Posted on

Rumah yang Penuh Sesak [Cerpen]

Nasruddin Hodja

Suatu hari seorang tetangga datang ke rumah Nasruddin Hodja dan meminta saran tentang cara mengatur semua anggota keluarga yang banyak di rumahnya yang kecil itu.

“Nasruddin, rumah kami begitu sempit. Kami tak bisa merasa nyaman di sana. Ada aku, istriku, ibu mertua, lalu tiga anak . . . Kami berenam terkurung di rumah yang pengap dan sesak. Kau kan orang bijak. Beri aku solusi masalah ini. Apa yang mesti kulakukan?”

“Berapa banyak anak ayam yang kau punyai?” tanya Nasruddin.

“Aku punya lima ekor anak ayam dan seekor jago.”

“Bawa masuk semuanya ke dalam rumah!”

“Apa? Yang benar saja! Tanpa anak-anak ayam pun, rumahku sudah terlalu sesak.”

“Coba dulu!” desak Nasruddin, “aku tahu nanti kau akan merasa berhutang budi.”

Si tetangga tidak percaya dengan saran itu tapi ia tak berani membantah lagi karena tahu Nasruddin memang terkenal bijak. Maka ia membawa masuk anak-anak ayam dan si jago. Keesokan harinya, ia kembali berlari ke rumah Nasruddin.

“Hodja, keadaannya tambah gawat! Aku, istriku, ibu mertua, tiga anak, lima anak ayam, dan seekor ayam jago . . . ah . . . mereka mengacak-acak isi rumah. Kami semua tak bisa tidur semalaman.”

Nasruddin tidak terpengaruh.

“Kau punya keledai?” tanya Nasruddin.

“Ya, Hodja. Hanya seekor dan sudah tua pula.”

“Bawa masuk pula keledai itu!” seru Nasruddin. Tak peduli betapa keras si tetangga memprotes, Nasruddin tetap bersikukuh menegaskan betapa inilah cara terbaik mengatasi masalah. Si tetangga pun pulang dengan lesu. Ia patuhi saran Nasruddin dan keledai itu memekik riang ketika masuk rumah.

Pagi harinya, si tetangga kembali bergegas ke rumah Nasruddin. Tampak sekali dari wajahnya bahwa sekarang keadaan rumah telah jauh lebih parah.

“Hodja, ah . . . kau tidak bisa membayangkan betapa kami sampai tak bisa bernapas. Suasana ribut bukan main. Anak-anak ayam tambah liar. Anak-anakku menangis dan istriku marah-marah.”

Lalu kata Nasruddin: “Kalau tak salah, kau juga punya dua ekor anak kambing ya!?”

“Oh, tidak . . . jangan minta aku untuk membawa serta anak kambing masuk ke dalam rumah. Tak ada tempat lagi.”

“Jangan khawatir, sobat! Nanti akhirnya kau akan berterima kasih padaku.” Maka dengan wajah lesu si tetangga pun berjanji akan memenuhi saran ini pula, dengan harapan bahwa pandangan bijak Nasruddin benar-benar mengetahui apa yang tak ia lihat.

“Aduh, Nasruddin, rumahku sudah seperti arena pertempuran. Anak-anak kambing menambah kekacauan. Mereka mengembik-embik sepanjang malam dan membuang kotoran seenaknya. Dunia serasa seperti kiamat. Hu . . hu . . hu!”

Nasruddin terdiam sejenak, kemudian berkata: “Sekarang keluarkan semua ternakmu dari rumah. Anak ayam, si jago, keledai, dan anak kambing . . . semuanya keluarkan!”

Keesokan harinya, si tetangga kembali ke rumah Nasruddin.

“Ah, Hodja Effendi, kau memang sungguh orang bijak. Kau selesaikan masalahku. Kini, rumah kami begitu luas, lapang, semua punya ruang yang cukup. Anak-anak bisa bermain dengan nyaman, aku dan istriku bisa tidur, dan ibu mertua juga puas,” katanya dengan wajah berseri-seri. “Terima kasih dan semoga Alloh memberkatimu.”


Cerpen ini dimuat dalam Kumpulan Humor karya Nasruddin Hodja.

Posted on

Menjadi Bijak ala Nasruddin Hodja [Esai]

Menjadi Bijak ala Nasruddin Hodja

Dalam sebuah drama karya William Shakespeare, Hamlet menikam Polonius sang kanselor istana yang bersembunyi di balik aras, menguping pembicaraan sang pangeran dengan ibunda ratu, Gertrude. Polonius pun tewas setelah mengucapkan sebaris kata terakhir: ‘aku dibunuh.’ Mendengar penuturan Ratu Gertrude tentang tewasnya Polonius, Raja Claudius terperangah dan berucap lirih: ‘jika yang ada di balik aras itu adalah kita, tentu kitalah yang mati’.

Saya tak tahu apakah Shakespeare pernah menyimak kisah-kisah legendaris Nasruddin Hodja, seorang sufi yang hidup di Turki pada abad ke-13; tapi penggalan adegan tersebut di atas mengingatkan saya pada percikan-percikan bijak sufi jenaka itu. Kata-kata terakhir Polonius dan komentar Raja Claudius itulah yang terkenang oleh saya saat membaca ulang kisah Nasruddin berjudul ‘Itu Bukan Aku!’ sambil menulis pengantar ini.

Sebagai seorang bijak yang cerdik dan banyak melontarkan pernyataan aneh pemancing tawa namun sekaligus mengandung teka-teki, Nasruddin menjadi figur legendaris sehingga kisah dan pengalaman hidupnya pun tersebar luas melebihi batas batas wilayah, bahkan hingga jauh setelah ia meninggal. Kalau pada awal penyebarannya kisah-kisah itu disampaikan secara lisan, kini kisah-kisah kearifan Nasruddin Hodja telah banyak dibukukan, dan beberapa di antaranya bahkan telah dimodifikasi dengan berbagai cerita rakyat di berbagai negara. Kita bisa menunjuk pula dalam kumpulan ini betapa kisah-kisah itu selalu ada saja yang sesuai dengan kenyataan sehari-hari di tengah masyarakat.

Kisah-kisah Nasruddin yang ada dalam kumpulan ini adalah kisah yang membuat kita tersenyum sambil merenung-renung. Ada memang beberapa kisah yang nampak sekadar nonsens belaka, seperti Keledai Dan Kuda, Mencari Sang Hodja, Pesta Burung Puyuh, Tercampur, dan Tukang Cukur Baru. Namun sebagian besar kisah dalam kumpulan ini menunjukkan betapa Nasruddin Hodja menggunakan logika berpikir yang tidak lazim. Sikap tidak tenang manusia modern dewasa ini dalam menyikapi persoalan salah satunya timbul dari tiadanya kemampuan untuk berpikir di luar kerangka kelaziman. Kita bisa simak, misalnya, kisah Rumah yang Penuh Sesak dan Cara Manusia dan cara Tuhan tentang pentingnya sikap bersyukur; atau kisah Bukan Keledai Biasa dan Orang-Orang Desa Sebelah tentang perbedaan cara pandang yang secara nisbi menentukan nilai suatu barang.

Beberapa kisah lain sangat mengganggu saya lebih dibanding kisah-kisah di atas, seperti misalnya Dua Ikan di Atas Piring, yang mengusik pemahaman saya akan sikap tenggang rasa, kesetiakawanan, dan kesediaan untuk berkorban bagi sesama. Merelakan orang lain untuk merasa bahagia tanpa menunjukkan betapa diri kita merasa dirugikan kadangkala terasa sebagai pengalaman istimewa di dunia modern yang serba praktis dan cenderung membawa kita ke arah sikap interaksi yang penuh perhitungan untung rugi ini. Saya juga tercenung membaca kisah Berkata Dusta yang menggiring saya pada pemahaman bahwa dusta membuat seorang manusia terasing dari diri sendiri, dan bahwa ketika ia merasa tercerahkan dengan dusta itu pada dasarnya ia telah berhasil mendustai diri sendiri.

Selain itu kita bisa mendapati pula kisah-kisah yang mengandung muatan mistik –jenis yang entah kenapa jumlahnya tidak cukup banyak. Bermain Saz, Keping Uang Yang Hilang, Kuda Yang Hilang, dan Resep adalah kisah-kisah jenis ini. Kisah-kisah ini ditandai dengan adanya pencarian atau kehilangan akan sesuatu yang bernilai abstrak, atau sesuatu yang jelas konkret namun merupakan simbolisasi dari sesuatu yang lebih hakiki.

Sikap Nasruddin dalam Kuda yang Hilang menandakan bahwa kepemilikannya atas kuda itu bukanlah kepemilikan yang penuh nafsu, melainkan lebih pada sikap ‘gembira karena mendapat titipan’, sehingga pada dasarnya ia tak merasakan beban apapun ketika hal yang berada di luar kendalinya membuat titipan itu terlepas dari tangannya. Ketiadaan beban nafsu itulah yang menyebabkan ia sanggup melepas klain kepemilikan. Dan karena sikap ‘gembira karena mendapat titipan’ itulah maka Nasruddin pun bergembira dalam memberikan titipan itu kepada orang lain. Dalam Resep, daging sapi yang baru saja dibeli Nasruddin dari pasar dicuri oleh seekor burung gagak; namun ia tidak cemas, karena resep masakan itu masih ada di kantongnya. Bisa kita umpamakan bahwa resep itu adalah ilmu; dan selama kita masih memiliki suatu ilmu maka kita adalah orang beruntung. Orang miskin yang berilmu (Nasruddin) lebih beruntung dibanding orang kaya yang tak berilmu (burung gagak).

Kemudian tentu saja ada pula segolongan di antara dua ratus kisah itu yang menyimpan moral yang sangat jelas tanpa perlu kita gali dan tafsirkan secara rumit. Misalnya kisah Hal Paling Bernilai dan Tidak Bernilai, Menolong Tanpa Ketulusan, dan Doa. Namun meskipun lebih sederhana tentu saja kisah-kisah itu sangat bernilai dan turut melengkapi keseluruhan khasanah kearifan sang sufi yang cerdik nan jenaka ini. Membaca kumpulan kisah ini akan menjadi sebuah pengalaman tersendiri. Mungkin saat ini Anda membacanya secara santai tanpa beban atau pretensi apapun, namun boleh jadi kisah-kisah tertentu akan Anda soroti, kelak, dengan cara pandang yang sama sekali tak pernah Anda sangka sebelumnya. Selamat membaca!

***

oleh Nurul Hanafi


Esai ini dimuat sebagai Kata Pengantar dalam Kumpulan Humor karya Nasruddin Hodja.