
Dalam khasanah sastra terjemahan di Indonesia, selain Leo Tolstoy, Fyodor Dostoevsky mungkin menjadi salah satu penulis Rusia yang paling dikenal oleh publik pembaca di negeri ini. Karya-karyanya yang monumental seperti Kejahatan dan Hukuman, Catatan dari Bawah Tanah, Orang-Orang Malang, hingga beberapa novelet dan berbagai cerita pendeknya pernah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Di antara berbagai karya sastra Rusia, Dostoevsky tampil menonjol karena kemampuannya dalam mendeskripsikan problema psikologis maupun moral tokoh-tokohnya di tengah deraan degradasi sosial-ekonomi yang mereka hadapi. Karya-karyanya berbeda dengan Tolstoy yang banyak mencurahkan perhatian pada respon manusia atas persoalan-persoalan sosial yang menjeratnya atau berbeda dengan Ivan Turgenev yang tenggelam dalam persoalan-persoalan filosofis dalam karya-karyanya.
Kemampuan Dostoevsky dalam mengolah problema psikologis dan moral dalam cerita-ceritanya itulah yang kemudian memantik lahirnya buku-buku psikologi atau filsafat. Konon teori-teori psikologinya Sigmund Freud tidak akan lahir tanpa pantikan karya-karya monumental Dostoevsky. Ia meninggalkan pengaruh mendalam pada pandangan filsafat Friedriech Nietzche, khususnya konsep uebermensch yang kemudian melahirkan negara fasis Jerman di era Hitler, negara yang tidak akan lahir kalau Nietzche tidak terus-menerus memikirkan Raskolnikov ketika membaca Kejahatan dan Hukuman. Itu tak menghitung sekian generasi penulis yang terpesona pada kepiawaian Dostoevsky menghadirkan Saint Petersburg dalam karya-karyanya hingga memicu studi tentang kota atau pun biografi yang berlatar kehidupan kota yang sangat kuat.
Dua novelet dan lima cerita pendek yang ada dalam buku ini hadir di hadapan sidang pembaca untuk lebih menyemarakkan sastra terjemahan dari Rusia, terutama melengkapi keberadaan karya sastra terjemahan karangan Dostoevsky yang sudah ada sebelumnya. Hampir sebagian besar cerita Dostoevsky dalam kumpulan cerita ini berpusat pada kehidupan orang-orang berlatarbelakang kelas menengah yang mengalami kemerosotan status sosial-ekonomi dan orang-orang yang terasing atau terpinggirkan dari kemapanan tatanan sosial Rusia masa itu. Mereka mengalami dilema moral yang akut agar bisa menyatu dengan kehidupan di sekitarnya. Itulah sebabnya tokoh-tokohnya cenderung bersikap canggung dalam interaksinya dengan orang lain. Tokoh utama yang tak pernah disebutkan namanya dalam cerita Mimpi Orang Sinting, Malam-Malam Putih, si tokoh perempuan dalam cerita Si Lembut Hati, dan narator dalam cerita Pesta Natal dan Pernikahan adalah contoh paling jelas bagaimana kemerosotan ekonomi dan sosial yang dialami mereka membuat mereka akhirnya memutuskan berjarak dengan arus kehidupan yang mengalir di sekitar mereka. Sementara tokoh Emelyanoushka (Emelyan Illitch) dalam kisah Pencuri yang Jujur dan anak kecil dan orang tuanya di cerita Pohon Natal Surgawi adalah representasi dari residu masyarakat Saint Petersburg yang tak mendapatkan tempat dalam apa yang biasa disebut sebagai ‘kehidupan normal.’
Meski tak memiliki intensi untuk menulis cerita yang pendek—sejumlah cerita pendek dalam buku ini berasal dari diari Dostoevsky—, apa yang telah disuguhkan oleh Dostoevsky dalam dua cerita agak panjang dan lima cerita pendeknya sangat kuat dan meninggalkan pengaruh besar pada kisah-kisah yang dikarang penulis selanjutnya. Dua abad setelah Dostoevsky menuliskan kisah-kisahnya, kita masih belum bisa menemukan kepiawaian seorang penulis dalam mendeskripsikan motif-motif tindakan dan pikiran manusia semendalam Dostoevsky. Dostoevsky nyaris tak memiliki pretensi untuk unjuk penguasaan ilmu pengetahuan atau penguasaan kemampuan filsafat secara vulgar dalam cerita yang ia karang. Ia tak mau pula membebani kisah-kisahnya dengan sesuatu di luar itu. Sependek pengetahuan penulis ia hanya ingin menghadirkan deskripsi tentang orang-orang Petersburg dan kehidupan yang mereka jalani. Dalam kisah Mimpi Orang Sinting, misalnya, tanpa perlu repot menyitir asal-mula kehidupan manusia seperti para filosof Yunani atau dari para teolog kristen, ia menghadirkan kisah fantasi tentang kehidupan pasca kematian lewat medium mimpi si tokoh utama. Kehidupan pasca kematian yang ia deskripsikan lewat mimpi tokoh utama ini bisa memberi tantangan tentang teori evolusi atau pandangan-pandangan teologis tentang asal-mula kehidupan. Pada saat yang sama ia bisa berkontribusi pada penjernihan pandangan kita tentang bagaimana kehidupan manusia di dunia ini.
Pilihan Dostoevsky untuk tak memposisikan sastra sebagai catatan kaki filsafat, ilmu-ilmu sosial, dan pandangan teologi ini bisa dilacak dari kemarahan terselubung atau bahkan tanpa tedeng aling-aling dalam dirinya terhadap kondisi masyarakat Rusia masa itu, terutama pada inferioritas kultural kelas menengah dan elite Rusia di hadapan kebudayaan Perancis. Ia sangat membenci cara orang-orang Rusia masa itu yang memuja segala yang datang dari Perancis: bahasanya, perkembangan filsafatnya, dan standar-standar keberadabannya. Kita bisa mendapati kemarahan ini di noveletnya yang berjudul Impian Pamanku dan karya-karyanya yang lain yang dipenuhi dengan kosakata-kosakata Perancis setiap kali ia menggambarkan kehidupan kelas menengah Rusia. Sebagai balasan atas perilaku inferior itu Dostoevsky secara sengaja menuliskan kisah-kisahnya dengan bahasa Rusia sehari-hari, menghindari penggunaan metafora secara vulgar, tak ganjen dengan menenggelamkan perdebatan filosofis yang justru memerosotkan martabat sastra sebagai pusat dunianya, dan langsung menusuk ke dilema-dilema yang dihadapi manusia dalam menghadapi kehidupannya sendiri. Proses kejatuhan martabatnya dalam kehidupan sehari-hari dan ketegangan kreatifnya sebagai penghayat kristen membuat ia bersikap kejam pada dirinya sendiri. Kisah-kisah dalam ceritanya tak hanya tak mau tunduk pada moralitas kristiani yang mengidealisasikan manusia pilihan Tuhan, namun juga menghadirkan tipe manusia yang amoral, laknat, dan tak lebih baik dari binatang jalang dan makhluk seperti setan yang dikutuk oleh semua agama. Pandangan ini tak secara otomatis menafikan kecenderungan Dostoevsky sebagai seorang moralis kristiani. Akhir cerita Mimpi Orang Sinting dan Si Lembut Hati secara jelas menunjukkan idealisasi tipe manusia yang diangankan Dostoevsky.
Kegigihan Dostoevsky dalam mengeksplorasi motif-motif tindakan dan pikiran tokoh-tokoh karangannya serta implikasinya dalam kehidupan pribadi dan sosial mereka meninggalkan pengaruh mendalam bagi sederetan panjang penulis yang muncul sesudahnya. Salah satu penulis yang sangat terpengaruh oleh Dostoevsky adalah Knut Hamsun. Karakter canggung tokoh-tokoh ciptaan Hamsun, pikiran dan tindakan tokohnya yang tak jamak, dan kekonyolan-kekonyolan yang lahir sebagai implikasi dari keganjilan pikiran dan tindakan banyak terinspirasi oleh Dostoevsky. Cerita Malam-Malam Putih, misalnya, telah menjadi inspirasi terbesar Knut Hamsun ketika ia menulis salah satu novelnya yang cemerlang, The Mysteries. Secara sengaja Hamsun menunjukkan dialog kreatifnya dengan Malam-Malam Putih dengan memasukkan kalimat pertama cerita Dostoevsky itu di bagian ke delapan The Mysteries. Tak hanya itu, tokoh Polzhunkov hadir secara samar-samar pada dua tokoh konyol Hamsun di novel The Mysteries, yaitu Si Boncel dan seorang lelaki yang mengisahkan kehidupan konyolnya demi mendapatkan perhatian orang-orang di sebuah pesta. Tokoh utama The Mysteries sendiri, Johan Nagel, adalah pengolahan kreatif dari tokoh cerita Mimpi Orang Sinting-nya Dostoevsky.
Pengarang kontemporer yang menjadikan cerita-cerita karangan Dostoevsky sebagai ‘momok besar’ sepanjang karir kepenulisannya adalah J. M. Coetzee dan Orhan Pamuk. Sebagai penghormatan terhadap Dostoevsky dalam menciptakan kisah-kisah jenial, terutama menyoroti satu masa dalam kehidupan pengarang besar Rusia yang di kemudian hari menjadi dendam kreatifnya, Coetzee menulis sebuah novel indah dengan tokoh utama Dostoevsky berjudul The Master of Petersburg. Secara pribadi Pamuk mengakui besarnya pengaruh Dostoevsky dalam karya-karyanya, terutama pada obsesi ‘kembaran’ yang selalu mengikuti kehidupan tokoh-tokoh utama dalam ceritanya. Salah satu bukunya yang menjadi semacam otobiografi lewat paparan sejarah panjang kotanya, Istanbul, lahir sebagai respon kreatif penulis Turki tersebut atas kepiawaian Dostoevsky dalam menghadirkan Saint Petersburg dalam karya-karyanya.
Ketidakmampuan para pengarang sesudah Dostoevsky untuk menjelajah kemungkinan-kemungkinan baru dari pikiran dan tindakan tokohnya, terutama penjelajahan motif-motif yang mendasari serta implikasi dari pikiran dan tindakan sang tokoh, menyebabkan tak adanya inovasi literer yang revolusioner dalam membongkar psikologi manusia. Barangkali keputusasaan dalam melakukan penjelajahan atas kemungkinan-kemungkinan pikiran dan tindakan manusia yang menjadi pusat pembentukan karakter dalam cerita ini yang membuat para penulis sesudahnya menjelajahi wilayah di luar garapan Dostoevsky. Namun kerja-kerja literer mereka tak bisa menghapus fakta bahwa sampai hari ini, bahkan entah sampai kapan, para penulis cerita merasa berhutang secara literer lewat kebiasaan mereka menimba pengalaman pengarang Kejahatan dan Hukuman tersebut dalam menciptakan kisah-kisahnya.
Penerjemahan kumpulan cerita pendek dalam buku ini sejak awal telah menghadapi beberapa persoalan yang cukup rumit. Pertama, penerjemah maupun editor tak memiliki kemampuan untuk mengakses secara langsung versi bahasa Rusia, kisah-kisah Dostoevsky dalam buku ini diterjemahkan dari versi terjemahan bahasa Inggris garapan Constance Garnett. Padahal dalam sejarah penerjemahan, meski pun sampai sekarang terjemahan versi terjemahan Garnett ini yang paling banyak tersebar di seluruh dunia, karya-karya terjemahannya telah banyak dikritik oleh para ahli sastra Rusia. Sayangnya versi terjemahan bahasa Inggris yang lebih meyakinkan selain Garnett sulit didapatkan. Itulah sebabnya pertimbangan tetap dilanjutkannya proses penerjemahan buku ini adalah untuk memperkaya khasanah sastra terjemahan dengan menghadirkan karya-karya dari maestro sastra Rusia ini ke dalam bahasa Indonesia. Telah banyak terjemahan karya Dostoevsky ke dalam Bahasa Indonesia, namun sebagian di antaranya dikerjakan dengan kualitas penerjemahan yang menyedihkan.
Persoalan kedua adalah kekhawatiran tak hadirnya ungkapan khas Dostoevsky lewat struktur bahasa Rusia yang dikenal rumit. Persis di sinilah salah satu kritikan terhadap terjemahan-terjemahan sastra Rusia yang dikerjakan Constance Garnett. Ia melakukan penyederhanaan terhadap struktur bahasa Dostoevsky ketika menerjemahkannya ke dalam bahasa Inggris. Salah satu akademisi sekaligus sastrawan yang melancarkan kritik keras terhadap penerjemahan karya sastra Rusia ke dalam bahasa Inggris adalah Vladimir Nabokov. Ia menuduh Garnett menginggriskan bahasa Rusia. Risiko dari karya-karya semacam itu adalah tak bisa munculnya struktur khas bahasa Rusia dalam bahasa Inggris. Keputusan untuk melanjutkan proses penerjemahan kisah-kisah karangan Dostoevsky yang terkumpul dalam buku ini akhirnya didasari pertimbangan atas kebutuhan hadirnya karya-karya penulis maestro semacam Dostoevsky untuk memperkaya pengetahuan sastra bagi publik pembaca.
Persoalan ketiga adalah ikhtiar untuk menyajikan karya terjemahan yang cukup bermutu. Dalam konteks menerjemahkan karya Dostoevsky ini, misalnya, sebelum penerjemah melakukan proses penerjemahan ia bersama editor mendiskusikan persoalan penerjemahan karya sastra asing ke dalam bahasa Indonesia. Dalam penerjemahan kisah-kisah Dostoevsky, penerjemah menghindari efek puitik berlebihan (akrobat bahasa) atau secara sengaja tak menggunakan ekspresi bahasa yang adiluhung. Tindakan ini dilatarbelakangi oleh kecenderungan perilaku kenes para penerjemah, terutama kecerobohan sebagian di antara mereka untuk membikin hasil terjemahannya menjadi lebih puitik dari karya aslinya. Alih-alih melakukan puitisasi atau memakai ekspresi bahasa yang adiluhung, penerjemah kumpulan cerita Dostoevsky ini lebih memilih menggunakan bahasa lugas, bahasa yang tak berputar-putar, bahasa yang dianggap paling bisa merepresentasikan tindakan dan pikiran tokoh serta rangkaian peristiwa dalam cerita. Ragam bahasa yang berbeda sesuai dengan latar tokoh-tokoh dalam cerita sekilas akan membingungkan pembaca buku terjemahan ini. Namun bila mereka masuk lebih dalam, keindahan karya terjemahan ini akan bisa dinikmati oleh publik pembaca.
Maka buku yang kini ada di tangan anda, pembaca yang budiman adalah ikhtiar penerjemah dalam mengatasi persoalan-persoalan penerjemahan di atas. Terjemahan kisah-kisah Dostoevsky yang hadir dalam buku ini bukanlah karya yang sempurna. Ia hanyalah satu titik permulaan dari diskusi dan kerja panjang untuk menyajikan karya terjemahan yang lebih bernas dan lebih bertanggungjawab. Selamat menikmati!
***
oleh Dwi Cipta
Esai ini dimuat sebagai Kata Pengantar dalam Mimpi Orang Sinting karya Fyodor Dostoevsky.