
Pada suatu masa ada dua orang sahabat. Mereka saling mencintai satu sama lain dan sehari-harinya mereka selalu saling berbagi. Apa saja yang mereka dapatkan selalu dibagi berdua, entah itu rezeki berupa makanan, uang, maupun kesenangan lainnya. Jika yang satu merasakan kenyang maka yang lainnya pun merasa kenyang pula. Demikian pula sebaliknya. Pokoknya mereka berdua senasib sepenanggungan.
Bertahun-tahun lamanya mereka hidup bersahabat. Tak ada yang bisa memisahkan mereka berdua, seolah mereka adalah kakak beradik. Suatu hari, salah satu di antara keduanya yaitu yang lebih tua jatuh sakit. Sakitnya makin parah. Sahabatnya yang muda itu tak bisa menolong sampai akhirnya dia meninggal. Bukan main sedihnya hati si muda. Berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan ia tak enak makan tak enak minum. Tubuhnya pun kurus sehingga ia sakit-sakitan lalu mati pula menyusul sahabatnya itu.
Tak lama setelah meninggal, mereka berdua terlahir kembali sebagai seekor burung punik berkepala dua. Ya! Burung itu mempunyai satu tubuh, satu ekor, dan sepasang sayap sebagaimana burung-burung pada umumnya. Yang membedakan hanyalah bahwa ia mempunyai dua kepala.
Dua kepala burung ini mempunyai kelakuan yang sama sebagaimana dua sahabat itu ketika masih hidup. Tak ada yang egois. Dua kepala burung punik itu saling membantu untuk mendapatkan makanan. Mereka saling peduli. Burung punik itu terbang ke suatu tempat hanya jika tempat itu sama-sama disukai oleh dua kepalanya.
Suatu hari seorang pemburu melihat burung punik itu sedang bertengger di sebuah ranting pohon di tengah hutan. Mula-mula ia tak percaya dengan apa yang ia lihat. Ia belum pernah menemui burung berkepala dua seperti ini.
“Ini benar-benar keajaiban!” pikirnya. “Betapa beruntungnya aku jika berhasil menangkapnya. Seluruh negeri akan terkagum-kagum dengan burung ajaib hasil tangkapanku. Aku bisa menjualnya dengan harga sangat mahal. Aku juga akan terkenal.”
Begitulah lamunan hati si pemburu. Ia pun menyadari ini kesempatan baik, karena dua kelapa punik itu dalam keadaan lengah. Satu kepala punik sedang menyuapi kepala yang lain dan mereka larut dalam hangatnya keakraban. Maka tanpa menunggu waktu lagi si pemburu menyiapkan anak panah kemudian merentangkan busurnya.
Namun, selagi membidik seperti itu ia teringat istrinya di rumah yang selalu menyuapi anaknya yang masih bayi. Betapa burung-burung pun selalu saling menyayangi sebagaimana manusia. Ia jadi tidak tega untuk menyakiti. Akhirnya ia turunkan kembali mata panahnya dan kembali ke desa. Ia ceritakan pada orang sedesa pengalamannya yang baru saja.
“Benar! Aku tidak berbohong. Aku melihatnya dengan mata kepala sendiri. Satu kepala burung itu menyuapi paruh kepala yang lain. Mereka sangat rukun sehingga aku terharu.” Begitulah ia bercerita, sampai matanya berkaca-kaca. Setiap yang mendengar ceritanya mengangguk-angguk tanda percaya. Mereka tahu, si pemburu tetangganya ini adalah orang yang jujur.
Berita itu tersebar luas ke seluruh desa dan desa-desa sekitar; namun seperti halnya lelaki pemburu tadi, mereka tidak berani memanah atau menangkapnya. Mereka takut akan mendapat celaka. Apalagi cukup banyak pula warga desa yang berpikir bahwa burung berkepala dua itu adalah penjelmaan dewa.
Berita terus menyebar hingga akhirnya terdengar sampai istana. Sang kaisar sangat terpukau mendengarnya. Ia sangat penasaran. Maka dikirimlah seorang pemburu dengan pesan agar menangkap burung punik berkepala dua itu hidup-hidup.
Setelah menempuh perjalanan panjang, pemburu dari istana itu sampailah di hutan sebagaimana dimaksud. Setelah cukup lama menjelajah ke sana kemari sambil melihat ke sebalik daun-daun, akhirnya tampaklah olehnya burung punik itu. Ia pun menyiapkan anak panah. Tapi sebelum sempat mengangkat panah, burung punik itu sudah lebih dulu terbang ke pohon lain. Si pemburu pun mengikuti perginya burung punik. Namun tampaknya burung itu mempunyai firasat kuat akan ancaman maut. Maka ia pun kembali terbang menjauh.
Si pemburu menyiapkan siasat lain. Di setiap pohon yang berbuah ia pasangi perangkap. Jadi, jika burung itu memetik buah, ada kemungkinan ia lengah dan jatuh ke dalam perangkap. Dan benar itulah yang terjadi. Burung punik itu jatuh ke dalam jaring ketika sedang berusaha memetik sebutir buah.
“Aha, akhirnya tertangkap juga kau! Tidak sia-sia aku dijuluki pemburu terhebat di istana.” Begitulah kata si pemburu sambil meraih burung yang terjerat dalam jaring perangkap itu, kemudian memasukkan dalam sangkar. “Mari kita menemui rajaku!” Dan ia pun berangkat pulang menuju istana.
Tak seberapa lama, burung punik dalam sangkar itu sudah sampai di hadapan kaisar Cina.
“Inilah, paduka, burung yang selama ini paduka inginkan. Adakah titah yang lain lagi untuk hamba laksanakan?”
“Tidak. Sudah cukup. Sekarang pergilah. Aku ingin berdua saja dengan buruk punik ajaib ini,” sahut sang kaisar.
Sekarang, di ruangan singgasana hanya ada sang kaisar dan si burung punik. Sang kaisar telah mendengar cerita bahwa dua kepala burung punik itu selalu saling berbagi satu sama lain dan tak ada yang egois. Ia ingin membuktikannya.
Sang kaisar memberi makan salah satu kepala punik itu sementara kepala yang lain tak ia beri. Namun ternyata sebagian dari makanan yang ia terima itu ia suapkan ke paruh kepala yang satu lagi. Jika sang kaisar mencegah ia untuk menyuapi, kepala yang diberi makan itu lalu tak mau meneruskan makannya, bahkan memuntahkannya kembali. Begitulah setiap kali sang kaisar memberinya makanan. Tak pernah tidak, ia selalu berbagi.
Sang kaisar tak bisa mencegah burung itu saling berbagi. Ini membuat hatinya sangat marah. Ia sendiri adalah seorang penguasa besar. Apa yang ia perintahkan selalu dipatuhi bawahannya. Kini, seekor burung kecil saja berani menentangnya. Bukan main!
Akhirnya ia memanggil para penasehatnya.
“Aku mempunyai tugas bagi kalian. Kalian lihat burung punik berkepala dua ini? Aku ingin kalian menemukan cara bagaimana supaya burung punik ini menjadi dua ekor, masing-masing dengan satu kepala. Siapa pun yang bisa melakukannya akan kuberi hadiah berupa separuh wilayah kerajaan. Apakah kalian paham?”
Para penasehat saling pandang kemudian mengangguk kembali.
“Bagus! Kalau begitu siapa yang berani mencoba silakan maju!”
Setelah sang kaisar menunggu beberapa lama, maka salah satu penasehat itu melangkah maju.
“Paduka, jika hamba berhasil membagi burung punik ini menjadi dua ekor burung yang sama-sama hidup, benarkah saya akan mendapatkan bagian separuh wilayah istana? Apakah benar saya tidak salah dengar?”
“Ya, benar.”
“Baiklah paduka. Saya akan mencoba. Tapi hamba mohon diberi kelapangan waktu selama satu bulan. Apakah hamba diizinkan?”
“Permintaanmu kukabulkan. Kau boleh mencoba segala siasat selama sebulan ke depan.”
“Dan saya akan mendapat bagian separuh wilayah istana, paduka?”
“Jangan kau ulang-ulang terus. Ucapanku takkan berubah. Jangan bertanya lagi. Sekarang laksanakan perintahku.”
Sang penasehat pun mohon diri, pulang ke wismanya dengan membawa burung punik dalam sangkar itu. Ia menggantungkan sangkar itu di bawah atap, lalu mulai memikirkan cara untuk membelah burung punik itu menjadi dua ekor.
Setiap hari ia memandangi burung punik itu, mengawasi gerak-geriknya sambil memberi makan. Ia sangat tergiur dengan janji sang kaisar atas separuh bagian kerajaan itu sehingga ia berusaha keras untuk menemukan cara membelah burung punik itu menjadi dua ekor.
Beberapa hari telah berlalu. Sekian lama mengamati, akhirnya ia menemukan kekhasan sikap burung itu. Di siang hari, ada kalanya dua kepala itu akan saling menjauh satu sama lain. Satu menganjur ke kanan dan satunya lagi menganjur ke kiri. Saatnya tak pernah tertentu, namun yang pasti itu terjadi selama matahari bersinar, karena pada malam hari kedua kepala itu selalu saling merapat.
“Aku akan membelah kalian menjadi dua. Kalian akan lihat. Ya. Kalian akan menjadi dua ekor burung dengan masing-masing satu kepala, dan aku akan menjadi seorang penguasa yang membawahi wilayah separuh kerajaan.” Begitu gumam si penasehat.
Ia menunggu sampai datang saat lain di mana dua kepala itu saling berjauhan. Ketika saat itu tiba, ia mendekati kepala burung itu yang berada di sebelah kanan dan berbisik “wus uwus uwus..”
Kemudian sang penasehat melangkah mundur, berbalik, lalu meninggalkan ruangan itu.
Segera setelah penasehat pergi, kepala sebelah kiri burung itu bertanya kepada kepala burung sebelah kanan.
“Apa yang dia bisikkan kepadamu?”
“Dia membisikkan sesuatu yang tak ada artinya.”
“Benar begitu? Ayolah. Katakan saja. Apa yang dia bisikkan padamu?”
“Tak ada artinya. Cuma omong kosong.”
“Hm…baiklah!” ujar kepala sebelah kiri. Lalu ia mencoba untuk bersikap puas.
Setelah beberapa saat, si penasehat kembali ke ruangan itu. Ia telah mengintip burung itu dari balik pintu dan kini ia sengaja keluar ketika melihat kedua kepala berjauhan kembali.
Kembali ia dekati kepala sebelah kanan burung itu dan berbisik ke telinganya.
“Wus uwus uwus…” lalu dia pergi.
Kepala sebelah kiri burung itu kembali gelisah. Ia penasaran, ingin tahu kata-kata apa yang telah dibisikkan si empunya rumah.
“Dia kembali berbisik kepadamu. Aku melihatnya dengan jelas. Ayo katakan, kali ini kata-kata apakah yang ia bisikkan?” ia bertanya.
“Sama seperti tadi. Cuma omong kosong tak ada artinya.”
“Betulkah? Ayo! Kau harus jujur padaku. Kita ‘kan sahabat.”
“Sudah kubilang cuma omong kosong.”
“Omong kosong bagaimana? Seperti apa bunyinya?”
“Dia hanya bilang wus uwus uwus…begitu. Persis seperti yang tadi”
“Apa iya?”
“Percayalah. Aku sendiri tak tahu artinya.”
“Ya sudahlah!” ujar kepala sebelah kiri.
Keesokan harinya, sang penasehat datang kembali setelah mengintip dari balik pintu. Kembali ia ulangi perbuatan yang sama. Ia dekati kepala sebelah kanan dan berbisik. “Wus uwus uwus…” lalu pergi.
“Nah, kali ini apa yang ia bisikkan?”
“Seperti kemarin. Omong kosong yang sama.”
“Omong kosong?”
“Ya. Ia cuma bilang wus uwus uwus…”
“Tak mungkin. Jelas kau berbohong! Jika hanya omong kosong, mengapa disampaikan berulang-ulang? Dengan cara berbisik lagi. Tentu ada yang rahasia.”
“Tidak. Percayalah. Itu cuma wus uwus uwus.”
“Aku tidak percaya. Kau pembohong besar! Pasti ia menyampaikan rahasia yang sangat penting. Katakan padaku.”
“Sudah kubilang cuma wus uwus uwus.”
“Kau keras kepala. Tak mau mengaku! Dasar pembohong!”
Begitulah! Dua kepala yang merupakan penjelmaan dua orang sahabat itu akhirnya bertengkar, saling mengucapkan kata-kata benci, bahkan kemudian saling patuk dengan ganas. Darah mengucur dari masing-masing kepala. Burung satu tubuh dengan dua kepala itu pun mulai mengepak-ngepakkan sayapnya membabi buta ke seputar sangkar, menabrak-nabrak jeruji dengan keras, terbanting ke kanan ke kiri. Bulu-bulunya rontok dan bersebaran ke seluruh penjuru sangkar.
Akhirnya, perseteruan sengit dua kepala itu mengakibatkan tubuh burung punik terbelah menjadi dua, tepat di tengah, hingga jadilah dua ekor burung punik, masing-masing mempunyai satu kepala.
“Hahaha…siasatku berhasil!” si penasehat memekik gembira sambil melesat ke arah sangkar. Ia masukkan tangannya ke dalam sangkar dan keluar dengan dua tangan masing-masing memegang seekor burung punik. Ia tersenyum lebar dan tertawa-tawa. Tak habis-habisnya ia tersenyum dan tertawa.
“Karena siasatku berhasil, tentulah aku akan segera menjadi penguasa baru atas wilayah separuh kerajaan.”
Begitulah! Ia berjalan ke istana dengan langkah-langkah riang, sesekali berlari-lari kecil karena teramat gembiranya, ingin segera sampai.
Di hadapan sang kaisar, ia hadapkan dua ekor burung punik itu.
“Inilah, paduka. Burung punik yang dulu itu kini telah menjadi dua ekor. Saya pun tak melewati batas yang telah paduka tentukan. Ya. Satu bulan tepat!” ujar si penasehat dengan keriangan meluap-luap. “Jadi, seperti perjanjian, maka sekarang berarti saya…”
“Perjanjian? Perjajian apa? Nanti coba aku ingat-ingat lagi,” sahut raja sambil menerima kembali burung puniknya. “Ya. Itu kita bicarakan nanti, setelah aku selesai mengagumi burung-burung ini.”
Dan begitulah cerita ini berakhir. Sang kaisar mendapatkan apa yang ia inginkan, yaitu dua ekor burung punik. Namun sang penasehat…ia ternyata tak mendapatkan apa pun. Tetap tak mendapatkan apa yang telah dijanjikan padanya. Sang raja menolak untuk mengakui bahwa ia telah bersepakat dengan si penasehat.
Sungguh malang si penasehat! Ia tak pernah mengira bahwa kata-kata sang kaisar sama tak berartinya dibandingkan kata wus uwus uwus yang ia bisikkan berulang kali ke telinga kepala sebelah kanan burung punik itu.
Cerpen ini dimuat dalam Kumpulan Cerita Rakyat Cina.