Posted on

Manusia Berjiwa Anjing [Cuplikan]


Belajar membaca itu sama sekali tak berguna; yang penting adalah mengendus daging dari kejauhan. Namun, jika kau tinggal di Moskow dan kepalamu ada otaknya, mau tak mau kau akan bisa membaca tanpa mengikuti sekolah apa pun. Dari empat puluh ribu lebih anjing di Moskow, hanya seekor idiot betulan yang tak tahu cara membaca kata ‘sosis’.

Awalnya Sharik belajar membaca lewat warna. Saat umurnya baru empat bulan, papan tanda biru-hijau dengan huruf-huruf MSPO—menandakan toko daging—muncul di seluruh penjuru Moskow. Aku ulangi, tanda itu tak ada gunanya juga—toh kau bisa mengendus bau daging. Tapi suatu hari Sharik melakukan kesalahan. Tergoda oleh papan tanda biru tua, Sharik, yang indera penciumannya telah terkalahkan oleh asap knalpot mobil yang lewat, malah nyelonong ke dalam toko perlengkapan listrik alih-alih ke toko daging. Toko itu terletak di Jalan Myasnitky dan dimiliki oleh Polubizner Bersaudara. Mereka membuat si anjing mencicipi sabetan kawat isolasi, yang bahkan lebih rapi dibandingkan cambukan seorang sopir. Momen kenamaan itu bisa dianggap sebagai titik permulaan pendi­dikan Sharik. Saat kembali ke trotoar, ia mulai menyadari kalau warna biru tidak selalu berarti ‘daging’. Sambil melolong dengan kesakitan berkobar, ekornya terhimpit di antara kaki, ia mengingat kalau di semua toko daging itu ada kilasan berwarna emas atau merah—huruf pertama di sebelah kiri—yang terlihat seperti sebuah kereta luncur.

Setelah itu, proses pembelajarannya meningkat pesat. Ia mempelajari huruf ‘n’ dari ‘toko ikan’ di sudut Mokho­vaya, kemudian huruf ‘a’ (lebih mudah baginya mendekati toko dari ujung akhiran kata itu, sebab ada polisi yang berdiri di dekat awal kata ‘toko’).


Diambil dari novel Manusia Berjiwa Anjing, halaman 14-15.

Posted on

Kisah Ajaib Benjamin Button [Cuplikan]


“Aku suka lelaki seusiamu,” kata Hildegarde kepadanya. “Anak-anak muda begitu tolol. Mereka bilang kepadaku be­rapa banyak sampanye yang mereka minum di kampus, dan berapa banyak uang yang mereka buang dalam permainan kartu. Lelaki seusiamu tahu bagaimana menghargai wanita.”

Benjamin merasa dirinya berada di ujung lamaran—dengan upaya keras dia menahan dorongan itu. “Kamu di usia romantis,” Hildegarde melanjutkan—“lima puluh tahun. Dua puluh tahun terlalu duniawi pandangannya; tiga puluh tahun mudah pucat karena kebanyakan kerja; empat puluh tahun adalah pengalaman panjang yang jika diceritakan menghabiskan sekotak cerutu; enam puluh adalah—oh, enam puluh terlalu dekat dengan tujuh puluh; tapi lima pu­luh adalah usia matang. Aku suka lima puluh.”

Lima puluh tampak sebagai usia kejayaan bagi Benjamin. Dia sangat merindukan usia lima puluh tahun.

“Aku selalu katakan,” lanjut Hildegarde, “bahwa aku lebih suka menikah dengan lelaki lima puluh tahun dan diurus ketimbang menikah dengan lelaki tiga puluh tahun dan mengurus dia.”

Bagi Benjamin sisa malam itu bermandikan kabut berwarna madu. Hildegarde memberinya kesempatan dua dansa lagi, dan mereka mendapati diri mereka saling cocok atas semua obrolan hari itu. Hildegrde akan berpesiar dengan kereta kuda bersamanya hari Minggu depan, dan mereka akan membahas semua obrolan itu lebih lanjut.

Pulang dengan mengendarai phaeton tepat sebelum fajar menyingsing, ketika lebah-lebah pertama mendengung, dan bulan yang memudar menyiramkan cahaya ke embun dingin, samar-samar Benjamin mendengar ayahnya sedang membicarakan bisnis grosir perkakas.

“… Dan menurutmu apa yang pantas mendapat perha­tian terbesar kita setelah palu dan paku?” kata Button senior.

“Cinta,” jawab Benjamin asal-asalan.

“Baja?” seru Roger Button, “Hey, aku bukan bicara soal material.”

Benjamin memandang ayahnya dengan mata berkunang-kunang ketika langit timur tiba-tiba merekah bersama cahaya, dan seekor kepodang menguap nyaring di sebatang pohon rowan …


Diambil dari cerita Kisah Ajaib Benjamin Button, halaman 21-22.

Posted on

Kekekalan [Cuplikan]


Umur perempuan itu enam puluh tahun, barangkali juga enam puluh lima. Kupandangi dia dari kursi panjang, sambil berselonjor menghadap kolam renang klub kebugaran di puncak gedung pencakar langit yang menyuguhkan pemandangan seluruh penjuru Paris.

Aku sedang menunggu Profesor Avenarius. Aku biasa mengobrolkan berbagai hal dengannya di sini. Profesor Avenarius belum datang dan aku masih saja memandangi perempuan itu. Dia sendirian di kolam renang, terbenam hingga pinggang. Dia menatap lekat guru renang muda bercelana parasut yang sibuk memberinya pelajaran berenang. Sembari menyimak perintah-perintahnya, perempuan itu bertelekan di pinggir kolam, menghirup dan mengembuskan napas dalam-dalam. Dia melakukannya dengan serius dan penuh semangat, hingga seolah-olah dari dalam air muncul suara mendesis lokomotif uap tua (suara ini sekarang sudah dilupakan, karena itulah bagi mereka yang tak pernah mengenal kereta api uap, tak ada cara yang lebih baik menggambarkannya selain dengan helaan napas seorang perempuan tua di pinggir kolam renang).

Aku terpesona memandangnya. Dia memikatku dengan perilaku konyolnya yang menggelitik itu (kekonyolan ini, si pelatih renang tampaknya merasakan juga, sebab kulihat sudut bibirnya terus mencibir). Tetapi seseorang mengajakku berbincang-bincang dan mengalihkan perhatianku. Begitu aku hendak mengamatinya lagi, pelajaran telah usai. Perempuan itu ber­jalan dengan pakaian renang di sepanjang tepi kolam, dan ketika sudah empat atau lima meter melewati guru renangnya, dia menoleh, tersenyum dan melambaikan tangan. Seketika jantungku berdegup kencang. Senyum itu, gerak itu, milik gadis berusia dua puluhan! Tangannya melambai enteng, menggoda, seolah-olah sambil bercanda melemparkan balon aneka warna ke­pada kekasihnya. Senyum dan gerak itu penuh pesona tetapi wajah dan tubuh sudah tidak lagi, sehingga pe­sona gerak itu tenggelam dalam tubuh yang tidak lagi memikat. Tetapi perempuan itu, sekalipun tahu pasti dirinya tak cantik lagi, melupakan kenyataan tersebut untuk sesaat.

Ada bagian tertentu dalam diri kita semua yang hidup di luar waktu. Bisa jadi kita menyadari umur hanya pada saat-saat tertentu, selebihnya kita awet muda. Ya, pada saat dia menoleh, tersenyum, dan melambaikan tangan pada guru renang mudanya (yang tak kuasa lagi menahan diri dan meledaklah tawanya), perempuan itu jelas tidak ingat umur.

Hakikat pesonanya, yang tak tergantung waktu, dalam tempo sedetik terkuak dalam gerak itu dan memukauku. Aku merasakan emosi yang ganjil. Dan kata ‘Agnes’ tebersit dalam benakku. Agnes. Aku tidak pernah kenal perempuan dengan nama itu.


Diambil dari novel Kekekalan, halaman 6-7.

Posted on

Rakyat [Puisi]

RAKYAT

hadiah di hari krida
buat siswa-siswa SMA Negeri
Simpang Empat, Pasaman

Rakyat ialah kita
jutaan tangan yang mengayun dalam kerja
di bumi di tanah tercinta
jutaan tangan mengayun bersama
membuka hutan-hutan lalang jadi ladang-ladang berbunga
mengepulkan asap dari cerobong pabrik-pabrik di kota
menaikkan layar menebar jala
meraba kelam di tambang logam dan batubara
Rakyat ialah tangan yang bekerja

Rakyat ialah kita
otak yang menapak sepanjang jemaring angka-angka
yang selalu berkata dua adalah dua
yang selalu bergerak di simpang siur garis niaga
Rakyat ialah otak yang menulis angka-angka

Rakyat ialah kita
beragam suara di langit tanah tercinta
suara bangsi di rumah berjenjang bertangga
suara kecapi di pegunungan jelita
suara bonang mengambang di pendapa
suara kecak di muka pura
suara tifa di hutan kebun pala
Rakyat ialah suara beraneka

Rakyat ialah kita
puisi kaya makna di wajah semesta di darat
hari yang berkeringat
gunung batu berwarna coklat di laut
angin yang menyapu kabut
awan menyimpan topan
Rakyat ialah puisi di wajah semesta

Rakyat ialah kita
darah di tubuh bangsa
debar sepanjang masa


Puisi ini dimuat dalam Kumpulan Puisi Hartojo Andangdjaja.

Posted on

Tukang Kebun, Lirik 6 [Puisi]

Burung jinak tinggal dalam sangkar, burung bebas di rimba raya.
Datang saatnya mereka berjumpa, itulah kehendak nasib.
Burung bebas berseru, “O Kekasihku, marilah kita terbang ke hutan.”
Burung dalam sangkar berbisik, “Ke sinilah, tinggal saja kita dalam sangkar.”
Berkata burung bebas, “Antara terali, di manakah ruang untuk mengembangkan sayap?”
“Sayang,” seru burung dalam sangkar, “tak tahu aku di mana tempat untuk bertengger di langit.”

Burung bebas berseru, “Kekasihku, nyanyikanlah nyanyian rimba raya.”
Burung dalam sangkar berkata, “Duduklah di sampingku, akan kuajarkan kepadamu bahasa cendekiawan.”
Burung rimba berseru, “Tidak, ah tidak! Nyanyian tak pernah dapat diajarkan.”
Burung dalam sangkar berkata, “Sayang bagiku, tak tahu aku nyanyian rimba raya.”

Kasih mereka memuncak karena rindu, tetapi mereka tak dapat terbang bersama bersisian sayap.
Dari celah terali sangkar mereka saling memandang dan sia-sialah keinginan mereka untuk saling tahu-menahu.
Mereka mengepak-kepakkan sayap penuh rindu dan bernyanyi, “Merapatlah ke sini, Cintaku!”
Burung bebas berseru, “Tak mungkin, aku takut akan pintu-pintu sangkar yang rapat tertutup itu.”
Burung dalam sangkar berbisik, “Sayang, sayapku lemah dan mati.”


Puisi ini dimuat dalam Tukang Kebun karya Rabindranath Tagore.

Posted on

Dongeng Binatang [Cuplikan]


Di sebuah kebun binatang, dalam pondok kayu terasing, hiduplah sekoloni tikus yang menyebut dunia mereka sebagai satu-satunya peradaban yang ada. Mereka ditempatkan dalam kandang kaca bersekat-sekat, digolongkan sesuai berapa usia dan siapa induk yang melahirkannya. Dunia tak seindah yang mereka bayangkan. Mereka dipelihara untuk dijadikan pakan di kebun binatang itu. Dan tak satu pun dari mereka yang tahu kenyataan tersebut. Mereka cuma tahu bahwa mereka dirawat sebaik mungkin oleh manusia. Kandang dialasi sekam empuk, makanan dan minuman selalu tersedia. Segala kebutuhan pokok terpenuhi: mereka tak perlu memikirkan apa-apa kecuali terus tumbuh.

Sudah seratus tahun lamanya kebun binatang itu berdiri. Selama itu, sudah sekian banyaknya tikus pakan yang lahir dan mati. Sepasang tikus yang pertama ada di kebun binatang itu (leluhur, mereka menyebutnya) sedari dulu sudah memperingatkan anak-anaknya agar jangan terperdaya oleh kebaikan manusia. Tapi tikus-tikus muda kemudian berubah pikiran seiring menyikapi kesungguhan manusia dalam membesarkan mereka. Yang terjadi di masa mendatang malah sebaliknya: mereka mengagungkan manusia. Manusia dianggap sebagai makhluk mulia. Mereka sudah lupa seperti apa peran tikus yang sesungguhnya di tengah-tengah kehidupan manusia. Mereka tak lagi mengetahui apa yang seharusnya diketahui tikus sejak lahir, termasuk siapa sajakah musuh tikus, dan jangan tanyakan soal kucing atau apa pun yang belum pernah mereka lihat. Di mata mereka semesta hanyalah sebatas dinding-dinding pondok. Bentuk dan suara kucing pun sudah hilang dari ingatan. Bahkan mereka bertanya-tanya, apakah makhluk bernama kucing itu benar ada?

Tiap hari sekarung tikus diangkut meninggalkan kandang kaca untuk selama-lamanya. Tapi tikus-tikus pakan menarik dugaan keliru. Mereka berkhayal diberangkatkan ke suatu tempat misterius yang menjadi surga bagi tikus. Mereka sepakat menyebutnya Taman Surga. Di Taman Surga, lantainya bertabur kacang yang secara berkala turun lewat perantara hujan. Sungainya dialiri susu, gunungnya dibentuk dari keju. Masuk akal kiranya tikus-tikus yang diberangkatkan tidak pernah kembali, sebab Taman Surga menjanjikan kepuasan tiada tara. Padahal mereka telah hilang ditelan pemangsa.


Diambil dari novel Dongeng Binatang, halaman 9-10.