Fihi Ma Fihi Bab 1

1

Tuhan Bekerja dengan Cara Misterius

 

Nabi Muhammad bersabda, “Seburuk-​buruknya ulama adalah ulama yang mengunjungi penguasa, dan sebaik-​baiknya penguasa adalah penguasa yang mengunjungi ulama. Berbahagialah penguasa yang berada di depan pintu orang miskin, dan celakalah orang miskin yang berada di depan gerbang penguasa!”[1]

Sekilas, hadits Nabi itu seolah bermakna bahwa tidak layak bagi seorang ulama mengunjungi penguasa. Perbuatan seperti itu menjadikan seorang ulama sebagai ulama terburuk. Tapi hadits itu tidak bermakna sedemikian dangkal. Makna sebenarnya dari hadits itu adalah bahwa seburuk-​buruknya ulama adalah ulama yang menerima sokongan dari penguasa. Dia melakukannya karena ingin memperoleh penghidupan dari sang penguasa. Anugerah serta pemberian penghidupan dari sang penguasa dijadikan sebagai tujuan utama kehidupan dan pencarian ilmunya. Dia ingin agar sang penguasa memberinya berbagai hadiah. Dia selalu memuji sang penguasa dan berkata kepadanya dengan berbagai penghargaan yang tinggi. Ketika menjadi ulama, dia mempelajari segala hal agar bisa melepaskan diri dari ketakutan dan kekuasaan setiap penguasa. Ulama-​ulama seperti itu akan membiasakan dirinya dengan berbagai tingkah laku yang akan disukai oleh setiap penguasa. Dalam kehidupan ini mungkin ada ulama yang mengunjungi penguasa dan ada pula penguasa yang mengunjungi ulama. Tapi ulama-​ulama buruk itu akan selalu menempatkan dirinya sebagai tamu, dan selalu menganggap penguasa sebagai tuan rumah.

Pada sisi lain, ketika seorang ulama mengenakan jubah keilmuannya bukan demi seorang penguasa, melainkan, pertama dan paling utama, karena Tuhan; ketika seorang ulama berperilaku dan berjalan sepanjang jalur kebenaran sebagaimana yang semestinya dilakukan oleh seorang ulama dan tidak berperilaku untuk alasan lain, maka semua orang akan hormat terhadapnya. Semua orang akan merasa mendapatkan limpahan cahaya yang memantul darinya, baik mereka sadar ataupun tidak. Segala perilaku ulama itu selalu diatur oleh nalar dan naluri kebaikan. Dia hanya bisa hidup dalam kebaikan, seperti ikan yang hanya dapat hidup dalam air. Apabila ulama seperti itu mengunjungi seorang penguasa, maka dialah yang bertindak sebagai tuan rumah dan penguasa sebagai tamu. Karena sang penguasa akan menerima bantuan darinya dan bergantung padanya. Ulama seperti itu jiwanya merdeka dan tidak terikat pada seorang penguasa. Dia akan selalu melimpahkan cahaya bagaikan matahari. Hidupnya semata-​mata untuk memberi dan memberkahi. Matahari mengubah bebatuan biasa menjadi rubi dan permata. Matahari akan mengubah gunung-​gunung di bumi menjadi tambang tembaga, emas, perak, dan timah.[2] Matahari membuat bumi hijau dan segar, menghasilkan bermacam buah-​buahan dan berbagai tanaman. Tugasnya hanyalah memberi dan membekali; dia tidak mengambil apa pun. Ada sebuah pepatah Arab yang berbunyi, “Kami telah belajar untuk memberi, tidak untuk mengambil.” Ulama seperti itu akan selalu menjadi tuan rumah dalam keadaan apa pun. Dan penguasa akan selalu menjadi tamu mereka.

Suatu ketika aku pernah berhasrat untuk menafsirkan ayat Qur’an, walau ayat tersebut tidak berhubungan dengan pokok perbincangan ini. Bagaimanapun hasrat itu telah datang padaku. Aku harus melakukannya. Tuhan berfirman, “Wahai Nabi, katakanlah kepada para tawanan perang yang ada di tanganmu bahwa, Tuhan mengetahui kebaikan yang ada di dalam hatimu. Dia akan memberimu sesuatu yang lebih baik daripada yang telah diambil darimu; dan Dia akan mengampunimu, karena Tuhan Maha Pengampun dan Maha Penyayang.” [QS. 8:70]. Sebab turunnya ayat ini adalah sebagai berikut. Suatu ketika Nabi Muhammad berhasil mengalahkan orang-​orang kafir. Banyak orang yang terbunuh dalam peperangan itu. Kaum Muslim mendapatkan barang rampasan perang. Nabi memiliki banyak tawanan yang terikat kaki serta tangannya. Salah satu tawanan itu adalah Abbas, paman Nabi sendiri. Sepanjang malam para tawanan itu meratap dalam belenggu mereka dan merintihkan kesengsaraan yang dialaminya, sampai mereka berputus asa dan berhenti berharap. Tak ada lagi yang mereka nantikan kecuali tebasan pedang di batang leher mereka. Nabi mengetahui hal itu lalu melihat mereka dan tertawa.

“Kalian lihat itu,” para tawanan itu berkata, “dia memiliki sifat-​sifat manusia biasa dalam dirinya. Pernyataan bahwa dia bukanlah manusia tidaklah benar, karena di sini, ketika dia melihat kita terikat sebagai tawanannya, dia merasakan kenikmatan yang besar seperti manusia lain bergembira dan bersukacita apabila telah menaklukkan musuhnya dan melihat mereka terkalahkan.”

Tapi Nabi Muhammad mampu membaca pikiran mereka dan berkata, “Tidak. Aku tertawa bukan karena melihat musuhku terkalahkan atau karena aku gembira melihat kalian kalah. Aku tertawa karena dengan mata batinku aku melihat diriku sendiri menarik paksa dengan rantai dan belenggu sekelompok orang keluar dari api pembakaran dan asap hitam neraka, menuju ke taman surga yang abadi.”[3]

Mereka merintih dan menyesal, lalu berkata, “Kenapa engkau mengeluarkan kami dari tempat celaka ini, dan membawa kami ke taman yang dipenuhi bunga mawar?” Nabi menjawab, “Karena itulah aku tertawa. Aku tertawa karena kalian masih belum juga memahami ucapanku dengan jernih.” Kemudian Nabi melanjutkan, “Tuhan telah memerintahku untuk mengatakan ini kepada kalian, ‘Pertama-​tama kalian mengumpulkan begitu banyak tentara dan tenaga, dan benar-​benar yakin dengan kekuatan, kekukuhan, dan keberanian kalian. Kalian berkata pada diri kalian sendiri bahwa kalian akan sanggup melakukan apa pun. Kalian sesumbar akan mengalahkan kaum Muslim. Kalian pikir tidak ada yang lebih kuat daripada kalian. Kalian tidak dapat membayangkan ada orang lain yang lebih kuat daripada kalian sendiri. Sekarang seluruh yang telah kalian rencanakan gagal total. Dan kini kalian terbaring gemetar dalam ketakutan. Kalian tidak bertobat atas kegagalan serta kesalahan yang kalian lakukan. Kalian akan terus berada dalam kesukaran yang menciutkan nyali. Kalian masih tidak dapat memahami bahwa bisa jadi ada orang lain lebih berkuasa daripada kalian. Maka suatu keniscayaan ketika kini kalian melihatku memiliki kekuatan serta kuasa. Sedangkan diri kalian mungkin akan menjadi sasaran dari kutukanku. Tapi jangan berputus asa atas apa yang aku lakukan, karena aku mampu untuk mengeluarkan kalian dari ketakutan ini dan membimbing kalian menuju keselamatan. Dia Yang Maha Kuasa mampu untuk menciptakan seekor sapi putih dari seekor sapi hitam. “Dia menciptakan malam untuk menggantikan siang, dan menciptakan siang untuk menggantikan malam [QS. 35: 13]. “Dia bisa menciptakan kehidupan dari kematian, dan Dia bisa menciptakan kematian dari kehidupan” [QS. 30: 19]. Sekarang, ketika kalian menjadi tawananku, jangan takut padaku karena aku mampu menghukum kalian. Karena tidak ada yang berputus asa dari rahmat Tuhan, kecuali orang kafir [QS. 12: 87].

Kemudian Nabi Muhammad berkata, “Sekarang Tuhan berfirman, ‘Hai tawanan, jika engkau mengubah keyakinanmu yang dulu dan memahamiKu baik dalam ketakutan ataupun dalam pengharapan[4] kemudian kalian menyadari bahwa kalian adalah sasaran dari kehendakKu pada setiap keadaan, Aku akan melepaskan kalian dari keadaan menakutkan ini. Aku pasti akan mengembalikan seluruh harta benda kalian yang telah dirampas dan dihilangkan, dan Aku akan memaafkan kalian. Tidak hanya kebahagiaan di dunia ini yang akan Aku berikan tapi juga kebahagiaan di kehidupan selanjutnya.”

“Aku bertobat,” Abbas berkata, “aku berpaling dari keyakinanku yang dulu.”

“Tuhan membutuhkan bukti dari pengakuan yang engkau buat,” kata Nabi.

Memang mudah untuk melemparkan pernyataan cinta,

Tetapi bukti darinya akan selalu diminta.

Lalu Abbas bertanya “Demi Nama Tuhan! Bukti apa yang engkau butuhkan?”

“Berikan kepada pasukan Islam,” jawab Nabi Muhammad, “seluruh kekayaan yang masih engkau tinggalkan. Apabila engkau memang benar-​benar seorang Muslim dan berharap baik pada agama dan masyarakat Islam, berikan hartamu sehingga pasukan Islam akan menjadi lebih kuat!”

“Wahai Rasulullah!” jawab Abbas, “harta mana lagi yang masih aku miliki? Sedangkan segala yang aku miliki sudah terampas. Aku tak lagi memiliki apa-​apa. Hanya tikar jerami tua yang tertinggal atas namaku.”

“Lihat,” kata Nabi Muhammad, “engkau masih belum berbudi. Engkau belum berpaling dari keyakinanmu yang dulu. Biarkan aku katakan padamu berapa banyak kekayaan yang engkau miliki, di mana engkau menyembunyikannya, kepada siapa engkau memercayakannya, dan di mana engkau memendamnya.”

“Oh, tidak!” teriak Abbas

“Apakah engkau tidak memercayakan sejumlah harta kepada ibundamu? Tidakkah engkau memendam sejumlah harta lain di balik dinding dan menetapkan bahwa apabila engkau kembali dia akan mengembalikannya kepadamu, dan apabila engkau tidak kembali hidup-​hidup dia akan menggunakannya untuk membeli barang tertentu. Engkau juga memberikan sejumlah besar hartamu kepada orang tertentu, dan menyimpan sebagian yang lainnya untuk dirinya sendiri?”[5]

Kemudian Abbas mengacungkan jari-​jarinya dan menyatakan iman dengan sungguh-​sungguh, lalu dia berkata, “Wahai Nabi, sejujurnya aku pernah berpikir bahwa engkau memiliki keberuntungan melalui khayalan tentang nasib baik, sebagaimana yang dilakukan oleh banyak raja masa lalu seperti Haman, Syaddad, dan Namrud. Meski demikian, ketika engkau mengatakan kepadaku hal yang engkau sebutkan, aku tahu pasti bahwa nasib baik yang melingkupimu adalah sesuatu yang misterius dan sungguh-​sungguh berasal dari Ilahi.”

“Engkau berkata benar,” kata Nabi Muhammad. “Saat ini aku mendengar lingkaran keraguan yang melingkupimu telah berderak patah dalam batinmu. Bunyi patahannya mencapai telingaku. Lenyap pada kedalaman jiwaku. Kapanpun lingkaran keraguan, penyembahan berhala, atau kekafiran seseorang berderak patah, aku mampu mendengar bunyi pecahannya dengan telinga batinku, telinga jiwaku.[6] Sekarang engkau telah benar-​benar menjadi orang yang berbudi dan menyatakan iman dengan segala kesungguhanmu.”

***

Semua ini aku katakan kepada Parwana. Aku berkata kepadanya, “Engkau yang telah menjadi penghulu umat Islam pernah berkata, ‘Aku telah mengorbankan diriku, kecerdasanku serta seluruh kuasa pertimbangan dan penilaianku. Semuanya kulakukan demi melanjutkan keberadaan Islam dan menyebarkannya.’ Tetapi sejak engkau menyandarkan keyakinan pada dirimu sendiri dan tidak berpaling pada Tuhan untuk menyadari bahwa apa pun berasal dariNya, maka Tuhan membuat usaha kerasmu menjadi sebab kemunduran Islam. Engkau telah menyatukan dirimu dengan Kaum Tartar. Engkau bantu mereka untuk meruntuhkan kaum Syria dan Mesir, kemudian membiarkan kerajaan Islam dalam kehancuran.”[7]

Hal yang nyata-​nyata telah menjadi sebab ekspansi Islam justru telah pula menjadi sebab bagi kemundurannya. Maka, dalam keadaan yang amat menakutkan ini, kembalilah kepada Tuhan. Berikanlah sedekah agar Dia melindungi engkau dari keadaan jahat yang menakutkan. Janganlah berputus asa dari Dia, bahkan apabila Dia melemparkan engkau dari ketaatan ke dalam pembangkangan. Karena engkau selalu berpikir bahwa kepatuhanmu ada dalam dirimu. Jangan berputus asa tetapi kembalilah kepada Tuhan dengan segala kerendahan hati, karena Dia Maha Kuasa. Sungguh Dia mampu untuk mengubah kepatuhan menjadi pembangkangan. Dia juga mampu untuk mengubah pembangkangan menjadi kepatuhan dan Dia akan memberi kalian pengampunan. Dia mampu menyediakan kalian jalan dan peralatan untuk berjuang dengan keras sekali lagi demi pengembangan Islam. Janganlah berputus asa, karena sesungguhnya tidak ada yang berputus asa dari rahmat Tuhan, kecuali orang kafir [QS. 12: 87].

Tujuanku adalah membuatnya bisa memahami hal ini sehingga dia merendahkan diri sendiri di depan Tuhan. Karena dari keadaan paling terpuji dia bisa berubah ke keadaan yang paling hina, bagaimanapun dia mesti selalu berharap.

Tuhan bekerja dengan cara misterius. Sesuatu barangkali terlihat baik jika dilihat dari luar, tetapi mungkin di dalamnya terdapat kejahatan. Jangan sampai seorang pun teperdaya oleh rasa bangga, selalu menganggap bahwa dia telah menyerap gagasan baik ataupun telah melakukan amal baik. Apabila segala sesuatu adalah sebagaimana tampaknya, Nabi Muhammad tidak akan memperingatkan umatnya dengan peringatan yang keras dengan sabdanya, “Tunjukkan kepadaku suatu hal sebagaimana adanya! Engkau membuat suatu hal menjadi tampak indah padahal kenyataannya buruk; engkau membuat suatu hal tampak buruk padahal kenyataannya indah. Maka tunjukkan kepada kami suatu hal sebagaimana adanya, kalau tidak kami akan jatuh ke dalam perangkap dan akan selamanya salah.” Jadi, sejernih dan sebaik apa pun penilaianmu, betapapun indah tampaknya, tidak akan lebih baik daripada penilaiannya, dia berbicara sebagaimana yang dia lakukan. Jangan selalu menyandarkan penilaian pada setiap pikiran dan pendapatmu, tetapi berendah hatilah di depan Tuhan dan takutlah kepadaNya.

Demikianlah tujuanku berbicara seperti itu kepada Parwana. Meski demikian, dia menerapkan ayat dan penafsiran ini dengan caranya sendiri. Dia berkata, “Pada saat ini, apabila kita hendak menggerakkan pasukan, janganlah menyandarkan kekuatan hanya kepada mereka. Bahkan apabila terkalahkan, kita mesti tidak berputus asa untuk tetap mengharapkan rahmat Tuhan. Kita tetap mengharapkan kasihNya di saat kita diliputi ketakutan dan ketidakberdayaan.” Dia menerapkan kata-​kataku untuk tujuannya sendiri, sedangkan tujuanku telah kujelaskan di atas.


[1] Hadits Nabi (shiraru al-‘ulama’) tercantum dalam kitab al-​Ghazali, Ihya ulum ad-din, I, 116, (juz’ i, bab vi). Hadits serupa (abghadhu, al-khalq) tercantum dalam karya Suyuti, Jami’ as-saghir, I, 85.

[2] Berdasarkan pada teori fisika tentang kepurbakalaan yang digubah oleh ilmu Islam, bahwa bebatuan berharga dianggap dihasilkan oleh efek cahaya matahari pada bebatuan biasa, yang setelah mengalami pencahayaan matahari, terbenam ke dalam pegunungan, di sanalah mereka berubah bentuk menjadi permata.

[3] Cf. Hadits Nabi (ajiha rabbuna), “Tuhan kami merasa takjub terhadap orang yang harus dituntun menuju surga dengan rantai,” tercantum dalam buku Badi’uzzaman Furuzanfar, Ahadith al-mathnawi, hlm. 103, #305.

[4] Tahapan takut (khawf) dan harap (rajâ) merupakan bagian integral dalam “jalan” para mistikus dan merupakan istilah teknis sufisme. “Takut” mewakili tahap ketika sang mistikus mengharapkan jaminan ketenangan dari kemungkinan jahat yang berasal dari diri jasmaniah. Apabila sang mistikus menakuti semua kecuali Tuhan dan hanya meletakkan harapannya kepada Tuhan, Tuhan menjamin imannya.

[5] Yang ditekankan Rumi di sini adalah, orang yang beriman mesti tidak khusyuk dengan ketakutan kepada selain Allah, atau dengan harapan jaminan bahwa Tuhan telah dilupakan dalam proses peribadahannya.

[6] Cf. dua “tangisan untuk perlindungan” dinisbatkan kepada Rasul dalam karya Ayn al-​Qudhat al-​Hamdhani, Tamhidat, hlm. 214.

[7] Rumi menyinggung strategi diplomasi Parwana ketika berhadapan dengan Mamluk, sultan Mesir dan Syria, serta Mongol Ilkhanids dari Iran. Parwana sangat mungkin telah mengundang orang Mamluk Baybar untuk menyerbu orang Seljuq Anatolia pada 1276. Pada musim semi 1277, orang Mamluk memang menyerbu, mengakibatkan kehancuran tentara Mongol dari pendudukan di Abulustan yang segera menarik diri. Kekalahan Mongol membawa Ilkhan Abaqa pergi menuju Asia Minor, dan Parwana dipanggil, diadili, dan dihukum secara amat kejam pada 1277. Lihat Boyle, ed., The Cambridge History of Iran, v, 361.