Posted on

Mencalonkan Diri jadi Presiden [Esai]

Aku sudah membulatkan tekad untuk mencalonkan diri menjadi presiden. Apa yang negara ini inginkan adalah seorang kandidat yang tak bisa diusik dengan penelusuran terhadap masa lalunya, sehingga partai lawan tak akan mendapatkan apa pun yang belum pernah didengar orang-orang untuk menjatuhkannya. Pertama-tama, jika kau mengetahui keburukan seorang kandidat, setiap upaya untuk mengungkap tindakannya akan disekakmat. Kini aku akan memasuki medan persaingan dengan catatan terbuka. Aku akan mengakui terlebih dulu semua kejahatan yang pernah kulakukan, dan seandainya ada komite Konggres yang ingin menelusuri biografiku dengan harapan akan menemukan tindakan keji dan terlarang yang kusembunyikan, nah—silakan saja.

Pertama-tama, aku mengakui pernah memaksa kakekku yang menderita rematik untuk memanjat pohon pada musim dingin tahun 1850. Meski umurnya sudah tua dan tidak ahli memanjat pohon, tapi dengan kejam dan tak berperasaan yang merupakan sifat asliku, aku memaksanya ke luar lewat pintu depan hanya mengenakan baju tidur dengan todongan senapan, dan membuatnya memanjat sebatang pohon maple tempatnya nangkring sepanjang malam sementara aku memberondong ke arah kakinya. Aku melakukan hal ini sebab dia punya kebiasaan mendengkur. Aku akan melakukannya lagi seandainya memiliki kakek lain. Diriku yang sekarang sama tidak manusiawinya dengan diriku pada tahun 1850. Secara blak-blakan aku mengakui telah melarikan diri dari Pertempuran Gettysburg. Teman-temanku berusaha memperhalus kenyataan ini dengan menegaskan bahwa aku melakukannya dengan maksud meniru Washington, yang pergi menuju hutan untuk berdoa di tengah Pertempuran Valley Forge. Itu adalah dalih yang menyedihkan. Aku berlari lurus tunggang langgang menuju Garis Balik Utara karena ketakutan setengah mati. Aku ingin melindungi negara, namun lebih memilih jika orang lain saja yang melindunginya. Pendapat itu sebatas kusimpan dalam hati saja. Jika reputasi berbusa-busa hanya bisa diperoleh di moncong meriam, aku bersedia ada di sana untuk mendapatkannya, asalkan meriam itu tak berpeluru. Sedangkan jika meriam itu berpeluru, maka rencanaku yang tak bisa diganggu gugat adalah segera melarikan diri dan pulang ke rumah. Kebiasaanku yang tak berubah di masa perang adalah, dalam setiap pertempuran aku selalu membawa kembali lebih banyak orang daripada saat memasuki medan pertempuran. Dalam hal ini aku seperti Napoleon dalam balutan kemegahannya.

Pandangan-pandanganku dalam masalah keuangan merupakan yang paling tegas, tapi dengan mendukung inflasi, mungkin tidak bagus untuk menaikkan popularitasku. Aku tidak peduli mengenai keunggulan uang kertas ataupun uang logam. Prinsip fundamental yang luhur dalam hidupku adalah mengambil apa pun yang bisa didapatkan.

Rumor bahwa aku mengubur jenazah bibiku di bawah tanaman anggur adalah benar adanya. Tanaman anggur butuh pupuk, bibiku harus dikubur, dan aku mempersembahkan dirinya untuk tujuan mulia ini. Apakah tindakan ini membuatku tidak layak untuk mencalonkan diri jadi presiden? Konstitusi negara kita tidak menyebutkan demikian. Tak pernah ada warga negara yang dipertimbangkan tidak layak menduduki jabatan ini sebab dia memupuk tanaman anggurnya dengan jenazah kerabatnya. Kenapa justru aku yang dipilih sebagai korban pertama dari sebuah prasangka yang absurd ini?

Aku juga mengakui kalau diriku bukanlah teman bagi orang miskin. Aku menganggap kalau orang miskin, dalam kondisinya sekarang, sama seperti daging mentah yang disia-siakan. Jika dipotong dan dikemas dengan benar, barangkali mereka bisa berguna untuk menggemukkan penduduk asli pulau-pulau kanibal sehingga akan meningkatkan ekspor negara kita dengan kawasan tersebut. Aku akan mengusulkan undang-undang tentang persoalan ini dalam pidato pertamaku. Slogan kampanyeku berbunyi: “Keringkan buruh miskin; jejalkan dia ke dalam sosis.”

Demikianlah bagian terburuk dari riwayat hidupku. Dengan riwayat inilah aku menghadap kepada negara. Jika negara tidak menghendaki diriku, aku akan kembali lagi. Tapi aku mencalonkan diri sebagai orang yang dapat dipercaya—seseorang yang memulai dari dasar kebobrokan total dan mengajukan diri untuk menjadi sangat biadab sampai akhir.

(Gambar oleh Victor Juhasz)


Esai ini dimuat dalam Panduan Bercerita karya Mark Twain.

Posted on

Kronologi Oscar Wilde [Biografi]

1854
Oscar Fingal O’Flahertie Wills Wilde lahir di Dublin dari pasangan William dan Fransesca Elgee Wilde. Oscar Wilde adalah anak kedua dari tiga bersaudara.

1874
Berkuliah di Oxford setelah menerima beasiswa sebagai pelajar terbaik di sekolahnya. Wilde dikenal sebagai mahasiswa yang gemar berpenampilan mencolok.

1878
Menjadi lulusan terbaik dalam studi karya-karya klasik. Pindah ke London.

1881
Buku pertamanya, kumpulan puisi berjudul Poems diterbitkan.

1882
Mengadakan ceramah sastra ke Amerika dan Kanada. Bertemu Henry Longfellow, Oliver Wendell Holmes, serta Walt Whitman, penyair yang dikaguminya. Menerbitkan drama pertamanya, Vera.

1883
Kembali ke Inggris untuk mengadakan kuliah sastra. Menerbitkan drama keduanya, The Duchess of Padua.

1884
Wilde menikah dengan Constance Lloyd, anak seorang pengacara kaya. Mereka tinggal di Chelsea.

1885
Anak pertama dari pasangan itu lahir. Seorang putra yang diberi nama Cyril.

1886
Putra kedua, Vyvyan, lahir.

1887
Menjadi penyunting di majalah Woman’s World. Menerbitkan cerita pertamanya, The Canterville Ghost.

1888
Kumpulan dongengnya, The Happy Prince and Other Tales, terbit.

1891
Menerbitkan esai-esai yang membahas estetika. Satu-satunya novel yang ditulisnya, The Picture of Dorian, terbit. Berteman dengan seorang mahasiswa Oxford bernama Lord Alfred Douglas.

1892
Menulis drama Lady Windermere’s Fan dan pementasannya menuai sukses. Wilde juga menulis drama berjudul Salomé, namun dilarang dipentaskan karena dianggap menghujat karakter dalam Alkitab.

1893
Drama A Woman of No Importance dipentaskan.

1895
Drama The Importance of Being Earnest dipentaskan di gedung teater St. James’s London. Hubungan Wilde dengan Lord Alfred Douglas semakin dekat, tapi ayah Douglas, Marquis of Queensberry mengecam keras hubungan mereka. Queensberry mengirim surat terbuka kepada Wilde, melabelinya sebagai seorang homoseks. Wilde menuntut Queensberry atas pencemaran nama baik, tapi keputusan ini justru menghancurkan hidupnya di kemudian hari. Di Pengadilan, Wilde dinyatakan bersalah atas tindak kesenonohan. Dia dihukum dua tahun kerja paksa, dan dipindahkan ke penjara Reading.

1896
Ibu Wilde, Francesca, meninggal.

1897
Menulis De Profundis. Wilde dibebaskan dari penjara dalam kondisi kesehatan yang buruk. Dia hidup berpindah-pindah di Prancis, Italia, dan Swiss. Memakai nama samaran Sebastian Melmoth.

1898
Puisi The Ballad of Reading Gaol terbit. Istri Wilde, Costance, meninggal pada usia 40 tahun.

1900
Wilde meninggal di Paris pada usia 46 tahun. Awalnya dimakamkan di Cimitiere de Bagneaux, kemudian dipindahkan ke Père Lachaise.

(Foto oleh Napoleon Sarony, 1882)