Posted on

Burung Hantu dan Sekolahnya [Cerpen]

Seekor burung hantu bernama Tua Bijak mendirikan sebuah sekolah. Siapa saja bisa masuk ke sekolahnya dan belajar berbagai hal. Setelah beberapa lama ia ingin tahu perkembangan yang mereka capai dalam pelajaran. Maka ia pun mengajukan beberapa pertanyaan.

Pertanyaan pertama adalah, “Kenapa bulan bersinar di langit?”

Si bulbul menjawab, “Agar aku bisa bernyanyi sepanjang malam untuk kekasihku, si mawar, di bawah cahayanya yang menyenangkan.”

Si lili menjawab, “Agar aku bisa membuka kelopak bungaku, dan menikmati cahayanya yang penuh cinta dan menyegarkan.”

Si kelinci menjawab, “Agar di pagi harinya bisa terkumpul embun yang banyak untuk kulahap.”

Si anjing menjawab, “Agar aku bisa memergoki para maling yang berkeliaran di sekitar rumah tuanku.”

Si kunang-kunang menjawab, “Itu karena dia benci cahayaku; jadi dia bikin cahayaku kalah terang.”

Si rubah menjawab, “Agar aku bisa dengan jelas melihat jalan ke arah kandang ayam.”

“Cukup!” kata Tua Bijak. “Hanya ada satu bulan yang bersinar si langit, namun betapa banyak yang merasa paling diuntungkan! Memang, setiap pribadi memiliki kepentingan sendiri-sendiri!”


Cerpen ini dimuat dalam Fabel-Fabel India.

Posted on

Sajak Rumi No. 45 [Puisi]

Nasihat dari seseorang takkan berguna bagi para pencinta; cinta bukan semacam limpahan air yang dapat dibendung seseorang.

Tiada cendekiawan akan tahu haru-gembira di kepala si pemabuk; tiada seorang yang berpegang pada pikiran akan tahu pesona yang melambungkan hati mereka yang terbatas dari ikatan pikiran.

Raja-raja menjadi tak acuh akan kedudukannya bila mereka menangkap bau anggur yang direguk para pencinta dalam pertemuan hati.

Kusrau mengucapkan selamat tinggal pada kerajaannya demi Shirin; Farhad pun, demi Shirin pula, meng-
ayunkan kapak ke pinggang gunung.

Majnun melepaskan diri dari lingkungan keluarga demi cinta akan Laila; Vamiq menertawakan kegarangan kumis sekalian laki-laki yang menyombongkan diri.

Bekulah hidup yang berlalu tanpa roh yang indah ini; busuklah daging buah yang tak mengenal lagi kue badam ini.

Bila langit di atas sana tak berputar dalam ketakjuban dan cinta seperti kita, tentulah ia akan jemu berputar dan berkata, “Cukup sudah bagiku; berapa lama, berapa lama mesti begini?

Dunia ini bagai seruling gelagah, yang ditiupnya pada setiap lubangnya; sungguh setiap ratapnya berasal dari kedua belah bibir yang semanis tengguli itu.

Lihatlah, bagaimana bila Ia meniupkan napas-Nya ke dalam setiap gumpal tanah, setiap kalbu, Ia taburkan hajat, Ia taburkan gairah hasrat yang menimbulkan ratapan sendu.

Bila kaurobekrenggutkan hati dari Tuhan, kepada siapakah itu akan kaukaitkan kemudian? Katakan itu padaku. Sungguh tak berjiwa mulia orang yang telah sanggup merobekrenggutkan hatinya dari Tuhan biar sebentar pun.

Akan kucukupkan sampai di sini; cepatlah pergi, di malam hari naiklah hingga ke atap ini, perdengarkan seruan merdu di kota, dengan suara nyaring-tinggi.


Puisi ini dimuat dalam Kumpulan Sajak karya Jalaluddin Rumi.

Posted on

Tao Te Ching Bab 58 [Puisi]

Jika negara diatur dengan toleransi,
rakyat akan nyaman dan berlaku jujur.
Jika negara diatur dengan represi,
rakyat akan tertekan dan berlaku licik.

Ketika kehendak untuk berkuasa mengambil alih,
semakin tinggi khayalannya, semakin rendah hasilnya.
Berupayalah membuat rakyat bahagia,
dan kau meletakkan fondasi bagi kesengsaraan.
Berupayalah menjadikan rakyat bermoral,
dan kau meletakkan fondasi bagi kejahatan.

Demikianlah sang Guru senang
melayani sebagai teladan
dan tidak memaksakan kehendaknya.
Dia menunjuk tapi tidak menusuk.
Lurus, tapi lentur.
Terang benderang, tapi enak dipandang.

(Lukisan ‘Laozi Riding an Ox‘ karya Zhang Lu)


Puisi ini dimuat dalam Tao Te Ching.

Posted on

Kembar [Cuplikan]


“Benar, Krestyan Ivanovich. Namun saya ini penyuka ketenangan, Krestyan Ivanovich, rasanya saya telah mendapat kehormatan untuk menjelaskannya tadi, jalan yang saya tempuh berbeda, Krestyan Ivanovich. Jalan kehidupan ini luas…maksud saya…saya bermaksud mengatakan, Krestyan Ivanovich, bahwa… Maafkan saya, Krestyan Ivanovich, saya tidak fasih berbicara.”

“Hm… Anda bilang…”

“Saya bilang bahwa Anda harus memaklumi, Krestyan Ivanovich, atas kenyataan bahwa saya, sebagaimana anggapan saya, bukan ahlinya berbicara dengan fasih,” kata Tn. Goliadkin dengan nada agak tersinggung, sedikit linglung dan asal-asalan. “Dalam hal ini, Krestyan Ivanovich, saya tidak sama seperti orang lain,” tambahnya diiringi semacam senyum khusus, “dan saya tak mampu bicara panjang lebar; saya tak pernah belajar memperindah gaya bicara saya. Justru sebaliknya, Krestyan Ivanovich, saya bertindak; saya malah bertindak, Krestyan Ivanovich.”

“Hm… Bagaimana…cara Anda bertindak?” Krestyan Ivanovich balik bertanya. Selepas itu, keheningan melanda sejenak. Dokter memandang Tn. Goliadkin dengan tatapan aneh dan curiga. Sebaliknya Tn. Goliadkin juga mencuri pandang ke arah dokter dengan lirikan sekilas penuh curiga.

“Saya, Krestyan Ivanovich,” Tn. Goliadkin mulai melanjutkan dengan nada seperti sebelumnya, sedikit kesal dan bingung oleh kegigihan membatu Krestyan Ivanovich, “Saya, Krestyan Ivanovich, menyukai ketenangan, bukan kebisingan duniawi. Jika berada di sana, maksud saya, di tengah masyarakat umum, Krestyan Ivanovich, seseorang harus tahu cara menggosok lantai dengan satu kaki…” (Kaki Tn. Goliadkin menggesek lantai dengan pelan.) “Itulah yang dibutuhkan di sana, Tuan, dan juga butuh melontarkan lelucon…tahu bagaimana caranya merangkai sanjungan berbunga-bunga, Tuan…itulah yang dibutuhkan di sana. Dan saya tak pernah mempelajari hal itu, Krestyan Ivanovich—saya tak pernah mempelajari semua kecakapan itu; saya tak punya waktu.


Diambil dari novel Kembar, halaman 15-16.