Alkimia Kebahagiaan Bab 1

Pendahuluan

Ketahuilah, sobat budiman, bahwa manusia tidaklah diciptakan secara sembarangan atau sambil lalu, tapi diciptakan dengan sempurna dan untuk tujuan mulia. Meski ia tidak tercipta dari keabadian, namun ia hidup selamanya, dan meski fisiknya rendah dan duniawi namun jiwanya mulia dan ilahiah. Ketika dalam pengendalian diri ia termurnikan dari hasrat badani, ia mendapatkan tempat tertinggi, dan bukannya menempati posisi sebagai budak nafsu dan amarah ia justru mendapatkan kualitas malaikat. Mendapatkan posisi ini, ia menemukan surganya dalam perenungan tentang keindahan abadi, dan tak lagi berkubang dalam kesenangan ragawi. Alkimia spiritual yang menjalankan perubahan ini pada dirinya, seperti yang mengubah logam biasa menjadi emas, tidaklah mudah ditemukan, tidak pula pada sembarang orang yang sudah tua. Demi menjelaskan ikatan kimia itu beserta metode kerjanya si pengarang menulis karya ini, yang ia beri judul Alkimia Kebahagiaan. Kini khazanah ilahiah di mana alkimia ini tersimpan adalah hati para nabi, dan barangsiapa mencarinya di tempat lain akan kecewa dan merugi di hari perhitungan ketika ia mendengar kata-​kata, “Kami singkapkan daripadamu tutup matamu, maka penglihatanmu pada hari itu amat tajam.”

Allah telah mengirimkan ke dunia ini seratus dua puluh empat ribu nabi, untuk mengajarkan pada manusia rumusan kimia ini, dan bagaimana memurnikan hati mereka dari sifat-​sifat rendah dalam rangka pengendalian diri. Alkimia ini bisa secara singkat dilukiskan sebagai pembelokan arah, dari dunia kepada Tuhan, dan ini mengandung empat bahasan:

Pengetahuan tentang diri,

Pengetahuan tentang Tuhan,

Pengetahuan tentang dunia ini sebagaimana adanya,

Pengetahuan tentang alam yang akan datang sebagaimana adanya.

Maka kini kita akan mulai menjelaskan keempat unsur bahasan itu secara berurutan.

 

Bab 1

Pengetahuan Tentang Diri

Pengetahuan tentang diri adalah kunci pengetahuan tentang Tuhan, sesuai dengan semboyan ‘Dia yang mengenal dirinya maka ia mengenal Tuhannya,’ dan sebagaimana tertulis dalam Qur’an ‘Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-​tanda kebesaran Kami di segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al Qur’an itu adalah benar.’ Tak ada yang lebih dekat bagimu dibanding dirimu sendiri, dan jika kau tidak mengenal dirimu sendiri maka bagaimana bisa kau mengetahui apa pun yang lain? Jika kau berkata ‘aku mengenal diriku sendiri’, dalam arti bentuk luar, tubuh, wajah, lengan dan kaki, dan seterusnya, pengetahuan seperti itu tak pernah menjadi sebuah kunci bagi pengetahuan tentang Allah. Begitu pula jika pengetahuanmu tentang apa yang ada di dalam hanyalah sampai sejauh itu, bahwa ketika kau lapar kau makan dan ketika kau marah kau menyerang seseorang, apakah kau maju setapak di jalan ini dibanding para binatang yang menjadi teman seperjalananmu? Tapi pengetahuan yang sejati tentang diri mencakup di antaranya pengetahuan tentang berikut ini: siapakah dirimu ini, dan dari manakah kau berasal? Ke mana kau akan pergi dan untuk tujuan apa kau datang ke sini, dan apakah yang menjadi bahan kebahagiaan dan kesedihanmu? Sejumlah sifatmu adalah sifat para binatang pula, sebagian juga para setan, dan malaikat, dan kau harus menemukan yang manakah dari sifat-​sifat ini yang bersifat tambahan dan manakah yang bersifat mendasar. Sampai kau mengetahui ini, kau tak bisa menemukan di manakah kebahagiaan sejatimu berada. Pembawaan binatang adalah makan, tidur, dan berkelahi, sehingga oleh karena itu jika kau seekor binatang maka sibukkanlah dirimu dengan hal-​hal tersebut. Iblis sibuk menciptakan kejahatan, selalu licik dan bersiasat. Jika kau termasuk di antara mereka, lakukanlah hal-​hal tersebut. Para malaikat merenungkan keindahan Allah, dan mereka sepenuhnya bebas dari sifat binatang. Jika kau bersifat malaikati, kembalilah pada sifat-​sifat dasarmu, sehingga kau tahu dan merenungkan Yang Maha Tinggi dan terbebas dari perbudakan nafsu dan amarah. Kau harus juga menemukan kenapa kau diciptakan dengan dua sifat kebinatangan itu: apakah kau akan tunduk pada ajakan mereka, atau apakah kau menaklukkan mereka, dan dalam perkembanganmu ke atas, buatlah salah satu dari keduanya sebagai kuda tungganganmu dan yang lain jadikanlah senjatamu.

Langkah pertama pengetahuan tentang diri adalah mengetahui bahwa kau terdiri dari bentuk luar, yang disebut tubuh, dan satu entitas dalam yang bernama hati, atau jiwa. Dengan menyebut ‘hati’ saya tidak bermaksud menyebut bongkahan daging yang ada dalam tubuh kita, tapi bagian daging yang memperlakukan semua anggota tubuh lain sebagai alat dan pelayan. Sebenarnya ia bukanlah milik dunia yang kasatmata ini, melainkan milik dunia gaib, dan datang di dunia ini sebagai seorang pengelana di negeri asing demi mendapatkan cenderamata, dan akan kembali kepada negeri asalnya. Pengetahuan tentang abstraksi dan hakikat inilah yang merupakan kunci dari pengetahuan tentang Tuhan.

Gagasan tertentu tentang realitas hati, atau roh, mungkin bisa dicapai oleh seorang manusia dengan cara menutup mata dan melupakan segala yang ada di sekitar kecuali individualitasnya. Maka ia juga akan mendapatkan sekilas hakikat individualitas yang tiada akhir. Namun penyelidikan yang terlalu dekat ke arah esensi roh tidaklah diperbolehkan oleh syariat. Dalam Qur’an tertulis ‘Dan mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang roh. Katakanlah ‘Roh itu termasuk urusan Tuhanku.’ Sejauh inilah yang kita tahu tentang roh, bahwa ini adalah intisari yang tak terbagi yang merupakan milik dari dunia yang diputuskan oleh Yang Maha Kuasa, dan ini tidaklah berasal dari keabadian, namun diciptakan. Sebuah pengetahuan filosofis sejati tentang roh tidaklah harus didahului dengan cara berjalan di jalur agama, tapi lebih sebagai akibat dari disiplin diri dan kegigihan di jalan itu, sebagaimana disebutkan dalam Qur’an: ‘Orang-​orang yang berusaha dengan sungguh-​sungguh untuk (mencari keridaan) Kami benar-​benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-​jalan Kami.’

Menjalani pertarungan rohaniah di mana pengetahuan tentang diri dan tentang Allah harus diperoleh, tubuh kita selayak sebuah kerajaan, jiwa kita laksana raja, dan panca indra dan kemampuan mental kita menjadi pasukannya. Nalar bisa disebut seorang wazir, atau perdana menteri, nafsu sebagai pengumpul pajak, dan amarah sebagai opsir polisi. Dengan berlagak sedang mengumpulkan pajak, nafsu terus-​menerus cenderung merampas demi keuntungannya sendiri, sementara kebencian selalu cenderung kepada sikap kasar dan kebengisan. Keduanya ini, pengumpul pajak dan opsir polisi, harus terus-​menerus dijaga agar tunduk pada sang raja, tapi tidak terbunuh atau terdepak, karena mereka mempunyai fungsi tersendiri yang perlu dipenuhi. Tapi jika nafsu dan kebencian mengalahkan nalar, maka kehancuran jiwa sudah pasti akan mengancam. Satu jiwa yang memperbolehkan sifat-​sifat rendahnya mendominasi sifat-​sifat mulia adalah bagaikan jiwa yang menyerahkan malaikat dalam kekuasaan seekor anjing atau seorang muslimin di bawah tirani seorang kafir. Pengembangan sifat-​sifat setaniah, kebinatangan, atau malaikati berakibat dalam menghasilkan karakter yang bersesuaian dengannya, yang pada hari perhitungan kelak akan menjelma dalam wujud yang terlihat: sifat sensual tampak dalam ujud seekor babi, sifat amarah dalam ujud seekor anjing dan serigala, dan sifat tulus suci dalam ujud sesosok malaikat. Tujuan disiplin moral adalah untuk memurnikan hati dari dorongan nafsu dan kebencian, sampai bagaikan cermin yang jernih, ia memantulkan cahaya ilahi.

Mungkin akan ada yang berkeberatan, “Tapi jika manusia diciptakan dengan sifat-​sifat binatang dan setan sekaligus malaikat, bagaimana kita bisa tahu bahwa sifat malaikat adalah sifat sejatinya yang mendasar sedangkan sifat-​sifat yang disebut di awal hanyalah bersifat kebetulan atau sementara?” Untuk soal ini saya akan menjawab bahwa esensi setiap makhluk adalah untuk mencari apa yang paling tinggi dan apa yang menjadi sifat khasnya. Maka kuda dan keledai keduanya adalah binatang pembawa beban, tapi superioritas kuda dibanding keledai juga dalam hal bahwa ia terbiasa digunakan di medan perang. Jika ia mati di medan perang, ia akan jatuh ke derajat binatang pembawa beban biasa. Hal yang bermiripan terjadi juga dengan manusia, kemampuan tertinggi yang ada pada dirinya adalah akal, yang sesuai ia gunakan untuk merenungkan Tuhan. Jika ini mendominasi dirinya, maka ketika mati ia meninggalkan di belakangnya semua kecenderungan nafsu dan kebencian, dan menjadi mampu untuk bersekutu dengan para malaikat. Adapun tentang sifat-​sifat kebinatangannya, manusia itu lebih rendah dari para binatang, tapi nalar membuatnya lebih unggul bagi mereka, sebagaimana tertulis di dalam Qur’an: “Bagi manusia telah Kami tundukkan segala sesuatunya di muka bumi ini.” Tapi jika dorongan rendahlah yang menang, maka setelah kematiannya manusia itu akan selamanya melihat ke bumi dan merindukan kesenangan-​kesenangan duniawi.

Nah, jiwa rasional dalam diri manusia melimpah ruah, baik dalam hal pengetahuan maupun kekuatan, dan ini mengagumkan. Dengan cara ini ia menguasai seni dan ilmu-​ilmu sains, bisa melesat dari bumi ke langit dan kembali lagi ke bumi, bisa memetakan langit dan mengukur jarak antara bintang-​bintang. Tapi ia juga bisa mengambil ikan dari dalam laut dan burung-​burung dari udara, dan bisa tunduk untuk menjadi binatang yang mengabdi, seperti gajah, unta, dan kuda. Panca indranya bagaikan lima pintu yang terbuka ke arah dunia luar, tapi lebih hebat dari ini, hatinya adalah sebuah jendela yang terbuka ke arah dunia roh yang tiada terlihat. Dalam kondisi tidur, ketika jalanan indra tertutup, jendela ini terbuka dan manusia menerima kesan-​kesan dari dunia yang tak terlihat ini dan kadang meramalkan masa depan. Maka hatinya bagaikan cermin yang memantulkan apa yang tergambar pada catatan takdir. Tapi bahkan dalam mimpi, pikiran duniawi memburamkan cermin ini, sehingga kesan-​kesan yang diterimanya tidaklah jernih. Namun setelah kematian, pikiran-​pikiran ini lenyap dan segala sesuatu terlihat dalam realitasnya yang telanjang, dan firman dalam Qur’an pun terpenuhi: “Kami singkapkan daripadamu tutup (yang menutup) matamu, maka penglihatanmu pada hari itu amat tajam.”[1]

Pembukaan jendela dalam hati menuju ke arah yang tak terlihat berlangsung dalam berbagai kondisi, menyerupai wahyu kenabian, ketika intuisi meloncat ke dalam benak tanpa melalui perantaraan panca indra. Makin seorang manusia memurnikan dirinya dari nafsu badani dan memusatkan pikiran kepada Tuhan, maka makin sadarlah ia pada intuisi semacam ini. Mereka yang tidak sadar akan intuisi semacam ini tidak punya hak untuk menyangkal keberadaan mereka.

Tidak pula intuisi semacam ini terbatas hanya pada tataran kenabian. Sebagaimana besi, yang dengan dipoles secara semestinya akan mampu berubah menjadi cermin, maka pikiran manusia pun dengan disiplin tertentu bisa menjadi peka terhadap impresi-​impresi serupa. Kenyataan inilah yang dimaksud oleh sang Nabi ketika beliau bersabda: “Setiap anak terlahir Islam, namun orangtuanyalah yang menjadikannya seorang Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” Setiap manusia dalam relung kesadarannya mendengar pertanyaan “Bukankah aku adalah Tuhanmu?” dan menjawab dengan ‘ya.’ Tapi hati tertentu bagaikan cermin yang dinodai oleh debu dan kotoran sehingga tak memberikan pantulan jernih, sedangkan cermin para nabi dan ulama, meski mereka adalah manusia yang punya nafsu pula seperti kita, sepenuhnya peka terhadap semua kesan ilahiah.

Bukanlah dengan alasan adanya pengetahuan lahiriah maupun intuitif yang membuat jiwa manusia mampu menempati tingkat tertinggi di antara segala makhluk, tapi juga dengan alasan kekuatan. Sebagaimana malaikat mengendalikan berbagai elemen, maka jiwa mengendalikan anggota tubuh. Jiwa-​jiwa itu yang mendapatkan derajat kekuatan tertentu tidak hanya menguasai tubuh mereka sendiri, tapi juga tubuh yang lain. Jika mereka ingin orang yang sakit mengalami kesembuhan maka ia pun sembuh, atau jika menghendaki orang yang sehat mengalami sakit maka jadi sakitlah ia, atau jika mereka menghendaki kehadiran seseorang maka ia pun datang kepada mereka. Sesuai dengan efek baik ataupun buruk yang dihasilkan oleh jiwa-​jiwa yang kuat ini, maka mereka ini dianggap sebagai keajaiban atau buah sihir. Jiwa-​jiwa ini berbeda dari anggota tubuh biasa ditinjau dari tiga cara (1) apa yang hanya dilihat oleh anggota tubuh dalam mimpi, mereka melihatnya di alam nyata, (2) sementara kehendak anggota tubuh hanya memengaruhi tubuh mereka sendiri, maka jiwa-​jiwa ini dengan kekuatan kemauan bisa menggerakkan tubuh yang tidak mereka miliki sendiri, (3) pengetahuan yang diperoleh anggota tubuh secara susah payah maka oleh jiwa-​jiwa ini ia diperoleh melalui jalur intuisi.

Bukan hanya ketiga cara ini saja yang menjadi pembeda antara mereka dari anggota tubuh biasa, tapi ketiga cara itulah yang bisa dicapai melalui kesadaran. Sebagaimana tak seorang pun tahu sifat sejati Allah melainkan diriNya sendiri, maka tak seorang pun tahu sifat sejati seorang nabi kecuali seorang nabi. Ini tidak perlu membikin kita heran, sebagaimana dalam masalah sehari-​hari kita melihat betapa mustahilnya menjelaskan daya tarik puisi kepada seseorang yang telinganya tidak peka terhadap rima dan ritme, atau menjelaskan keagungan warna kepada seseorang yang sepenuhnya buta. Selain ketidakmampuan biasa, ada faktor-​faktor penghalang lain dalam diri kita untuk mencapai kebenaran spiritual. Salah satunya adalah pengetahuan yang didapatkan secara eksternal. Sebagai perumpamaan, hati bisa diumpamakan sebuah sumur, dan panca indra adalah lima arus sungai yang terus-​menerus mengalirkan air ke dalamnya. Demi menemukan kandungan sebenarnya dari hati ini, aliran sungai ini paling tidak harus dihentikan sesekali, dan segala yang tertolak dari apa yang mereka bawa bersamanya haruslah dibersihkan dari dalam sumur. Dengan kata lain, jika kita sampai pada kebenaran rohaniah yang sejati, kita harus mengesampingkan, untuk sementara, pengetahuan yang diperoleh dari proses indrawi dan yang terlalu sering mengeras menjadi prasangka yang dogmatis.

Kesalahan dari jenis yang berkebalikan dibuat oleh orang dangkal, yang suka menyebut-​nyebut ungkapan tertentu dari guru sufi mereka, dalam mengejar semua pengetahuan. Ini seolah seseorang yang tidak begitu mahir dalam ilmu kimia hendak berkata bahwa ‘alkimia adalah lebih baik daripada emas’, dan menolak emas ketika ini ditawarkan padanya. Alkimia adalah lebih baik daripada emas, tapi alkemis sejati sangatlah jarang, sebagaimana pula sufi sejati. Ia yang hanya mempunyai seporsi kecil sufisme tidaklah lebih hebat daripada seorang pria terpelajar, dan tidak pula seorang yang mencoba sedikit eksperimen dalam alkimia punya dasar untuk merendahkan seorang pria kaya.

Siapa pun yang mau melihat masalah dengan lebih jernih akan melihat bahwa kebahagiaan adalah terhubung dengan pengetahuan tentang Allah. Masing-​masing kualitas yang kita miliki bersifat cenderung pada apa yang menciptakannya: berahi cenderung untuk melampiaskan nafsu, amarah cenderung untuk melampiaskan kebencian, mata cenderung untuk melihat benda-​benda yang indah, dan telinga cenderung untuk mendengarkan suara-​suara yang selaras. Fungsi tertinggi dari jiwa manusia adalah mengetahui kebenaran, dalam hal ini ia menemukan kesenangannya yang khusus. Bahkan dalam masalah yang remeh, misalnya belajar main catur, pengetahuan ini berperan baik, dan makin tinggi subjek pengetahuan yang diperoleh maka makin besar kesenangannya. Seorang lelaki akan senang jika dipercaya oleh perdana menteri, tapi betapa lebih berat untuk menjadi orang kesayangan raja, yang akan membeberkan rahasia-​rahasia kerajaan kepadanya.

Seorang ahli falak yang melalui pengetahuannya bisa memetakan bintang dan menggambarkan pergerakan mereka mendapatkan kesenangan yang lebih banyak atas pengetahuannya itu dibanding kesenangan seorang pemain catur. Maka melihat bahwa tak ada yang lebih besar dibandingkan Tuhan, alangkah besar rasa senang yang muncul dari diri yang memperoleh pengetahuan tentang Dia!

Seseorang yang dengannya hasrat akan pengetahuan ini lenyap adalah seperti dia yang telah kehilangan hasrat terhadap makanan yang sehat, atau yang lebih memilih makan tanah liat daripada makan roti. Semua harat badani lenyap saat seseorang mati, bersamaan dengan organ yang mendukungnya, tapi jiwa tidaklah mati, dan mempertahankan pengetahuan apa pun yang ia miliki tentang Tuhan, bahkan meningkatkannya.

Bagian penting pengetahuan kita tentang Tuhan timbul dari studi dan perenungan tentang tubuh kita sendiri, yang membeberkan bagi kita kekuasaan, kebijaksanaan, dan cinta sang Maha Pencipta. KekuasaanNya memungkinkan setetes kecil mani untuk berubah bentuk menjadi manusia, kearifanNya terbeber dalam rumit dan kesalingbersesuaiannya masing-​masing bagian tubuh, dan cintaNya ditunjukkan tidak hanya dengan mendukung organ-​organ tubuh yang sepenuhnya penting bagi kelangsungan hidupnya—seperti jantung, hati, dan otak—namun juga organ-​orang yang sifatnya kalah vital, seperti misalnya tangan, kaki, lidah, dan mata. Selain ini, Ia juga menambahkan sebagai perhiasan adanya warna hitam pada rambut, warna merah pada bibir, dan lengkungan pada alis.

Manusia sungguh benar disebut sebagai mikrokosmos atau dunia kecil dalam dirinya sendiri, dan struktur tubuhnya haruslah dipelajari tidak hanya oleh mereka yang ingin menjadi dokter, namun juga oleh mereka yang ingin mendapatkan pengetahuan lebih intim tentang Tuhan, sebagaimana studi tentang sifat dan corak bahasa dalam sebuah puisi makin menunjukkan bagi kita kejeniusan pengarangnya.

Tapi terlepas dari semua itu, pengetahuan tentang jiwa memainkan peranan yang lebih penting dalam menuju ke arah pengetahuan tentang Tuhan daripada pengetahuan tentang tubuh kita dan fungsi-​fungsinya. Tubuh bisa dibandingkan dengan sebuah kuda perang dan jiwa diumpamakan sebagai pengendaranya, tubuh diciptakan untuk sang jiwa, jiwa diciptakan untuk tubuh. Jika seorang manusia tidak tahu jiwanya sendiri, padahal itu yang paling dekat dengannya, maka apa gunanya ia mengklaim tahu tentang hal-​hal lain? Ini ibaratnya seorang pengemis yang tidak tahu dari mana sepiring nasi bisa didapatkan, padahal ia menganggap diri bisa memberi makan penduduk sekota.

Dalam bab ini kita telah berusaha, dalam taraf tertentu, untuk menjabarkan kebesaran jiwa manusia. Ia yang mengabaikan jiwa dan membiarkan kapasitasnya terbengkalai adalah seorang yang merugi di dunia ini dan dunia yang akan datang. Kebesaran sejati seorang manusia terletak pada kapasitasnya untuk mencapai kemajuan rohani, atau jika tidak tercapai maka ia akan menjadi makhluk paling lemah, yang mudah dipermainkan rasa lapar, dahaga, panas, dingin, dan kesedihan. Hal-​hal yang paling ia sukai sering merupakan hal-​hal yang paling merugikan baginya, dan hal-​hal yang paling bermanfaat adalah justru yang tidak ia dapatkan kecuali melalui kerja keras dan susah payah. Tentang kemampuan pikirannya, sedikit kekacauan dalam saraf otaknya sudah cukup untuk membikinnya hancur atau gila, tentang kekuatannya, satu sengatan lebah sudah cukup untuk merampas kenyamanan tidurnya, tentang suasana hatinya, ia akan kacau hanya karena kehilangan sedikit uang, tentang keelokan wajahnya, itu hanyalah selapis tipis kulit. Tanpa sering-​sering mandi dan membasuh anggota tubuh, ia akan berbau busuk dan memalukan.

Sebenarnya, manusia di dunia ini amat sangat lemah dan memuakkan. Hanya di alam berikutnyalah ia akan mendapatkan nilai, jika dengan cara ‘alkimia kebahagiaan’ ini ia bangkit dari taraf binatang menjadi malaikat. Jika sebaliknya, kondisinya akan makin memburuk, lebih buruk daripada binatang, yang akan lenyap begitu saja menjadi debu. Adalah penting baginya di saat yang sama untuk bersikap sadar akan keunggulannya sebagai makhluk paling sempurna, juga untuk mengetahui ketidakberdayaannya, karena itu pun salah satu kunci pengetahuan tentang Tuhan.


[1] Qur’an Surah Qaaf: 22