
Urashima adalah seorang nelayan muda yang hidup di sebuah pantai pedalaman. Setiap malam ia pergi berlayar, menangkap ikan besar maupun kecil, berada di tengah laut selama berjam-jam, nyaris tanpa penerangan kecuali sebuah lentera samar-samar. Pagi harinya ia menjual ikan hasil tangkapan di pasar nelayan, lalu pulang setelah mengantungi hasilnya. Begitulah ia menjalani hari-harinya dan begitulah cara dia bertahan hidup.
Suatu malam, rembulan bersinar cemerlang sehingga permukaan air laut bisa ia lihat dengan jelas. Urashima duduk di atas perahunya dan mencelupkan tangan kanannya ke dalam air. Ia terus membenamkan lengannya dalam-dalam hingga rambutnya mengambang di permukaan air, tak mempedulikan kecondongan perahunya. Ia hanyut bersama perahunya hingga sampai di sebuah tempat keramat. Ia berada dalam kondisi antara sadar dan tak sadar, karena rembulan membuatnya terbuai suasana.
Kemudian dari kedalaman tertentu Puteri Palung Samudera bangkit ke permukaan air, menjangkau tubuh si nelayan dengan lengannya, lalu membawa tubuh itu menyelam bersamanya, dalam dan kian dalam, menuju goa dingin tempat persemayamannya. Puteri Palung Samudera membaringkan tubuh si nelayan di atas ranjang pasir, lalu menatapnya lama-lama. Mantera makhluk laut ia bisikkan ke telinganya, lagu-lagu laut ia nyanyikan untuknya, sampai kemudian si nelayan membuka mata. Terpesona.
Ia pun bertanya, “Siapakah kamu, Nona?”
Si makhluk laut menjawab, “Aku adalah Puteri Palung Samudera.”
“Aku ingin pulang. Biarkan aku pergi,” katanya. “Anak dan istriku menunggu di rumah.”
“Ah, nanti dululah. Tinggallah bersamaku barang sebentar,” sahut Puteri Palung Samudera. Lalu ia bersyair:
Urashima
Kau nelayan laut biru
Sungguh rupawan wajahmu
Rambut panjangmu menjerat kalbu
Jangan kau pergi dariku
Lupakanlah rumahmu
“Ah, sudah cukup,” keluh si nelayan yang justru tak nyaman mendengar pujian-pujian itu. “Tolong, biarkan aku pergi . . . Aku akan kembali ke rumahku sendiri.”
Tapi sang Puteri Palung Samudera bersyair kembali:
Urashima
Kau nelayan laut biru
Kan kuhias mutiara di ambinmu
Kan kutebar kembang laut di ranjangmu
Jadilah untukku Raja Laut Biru
Aku akan jadi ratumu
Namun Urashima tetap tidak tergoda mendengar lembut syair yang merayu-rayu dan dibawakan dengan suara amat merdu itu.
“Biarkan aku pergi. Anak-anakku masih kecil, dan istriku sakit-sakitan.”
Puteri Palung Samudera tak mempedulikan permintaan itu. Ia kembali melanjutkan syairnya.
Urashima
Kau nelayan laut biru
Janganlah takut badai menderu
Mulut goa kan kuganjal batu
Janganlah takut mati tenggelam
Kau bukanlah seekor ayam
Namun Urashima juga tidak tertawa mendengar akhir syair yang lucu ini. Pikirannya tetap tertuju ke arah istri dan anaknya.
“Aduuh, sudahlah. Demi Langit, aku harus kembali ke rumahku sendiri.”
“Tinggallah bersamaku barang semalam ini.”
“Tidak semalam pun.”
Lalu Puteri Palung Samudera menangis mencucurkan air mata. Urashima melihat tetesannya.
“Aku tetap tidak akan tinggal bersamamu,” Urashima berkeras.
Maka akhirnya Puteri Palung Samudera membawa Urashima kembali ke bentangan pasir dan pantai. Hari telah jauh malam, dan rembulan hampir padam.
“Sudah hampir sampaikah kita di kampungmu?” tanya Puteri Palung Samudera.
“Tinggal sepelemparan batu lagi,” sahut Urashima.
“Ambillah ini sebagai kenang-kenangan perjumpaan kita, sebagai kenang-kenangan atas diriku yang cantik ini.”
Lalu Puteri Palung Samudera memberikan untuknya sebuah peti yang terbuat dari indung mutiara. Permukaannya warna-warni bagaikan pelangi, dan kancingnya dari karang dan batu kumala. Urashima menerimanya dengan hati berdebar dan benak penuh tanda tanya. Tangannya gemetar.
“Jangan pernah kau membukanya,” Puteri Palung Samudera memperingatkan. “O, Urashima, jangan sekali-kali!” Dan bersama pesan terakhir ini Puteri Palung Samudera mencebur ke dalam laut lalu lenyap sama sekali.
Urashima memandang tempat menghilangnya Puteri Palung Samudera dengan rasa bingung campur ngeri. Tapi ia bersyukur karena bisa sampai kembali ke daratan dengan selamat. Ia pun berlari ke arah rumahnya secepat yang ia bisa, melewati deretan pohon cemara sambil melambung-lambungkan peti kecil di tangannya ke udara.
“Ah, sejuknya hawa di bawah pohon cemara! Kini aku sudah hampir sampai di rumah. Itu dia, di depan sana!” serunya riang pada diri sendiri. Ia pun mempercepat larinya.
Namun alangkah herannya Urashima, karena yang ia dapati adalah sebuah rumah yang sudah sangat berlumut, kelihatan sangat tua. Bukan itu saja: atapnya hampir runtuh dan rumah itu sudah tak berpintu. Sebagai gantinya, serumpun bunga liar tumbuh di ambang pintu. Ketika melangkah masuk, dekat tempat perapian yang kelihatan sudah lama sekali tak digunakan ia dapati tumbuhan duri yang sudah kering. Tentu saja ia tak bertemu siapa pun di sana.
“Aneh sekali. Apakah aku salah alamat? Tapi mengingat letaknya, rumah ini jelas rumahku. Bagaimana bisa jadi seperti ini.” Urashima keheranan dan terus bertanya-tanya.
“Apakah aku sendiri yang sudah gila? Apakah mataku ketinggalan di dalam goa bawah laut? Ada-ada saja.”
Ia duduk di atas bentangan rumput kering yang dulunya adalah lantai rumah. Ia berpikir lama dan menimbang-nimbang berbagai kemungkinan, namun benaknya yang sederhana tak mampu menemukan penjelasan dari segala keanehan ini.
“Oh Langit, tolonglah aku!” bisiknya lirih dalam perasaan bercampur aduk. “Di manakah istriku berada, dan di manakah anak-anakku yang masih kecil itu?”
Ketika malam berubah menjadi pagi, ia berjalan keluar rumah dan menuju ke tengah kampung. Jalan kampung itu ia kenal dengan baik, batu-batu di sepanjang langkahnya juga akrab dalam ingatan. Ia tak merasa seperti sedang tersesat. Namun penduduk kampung itu tidak ada seorang pun yang ia kenal, baik yang tua maupun yang muda. Mereka yang berjalan memapasinya pun tidak menunjukkan gelagat diri mengenal Urashima.
“Selamat pagi, musafir!” seru mereka. ‘Musafir, mereka bilang? Musafir di kampung halamanku sendiri?’ batin Urashima. Ia sungguh tak percaya dengan apa yang ia dengar.
“Apakah kau datang dari kota?” Salah satu dari mereka bertanya.
Ia terlalu bingung untuk menjawab pertanyaan itu.
Ia jumpai anak-anak yang sedang bermain di halaman. Ia angkat dagu mereka satu per satu, tapi tak ia dapati anaknya di antara mereka. Mata mereka pun menatapnya dengan tak kalah heran. Duh, lalu di manakah anak-anakku? Ah, ia hampir putus asa mencari jawabnya.
“Di manakah anak-anakku, wahai Dewi Kwan-Im? Oh, engkau yang penuh kasih . . . Hanya engkaulah yang bisa menjelaskan padaku semua ini.”
Ia terus berjalan hilir-mudik di kampung itu dengan rasa heran campur bingung yang tak kunjung berkurang. Ketika senja datang, dadanya menjadi sesak seolah terhimpit batu besar. Di batas desa, ia bertanya menyelidik pada setiap lelaki yang lewat. Ia tarik lengan baju mereka.
“Sobat, maaf kalau aku bertanya,” begitulah setiap kali ia mulai bicara, “apakah kau kenal dengan seorang nelayan muda bernama Urashima? Ia tinggal di kampung ini.”
Lelaki yang ditanya tampak mengingat-ingat sebentar, seperti memberi harapan akan jawaban yang menyenangkan, namun akhirnya balasan mereka selalu sama: “Tidak! Aku belum pernah mendengar nama itu, apalagi bertemu orangnya.”
Ada juga di antara mereka itu para petani yang datang dari gunung. Ada yang naik kuda, ada yang berjalan kaki saja. Mereka menyanyikan lagu-lagu desa dan membawa keranjang bawaan berisi buah-buahan liar atau kayu kering. Ia perhatikan pakaian mereka, topi jerami mereka, alas kaki mereka, dan labu kering berisi bekal minuman. Sebagian dari mereka berjalan cepat, ada pula yang berjalan pelan, mungkin sambil merenung-renung. Malam pun akhirnya tiba.
“Hilang sudah harapanku!” keluh Urashima.
Tapi kemudian ia melintas di depan rumah seorang kakek yang sudah amat sangat tua.
“Oh, Kakek, selamat malam. Aku hendak bertanya: tentunya Kakek pernah mendengar nama Urashima. Dia lahir dan tumbuh di desa ini.”
Si kakek mengangkat kepalanya perlahan-lahan dan menelengkan kepala.
“Urashima? Ya, ada yang bernama Urashima. Aku masih ingat. Tapi itu sudah lama sekali. Ingatanku sudah sangat samar. Waktu masih kecil, aku mendengar dia mati tenggelam. Padahal umurnya masih sangat muda.”
Urashima terperanjat. Mulutnya ternganga. Rahangnya seperti hendak lepas.
“Mati?”
“Tak ada yang lebih mati dibanding dia! Sekarang saja, anak-anaknya Urashima sudah mati semua. Untunglah aku dikaruniai umur yang amat sangat panjang. Nah, selamat malam, musafir.” Dan kakek renta itu pun melangkah masuk ke rumah.
Tiba-tiba Urashima dicekam oleh ketakutan yang mendalam. Apa yang baru saja ia dengar itu amat sangat mengerikan. Bagaimana tidak, baru saja ia berharap untuk bisa bertemu dengan anak-anaknya yang ia pikir masihlah di bawah umur lima tahun, namun ternyata semua anaknya sudah mati. Sudah pasti istrinya juga sudah lama mati. Lalu perlahan timbul perasaan betapa sia-sianya hidup ini. Ia merasa hanya semalam berpisah dari keluarganya, namun ternyata waktu yang rasanya sangat singkat itu ternyata sangatlah panjang. Sentuhan hawa dingin pun kini menusuk kulitnya lebih dalam.
Lalu setelah beberapa lama ia kembali menguasai diri dan berketetapan hati: “Aku harus pergi ke lembah maut, tempat orang-orang yang sudah mati tertidur.”
Ia pun menuju ke lembah itu.
“Wahai rembulan murung, tunjukkanlah padaku makam itu; O . . . kau yang tetap tak berubah sedikit pun sejak dahulu.”
Lalu bersama gerak awan yang bergeser, melalui sinarnya rembulan menunjukkan padanya makam itu. Beberapa saat lamanya ia pandangi makam istri dan anak-anaknya itu.
“Oh, Urashima yang celaka, memang tak ada yang lebih mati dibanding kamu. Kau berdiri seorang diri di antara hantu-hantu . . . Siapa yang akan melipur laramu?” Urashima bicara pada dirinya sendiri.
Angin malam berhembus. Tak ada suara apa pun yang mengiringinya. Segalanya hening. Bahkan burung malam pun tak mau menemani Urashima. Ia benar-benar sendirian di lembah itu.
Lalu ia sadar akan keberadaan peti kecil yang sejak kemarin dikepitnya. Ia pun membuka kancing peti itu. Dari balik peti muncullah asap tipis putih yang kemudian meng-alun tinggi ke udara. Ia mengalun dengan gerak yang menyuarakan kehampaan.
“Aduh, aku jadi sangat lelah,” keluh Urashima. Dalam sekejap, rambut di kepalanya berubah menjadi putih bagaikan salju. Ia gemetar, tubuhnya mengeriput, kedua matanya meredup. Ia yang semula sangatlah muda dan bertenaga kini menjadi seorang lelaki jompo.
“Aku sudah tua,” bisiknya pada diri sendiri.
Ia katupkan kembali tutup peti itu, namun kemudian segera menjatuhkannya ke tanah dan berkata, “Asap di dalamnya sudah pergi untuk selamanya. Lalu apa lagi gunanya peti ini?”
Urashima membaringkan tubuhnya di atas bentangan pasir dan ia pun mati.
Cerpen ini dimuat dalam Kumpulan Cerita Rakyat Jepang.