
Apakah arti Tagore bagi kita?
Prosa-prosa lirik berbahasa Belanda yang memperlihatkan pengaruh Tagore dalam majalah-majalah pemuda tahun 1917, penerjemahan The Gardener lewat bahasa Belanda ke dalam bahasa Jawa oleh pangeran yang kemudian menjadi Mangkunegoro VII di Solo (R. M. A. Soerjo Soeparto) pada tahun 1919, penerjemahan Melatiknoppen, prosa-prosa lirik bergaya Tagorik karya Noto Soeroto ke dalam bahasa Indonesia oleh Muh. Yamin (ketika itu M. Jamin) dalam majalah Jong Sumatra tahun 1921, dan kemudian penerjemahan ke dalam bahasa Indonesia atas karya-karya Tagore yang literer maupun yang non-literer sejak tahun-tahun dua puluhan hingga tahun-tahun empat puluhan yang dikerjakan oleh Muh. Yamin (Di dalam dan di loear Lingkoengan Roemah Tangga, Menantikan Soerat dari Radja), Amal Hamzah (Gitanjali, Bunga Serodja dari Gangga), Anas Ma’ruf (Tjitra), Darmawidjaya (Tamu) dan Tatang Sastrawiria (Nasionalisme), semua ini memperlihatkan bahwa juga di Indonesia Tagore menemukan pencinta-pencintanya.
Namun demikian, apakah Tagore tidak terlalu tua bagi kita? Demikian mungkin pembaca-pembaca modern akan bertanya.
Dan pertanyaan demikian timbul, mungkin karena dalam karya-karya Tagore bergema semangat India Purba. Atau karena di sana mengembang kabut mistisisme. Atau katakanlah misalnya, seperti pernah dikatakan William Butler Yeats, karena dalam karya-karya Tagore perempuan kehilangan arti badaniahnya, tidak menjasmani, dan karena itu kehilangan artinya sebagai perempuan yang nyata. Dan sejumlah ‘karena’ lagi tentu masih bisa disebutkan.
Tapi sebenarnyakah demikian? Terlalu tuakah Tagore bagi kita?
Rabindranath Tagore (1861–1941) dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang mewarisi nilai-nilai religi dari India Purba sebagai kekayaan rohani yang berharga. Ayahnya, Maharshi Devendranath Tagore, konon selalu memulai hari paginya dengan resitasi Upanishad dan sajak-sajak Hafiz. Tapi serempak dengan itu, dalam suasana kebangunan India modern di zamannya, keluarga itu adalah juga perintis pembaharuan yang menerima pikiran-pikiran modern dari Barat. Kakeknya, Dwarkanath Tagore, adalah seorang pendukung cita-cita Raja Ramohan Ray dalam usahanya menyebarluaskan pendidikan modern. Juga Maharshi Devendrananth Tagore, adalah salah seorang pemimpin Brahmo-Samaj, gerakan pembaharuan yang dirintis oleh Raja Ramohan Ray, bapak renaissans India itu. Malah sepeninggal Raja Ramohan Ray, Maharshi dipandang sebagai penggantinya.
Lingkungan keluarga tempat Tagore dibesarkan itu dapat kita lihat sebagai latar belakang yang memperjelas gambaran kepribadian Tagore kepada kita. Demikianlah dari lingkungan keluarganya sejak semula Tagore telah mewarisi nilai-nilai religi India Purba dan pikiran-pikiran modern dari Barat. Semangat India Purba dan semangat Barat modern bertemu dalam jiwa Tagore yang kreatif, yang sanggup menciptakan harmoni antara keduanya tanpa menimbulkan perpecahan.
Tukang Kebun dalam terjemahan Indonesia ini adalah himpunan 85 lirik tentang cinta dan kehidupan, buah karya Tagore di masa mudanya.
Dalam segala karya Tagore, selain terlihat betapa besar cintanya kepada alam, juga terlihat betapa besar cintanya kepada manusia dan kehidupan.
Cinta Tagore kepada manusia membuat dia tak asing akan beragam perasaan yang mungkin dihayati manusia. Dan satu di antara beragam perasaan itu ialah perasaan cinta antara laki-laki dan perempuan, cinta dalam arti asmara. Demikianlah dalam Tukang Kebun cinta asmara itu diungkapkan dalam beragam nuansa kesedihan dan kegirangannya, kekecewaan dan harapannya, kecemasan dan keberaniannya, permainan lembut dan kesungguhan dan mesranya. Apabila dalam cinta ini, seperti kata Yeats, perempuan dalam karya-karya Tagore kehilangan arti badaniahnya, tidak menjasmani dan karena itu kehilangan artinya sebagai perempuan yang nyata, itu adalah karena perempuan dalam kejelitaannya bagi Tagore adalah manifestasi dari keindahan yang hanya bisa disentuh dengan roh, dengan jiwa, seperti diungkapkannya dalam Tukang Kebun, lirik ke-49:
Kupegang kedua tangannya dan kutekankan dia ke dadaku.
Kucoba memenuhi lenganku dengan kejelitaannya, merampas senyumnya manis dengan ciuman berulang-ulang, mereguk cerlang matanya hitam dengan mataku.
Tetapi ah, manakah itu? Siapa bisa meregangpisahkan kebiruan itu dari langit?
Kucoba mendekap keindahan; ia terlucut lepas; hanya tubuh itu juga ditinggalkannya dalam tanganku.
Letih dan sia-sia aku pun pulang.
Betapa dapat jasad menjamah keindahan, yang hanya ruh saja dapat menjamahnya?
Dan cinta dalam kualitas demikian itu dalam karya-karya Tagore di masa-masa kemudian berkembang menjadi cinta kepada Tuhan, karena keindahan–jadi juga kejelitaan perempuan–adalah manifestasi dari Keindahan Tuhan juga.
Namun itu tidak berarti bahwa Tagore menolak cinta badaniah. Hanya cinta badaniah ini bagi Tagore mestilah memiliki artinya yang transendental, mengantarkannya ke arah cinta yang lebih luhur, ke arah cinta kepada Tuhan. Dengan demikian ia tidak terjatuh ke dalam sikap seorang epikuris atau hedonis yang melewati batas. Dan dalam segalanya Tagore tak ingin akan segala yang melewati batas. Ia ingin berada dalam batas-batas keseimbangan, keselarasan, harmoni. Karena pada hakikatnya hidup adalah keselarasan, harmoni.
Dan karena itulah pula maka ia pun menolak ascetism yang berat sebelah dan melewati batas dalam sikapnya yang membelakangi dunia, menafikan kehidupan duniawi ini, seperti dinyatakan dalam Tukang Kebun, lirik ke-43:
Tidak, Kawanku, aku tidak akan meninggalkan dapur dan rumahku, dan lari ke sunyi belantara, jika tak ada tawa gembira yang berdenting dalam kerindangannya yang penuh gema itu, dan jika tak ada mantel kuning muda yang ujungnya berkibaran di angin; jika kesunyiannya itu tidak dimesrai bisik-risik yang lembut halus.
Aku tidak akan jadi pendeta.
Demikianlah ia menolak ascetism karena mencintai kehidupan ini. Dan cintanya pada kehidupan membuat dia memandang bumi tempat kita hidup ini tidak hanya sebagai pentas di mana manusia berperan, tetapi lebih dari itu, sebagai ibu yang mengasihi anak-anaknya, memberi mereka pangan dan kesenangan, meskipun apa yang dapat diberikannya itu jauh dari sempurna. Dan justru karena ketaksempurnaan kasih bumi itu, manusia mesti mencintainya, memujanya dengan kegiatan-kegiatan manusiawinya, dengan kerja. Ini dapat kita baca dalam Tukang Kebun, lirik ke-73:
Kemewahan tak terbatas bukan milikmu, ibu debu yang muram dan sabar.
Engkau bekerja untuk mengisi mulut anak-anakmu, tetapi pangan sukar didapat.
Hadiah kegirangan yang kauberikan kepada kami tak kunjung sempurna.
………………………………………………………
Berabad-abad kau bekerja, dengan warna dan nyanyian, namun sorgamu tak juga terbina, hanya kesan sedihnya semata yang ada.
Atas ciptaan keindahanmu mengembang kabut airmata.
Ingin kutuangkan nyanyianku ke dalam hatimu kelu, dan kasihku ke dalam kasihmu.
Ingin kupuja kau dengan kerja.
Telah kulihat wajahmu lembut, dan aku cinta pada debumu pilu, Ibu Bumi
Ya, dengan kerja kita puja bumi ini.
Dan apa yang terdengar dalam Tukang Kebun ini akan menemukan pengucapannya yang lebih mantap dalam karya-karya Tagore di masa-masa kemudian, yang mengimplikasikan pandangannya, seperti diuraikan dalam Sadana, bahwa dengan bekerja kita tidak saja menolong bumi ini, tetapi juga membantu Tuhan, karena Tuhan memanifestasikan diri-Nya juga dalam kegiatan manusiawi mengasuh dunia ini.
Demikianlah apa yang masih sayup terdengar dalam Tukang Kebun ini akan makin nyaring terdengar dalam karya-karya Tagore yang kemudian sebagai suara yang memancarkan ide tentang perhubungan antara Tuhan sebagai Pencipta dengan ciptaan-Nya, ialah alam dan segala yang terkembang di sana.
Ide itu diuraikan Tagore dalam bukunya Sadana dan merupakan satu ide sentral yang memancar dalam seluruh karya Tagore.
Dalam Sadana Tuhan disebutnya sebagai Yang Baka (infinit) dan segala ciptaan-Nya disebutnya sebagai Yang Fana (finit).
Yang Baka itu memanifestasikan diri-Nya dalam Yang Fana, ialah dalam beragam bentuk kegirangan di mana-mana, dalam alam, dalam manusia dan segala kegiatan manusiawinya.
Demikianlah alam sebagai Yang Fana adalah manifestasi dari Yang Baka. Karena itu alam dalam karya-karya Tagore tidak saja dipakai sebagai lambang, yang lebih banyak berhubungan dengan segi teknik literer, tetapi juga, dan malahan terutama, alam itu adalah suatu kenyataan yang hidup (a living reality). Dalam Gitanjali, lirik ke-59 misalnya kita baca:
Ya, tahu aku, ini hanyalah kasih-Mu semata-mata, o kekasih hatiku! Cahaya emas yang menari di atas daun, awan yang tiada bertuju ini, yang berlayar di atas langit, angin yang menyisir lalu yang mengusap sejuk di keningku.
(terjemahan: Amal Hamzah)
Dan bermesra dengan alam, dengan dunia ini–dan bukan meninggalkannya seperti dilakukan para sannyasin–berarti juga bermesra dengan Yang Baka, merasakan kehadirannya dalam Yang fana, alam itu. Demikianlah dalam baris-baris selanjutnya dalam lirik ke-59 itu dapat kita baca:
Cahaya pagi meluapi mataku. Inilah berita-Mu kepada hatiku. Wajah-Mu tunduk ke bawah, mata-Mu memandang ke dalam mataku dan hatiku menyentuh kaki-Mu.
(terjemahan: Amal Hamzah)
Tetapi manifestasi dari Yang Baka itu baru mencapai kesempurnaannya yang penuh dalam jiwa manusia. Sebab di sana Kemauan Yang Baka bertemu dengan kemauan manusia. Di sana Yang Baka itu datang, tidak sebagai Raja, tetapi sebagai tamu. Ia akan menunggu di luar pintu dengan kesabaran yang tak berwatas. Ia tidak akan merusak pintu dengan kekerasan dan kekuasaan seorang raja. Ia tidak akan masuk bila tidak dipersilakan. Akan dibukakankah pintu untuk-Nya atau tidak, hal itu dikembalikan pada kemauan bebas dalam jiwa manusia. Bila jiwa manusia dengan kemauan bebasnya membukakan pintu untuk-Nya, maka akan terjadilah pertemuan itu, permesraan itu, dan Kemauan pun bertemu dengan kemauan, dalam kasih, dalam kebebasan. Maka puja yang mengalun dalam Gitanjali, lirik ke-22 adalah:
Mereka yang mengasihi aku di dunia ini mau menjaga keselamatanku dengan berbagai cara.
Tetapi tidak demikian dengan kasih-Mu yang lebih besar dari kasih mereka itu. Engkau membebaskan aku.
Mereka tak berani membiarkan aku sendiri, supaya sekejap pun aku jangan lupa kepadanya. Tetapi hari bersusun lalu dan Engkau tak jua tampak.
Meskipun tidak kuseru Engkau dalam doaku, walaupun tidak kusimpan Engkau dalam hatiku, tetapi kasih-Mu padaku senantiasa menunggu kasihku.
(terjemahan: Amal Hamzah)
Pertemuan antara Kasih dari Yang Baka dan kasih dalam jiwa manusia ini adalah suatu intensi. Tetapi tenggelam dalam intensi ini semata manusia akan kehilangan keseimbangannya. Ia hanya hendak menyatukan diri dengan Yang Baka dalam renungan-renungannya semata, mabuk dalam dunia internalnya sendiri. Sedang Yang Baka, yang memanifestasikan dirinya pula di dunia eksternal, ia lupakan. Maka intensi itu mesti diimbangi dengan ekstensi. Dan ekstensinya ialah: merealisasikan Yang Baka itu juga dalam perbuatan, dalam segala kegiatan manusiawi. Carilah juga Yang Baka itu di sana, sebab:
Di mana petani meluku tanah yang keras, di mana pembuat jalan memukul Batu, di situlah Dia.
Bersama orang-orang ini Ia berpanas dan berhujan dan pakaiannnya dilekati debu.
Tanggalkanlah pakaian sucimu dan turunlah ke tanah yang berdebu itu, seperti Dia.
(Gitanjali, terjemahan: Amal Hamzah)
Dalam kerja, dalam kegiatan manusiawi kita menyatukan diri dengan Yang Baka, membantu Dia dalam pekerjaan-Nya yang besar mengasuh dunia ini:
Carilah Dia dan tolonglah Dia dalam bekerja, dengan keringat di kening tuan.
Demikianlah baris penutup lirik itu.
Maka dapatlah disimpulkan, bahwa persatuan dengan Yang Baka itu dapat dicapai manusia dalam persentuhan mesranya dengan alam, dalam jiwanya sendiri dan dalam kegiatan manusiawinya di tengah kehidupan ini.
Apabila itulah semangat India Purba yang bergema dalam karya-karya Tagore, maka semangat itu telah mendapat interpretasi baru dan menjadi semangat baru, karena sikap menyambut-hidup telah menggantikan sikap menafikan-hidup yang lama itu. Dan apabila itulah mistisisme dalam karya-karya Tagore, maka itulah mistisisme yang tidak hanya berusaha mencapai persatuan dengan Yang Baka di dunia internal, dalam jiwa manusia semata, tetapi juga mencarinya ke luar, ke dunia eksternal, ke tengah
alam dan kegiatan manusia.
Demikianlah Yang Baka itu adalah kaki langit maha raya. Kaki langit yang tidak hanya berada dalam kesayupan jauh di muka kita, tetapi juga yang ada beserta kita, karena setiap langkah kita menuju kepadanya selalu bergetar dengan irama kehadirannya. Kita telah, sedang, dan akan menuju kepadanya, karena kita adalah saat-saat dalam maharaya-Nya yang tak terbatas; saat-saat dalam kepribadian Tuhan yang besar.
Itulah ide sentral yang memancar dalam seluruh karya Tagore. Itulah–sebagai jawab atas pertanyaan di alinea pertama pengantar ini–arti Tagore bagi kita. Dan itulah Tagore. Ia telah membukakan kaki langit itu bagi kita.
Semoga kita tidak terlalu kecil untuk itu.
***
Ditulis oleh Hartojo Andangdjaja
Esai ini dimuat sebagai Pengantar dalam Tukang Kebun karya Rabindranath Tagore.