un soldat, moi qui aime tout le regiment?’;[1] dan percintaan di muka umum yang luar biasa. Setengah penghuni hotel biasa bertemu di bistro setiap malam. Aku berharap bisa menemukan pub semeriah itu di London.

Orang akan mendengar percakapan ganjil di bistro itu. Sebagai contoh, akan kuceritakan tentang Charlie, salah satu orang aneh di situ.

Charlie adalah pemuda terdidik dari keluarga baik-​baik yang minggat dari rumah dan hidup dengan uang kiriman yang datang sesekali. Wajahnya muda dan segar, dengan pipi yang segar dan rambut cokelat muda seperti anak keluarga terhormat, serta bibir yang merah basah, seperti buah ceri. Kakinya kecil, lengannya pendek seperti tak normal, tangannya gemuk seperti tangan bayi. Dia berbicara sambil bergoyang, seperti menari, seolah dia begitu gembira dan hidupnya terlampau indah hingga membuatnya tidak bisa diam meski hanya sebentar. Sekarang jam tiga sore, dan di Bistro hanya ada Madam F. dan satu atau dua orang pengangguran; tapi itu tidak mengubah gaya bicara Charlie, sepanjang dia bisa bicara tentang dirinya sendiri. Dia berdeklamasi seperti orator di tengah kerumunan, menyusun kata-​kata di lidahnya dan mengungkapkan ekspresinya melalui gerakan tangan pendeknya itu. Matanya yang kecil, mirip mata babi, berbinar-​binar penuh semangat. Entah bagaimana, dia tampak sangat menyebalkan.

Dia sedang membicarakan cinta, topik favoritnya.

‘Oh cinta, cinta. Oh, betapa para wanita itu telah membunuhku. Tuan-​tuan dan Nyonya-​nyonya, perempuan telah menghancurkanku, meremukkan harapanku. Di umur 22 tahun aku sudah usang dan hidupku selesai. Tapi aku telah belajar. Aku telah memahami kearifan yang dalam! Sungguh hebat rasanya mendapatkan kebijaksanaan sejati, mencapai tingkatan tertinggi manusia beradab, menjadi manusia penuh kesopanan, manusia berbeda,’ dan seterusnya, dan seterusnya.

Messieurs et dames, Tuan-​tuan dan Nyonya-​nyonya, aku lihat kalian sedang sedih. Ah, mais la vie est belle, hidup itu indah—kamu jangan sedih. Ayo, bersemangatlah!

‘Isilah mangkuk penuh-​penuh dengan Anggur Samian, Kita tidak akan tenggelam dalam rasa malu seperti ini!

‘Betapa indah hidup ini! Dengar Tuan-​tuan dan Nyonya-​nyonya, berdasarkan keluasan pengalamanku, aku akan bercerita tentang cinta, akan kujelaskan arti cinta yang sesungguhnya—bagaimana rasa cinta yang sebenarnya, kesenangan yang lebih murni dan lebih tinggi yang hanya bisa dikenali para laki-​laki lebih beradab. Aku akan ceritakan hari paling membahagiakan dalam hidupku. Sayangnya, telah lewat masa ketika aku bisa merasakan kebahagiaan itu. Kebahagiaan itu telah pergi selamanya—peluang, dan bahkan keinginan untuk merasakannya, telah menghilang.

‘Dengar. Dua tahun yang lalu, saudara laki-​lakiku datang ke Paris—dia pengacara—dan orangtuaku memintanya mencariku dan mengajakku makan malam. Aku dan saudara laki-​lakiku saling membenci, tapi kami memilih untuk tidak membantah perintah orangtua. Kami makan malam, dan ketika itu dia mabuk karena minum tiga botol Bordeaux. Aku antar dia pulang ke hotelnya, di jalan aku beli sebotol brandy, dan setibanya di hotel aku beri dia segelas penuh brandy—aku bilang, itu akan menghilangkan mabuknya. Dia meminumnya dan langsung roboh, seperti orang yang mabuk berat. Aku angkat dia dan menyandarkannya ke ranjang; lalu aku periksa sakunya. Aku temukan seribu seratus franc, dan cepat-​cepat aku menuruni tangga, masuk ke taksi dan melarikan diri. Saudaraku tidak tahu alamatku—aku selamat.

‘Ke mana orang pergi kalau punya uang?’ Biasanya ke bordil. Tapi jangan anggap aku akan membuang waktu di tempat penuh dosa yang hanya cocok untuk para buruh kasar itu. Lupakan itu, aku adalah orang beradab! Waktu itu aku sangat pemilih, banyak maunya, kau tahu, apalagi kalau punya seribu franc di saku. Baru tengah malam aku tahu apa yang harus aku lakukan. Aku bertemu dengan seorang anak muda cerdas berumur 18 tahun, dia berbaju rapi, perokok, dan berpotongan rambut bergaya Amerika, dan kami berbicara di bistro yang tenang yang jauh dari boulevard. Kami memahami satu sama lain dengan baik. Kami berbicara macam-​macam, dan mendiskusikan cara-​cara menghibur diri. Kemudian kami pergi naik taksi.

‘Taksi itu berhenti di sebuah gang sepi, diterangi lampu gas yang menyala di ujung gang. Genangan air kotor ada di mana-​mana. Di sisi gang itu ada tembok bangunan biara yang sangat tinggi. Pemanduku mengajakku ke sebuah rumah tinggi yang nyaris rusak, semua jendelanya tertutup, dan mengetuk pintu rumah beberapa kali. Terdengar langkah kaki dan terdengar bunyi gerendel dibuka, lantas pintu terbuka sedikit. Tangan terjulur dari pintu itu; tangan yang besar dan bengkok yang menengadah di bawah hidung kami, meminta uang.

Pemanduku menyelipkan kakinya di celah pintu, “Berapa maumu?” katanya.

‘ “Seribu franc,” terdengar suara perempuan. “Bayar sekarang atau tidak masuk.”

‘Aku meletakkan seribu franc di tangan itu dan memberi seratus franc sisanya kepada pemanduku; kemudian dia mengucapkan selamat malam dan meninggalkanku. Aku mendengar suara menghitung dari dalam dan kemudian seorang perempuan tua kurus mengenakan gaun hitam menampakkan wajahnya dan melihatku penuh curiga sebelum menyuruhku masuk. Gelap sekali di dalam; aku tidak bisa melihat apa pun kecuali cahaya pijar gas yang menerangi dinding, dan membuat bayang-​bayang benda lainnya. Aku mencium bau tikus dan debu. Tanpa berkata apa-​apa, perempuan tua itu menyalakan lilin, kemudian berjalan lambat-​lambat di depanku menuju tangga batu.

‘ “Nah!” katanya; “pergilah ke ruang bawah tanah itu dan lakukan apa yang kau mau. Aku tak melihat apa pun, tak mendengar apa pun, tak mengetahui apa pun. Kamu bebas—sebebas-​bebasnya.”’

‘Ah, Tuan-​tuan, perlukah aku katakan padamu—kamu tahu bagaimana rasannya—rasa gemetar, karena setengah takut dan setengah senang, yang terjadi padaku waktu itu? Aku berjalan pelan-​pelan, berhati-​hati; aku dapat mendengar napasku dan bunyi gesekan sepatuku di lantai, di luar itu tidak ada suara lain, sepi, senyap. Di bawah tangga aku menemukan saklar listrik. Aku tekan, dan dua belas lampu membanjiri ruang bawah tanah itu dengan cahaya merah. Tapi tunggu, ternyata aku tidak di ruang bawah tanah, aku berada di sebuah kamar tidur, kamar tidur yang indah, semarak, norak, berwarna merah darah dari atas sampai ke bawah. Bayangkan, Tuan-​tuan dan Nyonya-​nyonya! Karpet di lantai merah, kertas pelapis dinding merah, kain penutup kursi merah, bahkan langit-​langit pun berwarna merah; semua merah, membakar mata. Warna merah yang pekat, seolah cahaya berasal dari mangkok berisi darah. Di ujung kamar ada sebuah ranjang berseprei merah juga seperti yang lain, dan di atasnya seorang gadis berbaring, mengenakan baju dalam berwarna merah. Begitu melihatku dia meringkuk menjauh, mencoba menyembunyikan lututnya ke dalam bajunya yang pendek.

‘Aku berdiri di depan pintu. “Ke sinilah, sayangku,” aku memanggilnya.

‘Dia menangis ketakutan. Dengan satu kali lompatan aku sudah berada di samping ranjang; dia mencoba menghindar, tapi aku segera mencekik lehernya—seperti ini, kau lihat?—keras-​keras! Dia melawan dan mulai menangis memohon ampun. Tapi segera kupegang dia, kutekan kepalanya ke belakang dan kutatap wajahnya. Dia berumur dua puluh tahun, barangkali; wajahnya besar dan bodoh seperti anak tolol, tapi diselimuti oleh bedak dan riasan, serta mata biru dan bodoh itu menyala di tengah cahaya merah, memperlihatkan tatapan mata terpukul, tertekan, dan menerawang yang tidak pernah bisa ditemui kecuali di kalangan perempuan semacam ini. Pasti dia adalah anak keluarga petani yang oleh orangtuanya dijual sebagai budak.

‘Tanpa basa-​basi lagi aku tarik dia dari ranjang dan aku empaskan ke lantai. Lalu aku menubruknya seperti macan! Ah, betapa sebuah kesenangan tak terkira saat itu! Itulah, para Tuan dan Nyonya, yang akan kuceritakan padamu; itulah cinta! Itulah cinta sejati, itulah satu-​satunya hal yang pantas diperjuangkan di dunia ini. Itulah hal yang membuat semua seni dan idealisme, semua filsafat dan dogma, semua kata-​kata indah dan sopan santun menjadi debu tidak berguna. Ketika orang sudah merasakan cinta—cinta sejati—hal lain di dunia ini tidak lebih dari kesenangan semu.

‘Aku terus menyerangnya bertubi-​tubi. Berkali-​kali pula gadis itu mencoba melepaskan diri; dia berteriak-​teriak mohon ampun, tapi aku tertawa saja.

‘ “Ampun?” bentakku. “Apa menurutmu aku ke sini untuk mengampunimu? Apa menurutmu aku membayar seribu franc hanya untuk mengampunimu?” Aku bersumpah, Tuan dan Nyonya, kalau bukan karena ancaman hukuman yang mengerikan yang bisa membuat kita kehilangan kebebasan, mungkin dia sudah kubunuh waktu itu.’

‘Ah, dia menjerit dengan tangisan paling merana, tapi tak ada orang yang mendengarnya; di sana, di bawah jalan Paris kami aman seperti di tengah piramid. Airmata mengalir deras membasahi wajah gadis itu, melunturkan bedaknya menjadi noda-​noda panjang. Ah, peristiwa yang tidak bisa aku alami lagi! Tuan-​tuan dan Nyonya-​nyonya, kalau kalian belum pernah mengembangkan kepekaan cinta, kesenangan semacam itu tidak akan terbayangkan oleh kalian. Dan aku juga, sekarang saat masa mudaku telah pergi—ah, masa muda!—tidak akan pernah lagi mengalami kehidupan seindah itu. Semua sudah berakhir.

‘Ah, ya, itu sudah berakhir—pergi selamanya. Ah, betapa miskin, singkat, dan mengecewakannya kesenangan manusia itu! Karena pada kenyataannya seberapa lamakah cinta sejati berlangsung? Sangat cepat, mungkin sedetik. Satu detik ekstase dan kemudian—debu, abu, ketiadaan.’

‘Begitulah, hanya sesaat aku mengalami kebahagiaan agung, perasaan tertinggi dan paling murni yang bisa diraih umat manusia. Dalam sekejap saja hal itu berakhir, dan setelahnya—apa? Semua kebuasanku, nafsuku, tercerai-​berai seperti guguran bunga mawar. Aku dibiarkan kedinginan dan lemas, penuh rasa penyesalan. Saking muaknya, aku bahkan merasa kasihan kepada gadis yang sedang menangis di lantai itu. Bukankah memuakkan kalau kita menjadi mangsa perasaan-​perasaan keji seperti itu? Aku tidak mampu menatapnya lagi. Satu-​satunya hal yang ada di benakku saat itu adalah segera pergi dari situ. Kupercepat langkahku dan melompat ke jalan. Saat itu gelap dan dingin menusuk, jalanan sepi, batu-​batu yang tersentuh kakiku membunyikan irama yang menggema. Semua uangku habis, aku bahkan tidak punya cukup uang untuk ongkos taksi. Aku berjalan kaki menuju kamarku yang dingin dan sepi.

‘Tapi itulah, para Tuan dan Nyonya, yang aku janjikan untuk kuceritakan padamu. Itulah Cinta. Saat itu adalah hari yang paling berbahagia dalam hidupku.’

Charlie, makhluk yang unik. Aku ceritakan dirinya hanya untuk menunjukkan betapa beragamnya karakter yang ada di kawasan Coq d’Or ini.

3

Aku tinggal di kawasan Coq d’Or selama sekitar satu seteah tahun. Satu hari di musim panas, aku sadar bahwa duitku tinggal empat ratus lima puluh franc, sementara pemasukanku cuma tiga puluh enam franc seminggu dari mengajar bahasa Inggris. Sebelumnya aku tidak pernah merencanakan kebutuhan jangka panjang, tapi sekarang aku sadar aku harus melakukan sesuatu. Lantas aku memutuskan untuk mulai mencari pekerjaan, dan—untunglah, belakangan nanti aku sadari—aku gunakan uangku sebanyak dua ratus franc untuk membayar sewa kamar bulanan di muka. Dengan dua ratus lima puluh franc sisanya, selain penghasilan dari mengajar bahasa Inggris, aku bisa hidup sebulan, dan dalam sebulan aku mungkin akan mendapatkan pekerjaan. Aku berencana untuk menjadi pemandu wisata pada agen perjalanan, atau mungkin menjadi seorang penerjemah. Namun, nasib buruk menghalangiku.

Suatu hari muncul seorang anak muda Italia yang menyebut dirinya tukang ketik. Dia orang yang agak meragukan karena memiliki jambang yang merupakan ciri seorang berandalan atau seorang intelektual, dan tak seorang pun mampu menempatkannya dalam kelas sosial tertentu dengan pasti. Madam F. tidak menyukai tampangnya, dan menyuruhnya membayar sewa mingguan di muka. Orang Italia itu membayar sewa dan tinggal di hotel selama enam hari. Selama itu dia membuat duplikat kunci kamar, dan pada malam terakhir dia mencuri di belasan kamar, termasuk kamarku. Untunglah, dia tidak menemukan uang yang aku simpan di saku, jadi aku tidak benar-​benar kehabisan duit. Aku masih punya empat puluh tujuh franc—sama dengan tujuh shilling sepuluh sen.

Kejadian itu menghancurkan rencanaku. Sekarang aku harus hidup dengan duit enam franc sehari, dan membuatku sangat sulit berpikir yang lain-​lain. Saat itulah aku mulai merasakan kemiskinan—hidup hanya dengan enam franc sehari, kalau tidak bisa dibilang kemiskinan yang sebenarnya, adalah berada di ambang kemiskinan. Enam franc sama dengan satu shilling, dan kamu bisa hidup di Paris dengan satu shilling kalau kamu tahu caranya. Namun, ini perkara yang rumit.

Pengalaman pertama mengalami kemiskinan adalah sesuatu yang unik. Kamu mungkin sudah berpikir banyak soal kemiskinan—kemiskinan adalah satu hal yang kamu takuti seumur hidup, dan satu hal yang pasti akan terjadi padamu cepat atau lambat; dan kemiskinan itu teramat sangat berbeda dengan yang kau bayangkan. Kamu mungkin mengira kemiskinan itu sangat sederhana; padahal sebenarnya sangat rumit. Kamu pikir ini mungkin masalah besar, sebenarnya cuma jorok dan membosankan. Hal pertama yang akan kamu jumpai adalah perasaan hina; perubahan-​perubahan yang menimpamu, kehinaan yang membingungkan, mengorek-​orek sisa makanan.

Kamu akan menemukan, misalnya, rahasia di balik kemiskinan. Tiba-​tiba kamu hanya bisa mendapatkan uang enam franc sehari. Tapi tentu saja kamu memilih untuk tidak mengakui itu—kamu harus berpura-​pura bahwa hidupmu masih berjalan normal seperti biasanya. Sejak awal kamu terperangkap dalam jaring kebohongan, dan bahkan dengan kebohongan itu pun kamu masih sulit untuk menyiasatinya. Kamu tak lagi mencucikan bajumu ke tukang cuci, dan saat bertemu denganmu di jalan, si tukang cuci akan bertanya kenapa; kamu cuma menggumam, dan ia—yang mengira kamu mencuci di tempat lain—akan menjadi musuhmu seumur hidup. Penjual tembakau terus bertanya kenapa kamu sekarang tak banyak merokok. Banyak surat yang harus dibalas, tapi tidak bisa karena harga perangko tak terjangkau. Dan kemudian soal makan—makan adalah masalah yang paling sulit. Setiap hari pada waktu makan kamu berpura-​pura pergi ke restoran, padahal hanya duduk bengong menghabiskan waktu sejam di Taman Luxembourg, melihat merpati. Setelah itu kamu akan menyembunyikan makanan di dalam saku untuk dibawa pulang. Makanan itu adalah roti dan mentega, atau roti dan anggur, dan bahkan pemilihan jenis makanan itu pun ditentukan oleh kebohonganmu. Kamu terpaksa membeli roti gandum dan bukannya bongkahan roti rumahan karena, meski lebih mahal, bentuknya yang bulat dan bisa disembunyikan di saku. Ini lebih boros satu franc sehari. Kadang, demi menjaga gengsi, kamu harus membelanjakan enam puluh centime untuk minum dan akibatnya kau harus mengurangi uang makanmu. Bajumu kotor, dan kamu kehabisan sabun dan silet cukur. Rambutmu bertambah panjang, dan kamu coba untuk mencukurnya sendiri, hasilnya malah sangat berantakan sehingga kamu harus tetap pergi ke tukang cukur, dan membayarnya dengan duit seharga makanan sehari. Hari-​harimu penuh kebohongan, kebohongan yang mahal.

Kamu mendapati betapa gentingnya menjalani hidup hanya dengan uang enam franc sehari. Berbagai macam kesialan terjadi sehingga kamu tak bisa makan. Kamu telah membelanjakan delapan puluh centime terakhirmu untuk membeli seliter susu, dan menghangatkannya di atas lampu gas. Saat dihangatkan, seekor kutu hinggap di lenganmu; kamu harus menjentiknya dan plop! Jatuh tepat di susu. Tidak ada pilihan lain, susu harus dibuang dan kamu sama sekali tidak jadi makan.

Kamu pergi ke toko roti untuk membeli setengah kilogram roti, dan kamu mengantre sementara si gadis pelayan memotong roti untuk pembeli lain. Dia ceroboh dan memotong lebih dari setengah kilogram. ‘Maaf, Tuan,’ ujarnya, ‘Anda tidak keberatan kan untuk membayar dua sou lagi?’ Roti itu harganya satu franc untuk setengah kilogram, dan kamu hanya punya persis satu franc. Kamu langsung kepikiran kalau kamu juga akan diminta untuk membayar biaya tambahan dua sou, sehingga harus mengakui bahwa kamu tidak punya uang lagi, maka kamu pun kabur dengan panik. Butuh waktu berjam-​jam untuk membuatmu kembali berani ke toko roti itu lagi.

Kamu pergi ke toko sayur untuk membeli sekilo kentang seharga satu franc. Tapi sebuah koin dalam uang sejumlah satu franc itu ternyata koin Belgia, dan si penjual menolaknya. Kamu kemudian menyelinap keluar toko dan tak pernah berani menginjak toko itu lagi.

Kamu tersesat di kawasan elit, dan kamu lihat temanmu yang kaya berjalan mendekat. Untuk menghindarinya kamu masuk ke kafe terdekat. Begitu masuk kafe, kamu harus membeli sesuatu, maka kamu gunakan lima puluh centime terakhirmu itu untuk membeli segelas kopi yang di dalamnya ada bangkai lalat terapung. Kesialan-​kesialan seperti ini bisa menimpamu berkali-​kali, sampai ratusan kali. Itu adalah bagian dari cobaan hidup miskin.

Kamu akan tahu bagaimana rasanya lapar. Dengan roti dan mentega yang mengganjal perut, kamu berjalan-​jalan dan melihat-​lihat etalase toko. Di mana-​mana terdapat makanan melimpah ruah yang seolah sedang meledekmu: daging babi utuh, berkeranjang-​keranjang roti hangat, berkotak-​kotak mentega kuning, berikat-​ikat sosis, bertumpuk-​tumpuk kentang, dan keju Gruyere yang bergunung-​gunung seperti batu apung. Kamu akan menangis terisak-​isak melihat itu semua. Kamu berpikir untuk mengambil makanan itu dan lari, menelannya sebelum mereka bisa menangkapmu; namun kamu tidak melakukannya karena tak punya nyali.

Kamu merasakan kebosanan yang merupakan bagian tak terpisahkan dari kemiskinan; saat-​saat ketika kamu tidak melakukan apa-​apa dan, karena tidak cukup makan, tidak tertarik pada apa pun. Setengah hari kamu akan terkulai di ranjang, merasa seperti jeune squelette dalam puisi Baudelaire. Hanya makanan yang dapat menggerakkanmu, kamu akan merasa bahwa seseorang yang seminggu penuh hanya makan roti dan margarin bukanlah manusia lagi, cuma seonggok daging dengan beberapa organ pelengkap.

Seperti itulah—orang bisa menggambarkannya bertele-​tele, namun intinya tetap sama—kehidupan dengan enam franc sehari. Ribuan orang di Paris—seniman pemula dan pelajar, pelacur yang sedang apes, berbagai macam pengangguran—hidup seperti itu. Agaknya, seperti itulah kawasan pinggiran kemiskinan.

Aku hidup seperti ini selama kira-​kira tiga minggu. Empat puluh tujuh franc habis dengan cepat dan aku harus hidup dengan tiga puluh enam franc seminggu hasil mengajar bahasa Inggris. Karena tidak berpengalaman, aku mengelola uangku dengan buruk, dan kadang satu hari aku kehabisan makanan. Kalau ini terjadi, aku menjual beberapa bajuku, dengan menyelundupkannya keluar hotel dalam bungkus kecil dan membawanya ke toko barang-​barang bekas di jalan Montagne St. Genevieve. Penjaga tokonya adalah seorang Yahudi berambut merah, orang yang sangat menyebalkan, yang sering mencak-​mencak kalau melihat ada pelanggan datang. Dari tingkahnya, orang akan mengira bahwa para pelanggan yang mendatanginya justru membuatnya bangkrut. ‘Sialan!’ serunya, ‘kamu ke sini lagi? Kamu pikir ini tempat apa? Dapur umum?’ Dan dia menghargai barang dengan sangat murah. Topi yang dulunya aku beli seharga dua puluh lima shilling dan jarang aku pakai itu cuma dihargai lima franc; sepasang sepatu yang masih bagus, lima franc; beberapa kemeja, masing-​masing satu franc. Dia selalu lebih suka bertukar barang daripada membeli, dan dia punya cara untuk menyodorkan sebuah barang yang tidak berguna ke tangan pelanggan dan bertingkah seolah si pelanggan sudah menyepakati itu. Pernah suatu kali aku melihatnya mengambil sebuah mantel bagus dari seorang perempuan tua, kemudian meletakkan dua bola biliar putih ke tangan perempuan itu, dan dengan cepat mendorongnya keluar toko sebelum perempuan itu sempat protes. Akan sangat menyenangkan memukul hidung si Yahudi itu. Jika mampu.

Tiga minggu ini terasa sangat sengsara dan menyebalkan, dan sepertinya akan lebih buruk: masa sewa kamarku tak lama lagi akan segera habis. Namun, keadaan ternyata tidak seburuk yang kuperkirakan. Sebab, saat kamu mendekati cara hidup miskin, kamu akan tahu hal-​hal yang lebih penting ketimbang yang lain. Kamu merasakan kebosanan, kerumitan, dan mulai merasakan kelaparan, tapi sekaligus juga menemukan berkah kemiskinan: yakni bahwa kemiskinan menghilangkan kekhawatiran tentang masa depan. Dalam batas tertentu, memang benar bahwa semakin sedikit uang yang kamu punya, semakin sedikit kekhawatiran yang kamu rasakan. Kalau kamu punya seratus franc kamu akan mengalami kepanikan luar biasa. Kalau kamu hanya punya tiga franc, kamu akan bertingkah sangat tenang; dengan tiga franc kamu bisa membeli makanan sampai besok, dan kamu tidak bisa berpikir lebih jauh dari itu. Kamu akan merasa bosan, tapi tidak akan merasa ketakutan. Cuma kadang kepikiran, ‘aku akan kelaparan sehari-​dua hari—mengejutkan, bukan?’ Lalu pikiranmu akan berpindah ke topik lain. Diet roti dan margarin, sampai tingkat tertentu, menyediakan obat penawarnya sendiri.

Dan ada lagi perasaan lain yang menjadi hiburan besar di tengah kemiskinan. Aku yakin mereka yang pernah jatuh miskin mengalami ini. Sebuah perasaan lega, hampir mendekati rasa senang, begitu mengetahui dirimu pada akhirnya jatuh miskin. Kamu sudah seringkali berbicara tentang jatuh miskin—dan inilah, inilah kehidupan orang miskin, kamu sudah mengalaminya, dan kamu mampu mengatasinya. Maka lenyaplah berbagai kecemasan.


[1] Bagaimana menikahi seorang serdadu, jika aku menyukai semua tentara.