Pendahuluan
Sudah bertahun-tahun aku berlatih Jalan[1] strategi, yang disebut Ni Ten Ichi Ryu,[2] dan sekarang untuk pertama kalinya akan kujelaskan dalam sebuah tulisan. Ini terjadi selama sepuluh hari pertama bulan kesepuluh dalam tahun kedua puluh Kanei (1645). Aku telah mendaki gunung Iwato dari Higo di Kyushu untuk memberikan penghormatan pada langit, berdoa pada Kwannon,[3] dan berlutut di depan Buddha. Aku adalah kesatria dari provinsi Harima, Shinmen Musashi No Kami Fujiwara No Genshin, usiaku enam puluh tahun.
Sejak muda aku tertarik pada Jalan strategi. Duel pertamaku berlangsung ketika aku berusia tiga belas tahun. Kukalahkan seorang ahli strategi dari aliran Shinto, namanya Arima Kihei. Ketika berusia enam belas tahun, kukalahkan seorang ahli strategi yang tangguh bernama Tadashima Akiyama. Ketika berusia dua puluh satu tahun, aku pergi ke ibukota dan bertemu dengan berbagai ahli strategi. Dalam banyak pertarungan, aku belum pernah kalah satu kali pun.
Sesudah itu aku berkelana dari provinsi ke provinsi, berduel dengan para ahli strategi dari berbagai aliran, dan tidak pernah kalah bertarung hingga enam puluh kali. Ini terjadi antara usia tiga belas dan dua puluh delapan atau dua puluh sembilan tahun.
Ketika berusia tiga puluh tahun, kurenungkan kembali masa laluku. Kemenangan-kemenangan sebelumnya terjadi bukanlah karena aku sudah menguasai strategi. Mungkin kemenangan-kemenangan itu adalah hasil dari kemampuan alami, atau kehendak langit, atau karena ahli strategi dari aliran-aliran lain lebih rendah kemampuannya. Sesudah itu aku berusaha siang dan malam mencari prinsip, dan akhirnya aku menemukan Jalan strategi ketika berusia lima puluh tahun.
Sejak itu aku hidup tanpa mengikuti Jalan yang lain. Mengandalkan kebajikan dari strategi, aku mempelajari banyak seni dan keterampilan—semuanya tanpa guru. Untuk menulis buku ini, aku tidak menggunakan ajaran Buddha maupun Konfusius, juga tidak berpedoman pada buku-buku seni perang kuno. Kugunakan kuasku untuk menjelaskan semangat sejati aliran Ichi sebagaimana yang tercermin pada Jalan Langit dan Kwannon. Sekarang malam hari kesepuluh bulan kesepuluh, pada jam harimau (3-5 pagi).
Buku Tanah
Strategi adalah keahlian kesatria. Para komandan harus mempraktikkan keahlian tersebut, dan para prajurit harus mengenal Jalan ini. Tidak ada kesatria di zaman sekarang ini yang benar-benar memahami Jalan strategi.
Ada berbagai Jalan. Ada Jalan keselamatan melalui ajaran Buddha, Jalan Konfusius mengatur Jalan pembelajaran, Jalan penyembuhan sebagai dokter, dan sebagai penyair mengajarkan Jalan Waka,[4] ritual minum teh, memanah, dan banyak seni maupun keterampilan lainnya. Setiap orang berlatih sesuai minatnya.
Telah dikatakan bahwa Jalan kesatria merupakan Jalan bermata-dua kuas dan pedang,[5] dan oleh karena itu seorang kesatria diharapkan memahami kedua Jalan ini. Bahkan kalaupun tidak berbakat, seseorang bisa menjadi kesatria dengan menekuni kedua pembagian Jalan tersebut. Umumnya, Jalan kesatria adalah tekad berani mati. Meski bukan hanya di kalangan kesatria, tapi pendeta, wanita, petani, dan rakyat jelata pun ada yang siap mati demi tugas atau mempertahankan harkat dan martabat, namun persoalan ini berbeda. Dalam mempelajari Jalan strategi, kesatria lebih mengacu pada cara mengatasi orang lain. Dengan kemenangan yang diperoleh dari beradu pedang melawan satu orang, atau terlibat pertempuran dengan banyak orang, kita bisa mendapatkan kekuasaan dan ketenaran bagi diri sendiri atau bagi penguasa kita. Inilah keutamaan strategi.
Jalan Strategi
Di Cina dan Jepang, para penganut Jalan dikenal sebagai ahli strategi. Seorang kesatria harus mempelajari Jalan ini.
Belakangan ini ada orang-orang yang mengaku sebagai ahli strategi, tapi biasanya mereka hanyalah ahli pedang. Para pengunjung kuil Kashima Kantori di provinsi Hitachi menerima petunjuk dari dewa, dan mendirikan perguruan berdasarkan ajaran ini, berkelana dari satu tempat ke tempat lain mengajar orang-orang. Inilah arti strategi belakangan ini.
Di masa lalu, strategi termasuk dalam daftar Sepuluh Keahlian dan Tujuh Seni yang bermanfaat apabila dilatih. Strategi jelas merupakan seni, tapi sebagai praktik yang bermanfaat strategi tidak terbatas pada ilmu pedang. Nilai sejati dari ilmu pedang tidak bisa dilihat dari teknik memainkan pedang.
Kalau mengamati dunia, kita melihat seni seolah dikemas menjadi barang dagangan. Manusia menganggap dirinya sebagai barang dagangan dan bahkan Jalan pun ditawarkan sebagai barang dagangan. Kalau diibaratkan kacang dan bunga, kacang menjadi kurang berharga dibanding bunga. Dalam Jalan strategi juga seperti ini, baik mereka yang mengajar maupun mereka yang mempelajarinya sama-sama memusatkan perhatian pada warna dan keindahan jurus mereka, seolah berusaha mempercepat merekahnya bunga. Mereka berbicara tentang Dojo ini dan Dojo itu[6] demi mencari keuntungan. Ada yang pernah mengatakan ‘Strategi yang kurang matang adalah sumber kehancuran.’
Pendapat ini benar.
[1] Jalan memiliki arti khusus dalam konteks Taoisme. Dapat
ditafsirkan sebagai ‘metode.’
[2] Secara harafiah berarti ‘Dua Surga, Satu Aliran.’
[3] Dewa belas kasihan dalam Buddhisme.
[4] Sejenis puisi.
[5] Seorang kesatria diharapkan memiliki keterampilan baik bela diri maupun kesusastraan.
[6] Dojo adalah ruangan di mana sesuatu dipelajari.