Bab 1
Karena kecerobohan yang bersifat turun-menurun, aku selalu memainkan peran seorang pecundang sejak kanak-kanak. Ketika masih sekolah dasar, aku pernah terbaring seminggu penuh gara-gara terjun bebas dari lantai dua bangunan sekolah. Ada yang bertanya kenapa aku berbuat sekonyol itu. Tapi tak ada alasan khusus, kecuali bahwa ketika aku kebetulan melihat ke arah halaman dari lantai dua sekolah yang baru selesai dibangun itu, seorang teman sekelasku mengejek dan bilang, “Hei, mulut besar, aku bertaruh kau takkan berani loncat dari situ! Haha, dasar banci!” Maka aku pun terjun bebas. Penjaga sekolah terpaksa menggendong aku pulang, dan ketika ayah melihatku ia berseru mengejek, “ Bocah macam apa itu, loncat dari lantai dua saja bisa keseleo!”
“Lain kali saya takkan keseleo lagi,” jawabku.
Salah seorang kerabatku memberi hadiah pisau lipat. Kutunjukkan pisau yang permukaannya berkilau di bawah sinar matahari itu pada teman-temanku. Lalu salah satu dari mereka bilang kelihatannya pisau itu tajam tapi sebenarnya tumpul.
“Tumpul? Biar kutunjukkan ketajamannya!” sergahku.
“Potong jarimu sendiri dong!” tantangnya. Dan sambil bilang ‘siapa takut’ aku potong jempol tanganku secara menyilang. Untungnya pisau itu kecil dan tulang jempolku cukup keras. Jari jempolnya tetap utuh, hanya saja bekas lukanya akan tetap ada sampai aku mati.
Sekitar dua puluh langkah dari tepi timur kebun kami, ada petak sayur mayur yang luasnya lumayan, memanjang ke arah selatan, dan di tengahnya berdiri sebatang pohon kastanye yang paling kusayangi lebih dibanding apa pun. Di musim kastanye ranum, aku biasa menyelinap keluar rumah dari pintu belakang pagi-pagi sekali untuk memunguti kastanye yang rontok sepanjang malam, lalu memakannya di sekolah. Di sebelah barat petak sayur mayur, kebun kami berbatasan dengan kebun seorang pedagang loak bernama Yamashiro-ya. Lelaki ini punya anak, bocah laki-laki berumur 13 atau 14 tahun, Kantaro namanya. Kantaro kebetulan adalah seorang anak manja. Meski begitu ia punya cukup nyali untuk meloncati pagar kami dan mencuri kastanyeku.
Suatu malam aku bersembunyi di balik pintu pagar dan memergokinya saat sedang beraksi. Menyadari dirinya tertangkap basah, ia berusaha lolos dengan susah payah. Dia sekitar dua tahun lebih tua dariku, dan meski tidak tegas ia secara fisik lebih kuat. Selagi aku menyergapnya, ia menyeruduk dadaku dan kepalanya itu masuk ke dalam lengan bajuku. Karena ini menghalangi gerakan lenganku, aku berusaha melepaskannya, meski kepalanya justru masuk lebih dalam, dan karena hampir kehabisan napas ia pun menggigit kulit lenganku. Aku kesakitan. Kupepetkan dia ke pagar, dan dengan kaki yang lincah kubuat dia jatuh terkapar. Itu dilakukannya sambil merobohkan pagar, dan karena tempat dia jatuh adalah kebun milik Yamashiro-ya maka artinya dengan suara gedebuk ia masuk wilayah sendiri. Saat berguling ia menyobek lengan baju yang membungkus kepala itu, dan lenganku pun mendadak kembali bebas bergerak. Malam itu ketika ibuku bertamu ke rumah Yamashiro-ya untuk minta maaf, ia meminta kembali lengan baju itu.
Selain yang sudah tersebut di atas, aku masih melakukan banyak kenakalan lain. Bersama Kaneko si anak tukang kayu dan Kaku si anak pedagang ikan, aku pernah mengacak-acak kebun wortel si tua Mosaku. Tunas-tunas baru tumbuh dan petak kebun itu ditebari jerami agar tanaman tumbuh subur. Di atas jerami ini kami bergulat sepanjang siang, dan akibatnya semua tunas hancur lebur. Aku juga pernah menyumbat saluran air dari batang bambu yang mengaliri sawah Pak Furukawa, dan ia menyepak lalu mengejarku. Karena waktu itu aku belum tahu cara kerja irigasi, aku jejali batang bambu itu dengan batu dan ranting, lalu setelah puas melihat airnya berhenti mengalir, aku pun pulang untuk makan malam. Tiba-tiba Pak Furukawa datang sambil marah dan meneriakkan protes. Kukira urusannya beres setelah kami membayar sedikit ganti rugi rusaknya batang bambu itu.
Ayah sama sekali tak menyukaiku, dan ibu selalu membela abangku. Wajah abangku ini putih pucat, dan ia suka bermain peran dalam kabuki[1], terutama tokoh perempuan.
“Bocah ini takkan becus bikin apa pun,” kata ayah setiap kali ia melihatku.
“Ia begitu ceroboh sehingga aku kuatir soal masa depannya,” ibu sering berkata ini tentang diriku. Tepat sekali, aku tak pernah becus. Aku tepat seperti yang kau lihat. Tak heran masa depanku jadi sumber kekhawatiran ibu. Sejauh ini aku belum pernah masuk bui, tapi aku pantas untuk itu.
Dua atau tiga hari sebelum ibuku meninggal, aku punya ide untuk bersalto di dapur, dan tulang rusukku sakit membentur pojok tungku. Ibu sangat marah dan bilang padaku agar jangan pernah nongol lagi, jadi aku pergi ke rumah seorang kerabat. Selagi di sana, aku menerima kabar bahwa sakit ibuku telah menjadi sangat parah, dan meski bermacam usaha dilakukan akhirnya ia meninggal. Aku pulang sambil berpikir bahwa seandainya aku tahu kondisinya separah itu maka seharusnya aku memperbaiki kelakuanku. Lalu abangku menyebut aku kurang berbakti, dan bahwa aku telah menyebabkan beliau mati lebih awal. Hilang kendali, kutampar wajahnya, dan aku kena damprat ayahku.
Setelah meninggalnya ibuku, aku hidup bersama ayah dan abangku. Ayah tak melakukan apa pun, dan selalu bilang kepadaku bahwa aku anak tak berguna. Apa yang ia maksud dengan tak berguna, aku tak paham. Lucu sekali. Abangku giat belajar bahasa Inggris, bilang ia akan jadi pebisnis. Secara tabiat dia seperti perempuan, dan begitu ‘bawel’ sehingga kami berdua tak pernah akur, dan harus bertengkar sekali setiap sepuluh hari. Suatu hari ketika kami sedang bermain catur, ia membuat langkah yang sungguh menipu, lalu menggosok-gosok tangannya penuh kepuasan selagi aku menggeliat kebingungan. Aku begitu kesal sehingga kulemparkan salah satu pion ke atas dahinya, sampai mengeluarkan darah. Ia mengadukan itu pada ayah, yang kemudian bilang ia akan mencabut hak warisku.
Lalu kubiarkan diriku kehilangan harapan, dan membayangkan diriku benar-benar tak punya warisan. Tapi pelayan kami, Kiyo, yang telah mengabdi selama sepuluh tahun atau lebih, membelaku dan menangis-nangis memintakan maaf buatku, dan karena permohonannya inilah maka kemarahan ayahku pun luluh. Namun aku tidak menganggapnya sebagai seseorang yang perlu ditakuti; aku hanya merasa agak kasihan pada Kiyo. Aku pernah mendengar Kiyo berasal dari keluarga terhormat dan berkecukupan, tapi karena menjadi miskin di masa Restorasi maka ia terpaksa bekerja sebagai pelayan. Jadi ia kini sudah tua. Wanita tua ini—entah karena ikatan apa, aku tak tahu—amat sangat menyayangiku. Sungguh aneh! Ia hampir bisa dibilang mencintaiku secara buta—padahal aku membikin ibuku muak tiga hari menjelang kematiannya, dianggap sebagai anak tidak berguna oleh ayah, dan dianggap sebagai tukang bikin rusuh oleh tetangga. Mendapati bahwa Kiyo sangat menyayangiku seperti itu kupikir sungguh aneh, karena aku sudah lama berdamai dengan diri sendiri bahwa memang aku tidak disukai orang banyak, sehingga tak keberatan kalau orang memperlakukanku seperti sebatang kayu. Kadang di dapur, ketika sedang tak ada orang, ia akan memujiku sambil bilang bahwa aku jujur dan berwatak terpuji. Namun apa yang sebenarnya ia maksud, aku tak tahu. Kalau aku berwatak terpuji, aku membayangkan orang selain Kiyo pasti juga akan memperlakukanku dengan cara serupa. Maka ketika Kiyo bilang seperti itu padaku, aku biasa menjawab bahwa aku tidak suka pujian basabasi. Lalu ia akan berkata, “Justru karena tak suka pujian itu maka kubilang kau berwatak terpuji,” dan menatapku lama dengan kelembutan nan memikat. Ia tampaknya menciptakan ulang diriku dengan khayalannya sendiri, dan bangga dengan kenyataan itu. Aku bahkan merasa tertusuk dingin sampai sumsum tulang melihat perhatiannya yang terus-menerus padaku.
Sepeninggal ibuku, Kiyo tambah mencintaiku. Dalam pikirku yang polos, aku tak tahu kenapa ia menyukaiku seperti itu. Kadang aku pikir apa yang ia lakukan itu sia-sia, bahwa sebaiknya ia berhenti dalam sikapnya itu, karena itu tidak menguntungkannya. Tapi tetap saja ia mencintaiku. Kadang ia akan membelikan dengan uangnya sendiri kue-kue atau manisan buatku. Ketika malam menjadi dingin, ia akan secara diam-diam membelikanku tepung soba, lalu membawakan semangkuk bubur ke tempat tidurku; atau kadang ia bahkan akan membelikanku semangkuk ramen dari pedagang keliling. Bukan hanya soal makanan, ia juga murah hati dalam memberiku kaus kaki, pensil, buku tulis, dan lain-lain. Dan ia bahkan mencukupiku—setelah agak lebih besar—dengan uang saku sekitar tiga yen tanpa kuminta. Ia memberikannya atas niat baik sendiri, datang ke kamarku sambil bilang mungkin aku butuh uang saku. Tentu saja ini membikinku merasa malu, tapi karena ia mendesak maka aku terima. Kuakui uang itu membuatku senang. Kusimpan ia dalam sebuah kantung, kuselipkan ke dalam kimono. Tapi selagi aku berkeliaran di sekitar rumah, kantung itu jatuh ke dalam comberan. Dengan rasa putus asa, kubilang pada Kiyo uangnya hilang, lalu ia mengambil tongkat bambu dan bilang akan menemukan uang itu untukku. Beberapa saat kemudian kudengar suara kecipak air di sumur, lalu aku mendekat, dan kulihat Kiyo sedang mencuci kantung di ujung tongkat. Kubuka kantung itu dan mendapati uang tiga yen-nya sudah berubah warna menjadi kuning pucat dan gambarnya luntur. Kiyo mengeringkannya di dekat api dan bertanya apa sudah cukup. Kucium uang kertas itu dan bilang padanya ‘masih bau.’
“Berikan padaku, biar kuganti.” Ia ambil uang itu, lalu—aku tak tahu dari mana ia dapatkan—datang membawa uang tiga yen dalam kepingan perak. Aku sudah lupa kupakai buat membeli apa uang tiga yen itu. “Akan kukembalikan uangmu itu tak lama lagi,” kataku waktu itu, tapi tetap tak kukembalikan. Sekarang aku tak bisa membayarkannya meski aku bermaksud mengembalikan sepuluh kali lipat.
Ketika Kiyo memberiku sesuatu, itu selalu ia lakukan setelah ayah dan abangku pergi. Banyak hal yang tak kusukai, tapi yang paling kubenci adalah memanfaatkan orang lain demi kepentinganku sendiri. Benar bahwa aku tidak rukun dengan abangku, tapi bukan berarti aku menikmati pemberian makanan dan pensil warna itu tanpa dia tahu. Aku tanya Kiyo kenapa ia selalu memberiku bermacam barang tapi tak pernah memberikan apa pun pada abangku. Ia menjawab dengan wajah datar bahwa ayah akan membelikan barang-barang itu untuknya, jadi abangku tak butuh hadiah darinya. Ini tidak cukup adil. Ayahku memang keras, tapi aku yakin ia tidak suka Kiyo pilih kasih. Namun bagi Kiyo ayahku pun pilih kasih. Tak ragu lagi Kiyo menyayangiku secara buta. Katanya ia dari keluarga berkecukupan, tapi ia sama sekali tak terdidik, jadi apa yang bisa kulakukan? Rasa sayang secara buta itu akan membawa orang ke titik ekstrem. Ia sepenuhnya yakin aku akan mendapatkan posisi tinggi di masyarakat dan menjadi terkenal. Di saat bersamaan, ia memandang bahwa meski abangku belajar sangat rajin namun itu hanya akan membuat kulitnya jadi putih, dan ia tidak akan mencapai apa pun di masa depan. Kuberi tahu kau, tak ada yang bisa mengalahkan wanita tua ini dalam soal keyakinan macam begini. Ia sepenuhnya yakin bahwa siapa pun yang ia sukai akan menjadi orang terkenal, sedangkan yang ia benci akan mengalami yang sebaliknya. Aku waktu itu belum punya tujuan tertentu dalam hidup. Tapi keyakinan Kiyo bahwa aku akan menjadi orang hebat membuatku berspekulasi bahwa bisa jadi suatu saat aku akan jadi orang hebat. Alangkah absurd bagiku kini mengenangkan hari-hari itu. Aku pernah bertanya padanya akan jadi pria macam apakah diriku ini, tapi ia tampaknya tak punya bayangan yang jelas tentang hal itu. Hanya saja ia yakin bahwa aku akan tinggal di rumah beraula luas, dan mengendarai angkong pribadi.
Dan tampaknya Kiyo telah memutuskan bahwa ia akan hidup bersamaku kalau aku sudah mandiri dan punya rumah sendiri. “Biarkan aku hidup bersamamu,” katanya berulang kali. Merasa bahwa pada akhirnya aku harus punya rumah sendiri, aku sebisa mungkin menjawab ‘ya’. Sambil lalu, wanita ini bisa dibilang sangat imajinatif. Ia menanyaiku tempat manakah yang kusuka—Kojimachi ataukah Azabu?—dan menyarankan agar aku memasang ayunan di kebun kami, agar aku membikin satu ruangan bergaya Eropa, atau melontarkan rencana apa pun sesuai khayalannya. Aku sama sekali belum memikirkan urusan rumah, jadi baik gaya Jepang ataupun Eropa tak ada bedanya buatku, dan kubilang padanya soal ini. Lalu ia memujiku, bilang aku tidak serakah dan berhati-hati. Apa pun yang kukatakan, ia selalu memujiku.
Sepeninggal ibu, aku hidup dengan cara ini selama lima atau enam tahun. Dari ayah aku mendapatkan tendangan, aku bertengkar dengan abang, dan mendapatkan permen dan pujian dari Kiyo. Aku tak mengharapkan apa pun lagi; segala sesuatu sudah cukup bagiku, dan kubayangkan semua bocah lain menjalani kehidupan yang sama. Namun Kiyo sering bilang padaku bahwa aku perlu dikasihani, karena aku anak yang malang, sehingga kupikir tampaknya memang benar apa katanya. Tapi selain itu tak ada yang menyusahkanku kecuali bahwa ayah tak memberiku uang saku.
Tanggal enam Januari pada tahun setelah ibuku meninggal, ayah kena stroke dan meninggal. Bulan April tahun itu pula aku lulus SMP, dan dua bulan kemudian abangku lulus dari sebuah kampus bisnis. Ia segera mendapatkan pekerjaan di cabang sebuah perusahaan di Kyushu dan harus pindah ke sana, sementara aku harus tetap di Tokyo dan meneruskan pendidikan. Ia mengusulkan agar rumah kami dijual saja, beserta segala aset, dan aku bilang ‘terserah’. Aku juga tak ingin menggantungkan diri padanya. Bahkan seandainya ia mengurusku, aku yakin ia akan memulai sesuai yang akhirnya akan membuat kami cekcok, karena alasan paling sepele. Karena kalau aku menerima bantuannya maka itu artinya aku membungkuk kepadanya, sehingga aku bertekad akan hidup sendiri meski harus jadi loper susu. Tak lama kemudian ia mendatangkan seorang agen barang loakan dan menjual segala macam perabot yang telah diwariskan turun-temurun dalam keluarga kami dengan harga yang amat sangat murah. Rumah dan tanah kami dijual melalui perantara yang menghubungkan kami dengan seorang lelaki kaya. Tampaknya untuk transaksi ini ia mendapatkan uang yang banyak, tapi aku tak tahu soal detailnya. Aku sudah pindah sebulan sebelumnya, dan menyewa sebuah ruangan di Kanda untuk sementara sambil menyiapkan langkah berikutnya. Kiyo sangat sedih melihat rumah yang telah ia tinggali bertahun-tahun itu berganti kepemilikan, tapi ia tak bisa berbuat apa pun.
“Seandainya kau sudah agak lebih besar, kau bisa mewarisi rumah ini,” ia pernah katakan ini dengan bersungguh-sungguh.
Jika saja aku bisa mewarisi rumah ini setelah agak lebih besar, seharusnya aku tetap berhak mendapatkannya kemudian. Wanita itu tidak paham urusan dunia, dan percaya ini hanyalah karena aku belum cukup usia.
Maka aku berpisah dari abangku, tapi urusan bagaimana Kiyo harus diperlakukan bukanlah hal mudah. Abangku, tentu saja, tak bisa membawanya serta, lagipula Kiyo tak punya minat untuk bergelantungan padanya sampai ke Kyushu; sementara aku berada di sebuah kamar sempit dan mungkin sewaktu-waktu harus pindah. Tak ada jalan keluar, jadi kutanya dia apakah ingin bekerja di suatu tempat. Akhirnya ia menjawab dengan pasti bahwa ia akan pergi ke rumah keponakannya dan menunggu sampai aku punya rumah dan menikah. Keponakannya ini adalah pegawai Kantor Pengadilan, berpenghasilan lebih dari cukup, dan sudah berkali-kali meminta Kiyo agar bergabung bersamanya, tapi sejauh ini selalu ia tolak karena telanjur nyaman hidup bersama kami, meski hanya sebagai pelayan. Tapi kini tentulah ia berpikir lebih baik hidup bersama si keponakan daripada memulai hidup baru di rumah seorang tak dikenal. Meski begitu, ia menasihatiku agar segera punya rumah, atau menikah, sehingga ia bisa datang dan membantuku dalam urusan rumah tangga. Aku percaya ia lebih suka aku dibanding kerabatnya sendiri.
Abangku datang kepadaku dua hari menjelang keberangkatan ke Kyushu, dan memberiku uang 600 yen sambil bilang uang itu bisa kupakai jadi modal usaha, atau meneruskan pendidikan, atau membelanjakannya sesuka hati, tapi sesudah itu ia tak bisa memberiku lagi. Apa? Cuma 600 yen? Tapi kupikir meski aku bisa hidup tanpa uang itu namun kebaikan hatinya itu lebih daripada biasanya sehingga aku pun menerima pemberian itu dan berterima kasih. Lalu ia keluarkan uang 50 yen, memintaku agar memberikannya kepada Kiyo kalau lain kali aku ketemu dia. Dua hari kemudian aku melepas kepergiannya di Stasiun Shimbashi, dan tidak pernah berjumpa lagi dengannya sampai sekarang.
Berbaring di ranjangku, kutimbang-timbang cara terbaik untuk memanfaatkan uang 600 yen itu. Usaha bisnis terlalu berisiko, lagipula itu bukan panggilan hatiku. Dengan uang 600 yen orang tak bisa memulai sebuah usaha yang layak diperhitungkan. Andaipun aku bisa melakukannya, aku sama sekali tidak terpelajar sehingga bisa diperdaya orang. Lebih baik tinggalkan urusan investasi, lalu memanfaatkan uang itu untuk pendidikan. Setelah membagi uang menjadi tiga bagian, maka dengan membelanjakan uang 200 yen setahun aku bisa belajar selama tiga tahun. Kalau aku terus gigih memusatkan diri pada studiku selama tiga tahun itu, aku akan bisa menguasai sesuatu. Lalu pertanyaan selanjutnya adalah sekolah mana yang akan kumasuki. Secara mendasar, tak ada bidang studi yang menarik minatku. Bidang bahasa atau sastra, nol! Puisi modern aku tak paham; aku tak bisa memahami satu baris puisi dari keseluruhan dua puluh. Karena aku membenci segala jenis studi, maka semuanya sama saja bagiku. Sambil berpikir begini, aku kebetulan berjalan melintasi Sekolah Tinggi Fisika, dan melihat pengumuman adanya pendaftaran siswa baru. Lalu kupikir ini pasti bukan sekadar kebetulan, sehingga aku mengisi formulir pendaftaran masuk kuliah. Memikirkan hal itu sekarang, ini adalah pilihan salah, disebabkan karena aku memang orang ceroboh.
Selama tiga tahun aku mempelajari fisika serajin mahasiswa pada umumnya, tapi karena tak cukup cerdas maka kau bisa menemukan namaku dengan cara melihat daftarnya dari bawah. Aneh, bukan, bahwa ketika tiga tahun itu habis maka aku lulus? Aku sendiri tak habis pikir, tapi karena tak ada gunanya mengeluh maka aku pun menerima ijazahku tanpa protes.
Delapan hari setelah kelulusan, kepala sekolah tinggi memanggilku agar menghadap. Sambil berangkat, aku bertanya-tanya ada urusan apa. Sebuah sekolah menengah di Shikoku membutuhkan guru matematika dengan bayaran empat puluh yen sebulan, dan ia menyelidik apakah aku berminat. Aku telah belajar selama tiga tahun, tapi sejujurnya aku tak tertarik mengajar atau pergi ke pelosok. Tapi tak ada peluang apa pun di hadapanku, kecuali menjadi pengajar, jadi kuterima saja tawaran itu. Ini juga termasuk salah langkah turun temurun.
Kuterima posisi itu, jadi aku harus berangkat. Tiga tahun sekolahku berlalu di sebuah ruangan sempit tertutup, tanpa aku mengalami peristiwa gawat. Itu adalah masa yang lumayan santai dalam hidupku. Tapi kini aku harus berkemas. Aku pernah pergi piknik ke Kamakura waktu di sekolah dasar bersama teman-teman sekelas, dan itu adalah peristiwa pertama sekaligus terakhir—sejauh ini—aku melangkah keluar dari kota Tokyo. Kali ini aku harus pergi jauh sekali, amat jauh dibanding Kamakura. Kota tujuanku berada di pesisir, dan luasnya hanya seujung jarum, jika dilihat di peta. Aku tidak punya gambaran seperti apakah kota itu dan bagaimana penduduknya. Tapi itu tidak masalah. Itu tak perlu dikhawatirkan. Aku cukup berangkat, dan inilah masalahku sekarang.
Karena rumahku tak ada lagi, aku sesekali pergi mengunjungi Kiyo di rumah keponakannya. Keponakannya sangatlah ramah, dan setiap kali aku hendak menemui Kiyo di sana lelaki itu menyambut baik kalau kebetulan ia sedang berada di rumah. Kiyo akan memujiku setinggi langit di hadapannya, dan ia bahkan mengatakan bahwa aku akan membeli rumah besar di Kojimachi dan mendapat pekerjaan mapan sebagai pegawai segera setelah lulus sekolah. Karena itu semua ia katakan sekehendak hati, aku jadi tak tahu harus bicara apa, dan yang bisa kulakukan hanyalah duduk dengan wajah merah. Dan bukan hanya sekali dua kali saja itu terjadi. Kadang ia bahkan bicara tentang aku ketika masih sering mengompol, dan itu cukup untuk membuatku menggeliat-geliat. Aku tak tahu pikiran si keponakan mendengar cerita Kiyo. Memang dia wanita tipe kuno, dan tampak sebagaimana orang zaman feodal: memandang keponakannya sama-sama di bawah kuasaku sebagaimana dirinya.
Setelah posisi baruku tercapai, aku memanggilnya tiga hari sebelum berangkat. Ia terbaring sakit di ranjang, tapi ketika melihatku ia langsung terbangun, bertanya, “Botchan, kapan kau akan mulai punya rumah?”
Ia jelas berpikir bahwa begitu aku selesai sekolah, uang akan datang dengan sendirinya. Lebih konyol lagi adalah bagaimana ia memanggilku Botchan, meski dalam pikirannya aku sudah bukan bocah lagi. Kubilang saja padanya, punya rumah bukan urusan mudah. Ketika kubilang aku harus pindah ke pelosok, ia sangat kecewa, lalu mengelus-elus rambut ubannya di bagian pelipis sambil melamun. Aku merasa kasihan padanya, dan berkata dengan nada menghibur: “Aku akan pergi, tapi nanti segera kembali. Liburan musim panas tahun depan, aku pasti akan pulang.” Tapi karena ia masih tampak belum puas, aku menambahkan, “Akan kubawakan oleh-oleh. Kau minta apa?”
Ia bilang ingin makan sasa-ame dari provinsi Echigo. Aku belum pernah mendengar makanan bernama sasa-ame. Lagipula, Echigo arahnya beda dengan daerah tujuanku. Ketika kubilang begitu padanya, ia bertanya, “Memangnya ke mana arah tujuanmu?” Kujawab aku menuju ke barat. Lalu ia bertanya, “apakah arahnya beda dengan Hakone?” Aku tak tahu bagaimana harus menjelaskan padanya.
Di hari keberangkatanku, ia datang ke kamarku dan membantuku berkemas. Ia memberiku tas dari bahan kain tebal, berisi sikat gigi, bubuk sikat[2], dan handuk, semua—katanya—dibeli saat ia mampir di sebuah toko kelontong. Kubilang padanya itu tidak perlu, tapi ia tak mau pemberiannya ditolak. Kami naik dua angkong menuju stasiun, bersisian. Setelah aku naik kereta, ia berdiri di peron sambil memandangku melalui jendela.
“Kita mungkin tidak akan pernah berjumpa lagi. Jaga dirimu baik-baik.”
Kedua matanya penuh airmata. Aku tidak menangis, tapi nyaris. Ketika kereta mulai agak jauh, aku pikir sudah waktunya aku melihat ke luar jendela. Ia masih di sana, terlihat sangat kecil.
[1] Teater tradisional Jepang.
[2] Waktu cerita ini berlangsung, pasta gigi belum ditemukan.