Posted on

Urashima [Cerpen]

Legenda Nelayan

Urashima adalah seorang nelayan muda yang hidup di sebuah pantai pedalaman. Setiap malam ia pergi berlayar, menangkap ikan besar maupun kecil, berada di tengah laut selama berjam-jam, nyaris tanpa penerangan kecuali sebuah lentera samar-samar. Pagi harinya ia menjual ikan hasil tangkapan di pasar nelayan, lalu pulang setelah mengantungi hasilnya. Begitulah ia menjalani hari-harinya dan begitulah cara dia bertahan hidup.

Suatu malam, rembulan bersinar cemerlang sehingga permukaan air laut bisa ia lihat dengan jelas. Urashima duduk di atas perahunya dan mencelupkan tangan kanannya ke dalam air. Ia terus membenamkan lengannya dalam-dalam hingga rambutnya mengambang di permukaan air, tak mempedulikan kecondongan perahunya. Ia hanyut bersama perahunya hingga sampai di sebuah tempat keramat. Ia berada dalam kondisi antara sadar dan tak sadar, karena rembulan membuatnya terbuai suasana.

Kemudian dari kedalaman tertentu Puteri Palung Samudera bangkit ke permukaan air, menjangkau tubuh si nelayan dengan lengannya, lalu membawa tubuh itu menyelam bersamanya, dalam dan kian dalam, menuju goa dingin tempat persemayamannya. Puteri Palung Samudera membaringkan tubuh si nelayan di atas ranjang pasir, lalu menatapnya lama-lama. Mantera makhluk laut ia bisikkan ke telinganya, lagu-lagu laut ia nyanyikan untuknya, sampai kemudian si nelayan membuka mata. Terpesona.

Ia pun bertanya, “Siapakah kamu, Nona?”

Si makhluk laut menjawab, “Aku adalah Puteri Palung Samudera.”

“Aku ingin pulang. Biarkan aku pergi,” katanya. “Anak dan istriku menunggu di rumah.”

“Ah, nanti dululah. Tinggallah bersamaku barang sebentar,” sahut Puteri Palung Samudera. Lalu ia bersyair:

Urashima
Kau nelayan laut biru
Sungguh rupawan wajahmu
Rambut panjangmu menjerat kalbu
Jangan kau pergi dariku
Lupakanlah rumahmu

“Ah, sudah cukup,” keluh si nelayan yang justru tak nyaman mendengar pujian-pujian itu. “Tolong, biarkan aku pergi . . . Aku akan kembali ke rumahku sendiri.”

Tapi sang Puteri Palung Samudera bersyair kembali:

Urashima
Kau nelayan laut biru
Kan kuhias mutiara di ambinmu
Kan kutebar kembang laut di ranjangmu
Jadilah untukku Raja Laut Biru
Aku akan jadi ratumu

Namun Urashima tetap tidak tergoda mendengar lembut syair yang merayu-rayu dan dibawakan dengan suara amat merdu itu.

“Biarkan aku pergi. Anak-anakku masih kecil, dan istriku sakit-sakitan.”

Puteri Palung Samudera tak mempedulikan permintaan itu. Ia kembali melanjutkan syairnya.

Urashima
Kau nelayan laut biru
Janganlah takut badai menderu
Mulut goa kan kuganjal batu
Janganlah takut mati tenggelam
Kau bukanlah seekor ayam

Namun Urashima juga tidak tertawa mendengar akhir syair yang lucu ini. Pikirannya tetap tertuju ke arah istri dan anaknya.

“Aduuh, sudahlah. Demi Langit, aku harus kembali ke rumahku sendiri.”

“Tinggallah bersamaku barang semalam ini.”

“Tidak semalam pun.”

Lalu Puteri Palung Samudera menangis mencucurkan air mata. Urashima melihat tetesannya.

“Aku tetap tidak akan tinggal bersamamu,” Urashima berkeras.

Maka akhirnya Puteri Palung Samudera membawa Urashima kembali ke bentangan pasir dan pantai. Hari telah jauh malam, dan rembulan hampir padam.

“Sudah hampir sampaikah kita di kampungmu?” tanya Puteri Palung Samudera.

“Tinggal sepelemparan batu lagi,” sahut Urashima.

“Ambillah ini sebagai kenang-kenangan perjumpaan kita, sebagai kenang-kenangan atas diriku yang cantik ini.”

Lalu Puteri Palung Samudera memberikan untuknya sebuah peti yang terbuat dari indung mutiara. Permukaannya warna-warni bagaikan pelangi, dan kancingnya dari karang dan batu kumala. Urashima menerimanya dengan hati berdebar dan benak penuh tanda tanya. Tangannya gemetar.

“Jangan pernah kau membukanya,” Puteri Palung Samudera memperingatkan. “O, Urashima, jangan sekali-kali!” Dan bersama pesan terakhir ini Puteri Palung Samudera mencebur ke dalam laut lalu lenyap sama sekali.

Urashima memandang tempat menghilangnya Puteri Palung Samudera dengan rasa bingung campur ngeri. Tapi ia bersyukur karena bisa sampai kembali ke daratan dengan selamat. Ia pun berlari ke arah rumahnya secepat yang ia bisa, melewati deretan pohon cemara sambil melambung-lambungkan peti kecil di tangannya ke udara.

“Ah, sejuknya hawa di bawah pohon cemara! Kini aku sudah hampir sampai di rumah. Itu dia, di depan sana!” serunya riang pada diri sendiri. Ia pun mempercepat larinya.

Namun alangkah herannya Urashima, karena yang ia dapati adalah sebuah rumah yang sudah sangat berlumut, kelihatan sangat tua. Bukan itu saja: atapnya hampir runtuh dan rumah itu sudah tak berpintu. Sebagai gantinya, serumpun bunga liar tumbuh di ambang pintu. Ketika melangkah masuk, dekat tempat perapian yang kelihatan sudah lama sekali tak digunakan ia dapati tumbuhan duri yang sudah kering. Tentu saja ia tak bertemu siapa pun di sana.

“Aneh sekali. Apakah aku salah alamat? Tapi mengingat letaknya, rumah ini jelas rumahku. Bagaimana bisa jadi seperti ini.” Urashima keheranan dan terus bertanya-tanya.

“Apakah aku sendiri yang sudah gila? Apakah mataku ketinggalan di dalam goa bawah laut? Ada-ada saja.”

Ia duduk di atas bentangan rumput kering yang dulunya adalah lantai rumah. Ia berpikir lama dan menimbang-nimbang berbagai kemungkinan, namun benaknya yang sederhana tak mampu menemukan penjelasan dari segala keanehan ini.

“Oh Langit, tolonglah aku!” bisiknya lirih dalam perasaan bercampur aduk. “Di manakah istriku berada, dan di manakah anak-anakku yang masih kecil itu?”

Ketika malam berubah menjadi pagi, ia berjalan keluar rumah dan menuju ke tengah kampung. Jalan kampung itu ia kenal dengan baik, batu-batu di sepanjang langkahnya juga akrab dalam ingatan. Ia tak merasa seperti sedang tersesat. Namun penduduk kampung itu tidak ada seorang pun yang ia kenal, baik yang tua maupun yang muda. Mereka yang berjalan memapasinya pun tidak menunjukkan gelagat diri mengenal Urashima.

“Selamat pagi, musafir!” seru mereka. ‘Musafir, mereka bilang? Musafir di kampung halamanku sendiri?’ batin Urashima. Ia sungguh tak percaya dengan apa yang ia dengar.

“Apakah kau datang dari kota?” Salah satu dari mereka bertanya.
Ia terlalu bingung untuk menjawab pertanyaan itu.

Ia jumpai anak-anak yang sedang bermain di halaman. Ia angkat dagu mereka satu per satu, tapi tak ia dapati anaknya di antara mereka. Mata mereka pun menatapnya dengan tak kalah heran. Duh, lalu di manakah anak-anakku? Ah, ia hampir putus asa mencari jawabnya.

“Di manakah anak-anakku, wahai Dewi Kwan-Im? Oh, engkau yang penuh kasih . . . Hanya engkaulah yang bisa menjelaskan padaku semua ini.”

Ia terus berjalan hilir-mudik di kampung itu dengan rasa heran campur bingung yang tak kunjung berkurang. Ketika senja datang, dadanya menjadi sesak seolah terhimpit batu besar. Di batas desa, ia bertanya menyelidik pada setiap lelaki yang lewat. Ia tarik lengan baju mereka.

“Sobat, maaf kalau aku bertanya,” begitulah setiap kali ia mulai bicara, “apakah kau kenal dengan seorang nelayan muda bernama Urashima? Ia tinggal di kampung ini.”

Lelaki yang ditanya tampak mengingat-ingat sebentar, seperti memberi harapan akan jawaban yang menyenangkan, namun akhirnya balasan mereka selalu sama: “Tidak! Aku belum pernah mendengar nama itu, apalagi bertemu orangnya.”

Ada juga di antara mereka itu para petani yang datang dari gunung. Ada yang naik kuda, ada yang berjalan kaki saja. Mereka menyanyikan lagu-lagu desa dan membawa keranjang bawaan berisi buah-buahan liar atau kayu kering. Ia perhatikan pakaian mereka, topi jerami mereka, alas kaki mereka, dan labu kering berisi bekal minuman. Sebagian dari mereka berjalan cepat, ada pula yang berjalan pelan, mungkin sambil merenung-renung. Malam pun akhirnya tiba.

“Hilang sudah harapanku!” keluh Urashima.

Tapi kemudian ia melintas di depan rumah seorang kakek yang sudah amat sangat tua.

“Oh, Kakek, selamat malam. Aku hendak bertanya: tentunya Kakek pernah mendengar nama Urashima. Dia lahir dan tumbuh di desa ini.”

Si kakek mengangkat kepalanya perlahan-lahan dan menelengkan kepala.

“Urashima? Ya, ada yang bernama Urashima. Aku masih ingat. Tapi itu sudah lama sekali. Ingatanku sudah sangat samar. Waktu masih kecil, aku mendengar dia mati tenggelam. Padahal umurnya masih sangat muda.”

Urashima terperanjat. Mulutnya ternganga. Rahangnya seperti hendak lepas.

“Mati?”

“Tak ada yang lebih mati dibanding dia! Sekarang saja, anak-anaknya Urashima sudah mati semua. Untunglah aku dikaruniai umur yang amat sangat panjang. Nah, selamat malam, musafir.” Dan kakek renta itu pun melangkah masuk ke rumah.

Tiba-tiba Urashima dicekam oleh ketakutan yang mendalam. Apa yang baru saja ia dengar itu amat sangat mengerikan. Bagaimana tidak, baru saja ia berharap untuk bisa bertemu dengan anak-anaknya yang ia pikir masihlah di bawah umur lima tahun, namun ternyata semua anaknya sudah mati. Sudah pasti istrinya juga sudah lama mati. Lalu perlahan timbul perasaan betapa sia-sianya hidup ini. Ia merasa hanya semalam berpisah dari keluarganya, namun ternyata waktu yang rasanya sangat singkat itu ternyata sangatlah panjang. Sentuhan hawa dingin pun kini menusuk kulitnya lebih dalam.

Lalu setelah beberapa lama ia kembali menguasai diri dan berketetapan hati: “Aku harus pergi ke lembah maut, tempat orang-orang yang sudah mati tertidur.”

Ia pun menuju ke lembah itu.

“Wahai rembulan murung, tunjukkanlah padaku makam itu; O . . . kau yang tetap tak berubah sedikit pun sejak dahulu.”

Lalu bersama gerak awan yang bergeser, melalui sinarnya rembulan menunjukkan padanya makam itu. Beberapa saat lamanya ia pandangi makam istri dan anak-anaknya itu.

“Oh, Urashima yang celaka, memang tak ada yang lebih mati dibanding kamu. Kau berdiri seorang diri di antara hantu-hantu . . . Siapa yang akan melipur laramu?” Urashima bicara pada dirinya sendiri.

Angin malam berhembus. Tak ada suara apa pun yang mengiringinya. Segalanya hening. Bahkan burung malam pun tak mau menemani Urashima. Ia benar-benar sendirian di lembah itu.

Lalu ia sadar akan keberadaan peti kecil yang sejak kemarin dikepitnya. Ia pun membuka kancing peti itu. Dari balik peti muncullah asap tipis putih yang kemudian meng-alun tinggi ke udara. Ia mengalun dengan gerak yang menyuarakan kehampaan.

“Aduh, aku jadi sangat lelah,” keluh Urashima. Dalam sekejap, rambut di kepalanya berubah menjadi putih bagaikan salju. Ia gemetar, tubuhnya mengeriput, kedua matanya meredup. Ia yang semula sangatlah muda dan bertenaga kini menjadi seorang lelaki jompo.

“Aku sudah tua,” bisiknya pada diri sendiri.

Ia katupkan kembali tutup peti itu, namun kemudian segera menjatuhkannya ke tanah dan berkata, “Asap di dalamnya sudah pergi untuk selamanya. Lalu apa lagi gunanya peti ini?”

Urashima membaringkan tubuhnya di atas bentangan pasir dan ia pun mati.


Cerpen ini dimuat dalam Kumpulan Cerita Rakyat Jepang.

Posted on

Surat Protes Kafka [Esai]

surat protes kafka

Lebih dari seratus halaman Surat untuk Ayah (Brief an den Vater) ini ditulis tangan oleh Kafka dan dititipkan ibunya, Julie Löwy Kafka untuk diberikan ayahnya, Hermann Kafka, namun hingga Kafka meninggal dimungkinkan surat itu belum sampai di tangan sang ayah. Surat ini ditulis di sebuah rumah sakit rehabilitasi penyakit tuberkulosis kota Schelesen pada tahun 1919. Saat itu Kafka berusia 36 tahun, pada puncak kreatifnya yang membara, lima tahun kemudian ia meninggal.

Sebuah surat tunggal setebal 61 halaman versi aslinya bahasa Jerman, lebih tebal sedikit daripada novelet Metamorfosis (Die Verwandlung). Usai menulis surat itu Kafka mengirim surat kepada penerjemahnya sekaligus pacarnya, Milena Jesenskà pada bulan Mei 1920, menjelaskan, “Jika kamu ingin tahu, bagaimana aku dahulu, maka aku kirimkan kepadamu dari Praha sebuah surat mahapanjang, yang aku tulis sekitar setengah tahun silam, tapi belum pernah aku berikan.” Selanjutnya pada musim panas 1920 Kafka menulis surat lagi kepada Milena, “Besok akan aku kirimkan ke apartemenmu tentang surat ayah itu. Simpanlah dengan baik-baik, mungkin suatu saat aku akan memberikannya. Mohon jangan sampai ada orang lain yang membacanya. Bacalah seluruh sentilan pembelaan itu, ibarat sebuah surat advokasi.”

Secara umum surat protes Kafka kepada ayahnya ini menggambarkan empat situasi, yakni pada masa Kafka masih bocah dan lemah, perlakuan ayahnya yang tak sopan terhadap pembantu, ajaran agama Yahudi khas ayahnya dan batalnya tunangan Kafka. Sesuai latar pendidikannya jurusan hukum, maka Kafka seperti menciptakan sebuah sidang di meja makan. Ia bertindak sebagai penggugat dan sekaligus sebagai advokat, sedang ayahnya selamanya menjadi terdakwa. Kafka memberontak kepada ayahnya tidak dengan bahasa yang berapi-api, justru menggunakan senjata perasaan ketakutan yang mendalam. Bahasanya sederhana, namun pikiran Kafka yang membelok di tikungan secara tiba-tiba, membuat aku sering tertegun sekaligus tersenyum.

Betapa ia merasa lebih kerdil dan rapuh di depan ayahnya yang perkasa. Ia anggap ayahnya sebagai diktator kecil dalam keluarga. Ia mencatat dengan jeli umpatan ayahnya kepada pembantu memakai bahasa kasar dengan menyebut; anjing. Dia dimarahi ayahnya di meja makan dengan umpatan, “Aku robek-robek kamu seperti ikan.” Di depan ibunya Kafka sering dapat sindiran ayahnya, “Itu anakmu yang manja.”

Surat untuk Ayah meskipun hanya sepotong biografi Kafka dengan ayahnya, namun ada kedekatan dengan tiga karya lainnya, yakni Metamorfosis (Die Verwandlung), Penghakiman (Das Urteil) dan Proses (Der Prozess)

Barangkali dengan membaca Surat untuk Ayah ini, pembaca akan sedikit membantu memahami novelet Metamorfosis. Beberapa tokoh seperti ayah, ibu, Grete, Samsa, dan pembantu, juga muncul pada Surat untuk Ayah. Bahkan Gustav Janouch dalam bukunya Percakapan dengan Kafka (Gespräche mit Kafka) membandingkan nama K-A-F-K-A dengan S-A-M-S-A.

Di antara tiga adik perempuan Kafka, Elli, Valli, dan Ottla, hanya Ottla yang paling ia sayangi. Pada Metamorfosis Kafka tulis, … hanya adik perempuannya yang dianggap Gregor masih setia. Pada Surat untuk Ayah, Kafka tulis,… Ottla tak punya hubungan dengan ayah, ia harus mencari jalannya sendiri seperti aku, dan untuk lebih yakin, percaya diri, menjaga kesehatan, tak ceroboh, jika dibandingkan dengan aku, Ottla di matamu lebih jahat dan berkhianat daripada aku . . .

Ottla ini muncul pada Metamorfosis seperti tokoh Grete, adik perempuan Gregor Samsa. Sedang Hermann Kafka, sang ayah yang tegas, sama tegasnya seperti ayah Samsa. Ada petikan sebagai berikut:

Ayah mengetuk pelan pada pintu samping, tapi dengan kepalan. “Gregor, Gregor,” panggilnya, “ada apa ini?” Dan sementara waktu ia peringatkan lagi dengan suara yang lebih keras, “Gregor! Gregor!” Pada pintu sebelah adik perempuannya merasa sedih dan bertanya dengan sopan, “Gregor? Apakah kamu tak enak badan? Perlukah kamu bantuan?”

Banyak pengamat menilai Surat untuk Ayah paling mendekati kemiripan dengan cerpen Kafka berjudul Penghakiman. Pada kedua karya tersebut, sang ayah selalu mencela calon pacar. Pada Surat untuk Ayah, Kafka mengeluh atas sindiran ayahnya terhadap pakaian pacarnya Felice Bauer (FB).

“Mungkin dia telah memakai blus yang kamu sukai, seperti yang sudah biasa dipakai oleh perempuan-perempuan Yahudi di Praha dan kemudian tentu saja kamu telah memutuskan untuk kawin dengan dia. Dan kalau bisa secepat mungkin, dalam satu minggu, besok, hari ini. Aku tak mengerti dengan keputusanmu itu.”

Bandingkan pada cerpen Penghakiman, tokoh Georg Bendemann yang punya pacar Frieda Brandenfeld (FB) juga disindir oleh ayahnya tentang pakaiannya.

“Karena Frieda memakai rok menyingsing ke atas,” sergah ayah sambil nyinyir, “karena ia memakai rok begitu menyingsing tinggi, itu pertanda gadis urakan.”

Pada Surat untuk Ayah, sang ayah menasihati Kafka, “Aku tak paham dengan pikiranmu, kamu toh seorang yang sudah dewasa, hidup di kota, dan kamu tahu tak ada himbauan lain, kawin saja langsung sesuka hati.” Bandingkan dengan novel Proses, temperamen tokoh paman Albert mirip dengan Hermann Kafka. Josef K. dipaksa dicarikan pengacara Dr. Huld, sahabat pamannya. Sesampai di rumah pengacara Dr. Huld, Josef K. lebih senang mendekam di dapur bersama Leni, si pembantu pengacara. Menjelang pulang, sang paman memarahi Josef K. “Anak muda!” seru Paman, “bagaimana kau bisa melakukan hal seperti itu! Perkaramu sudah berada di jalur yang benar, tapi kau merusaknya sendiri dengan begitu parah. Kau diam-diam pergi dengan makhluk kecil yang nista itu, yang jelas-jelas pacar pengacara, dan menghilang selama berjam-jam.”

Pada Surat untuk Ayah ada narasi sebagai berikut, “Bagaikan orang yang akan digantung. Jika benar-benar digantung, orang itu akan mati dan semuanya berlalu. Tapi jika ia harus menyaksikan semua persiapannya sebelum digantung dan baru mengetahui bahwa hukumannya ditangguhkan ketika talinya sudah ada di depan wajahnya, ia mungkin akan menderita seumur hidup karenanya.” Bandingkan dengan penutup novel Proses ini, “Tapi tangan salah seorang laki-laki itu mencengkeram leher K, sementara laki-laki lainnya menusukkan pisau ke jantungnya, lalu memutarnya dua kali. Dengan pandangan kabur K masih bisa melihat dua laki-laki itu tepat di depan wajahnya, pipi mereka saling menempel, saat mereka memperhatikan momen penghabisan itu. “Seperti seekor anjing!” seru K, seakan perasaan malunya akan bertahan hidup lebih lama daripada dirinya.

Martin Walser, sastrawan Jerman dalam sebuah diskusi Gruppe 47 di Jerman tahun 1953 mengatakan, “Kafka adalah figur yang berbahaya.” Pengkritik lainnya berkata, “Daripada membaca karya Kafka, lebih baik aku membaca diri Kafka.”

Edwin Muir, penerjemah pertama karya-karya Kafka ke dalam bahasa Inggris nekat tak pedulikan terhadap pembaca yang punya tradisi kuno bahasa anglo-saxon. Ia tetap hadirkan struktur kalimat Kafka yang kompleks dengan sintaksis bertumpuk-tumpuk. Perlahan-lahan karya Kafka bisa dipahami pembaca Inggris.

Banyak pembaca berbahasa Jerman sendiri mengakui corak karya Kafka sangat aneh dan rumit. Bagaimana jadinya kalau dialihbahasakan ke dalam bahasa asing lain, seperti bahasa Indonesia? Di sinilah dilema utama yang dialami penerjemah karya Kafka. Meskipun Surat untuk Ayah diterjemahkan langsung dari bahasa Jerman dan ini bukan karya fiksi, namun tetap saja dihadapkan pada kerumitan yang mendalam.

Kerumitan naskah Kafka untuk dijadikan buku seperti kerumitan hidup Kafka sendiri. Ketika naskah-naskah Kafka dikirim ke penerbit, pecah Perang Dunia I dan Kafka tidak menyadari bahwa naskahnya sudah berpindah ke penerbit lain. Kita perlu bersyukur kepada Max Brod, sahabat karib Kafka yang mendapat testamen oleh Kafka untuk membakar sebagian karya-karyanya. Brod justru bertindak sebaliknya, menerbitkan karya-karyanya, sehingga kita sekarang bisa menikmatinya.

***

oleh Sigit Susanto


Esai ini dimuat sebagai Kata Pengantar dalam Surat untuk Ayah karya Franz Kafka.

Posted on

Katak Inginkan Raja [Cerpen]

Bangsa katak

Bangsa katak hidup bahagia sebagaimana yang mereka inginkan di sebuah rawa-rawa. Mereka berkecipak di air tanpa peduli siapa pun dan tak ada pula yang mempedulikan mereka. Tapi beberapa di antara mereka merasa kebahagiaan itu belumlah cukup. Mereka harus punya raja dan undang-undang yang sesuai. Maka mereka putuskan untuk mengajukan permohonan mengenai itu pada dewa.

Dewa tertawa mendengar keruak mereka dan melemparkan sebatang kayu ke tengah rawa, sehingga membuat percikan yang dahsyat. Katak-katak ketakutan dan mereka bergumul ke pinggir rawa untuk memantau siapa raksasa mengerikan itu. Tapi sesaat kemudian, melihat bahwa raksasa itu tak bergerak sama sekali, satu atau dua di antara mereka mendekat, bahkan ada yang berani menyentuhnya. Raksasa itu tetap tak bergerak. Kemudian katak yang jiwanya paling besar melompat ke atas batang kayu itu dan menari-nari. Maka semua katak pun melakukan hal yang sama. Kadang katak-katak itu sibuk melakukan sesuatu tanpa menyadari keberadaan Raja Batang Kayu di tengah mereka. Intinya raja baru ini tak cocok buat mereka. Mereka mengajukan permintaan lain pada dewa.

“Kami ingin raja sungguhan. Raja yang akan mengatur kami semua.”

Hal ini membuat dewa marah. Ia kirimkan ke tengah mereka seekor bangau besar yang segera melahap mereka semua. Katak-katak sudah terlambat untuk menyesali diri.

Lebih baik tanpa penguasa ketimbang ada penguasa tapi kejam.


Cerpen ini dimuat dalam Kumpulan Fabel karya Aesop.

 

Posted on

Khotbah Pertama [Cerpen]

Khotbah pertama

Ketika pertama kali ditunjuk sebagai imam masjid, Nasruddin Hodja berdiri di mimbar dan bersiap untuk memberikan ceramah. Para jamaah sangat penasaran ingin mendengar khotbahnya. Tapi sebenarnya Nasruddin belum siap untuk menyampaikan apa pun.

“Apakah kalian tahu apa yang akan kusampaikan hari ini?” ia bertanya.

“Tidak, Hodja Effendi, kami belum tahu,” kata mereka.

“Jika kalian belum tahu,” kata Nasruddin, “maka aku pun takkan menyampaikannya untuk kalian,” dan setelah itu ia turun dan meninggalkan masjid, meninggalkan para jamaah yang kebingungan dengan sikap anehnya.

Hari berikutnya, ketika datang waktu untuk ceramah, Nasruddin kembali ke atas mimbar menghadap jamaah.

“Apakah kalian tahu apa yang akan kusampaikan kali ini?” ia bertanya. Belajar dari pengalaman hari kemarin, kali ini para jamaah berkata:

“Ya, Hodja Effendi, kami sudah tahu!”

“Hm, kalau begitu karena kalian sudah tahu maka aku tak perlu lagi menyampaikannya untuk kalian!” dan dengan kata-kata itu ia turun mimbar. Para jamaah kembali kebingungan.

Hari ketiga, Nasruddin kembali naik ke mimbar dan mengajukan pertanyaan yang sama.

Para jamaah tak ingin Nasruddin Hodja turun mimbar tanpa menyampaikan ceramah. Maka sebagian jamaah berkata “sudah” sementara sebagian lagi menjawab “belum.”

“Kalau begitu,” kata Nasruddin, “mereka yang tahu harus menerangkan pada mereka yang belum tahu.”

Kemudian ia turun mimbar dan meninggalkan masjid.


Cerpen ini dimuat dalam Kumpulan Humor karya Nasruddin Hodja.

Posted on

Dua Ikan di Atas Piring [Cerpen]

dua ikan

Suatu ketika, dalam perjalanannya seorang filsuf dan moralis sampai di Aksehir dan bertanya pada Nasruddin perihal tempat makan yang paling lezat. Nasruddin menyampaikan sarannya dan si filsuf yang lapar perut sekaligus bathin itu ingin mentraktir Nasruddin sekalian.

Nasruddin tentu saja bersedia. Ia temani si filsuf ke kedai makan terdekat dan mereka bertanya menu istimewa hari ini.

“Ikan! Ikan segar!” sahut si empunya kedai.

“Kalau begitu bawakan dua ekor,” pinta si filsuf.

Beberapa saat kemudian, si pelayan datang membawakan piring besar berisi dua ekor ikan bakar. Baunya harum. Tapi, yang seekor sedikit lebih kecil dari yang lain.

Tanpa ragu, Nasruddin mengambil ikan yang lebih besar untuk lauk. Si filsuf menatap tak percaya. Kedua mata dan bibirnya gemetar.

“Maaf, sodara Nasruddin. Maaf jika harus saya katakan ini. Tapi menurut saya tindakan Anda ini tidak hanya egois, tapi juga mengingkari prinsip-prinsip moral, agama, dan etika.”

Nasruddin menyimak khotbah mendadak dari sang filsuf dengan sabar, tenang, dan ketika si filsuf sudah selesai bicara, ia ganti bertanya:

“Kalau begitu, Tuan, apa yang akan Anda lakukan?”

“Saya sebagai seorang yang tahu diri akan memilih ikan yang lebih kecil untuk saya sendiri,” jawabnya.

“Nah, ini dia!” seru Nasruddin dengan tenang sambil menunjuk isi piring di depan mereka. Lalu ikan kecil itu ia taruh dalam piring si filsuf.


Cerpen ini dimuat dalam Kumpulan Humor karya Nasruddin Hodja.

Posted on

Singa, Rubah, dan Rusa Jantan [Cerpen]

Dongeng Aesop

Seekor singa terbaring sakit dalam sarangnya, tak mampu mencari makan sendiri. Maka berkatalah ia pada kawannya, si rubah, yang datang menjenguk:

“Kawanku, aku ingin kau pergi berburu dan mengelabui si rusa jantan. Bawalah ia ke sarang ini. Aku menginginkan santapan malam yang nikmat dengan menu hati dan otak rusa.”

Si rubah pun pergi ke tengah hutan, menemui si rusa jantan dan berkata, “Tuan Rusa, kabar baik untuk Anda! Anda tahu si singa, raja kita? Ia terbaring sakit di sarang dan tengah menjemput ajalnya. Ia memilihmu untuk menggantikannya menjadi raja yang menguasai seluruh hutan ini. Kuharap Anda tidak lupa bahwa sayalah hewan pertama yang membawa kabar ini untuk Anda. Nah, sekarang saya mesti kembali padanya. Jika Anda turuti saran saya, tentu Anda pun akan ikut bersama pergi ke sarangnya.”

Si rusa sangatlah tersanjung. Ia ikuti si rubah menuju sarang singa. Ia sama sekali tak menyangka alamat buruk yang akan menimpa. Tak lama setelah tubuhnya masuk ke sarang, si singa bangkit dan langsung menerkam. Tapi malangnya si rusa pandai menghindar. Hanya telinganya yang terserempet kuku singa. Ia pun melesat pergi. Si singa gagal menikmati makan malam sesuai harapan.

Si rubah merasa malu dan singa pun sangat kecewa. Ia tambah lapar. Maka ia memohon pada si rubah untuk mencoba lagi merayu si rusa ke dalam sarangnya.

“Itu hampir tak mungkin,” kata rubah, “tapi akan kucoba.”

Ia pun keluar dan menelusup ke hutan untuk kedua kalinya. Kali ini, ia dapati si rusa sedang istirahat dan memulihkan keadaan jiwanya yang masih tergoncang oleh upaya pembunuhan tadi. Melihat kedatangan si rubah, langsung saja ia memasang wajah sengit.

“Bangsat kau! Apa maksudmu, menjebakku dalam rahang beraroma maut? Pergi sana! Kalau tidak, akan kutanduk tubuhmu sampai remuk!”

Namun si rubah sungguh tak merasa malu.

“Pengecut!” katanya menghujat. “Mengapa kau membayangkan si singa akan menyakitimu? Ia hanya ingin membisikkan ke telingamu beberapa rahasia istana yang tak seekor binatang pun boleh mendengar, termasuk aku! Tapi kau justru kabur begitu. Huh! Sekarang ia tampak sudah hilang kepercayaan. Aku tidak yakin apakah kau masih dianggapnya layak. Mungkin sekarang perhatiannya terarah pada si serigala. Kecuali jika kau kembali lagi ke sana dan menunjukkan semangatmu untuk memimpin. Aku berani jamin, ia tidak akan menyakitimu. Setelah kau menjadi raja kelak, akulah abdi setiamu.”

Seperti daging tubuhnya, si rusa cukup lunak juga untuk dipengaruhi. Ia masuk ke sarang singa untuk kedua kalinya. Sekarang, singa tak membuat kesalahan lagi. Terkamannya tepat mengenai sasaran dan deretan kuku serta rahangnya pun bekerja sigap. Dalam waktu singkat, ia sudah menggelar pesta makan di atas tumpukan tulang.

Si rubah menanti kesempatan, berdiri di pinggir. Ketika si singa tak sedang melihatnya, ia sambar kepala si rusa dan menyantap otaknya selagi masih hangat. Ia tak ingin bagian tubuh paling lezat itu masuk ke perut singa, toh pesta ini tak akan berlangsung tanpa bantuannya.

Setelah seluruh bagian tubuh disantap, singa merasa ada yang kurang. Ia belum memamah empuknya otak rusa.

“Wah, mana otak rusa itu?” ujarnya sambil menatap belingsatan.

Si rubah cepat-cepat menyahut, “Rusa itu tak punya otak.”

“Bagaimana bisa?” si singa menajamkan pendengaran dan menatap si rubah.

“Binatang yang sudah lolos dari sarang bahaya, namun kembali masuk ke sarang itu tentulah binatang yang tak punya otak.”


Cerpen ini dimuat dalam Kumpulan Fabel karya Aesop.

Posted on

Angsa Bertelur Emas [Cerpen]

Angsa Bertelur Emas Aesop

Suatu hari seorang pria dari desa datang ke sarang angsa dan menemukan sebutir telur berwarna kuning berkilau. Ketika ia pungut, alangkah terkejutnya ia karena telur itu sangat berat bagaikan biji timah. Awalnya ia melemparkannya karena ia pikir itu bukanlah telur sungguhan. Tapi setelah menyadari bahwa itu adalah telur emas murni, akhirnya telur itu ia bawa pulang juga.

Keesokan harinya, ia menengok sarang itu dan telur yang sama ia dapati kembali, begitu seterusnya setiap pagi. Akhirnya ia menjadi kaya karena menjual emas. Saat ia mulai kaya itulah ketamakannya tumbuh. Ia beranggapan telur-telur emas yang dihasilkan angsa itu bisa didapatkan secara praktis. Ia sembelih angsa itu dan membelah perutnya. Tapi kecawalah hatinya. Emas itu tak ia temukan.


Cerpen ini dimuat dalam Kumpulan Fabel karya Aesop.