Amoral Bab 1

Pengantar

Kupersembahkan buku ini sebagaimana adanya. Buku ini adalah buah yang penuh dengan abu pahit; tak ubahnya tanaman raksasa di gurun yang tumbuh di tempat-​tempat hangus dan hanya menimbulkan rasa haus yang lebih mengerikan, tetapi ketika berada di atas pasir keemasan keindahannya tak bisa ditampik juga.

Katakanlah aku ingin menjadikan tokoh utamaku sebagai pedoman, harus diakui bahwa keberhasilanku sangatlah kecil; segelintir orang yang sudi memberikan perhatian pada petualangan Michel semata-​mata mereka lakukan untuk mempermalukannya dengan segenap kekuasaan dan kebaikan hati mereka. Tidaklah sia-​sia aku menghiasi Marceline dengan begitu banyak kebajikan; orang-​orang tidak akan sanggup memaafkan Michel karena tidak lebih memilih perempuan itu daripada dirinya sendiri.

Andai aku hendak menyajikan buku ini sebagai upaya penghakiman terhadap Michel, aku tidak berhasil juga, sebab tak seorang pun mengucapkan terima kasih padaku atas kemarahan yang mereka rasakan terhadap tokoh utamaku; kemarahan ini seakan hanya diriku seorang yang merasakan; dari Michel meluap-​luap ke dalam diriku sendiri; agaknya aku ada di garis batas di mana orang-​orang bisa mengira akulah Michel.

Namun aku juga tidak berniat membuat penghakiman dalam buku ini, melainkan permintaan maaf, dan sebisa mungkin menahan diri untuk tidak menghakimi. Masyarakat dewasa ini tidak sudi lagi memaklumi pengarang, yang setelah menggambarkan aksi-​aksinya, tidak mampu menyatakan dirinya mendukung atau menentang; terlebih lagi, sepanjang drama bergulir mereka ingin pengarang memihak, dengan terangan-​terangan bersuara mendukung Alceste atau Philinte, mendukung Hamlet atau Ophelia, mendukung Faust atau Marguerite, mendukung Adam atau Yehuwa. Aku tentu saja tidak bermaksud menyatakan bahwa netralitas (sempat aku ingin menuliskan: “keragu-​raguan”) adalah tanda mutlak sebuah pikiran yang hebat; sebaliknya aku percaya bahwa banyak pemikir besar yang sangat enggan … menarik kesimpulan—dan mampu mengemukakan suatu masalah dengan baik tidak berarti bahwa masalah tersebut sudah terselesaikan terlebih dahulu.

Dengan enggan kugunakan kata “masalah” di sini. Sejujurnya, dalam seni, tidak ada masalah—yang mana karya seni bukanlah sumber solusi yang memadai.

Jikalau yang orang-​orang maksud dengan “masalah” adalah “drama”, menurutku drama yang diceritakan dalam buku ini, yang dimainkan melalui jiwa tokoh utamaku, maka terlalu umum untuk tetap dibatasi dalam petualangan tunggalnya. Aku tidak mengklaim sebagai penemu “masalah” ini; ia sudah ada sebelum bukuku; apakah Michel menang atau kalah, “masalah” ini tetap ada, dan penulis telah mengelak dari berpihak pada kemenangan atau kekalahan dengan begitu saja.

Andai sejumlah pemikir terkemuka menyepakati bahwa drama ini hanyalah penjabaran sebuah kasus yang aneh, dan dalam diri tokoh utamanya hanyalah ada sosok yang sakit; jika mereka tidak menyadari bahwa beberapa gagasan yang sangat mendesak dan kepentingan yang sangat umum bisa saja terkandung di dalamnya—kesalahannya bukan terletak pada gagasan-​gagasan ini atau pada drama ini, tetapi pada pengarangnya, dan yang kumaksud: pada ketidaktelatenannya—meskipun dia telah menaruh semua hasratnya, semua airmatanya dan semua perhatiannya ke dalam buku ini. Namun ketertarikan yang paling hakiki terhadap sebuah karya dan ketertarikan masyarakat yang temporal adalah dua hal yang sangat berbeda. Aku yakin kita bisa, tanpa perlu banyak kesombongan, lebih memilih mengambil risiko untuk tidak mencoba mendapatkan perhatian-​perhatian instan pada hal-​hal yang menarik—kita bahkan bisa lebih memilih melakukan ini daripada terbuai oleh kejayaan sesaat di tengah masyarakat yang penuh omong kosong.

Lagipula, aku tidak berusaha membuktikan apa pun, aku hanya ingin melukis dengan baik dan memberikan pencahayaan yang bagus dalam kanvasku.

 

Pembuka

(Kepada Tuan D. R., Presiden Dewan)

 

Sidi B. M., 30 Juli 189–

Ya, seperti yang sudah engkau duga, saudaraku: Michel bicara kepada kami. Inilah kisah yang dia ceritakan pada kami. Engkau ingin mengetahuinya; aku sudah berjanji kepadamu; tapi pada saat aku hendak mengirimkan, aku ragu-​ragu lagi, dan semakin aku membaca ulang, semakin terasa buruk bagiku. Ah! Kira-​kira apa pendapatmu tentang teman kita itu? Selain itu, apa pendapatku tentang dirinya … ? Apakah kita hanya akan mengecamnya, menyangkal bahwa kita bisa saja menarik hal-​hal yang baik dan bijak dari sesuatu yang begitu biadab?—Tapi sekarang ini, aku khawatir, tidak sedikit orang akan dengan lantang mengenali sosok mereka sendiri dalam cerita ini. Bisakah kita menemukan suatu cara untuk membuat semua kecerdasan dan kekuatan ini berguna—atau haruskah kita menganggap segalanya terlarang?

Dengan cara bagaimana Michel bisa berguna bagi Masyarakat? Aku akui aku sendiri tidak tahu … Dia perlu melakukan sesuatu. Kedudukan tinggi berkat jasa-​jasa besarmu, segala pengaruh yang engkau miliki, apakah itu semua cukup untuk membantunya?—Bergeraklah cepat. Michel masih bisa berguna: dia masih berbakti; tapi sebentar lagi baktinya itu hanya untuk dirinya sendiri.

Aku menulis kepadamu di bawah naungan biru tak bernoda; selama dua belas hari Denis, Daniel dan diriku berada di sini, tidak ada secorak pun awan, tidak sedikit pun sinar mentari menyusut. Michel mengatakan langit sudah sedemikian murni selama dua bulan.

Aku tidak merasa sedih atau gembira; udara di sini memenuhi dirimu dengan keagungan yang sangat samar-​samar dan membuatmu mengalami keadaan yang tampaknya jauh dari kegembiraan dan bukan pula kesedihan; mungkin inilah kebahagiaan.

Kami tinggal bersama Michel; kami tidak ingin meninggalkannya; engkau akan paham kenapa jika dirimu bersedia membaca halaman-​halaman ini; maka, di sini, di rumahnya, kami akan menunggu tanggapanmu; jangan buang-​buang waktu.

Engkau tahu bagaimana persahabatan di masa sekolah, yang sudah begitu kuat, dan terus berkembang setiap tahunnya, mengikat Michel dengan Denis, dengan Daniel, dengan diriku. Di antara kami berempat, semacam perjanjian telah disepakati: jika ada panggilan sekecil apa pun dari salah satu dari kami, tiga orang lainnya harus merespons. Jadi ketika aku menerima sinyal peringatan misterius dari Michel, aku segera memperingatkan Daniel dan Denis, dan, meninggalkan segalanya, kami bertiga pun datang.

Sudah tiga tahun lamanya kami tidak bertemu Michel. Dia sudah menikah, membawa istrinya melancong, dan pada kunjungan terakhirnya ke Paris, Denis berada di Yunani, Daniel di Rusia, aku, kamu tahu, bersama ayah kita yang tengah sakit. Namun kami bukannya dibiarkan tanpa kabar; tapi apa yang diceritakan oleh Silas dan Will, yang bersama dengannya saat itu, hanya bisa membuat kami tercengang. Suatu perubahan telah terjadi pada dirinya, sesuatu yang belum dapat kami pahami. Dia bukan lagi seorang Puritan yang sangat terpelajar seperti di masa silam, dengan gerak tubuh yang kikuk akibat keseriusan dirinya, dengan tatapan mata yang begitu cemerlang sehingga di hadapan mereka kata-​kata kami yang terlalu bebas seringkali terhenti. Begitulah dirinya dulu … tapi kenapa harus memberitahumu apa yang akan ditampilkan dalam kisah-​kisahnya?

Oleh sebab itu, kusampaikan kisah ini kepadamu, sebagaimana yang didengar Denis, Daniel, dan diriku: Michel menceritakannya di teras rumahnya, di mana di sampingnya kami berbaring dalam bayang-​bayang dan di bawah cahaya bintang. Di akhir cerita, kami melihat fajar menyingsing di dataran. Rumah Michel menghadap ke bawah, ke desa yang jaraknya tidak jauh. Di bawah terik, dan dengan semua hasil panen yang telah dipangkas, dataran itu menyerupai gurun.

Rumah Michel, meski miskin dan aneh, tetap menawan. Di musim dingin kami akan menderita kedinginan, sebab tidak ada kaca pada jendela; atau lebih tepatnya tidak ada jendela sama sekali, melainkan lubang-​lubang besar di dinding. Cuaca hari itu sangat bagus sehingga kami pun tidur di luar di atas tikar.

Perlu kutambahkan juga bahwa perjalanan kami menyenangkan. Kami tiba di tempat ini pada malam hari, kelelahan karena panas, dimabuk oleh hal-​hal baru, kami baru beristirahat di Aljir setelah perjalanan tanpa henti, lalu di Konstantin. Dari Konstantin, kami berganti kereta menuju Sidi B. M. Di mana pedati kecil sudah menunggu. Jalur berakhir pada satu titik jauh dari desa. Suatu desa yang bertengger di atas batu seperti beberapa desa di Umbria. Kami lanjut berjalan kaki; dua bagal mengangkut koper kami. Jika engkau datang melalui jalur ini, rumah Michel adalah yang pertama terlihat di desa tersebut. Sebuah taman yang dikelilingi oleh tembok rendah, atau lebih tepatnya pagar, mengelilingi rumah tersebut, tiga pohon delima yang bungkuk dan pohon oleander yang megah tumbuh di dalamnya. Seorang bocah Kabyle tengah berada di sana, dan segera melarikan diri, memanjat tembok secepat kilat begitu kami mendekat.

Michel menerima kami tanpa menunjukkan kegembiraan apa pun; sangat sederhana, dia sepertinya takut akan manifestasi kelembutan berbentuk apa pun; tapi ketika di ambang pintu, pertama-​tama, dia mengecup pipi kami bertiga dengan serius.

Sampai malam kami tidak bertukar lebih dari sepuluh kata. Makan malam yang hampir seluruhnya bersahaja telah disiapkan di ruang tamu yang dekorasi mewahnya membuat kami takjub, namun kisah Michel akan menjelaskan semuanya kepadamu. Kemudian dia menyajikan kami kopi yang dia buat sendiri. Kemudian kami naik ke teras di mana pemandangan tak terhingga terbentang, dan kami bertiga, bak tiga teman Nabi Ayub, menunggu, mengagumi hari yang tiba-​tiba menurun di dataran yang terbakar.

Saat hari sudah malam, Michel berkata:

 

Bagian Pertama

I

Teman-​temanku yang terkasih, aku tahu kalian setia. Segera saja kalian penuhi panggilanku, sebagaimana aku akan memenuhi panggilan kalian. Namun tiga tahun berlalu sejak terakhir kali kalian melihatku. Semoga persahabatan kalian, yang telah terbukti kokoh di hadapan ketidakhadiran, juga terbukti kokoh di hadapan cerita yang hendak kututurkan ini. Bahwa aku memanggil dan meminta kalian datang ke rumahku yang jauh ini, itu semata-​mata hanya untuk melihat kalian dan supaya kalian bisa mendengarku. Aku tidak menginginkan bantuan apa pun selain ini: untuk berbicara dengan kalian. Karena aku berada pada titik tertentu dalam hidup di mana aku tidak bisa pergi lebih jauh lagi. Namun ini bukan akibat kelelahan. Tapi aku tidak mengerti lagi. Aku perlu … Aku perlu bicara, aku perlu memberi tahu kalian. Tahu bagaimana cara membebaskan diri sendiri bukanlah apa-​apa; bagian sulitnya adalah mengetahui apa yang kemudian akan dilakukan dengan kebebasan tersebut. Izinkan aku bicara tentang diriku sendiri; akan kuceritakan pada kalian tentang hidupku, apa adanya, tanpa kerendahan maupun ketinggian hati, lebih apa adanya daripada ketika aku bicara pada diriku sendiri. Dengarkanlah aku:

Terakhir kali kita bertemu, seingatku, di dekat Angers, di gereja kecil di pedesaan tempat pernikahanku dirayakan. Orang yang hadir sedikit, dan kedekatan teman-​teman membuat perayaan biasa ini menjadi upacara yang mengharukan. Bagiku, orang-​orang terlihat tersentuh, dan itu juga menyentuh diriku sendiri. Meninggalkan gereja, kalian bergabung bersama kami di rumah perempuan yang menjadi istriku, jamuan makan singkat, tanpa tawa atau teriakan; mobil sewaan membawa kami berdua, sesuai tradisi yang senantiasa kita kaitkan dengan ide pernikahan, imaji yang sebanding dengan peron keberangkatan.

Aku hanya sedikit mengenal istriku dan berpikir, dengan cara yang tak dibuat menderita, dia pun tidak mengenalku lebih baik. Aku menikahinya tanpa cinta, utamanya untuk menyenangkan ayahku, yang tengah sekarat dan khawatir akan meninggalkanku sendirian. Aku sangat menyayangi ayahku; sibuk oleh penderitaannya, aku hanya berpikir, di saat-​saat menyedihkan ini, untuk membuat akhir hidupnya lebih manis; jadi aku menyerahkan hidupku tanpa tahu akan seperti apa jadinya. Pertunangan kami di samping tempat tidur orang yang sekarat itu tanpa tawa, namun bukan berarti tanpa kegembiraan yang tulus, begitu besar kedamaian yang didapatkan ayahku. Kalaupun aku tidak mencintai, kataku, tunanganku, setidaknya aku tidak pernah mencintai wanita lain. Menurutku, ini sudah cukup untuk menjamin kebahagiaan kami; dan, masih mengabaikan diriku sendiri, kupikir aku siap memberikan segalanya pada perempuan itu. Dia juga seorang yatim piatu dan tinggal bersama kedua saudara laki-​lakinya. Marceline baru berusia dua puluh tahun; aku empat tahun lebih tua darinya.

Kukatakan bahwa aku tidak mencintainya—setidaknya aku tidak merasakan apa pun yang kita sebut cinta padanya, tetapi aku mencintainya, kalau kata itu mencangkup perasaan lembut, semacam rasa kasihan, dan sebuah rasa menghargai yang cukup besar. Dia Katolik dan aku Protestan … tapi kupikir aku jauh sekali dari seorang Protestan! Sang pendeta menerimaku; aku pun menerima sang pendeta: segalanya berjalan lancar.

Ayahku, seperti yang orang-​orang katakan, adalah seorang “ateis”—setidaknya menurutku pun demikian, karena, melalui kerendahan hati yang tak tertaklukkan yang kuyakini juga dimilikinya, aku tidak pernah bisa bicara tentang iman dengannya. Ajaran Huguenot yang serius yang diturunkan oleh ibuku, bersama imaji-​imajinya yang indah, perlahan-​lahan memudar dari hatiku; kalian tahu bahwa aku masih begitu muda ketika kehilangan dirinya. Ketika itu aku belum bisa meraba-​raba seberapa besar moralitas masa kanak-​kanak awal ini akan memengaruhi kita, atau meninggalkan kerut-​kerut macam apa dalam pikiran kita. Sikap keras semacam ini diwariskan oleh ibu dengan menanamkan prinsip-​prinsipnya dalam diriku, dan aku pun menerapkan seutuhnya dalam pendidikanku. Aku berumur lima belas tahun ketika aku kehilangan ibuku; ayah merawatku, mengelilingiku dan mencurahkan hasratnya untuk mengajariku. Segera saja aku menguasai bahasa Latin dan Yunani dengan baik; bersamanya aku dengan cepat belajar bahasa Ibrani, Sanskerta, dan akhirnya Persia dan Arab. Sekitar usia dua puluh tahun, aku begitu bersemangat sehingga dia berani melibatkanku dalam pekerjaannya. Dia senang berpura-​pura setara denganku dan ingin memberiku bukti bahwa dia benar. Esai tentang Kultus Frigia, yang muncul dengan namanya, adalah karyaku; dia membacanya dengan cepat; tidak ada karya yang dia tulis yang membuatnya mendapatkan begitu banyak pujian selain itu. Dia senang. Sementara itu, aku bingung mendapati penipuan tersebut berhasil. Tapi reputasiku pun kemudian muncul. Para cendekiawan paling terpelajar memperlakukanku sebagai rekan mereka. Kini aku tersenyum atas semua penghargaan yang diberikan kepadaku … Maka aku pun mencapai usia dua puluh lima tahun, hampir tidak melihat apa pun kecuali reruntuhan atau buku, dan tidak mengetahui apa pun tentang kehidupan; kucurahkan semangat yang luar biasa untuk pekerjaan-​pekerjaanku. Aku menyayangi beberapa teman (kalian termasuk di antara mereka), tapi yang kusayangi bukanlah teman-​temanku, melainkan persahabatan itu sendiri; pengabdianku pada mereka sangat besar, tapi itu demi kebutuhanku akan pikiran-​pikiran tinggi; kusimpan baik-​baik segala perasaan menyenangkan dalam diriku. Selebihnya, aku tidak tahu apa-​apa tentang teman-​temanku, sebagaimana aku tidak tahu apa-​apa tentang diriku sendiri. Tidak sedikit pun terpikir olehku bahwa aku bisa saja menjalani kehidupan yang berbeda atau orang bisa hidup dengan cara yang berbeda.

Bagi ayah dan aku, hal-​hal sederhana sudah cukup memuaskan; kami berdua membelanjakan sedikit mungkin uang sehingga aku pun mencapai usia dua puluh lima tanpa mengetahui bahwa kami kaya. Sempat kubayangkan, tanpa betul-​betul sering memikirkannya, bahwa kami cuma punya uang pas-​pasan untuk hidup; dan aku telah mendapatkan, dari ayahku, kebiasaan menghemat-​hemat sehingga aku hampir merasa malu ketika menyadari bahwa kami memiliki lebih banyak lagi. Aku begitu buta akan hal ini sampai-​sampai ketika ayahku meninggal, dan akulah pewaris tunggalnya, aku pun gagal menyadari seberlimpah apa kekayaanku, barulah ketika perjanjian pernikahan kami dilakukan aku paham, dan pada saat yang sama aku menyadari bahwa Marceline hampir tidak menyumbang apa-​apa.

Satu hal lain yang tidak kuketahui, bahkan hal yang lebih penting, adalah begitu rentannya kesehatan tubuhku. Bagaimana aku bisa tahu, tanpa mengujinya? Aku diserang pilek dari waktu ke waktu, dan mengobatinya secara serampangan. Kehidupan yang terlalu tenang yang kujalani melemahkan diriku dan sekaligus juga melindungiku. Sebaliknya, Marceline tampak kuat—dia bahkan lebih kuat dari diriku, fakta ini segera saja kami sadari.

* * *

Pada malam pernikahan, kami tidur di apartemenku di Paris, di mana dua kamar telah disiapkan untuk kami. Kami tinggal tidak terlalu lama di Paris, cukup untuk berbelanja kebutuhan pokok, lalu pergi ke Marseille, dari sana kami segera berangkat ke Tunis.

Begitu banyak urusan yang mendesak, kejadian-​kejadian belakangan yang datang terlalu cepat membuat pening, emosi membuncah-​buncah akan pernikahan yang datang segera setelah perasaan duka yang lebih nyata, semua itu membuatku lelah. Hanya di atas kapal aku bisa merasakan kelelahanku. Sebelum sampai titik itu, setiap pekerjaanku hanya meningkatkan lelah, mengalihkan perhatianku dari kondisi tersebut. Waktu senggang terpaksa dijalani di kapal akhirnya membuatku bisa berpikir lagi. Rasa-​rasanya, ini kali pertamanya kudapatkan.

Juga untuk pertama kalinya aku setuju untuk lepas dari pekerjaanku untuk waktu yang lama. Sampai saat itu, aku hanya mengambil liburan singkat. Perjalanan ke Spanyol bersama ayahku, yang kulakukan tak lama setelah kematian ibuku, kenyataannya berlangsung lebih dari sebulan lamanya; satu lagi, di Jerman, enam minggu; yang lain lagi—tetapi itu semua adalah perjalanan untuk penelitian; perhatian ayahku dengan ketat tidak pernah teralihkan dari proyek penelitiannya; segera setelah aku berhenti mengikutinya ke sana sini, aku pun memulai kebiasaan membaca. Namun, baru saja kami meninggalkan Marseille, berbagai kenangan tentang Granada dan Sevilla muncul kembali di benakku, kenangan langit yang lebih cerah, bayang-​bayang yang lebih kokoh, berbagai pesta, tawa, dan nyanyian. Inilah yang akan kami temukan, pikirku. Aku naik ke dek kapal dan menyaksikan Marseille menjauh.

Lalu, tiba-​tiba aku merasa telah sedikit mengabaikan Marceline.

Dia duduk di depan; aku mendekat, dan, untuk pertama kalinya, sungguh-​sungguh memandangnya.

Marceline sangat cantik. Kalian tahu itu; kalian pernah melihatnya. Aku menyalahkan diri sendiri karena tidak menyadarinya dari awal. Aku telanjur terlalu mengenalnya untuk mampu melihatnya dengan cara yang lebih segar; keluarga kami selalu terhubung; aku menyaksikannya tumbuh dewasa; aku sudah terbiasa dengan keanggunannya … Untuk pertama kalinya aku terkejut, keanggunan itu terasa begitu besar bagiku.

Dari dalam topi jerami hitam sederhananya kerudung besar dibiarkan mengambang di udara; dia berambut pirang, tapi tidak tampak lembut. Rok dan korset berbahan kain wol Skotlandia yang serupa yang telah kami pilih bersama. Aku tidak ingin dia dibuat muram oleh perasaan dukaku.

Dia merasakan aku tengah memandanginya, dia pun menoleh ke arahku … sampai titik itu aku hanya memberinya perhatian-​perhatian yang resmi dan pantas; aku mengganti, sebisa mungkin, perasaan cinta dengan semacam rasa perhatian jantan yang dingin, menurutku, sedikit mengganggunya; apakah Marceline saat itu merasa bahwa aku untuk pertama kali memandanginya dengan cara yang berbeda? Sebagai balasannya dia menatapku lekat-​lekat; kemudian, dengan sangat lembut, tersenyum padaku. Tanpa bicara, aku duduk di sebelahnya. Aku sudah hidup semata-​mata untuk diriku sendiri atau setidaknya dengan caraku sendiri sampai titik itu; aku menikah tanpa membayangkan apa pun yang ada dalam diri istriku selain seorang pendamping, tanpa memikirkan secara pasti bahwa, dalam persatuan kami, hidupku bisa berubah. Aku pun akhirnya mengerti bahwa aksi monologku berakhir di sana.

Kami berdua sendirian di dek kapal. Dia merentangkan dahinya ke arahku; Dengan lembut aku menekannya ke tubuhku; dia mendongak; aku membuka kelopak matanya, dan tiba-​tiba kucium kelopaknya, dan kurasakan suatu belas kasih yang baru; rasa itu menguasai diriku dengan begitu hebat sehingga aku tidak bisa menahan airmataku.

“Kamu kenapa?” Marceline berkata padaku.

Kami mulai berbicara. Kata-​katanya yang menawan membuatku senang. Sebelumnya aku telah begitu berkeras memunculkan beberapa gagasan tentang kebodohan perempuan. Di dekatnya, malam itu, akulah yang terlihat kikuk dan bodoh.

Maka demikianlah sosok yang kujadikan pendamping hidupku ternyata memiliki kehidupan sendiri yang begitu nyata! Pemikiran krusial ini membuatku terbangun beberapa kali malam itu; beberapa kali aku berdiri di tempat tidurku dan melihat, di tempat tidur di bawah, istriku Marceline, tengah terlelap.

Keesokan harinya langit sangat indah; laut hampir tenang. Beberapa percakapan santai semakin mengikis rasa canggung di antara kami. Pernikahan kami pun sungguh-​sungguh dimulai. Pada pagi hari terakhir bulan Oktober kami mendarat di Tunis.

* * *

Niatku hanya tinggal di sana untuk beberapa hari. Aku akui kebodohanku kepada kalian: tidak ada satu hal pun di negara baru ini yang menarik perhatianku selain Kota Kartago dan beberapa reruntuhan Romawi: Timgat, yang pernah dituturkan Kaisar Octavius kepadaku, mosaik-​mosaik Sousse dan terutama amfiteater di El Djem, yang semuanya kuputuskan harus dikunjungi sesegera mungkin. Kami harus pergi ke Sousse terlebih dahulu, lalu dari Sousse lanjut dengan pedati; dari titik itu sampai beberapa saat ke depan aku merasa tidak ada satu pun yang layak mendapatkan perhatianku.

Namun Tunis sangat mengejutkanku. Ketika tersentuh oleh sensasi-​sensasi baru, bagian-​bagian tertentu dari diriku pun terbangkitkan, kepekaan-​kepekaan diri yang sebelumnya tidak aktif dan belum pernah terfungsikan, masih terselubungi secara menyeluruh oleh kebaharuan misteriusnya. Aku lebih terkejut, bingung alih-​alih girang, dan yang paling membuatku senang adalah melihat kegembiraan Marceline.

Namun rasa lelahku semakin bertambah setiap hari; tapi menurutku memalukan kalau menyerah begitu saja. Aku terbatuk dan merasakan gangguan aneh di dada bagian atasku. Kita menuju ke selatan, pikirku; panasnya akan memulihkanku.

Pedati Sfax berangkat dari Sousse pada pukul delapan malam; kami melintasi El Djem pada pukul satu pagi. Kami telah memesan tempat duduk di bagian belakang. Aku mengira akan dihadapkan dengan bangku tua yang tidak nyaman; sebaliknya, tempat duduk kami cukup nyaman. Tapi sungguh dinginnya … ! Dengan rasa percaya diri kekanak-​kanakan terhadap iklim lembut wilayah Selatan, kami berdua telah memutuskan berpakaian tipis, kami tidak membawa lebih dari satu syal. Segera setelah kami meninggalkan Sousse dan bukit-​bukit yang membentenginya, angin mulai bertiup. Angin bergerak dalam lompatan besar melintasi dataran, melolong, bersiul, masuk melalui setiap celah pintu; tidak ada yang bisa menghindarinya. Kami berdua pun kedinginan bukan main, utamanya aku, lelah oleh benturan-​benturan pada pedati, dan batuk-​batuk parah malah membuatku semakin gemetar. Sungguh malam yang luar biasa! Tiba di El Djem, tidak ada penginapan; yang ada hanya struktur benteng bordj yang berdiri mengerikan: apa yang bisa kami lakukan? Pedati pun bergerak maju. Desa itu tertidur; di malam yang terasa sangat lapang, samar-​samar kami bisa melihat sekilas reruntuhan yang tak berbentuk dan tampak menyedihkan; anjing melolong-​lolong. Kami masuk ke ruangan sederhana di mana dua tempat tidur terlentang menyedihkan. Marceline menggigil kedinginan, tapi setidaknya angin tidak lagi mampu mencengkeram.

Esoknya adalah hari yang membosankan. Kami terkejut, ketika kami pergi, melihat langit kelabu seragam. Angin masih bertiup, tapi tidak sekuat hari sebelumnya. Pedati baru akan kembali pada malam hari … Kuberitahu kalian, itu hari yang sungguh suram. Amfiteater, yang kukunjungi beberapa saat kemudian, begitu mengecewakanku; bahkan tampak buruk bagiku di bawah langit suram tersebut. Mungkin kelelahan turut memperparah juga, menambah rasa bosanku. Menjelang tengah hari, karena bermalas-​malasan, aku kembali ke sana, sia-​sia mencari beberapa prasasti di batu. Marceline, terlindung dari angin, sedang membaca buku berbahasa Inggris yang untungnya dibawanya. Aku kembali dan duduk di sebelahnya.

“Hari yang murung! Kamu tidak merasa bosan?” kataku.

“Tidak. Lihat: Aku membaca buku.”

“Untuk apa kita datang ke sini? Setidaknya kamu tidak kedinginan.”

“Tidak terlalu kedinginan. Kamu sendiri? Ah kamu pasti kedinginan! Kamu sangat pucat.”

“Tidak … ”

Malam hari, angin kembali bertiup kencang … Akhirnya pedati pun tiba. Kami berangkat lagi.

Segera setelah guncangan pertama muncul tubuhku terasa hancur. Marceline, yang begitu lelah, segera tertidur di bahuku. Tapi batukku akan membangunkannya, pikirku, dan perlahan, dengan lembut, aku pun membebaskan diri dan menyandarkannya pada dinding pedati. Namun aku tidak lagi terbatuk-​batuk, tidak: aku malah meludah; ini sesuatu yang baru bagiku; aku meludah begitu saja; munculnya secara bertahap, secara berkala; sensasinya begitu aneh sehingga pada awalnya aku hampir-​hampir merasa terhibur karenanya, tapi aku pun segera merasa jijik dengan rasa asing yang tertinggal di mulutku. Saputanganku sekejap tidak dapat digunakan lagi. Jari-​jariku sudah penuh dengan liur. Apa aku akan membangunkan Marceline … ? Untungnya aku ingat syal besar yang dia ikatkan pada pinggangnya. Aku memegangnya perlahan. Ludah yang tidak lagi sanggup kutahan mengalir lebih banyak. Aku merasa sangat lega. Ini adalah akhir dari hawa dingin, pikirku. Tiba-​tiba aku merasa sangat lemah; segalanya mulai berputar dan kupikir aku akan pingsan. Apakah aku akan membangunkannya … ? Ah, memalukan sekali … ! (Aku yakin, masa kanak-​kanak Puritan-​ku telah meninggalkan kebencian pada penyerahan diri apa pun terhadap kelemahan jasmani; ini kunamai pengecut.) Aku menenangkan diri, bertahan, akhirnya mengendalikan pusing kepalaku … Aku merasa seakan berada di lautan lagi, dan bunyi-​bunyi roda bagaikan benturan ombak … Tapi aku sudah berhenti meludah.

Lantas aku pun tertidur.

Ketika aku terbangunkan kembali, langit sudah dipenuhi oleh fajar; Merceline masih tertidur. Kami sudah mulai mendekati Sousse. Syal yang kugenggam sekarang berwarna gelap, sehingga awal-​awalnya aku merasa tak ada apa-​apa di sana; tapi ketika kukeluarkan saputanganku, kulihat sudah dipenuhi noda darah.

Yang pertama muncul di benakku adalah menyembunyikan noda tersebut dari Marceline. Tapi bagaimana? Kulihat tubuhku penuh olehnya; jari-​jariku terutama … Hidungku barangkali berdarah juga … Begitulah; kalau dia bertanya, aku akan bilang hidungku berdarah.

Marceline tetap saja tertidur. Kami pun tiba. Dia turun terlebih dahulu dan belum juga menyadari apa pun. Dua kamar hotel sudah disiapkan untuk kami. Aku pun langsung meluncur ke kamarku, kucuci semua jejak darah sampai bersih. Marceline tidak sempat melihat apa pun.

Namun demikian, aku merasa sangat lemah dan kupesan teh untuk kami berdua. Dan ketika dia menuangkannya, dengan sangat tenang, sedikit pucat, tersenyum, semacam rasa jengkel pun muncul di benakku karena dia tidak menyadari apa pun. Aku agaknya tidak adil, memang, kataku dalam hati: kalau dia tidak menyadari apa pun, itu karena aku menyembunyikan semuanya dengan baik; semuanya; Bagai tidak terjadi apa-​apa; tapi perasaan itu terus tumbuh dalam diriku seperti sebuah naluri, menguasaiku … pada akhirnya menjadi begitu kuat; aku tidak dapat menahannya lebih lama lagi: seolah tanpa sadar aku pun berkata kepadanya:

“Aku batuk darah tadi malam.”

Dia tidak bersuara; dia hanya jadi lebih pucat, terhuyung, mencoba bertahan, dan terjatuh ke lantai.

Aku bergerak ke arahnya dengan panik: “Marceline! Marceline!” Ayolah! apa yang telah kulakukan! Sudah cukup aku seorang yang sakit, bukan? Tapi, sebagaimana yang sudah kusebut sebelumnya, aku sendiri sangat lemah; aku hampir-​hampir pingsan. Aku bertahan; aku berhasil membuka pintu dan memanggil bantuan; seseorang datang kepada kami.

Aku ingat, di dalam koperku ada surat pengantar untuk seorang pejabat kota; dan memanfaatkan hak istimewa tersebut aku pun minta dipanggilkan dokter setempat.

Sementara itu, Marceline sudah pulih; sekarang dia berada di samping tempat tidurku, di mana diriku terbaring gemetar karena demam. Sang dokter tiba, memeriksa kami berdua: Marceline tidak menderita apa-​apa, tegasnya, dan pingsannya tidak meninggalkan dampak apa-​apa; akulah yang justru terkena dampak; sang dokter tidak mau memberikan kesimpulan pasti dan berjanji akan kembali sebelum malam tiba.

Dokter pun kembali, tersenyum, berbicara kepadaku dan memberi beberapa resep obat. Aku sadar bahwa dia tahu aku tidak bisa diselamatkan. Bolehkah kuakui bahwa aku sama sekali tidak terkejut? Aku sungguh lelah, kubiarkan saja diriku menyerah. Lagipula apa yang bisa ditawarkan kehidupan untukku? Aku telah bekerja dengan baik sampai akhir, dengan segenap ketekunan dan semangat kulakukan tugas-​tugasku. Sisanya … ah! Apa pentingnya bagiku?, pikirku, dengan semacam kekaguman pada sikap tabahku. Yang sesungguhnya membuatku menderita adalah keburukan tempat itu. Kamar hotel yang buruk, pikirku sambil memandangi. Tiba-​tiba aku menyadari bahwa di ruangan sebelah, ada istriku, Marceline; dan aku mendengar dia berbicara. Dokter belum pergi; dia berbicara dengan Marcelina; dia mencoba bicara sepelan mungkin. Waktu pun berlalu: aku harus tidur …

Ketika bangun, Marceline ada di dekatku. Aku mengerti bahwa dia habis menangis. Aku tidak cukup mencintai kehidupan untuk bisa mengasihani diri sendiri; tapi keburukan tempat ini sangat menggangguku; kedua mataku terpaku padanya dengan semacam kenikmatan yang hampir menggairahkan.

Sekarang, di sampingku, dia sedang menulis. Dia tampak begitu cantik bagiku. Kulihat dia melipat beberapa surat. Kemudian dia bangkit, mendekati tempat tidurku, dengan lembut meraih tanganku:

“Bagaimana kamu sekarang?” dia bertanya. Aku tersenyum, dengan sedih kukatakan:

“Apa aku akan sembuh?” Tapi, dia segera menjawab:

“Kamu akan sembuh!” dengan keyakinan yang begitu menggebu-​gebu sehingga, hampir membuat diriku teryakinkan, aku merasa bingung akan apa yang ada dalam hidup ini, tentang perasaan cinta Marceline, semacam gambaran samar-​samar tentang keindahan yang begitu menyedihkan, dan airmata pun mengalir di mataku, cukup lama tanpa sanggup atau hendak kubendung.

Dengan kekerasan cinta yang luar biasa dia mampu membuatku meninggalkan Sousse; dengan begitu menawan dia membanjiriku dengan perhatian, perlindungan, pertolongan, perawatan … dari Sousse hingga Tunis, lalu dari Tunis hingga Konstantin, Marceline sungguh-​sungguh mengagumkan. Aku seharusnya sembuh ketika tiba di Biskra. Keyakinannya sempurna; semangatnya tidak berkurang sekejap pun. Dia mempersiapkan segalanya, menyiapkan keberangkatan dan memastikan akomodasi. Adalah di luar kuasanya, sayangnya, untuk mengurangi sedikit saja penyiksaan di perjalanan ini. Beberapa kali aku berpikir bahwa aku semestinya berhenti dan menyerah saja. Aku berkeringat seperti orang sekarat, tersedak-​sedak, dan kadang aku pun hilang kesadaran. Di penghujung hari ketiga, aku tiba di Biskra seperti mati.