
Semakin suntuk seseorang belajar tentang kehidupan dan sastra, makin kuat dirasakannya bahwa di balik segala yang indah berdirilah sesosok pribadi….
Wilde, The Critic As Artist
Dengan tulus dan rendah hati, saya mengagumi dan menaruh hormat pada Oscar Wilde (1854-1900). Hidup novelis dan dramawan ini bagaikan lintasan rollercoaster: diwarnai perubahan-perubahan ekstrem. Kariernya meroket dengan sangat cepat, mendunia sejak masih berusia likuran tahun, namun merosot dengan amat cepat pula, lalu kembali tiada. Persis seperti kuntum-kuntum bunga segar yang biasa dengan kenes menghiasi lubang kancing bajunya saat memberikan ceramah sastra.
Mendengar gambaran saya akan penampilan penulis kita ini, sudah pasti Anda kagum. Wilde seorang pria muda yang gemar berpenampilan mencolok, memakai jubah beludru hitam, bertopi lebar, dan berambut panjang sebahu yang kadang menyembunyikan wajahnya yang tampan. Kedua matanya biru tua, memancar teduh. Ia tidak berkumis, tinggi badannya ideal, dan bertubuh tegap. Sepatu kulitnya mencapai pertengahan betis dan kaus kakinya sutera merah. Saya membayangkan, tanpa bermaksud ironis, jika menyandang pedang tentulah ia mirip Zorro.
Wilde sering menegaskan bahwa dirinya seorang jenius, dan kebanggaan diri ini ia pertahankan hingga karya besarnya yang terakhir, De Profundis (1897). Ia tidak semata-mata sesumbar, dan itu bukanlah ungkapan penulis yang tak bisa menakar kemampuan diri. Karena, harus disebut dengan nama apa lagikah seorang yang sanggup menggubah novel dan naskah drama sama hebatnya? Untuk kategori pertama, kita tak perlu meragukan lagi kehebatan The Picture of Dorian Gray (1890)—novel yang menyuarakan filsafat seni; untuk kategori kedua, The Importance of Being Ernest (1895) adalah satu dari seratus drama terbaik dunia sepanjang masa.
Mari kita bandingkan dia dengan sastrawan sebangsanya. James Joyce, sesama penulis Irlandia, sering dianggap jenius, dan Ulysses (1920) novelnya adalah salah satu mahakarya abad 20; namun drama yang ditulisnya, Exile (1918) boleh dibilang hancur lebur. W. B. Yeats, Irlandia juga, adalah peraih nobel tahun 1923; tapi ia jauh lebih dikenal sebagai penyair ketimbang dramawan. Dua novel Virginia Woolf menjadi tonggak sastra modernis, namun siapa berani bilang dramanya, Freshwater (1923), adalah karya cemerlang? Bahkan Shelley, penyair besar era romantik itu, pun hanya menciptakan drama ide saat menulis Prometheus Unbound (1820). Jika Wilde mensejajarkan dia dengan Sophocles, ia tentulah sedang membandingkan passion dalam karya mereka.
Wilde bukanlah penulis yang produktif, dan saya sendiri belum terlalu banyak membaca karyanya, namun saya bisa merasakan kharismanya. Saya menyukai komedi sosial dalam drama-dramanya, dan baik The Importance of Being Earnest (1895) maupun Lady Windermere’s Fan (1892) dipenuhi dialog cerdas yang mengingatkan saya pada kecerdikan verbal tokoh-tokoh Shakespeare. Salah satu ungkapan kecerdikan Wilde adalah kalimat-kalimat kontradiktif, dan ini mudah kita jumpai. Bagaimana menurut Anda jika seorang Lady Plymdale, tokohnya dalam Lady Windermere’s Fan, berkata ‘perlu ada seorang wanita yang amat sangat baik untuk bisa melakukan hal yang amat sangat bodoh?’
Wilde adalah pembicara yang sangat cemerlang, mempunyai aura istimewa saat berbicara, dan pandai berhumor sehingga hadirin atau khalayak luas terpesona oleh daya pikatnya. Jika saya hidup di Inggris akhir abad 19 dan jika Wilde bersedia mencopot kancing-kancing bajunya untuk diperebutkan seusai ceramah, sudah pasti saya akan mati-matian berusaha tampil di barisan terdepan. Mereka yang hidup sezaman dengannya tentu merasakan kharismanya lebih kuat dibanding saya yang hanya membaca. Ya, paling tidak sebelum mereka tahu ia diseret ke penjara. Tapi . . . ya ampun . . . , bagaimana bisa ia sampai ke sana?
***
Wilde telah banyak membaca semenjak masa kanak, dan gairah bacanya menggila ketika ia kuliah di Oxford. Tentang gairah ini, ia menulis: aku ingin melahap semua buah dari pohon yang tumbuh di taman dunia ini, dan aku menuju dunia berbekal hasrat itu di dalam jiwaku, dan begitulah aku hidup. Tidak heran jika ia menjadi lulusan terbaik. Mendengar kabar itu melalui telegram, sang ibu menulis surat: akhirnya kita punya sosok jenius.
Kuliah di Oxford adalah titik balik terbesar pertama bagi Wilde.
Sebagai seorang pembicara ulung, Wilde dengan bangga menyebut diri ‘profesor estetika’, dan bersama ide-ide tentang ‘seni untuk seni’ ia berceramah di Amerika sepanjang tahun 1882. Usianya belum lebih dari 28 tahun. Paling minim, sepanjang tahun itu ia telah 71 kali memberikan materi di berbagai kota. Popularitas di Amerika dalam usia dini ini setahu saya hanya bisa ditandingi oleh Dickens.
Ketika di pertengahan Januari 1882 wartawan Philadelphia Express bertanya tentang penyair Amerika yang paling ia kagumi, Wilde menjawab: ‘Saya kira Walt Whitman dan Emerson telah memberikan pada dunia lebih banyak dibanding penyair mana pun. Saya juga berharap bisa berjumpa Tuan Whitman. Mungkin puisinya belum dikenal di Inggris, tapi orang Inggris memang tak pernah menghargai seorang penyair sampai si penyair lama mati.’ Pewawancara jelas menangkap nada kepedihan di dalamnya.
Wilde serius dengan ucapannya. Tanpa menunggu lama, esok lusanya ia berkunjung ke kediaman Whitman (1819-1892) di Camden, dan keduanya berdiskusi panjang sambil minum sebotol anggur. ‘Bagiku,’ kata Whitman, ‘ia adalah seorang pemuda yang hebat dan cemerlang. Ia begitu terbuka, bebas, dan jantan . . .’ Setelah diskusi dua jam, Whitman menghidangkan segelas besar milk punch. Ia mereguknya tandas sekalian.
Selama perjamuan dua jiwa ini, sang profesor estetika memaparkan dengan bebas semua teori mazhab estetis yang ia bangun sambil sesekali meminta pendapat sang maestro. Penyair uzur itu hanya tersenyum dan berkata: “Kudoakan kau, Oscar; dan tentang paham estetikamu itu, aku hanya bisa bilang bahwa kau muda dan menyala seperti api, dan ladang ini luas, dan jika kau menghendaki nasihat dariku, kubilang padamu ‘maju terus’. ”
Bukan hanya itu, Wilde juga menyampaikan titipan pesan para penyair Inggris untuk Whitman, dan ia menerima titipan balasan dari Whitman buat mereka. Siang itu, Wilde banyak menyebut nama Tennyson (1809-1892) sehingga Whitman menegur: ‘Tidakkah kau akan menggoyahkan posisi para idolamu, Tennyson dan lain-lain itu?’ Apa jawab Wilde? ‘Sama sekali tidak. Posisinya terlalu mantap dan kami teramat mencintainya . . .’ Di akhirnya perjumpaan, kata perpisahan Whitman adalah: ‘Goodbye, Oscar; God bless you.’
Dalam perjalanan pulang dari Camden, tercekam oleh isi perbincangan yang bernas, bibir Wilde hening membisu.
Di tengah rangkaian jadwal ceramah di Amerika, Wilde sempat pula berkunjung ke sebuah penjara besar. Dalam surat panjangnya untuk seorang kawan, Norman F. Robertson, ia menulis: wajah-wajah jahat para narapidana membuatku terhibur, karena aku benci melihat seorang penjahat berwajah priyayi.
Sayang sekali, kata-kata ini kemudian menjadi nujuman bagi nasibnya sendiri, karena 13 tahun kemudian, tepatnya 5 April 1895, hakim menjatuhkan vonis 2 tahun penjara menyusul dakwaan ‘melakukan penyelewengan moral dari jenis paling menjijikkan di kalangan para pria muda’. Wilde sendiri menyebutnya ‘cinta yang tak berani menyebutkan namanya’. Hakim mengakui ini sebagai kasus terparah yang pernah ia tangani. Seperti Cordelia di hadapan King Lear, mendengar vonis ini Wilde hanya menjawab: ‘And I, may I say nothing, My Lord?’ Wilde diseret ke pengadilan setelah terbukti menjalin hubungan istimewa bersama Lord Alfred Douglas. Sejak itu, karier dan kehidupannya meluncur turun. Itulah mengapa saya sebut hidupnya bak lintasan rollercoaster.
Jika kemudian Wilde menyebut penjara adalah titik balik terbesar kedua dalam hidupnya, itu sangatlah tepat. Orang mulai semena-mena bicara dan menulis tentang dia. Dan jika dalam Sodom and Gomorrah Proust mensejajarkan tidak stabilnya posisi para homoseksual dengan posisi para seniman, menyebut betapa seniman ‘dipestakan di setiap ruang resepsi dalam sehari dan diberi tepuk tangan meriah di setiap gedung seni di London, lalu esoknya diusir oleh setiap penginapan, tak mampu menemukan segulung bantal tempat ia menyandarkan kepala’, seniman yang dimaksud Proust tiada lain adalah Wilde. Mereka bertemu pertama kali tahun 1891, dan bahkan Proust mengundangnya makan malam. Waktu itu Wilde berada di Paris untuk menggarap Salomé.
Constance Lloyd, istrinya sendiri–Wilde lebih layak disebut biseksual–mendapatkan perlakuan diskriminatif ketika sebuah hotel di Swiss mengusirnya karena menyandang nama Wilde. Ia sempat mengunjungi Wilde di Penjara Reading dan menyatakan penolakan ketika si ayah ingin bertemu Vyvyan, putranya yang kedua, seraya menambahkan ‘kau tidak menyadari rasa malu dan derita yang diakibatkan olehmu.’ Constance tetap kukuh tidak bersedia mempertemukan si ayah dengan kedua anaknya.
Setelah dibebaskan pada 19 Mei 1897, Wilde merasa tak sanggup lagi menanggung aib hidup di Inggris. Apa yang ia jalani terlalu berat untuk ia tanggung dengan gagah. Ia kembali berjumpa dengan Alfred Douglas, namun keduanya bertengkar sengit. Mereka berpisah untuk selamanya, dan Wilde pun berlayar ke Paris dan tak pernah kembali lagi ke Irlandia.
Coba, bayangkanlah seperti apa pedihnya jika Anda menjadi Oscar Wilde!
***
Buku ini memuat dua kumpulan dongeng Oscar Wilde sekaligus. Kumpulan dongeng Pangeran Bahagia (The Happy Prince) diterbitkan pada bulan Mei 1888, sedangkan Rumah Delima (A House of Pomegranates) diterbitkan akhir tahun 1891, beberapa bulan setelah ia mengenal Lord Alfred Douglas. Ketika seorang peresensi bertanya apakah kumpulan Rumah Delima diperuntukkan bagi anak-anak, Wilde yang sedang berada di Paris menjawab ‘maksud saya untuk memuaskan anak Inggris sama besarnya dengan niat saya untuk memuaskan publik Inggris secara umum.’
Sebagai seorang ayah, Wilde dekat dengan kedua putranya dan sering menemani mereka bermain. Jika lelah bermain, ia akan membuat mereka terdiam dengan menuturkan dongeng atau kisah petualangan. Cyrill si sulung suatu kali bertanya ‘mengapa mata ayah berkaca-kaca ketika mengisahkan Raksasa yang Egois?’ Sang ayah menjawab: hal yang sangat indah selalu membuatku menangis.
Para pengamat cenderung menjauhi buku dongeng Pangeran Bahagia (The Happy Prince) dan Rumah Delima (A House of Pomegranate) karena tak tahu apa yang harus mereka lakukan dengan dua buku ini. Barangkali pula mereka berpikir betapa kontradiktif, karena Wilde yang subversif, amoral, dan musuh bagi nilai-nilai sosial era Victorian itu ‘sampai hati’ menulis cerita-cerita yang cenderung didaktis dan konservatif. Dan tidakkah pula nilai didaktis itu mengingkari prinsip seni-untuk-seni yang ia kampanyekan hingga ke Amerika?
Jika Anda terbiasa dengan gaya mendongeng Hans Christian Andersen (semacam: Gadis Penjual Korek Api, dll), rumusan naratif Wilde dalam buku kumpulan dongeng ini tak jauh beda dengan karya penulis pendahulunya itu. Bahkan jika kita mengacu pada motif dasar dan konvensi dongeng yang dirinci oleh Propp dalam The Morphology of Folktales, di mana salah satu poinnya seorang protagonis yang terusir dari ‘surga’ akhirnya mampu bangkit setelah melampaui banyak rintangan–hal yang justru mengasah karakternya–serta berhasil ke posisi semula, mendapat banyak uang, status terhormat, dan istri yang cantik secara sangat ajaib dan mendadak, motif dasar seperti ini pun kita dapati dalam Sang Raja Muda dan Anak Bintang. Namun tentu saja kesimpulan yang sangat reduktif jika kita memandang dongeng-dongeng Wilde hanya sebatas itu.
Kita harus berhati-hati, karena meskipun terkesan jinak, dongeng-dongeng Wilde menyimpan bara seksualitas yang subversif. Lihatlah, betapa sang Pangeran Bahagia meminta agar si Seriti (jantan) menciumnya tepat di bibir sebagai tanda perpisahan. Perhatikan pula betapa dalam rasa sayang si Raksasa Egois kepada si bocah lelaki yang bermain di tamannya itu. Kritikus Gary Schmidgall dan Neil Bartlett juga mencontohkan betapa sang Raja Muda berlama-lama menatap patung Adonis—sosok pemuda tampan yang digilai sekaligus oleh Aphrodite dan Persephone itu. Menurut mereka pula, si cebol dalam dongeng Ulang Tahun Sang Infanta yang terteror setelah menyadari betapa orang menertawakan wajah buruk serta sosok ganjilnya itu menggemakan teror yang dialami Wilde saat menyadari betapa masyarakat tak bisa hidup nyaman melihat keberadaan kaum homoseks. Dan betapa pula si Anak Bintang dalam dongeng terakhir lebih suka berkaca di perigi mengagumi wajahnya sendiri ketimbang mengagumi kecantikan seorang gadis.
Untuk menghubungkan dua kumpulan dongeng ini dalam sebuah benang merah, bisa saya katakan pula bahwa perbandingan antara kisah hidup sang Raja Muda dan sang Pangeran Bahagia adalah sebuah gagasan yang menarik. Adalah sangat masuk akal untuk membayangkan bahwa kisah Pangeran Bahagia adalah kelanjutan dari kisah Sang Raja Muda.
Mari kita lihat kesamaan motifnya. Pertama, baik sang Raja Muda maupun Pangeran Bahagia sama-sama mencapai pencerahan tentang kondisi rakyat jelata yang hidup menderita. Sang Raja Muda mendapatkannya melalui mimpi, sedangkan sang Pangeran Bahagia mendapatkannya setelah ia menjadi patung dan terpacak tinggi di atas tiang. Kedua, mereka sama-sama berkorban setelah mencapai pencerahan itu, meski tentu saja pengorbanan sang Pangeran Bahagia jauh lebih heroik.
Bedanya, pengorbanan sang Raja Muda adalah bersifat impulsif, sebagai usaha membalas jasa rakyatnya yang telah jelas-jelas terlebih dulu berkorban untuknya. Sebaliknya, pengorbanan sang Pangeran Bahagia terasa lebih mendalam, karena ia melihat sendiri secara lahir bukti penderitaan rakyatnya, dan tanpa menimbang apakah rakyatnya itu berkorban secara langsung untuknya ataukah tidak.
Selain itu, (patung) Pangeran Bahagia telah berhasil melakukan sesuatu yang bukan saja tak bisa ia lakukan selagi ia masih hidup, namun juga berhasil melakukan sesuatu yang–mungkin–tetap tak bisa dilakukan sang Raja Muda sampai akhir hayatnya.
Secara keseluruhan, tema pengorbanan lebih banyak mewarnai kumpulan Pangeran Bahagia dibanding dengan Rumah Delima. Lihatlah betapa si burung Bulbul berkorban untuk si pelajar muda, dan betapa si Hans kecil berkorban untuk si Tukang Giling. Semua pengorbanan itu berakhir dengan penderitaan dan bahkan kematian. Si Nelayan Muda dalam kumpulan Rumah Delima menjalani pengorbanan yang serupa, namun ia menempuh jalan lebih rumit untuk mencapai akhir hidup yang memilukan.
Kita bahkan bisa menangkap nada politis di buku ini. Kritikus Jarlath Killeen mensinyalir betapa yang dimaksud Wilde dengan ‘pelosok hutan sejarak satu hari perjalanan naik kereta dari kotapraja’ (Sang Raja Muda) itu adalah Irlandia. Betapa Wilde tengah memperingatkan bahaya laten proses pembudayaan otoritas Inggris terhadap tanah yang selalu resah dan ingin bebas sejak masa Ratu Elizabeth itu.
Lebih lanjut, Killen menegaskan minat dan keterikatan Wilde pada ajaran Kristen, dan betapa minat ini hadir sepanjang hidup dan menjadi prinsip estetis yang vital. Killen menemukan sosok perawan Maria dalam diri sang Infanta. Apalagi Infanta berulang tahun di bulan Mei, bulannya Maria, dan ia berada di ambang remaja. Tentang si cebol, David Williams menyinggung betapa dalam teologi abad pertengahan orang cacat dipercaya bisa membukakan jalan ke arah pencerahan spiritual.
Untuk mencontohkan Kristenitas Wilde di luar Rumah Delima, bisa saya tunjukkan bahwa dalam De Profundis ia menyebut ada ‘hubungan yang intim dan sangat dekat antara kehidupan sehari-hari Kristus dan kehidupan sehari-hari seniman’ dan bahwa ‘Kristus adalah sebenar-benar pendahulu gerakan romantik dalam hidup’.
***
Jika di atas saya menyebut nama Hans Christian Andersen (1805-1875) dan menyinggung bahwa rumusan naratif Wilde dalam buku kumpulan dongeng ini tak jauh beda dengan karya penulis pendahulunya itu, kesimpulan ini tidaklah berlebihan. Bahkan bisa saya bilang Wilde terpengaruh olehnya. Wilde banyak menampilkan ironi sebagaimana pula Andersen. Ironi Wilde boleh dibilang hampir tak pernah absen, namun paling nampak mencolok pada kisah Teman Setia. Kita bisa bandingkan itu dengan ironi Andersen dalam Baju Baru sang Kaisar (The Emperor’s New Clothes), atau Hantu Cahaya Masuk Kota (The Will-o’-the-Wisps Are in Town). Perdebatan antar pasukan kembang api dan tingkah sombong si Roket dalam kisah Roket yang Mengagumkan mengingatkan saya pada dialog komikal antara Kerah, Garter, Kotak Besi, Gunting, Sisir, dan kesombongan si Kerah di hadapan mereka semua dalam kisah Andersen, Kerah yang Congkak (The False Collar).
Namun, sejauh pengamatan saya atas karya-karya Andersen, saya akhirnya cenderung menyimpulkan bahwa dongeng-dongeng Wilde lebih mudah untuk dipahami anak-anak dibanding dongeng-dongeng Andersen. Jawaban Wilde atas pertanyaan seorang peresensi di awal pembahasan tadi memang cukup menjelaskan betapa ia tidak semata-mata mengarang secara didaktis. Hanya saja, kenyataan bahwa ia sengaja menulis dongeng-dongeng ini sebagai hadiah untuk kedua putranya cukup menjelaskan mengapa ia cukup ‘mengendalikan diri’. Sebaliknya, Andersen tidak pernah menghadiahkan kisah karangannya untuk anak-anak, dan ia juga tidak pernah dekat dengan dunia anak. Andersen sepanjang hayatnya tak pernah menikah dengan siapa pun; hal yang membuat ia frustrasi dan depresi.
Ada sedikit kemiripan biografis antara Wilde dan Andersen. Keduanya tergolong kaum biseksual, dan sebagaimana Wilde yang dibuat patah hati oleh Lord Alfred Douglas, Andersen mengalami kekecewaan yang sama memikirkan Edvard Collin.
Kalau saya berpanjang-panjang tentang perbandingan kedua penulis ini, saya harap Anda semua akan menerimanya, karena sebagai klimaks saya ingin menunjukkan keterpengaruhan terbesar Wilde pada Andersen. Anda tentu pernah mendengar ada kisah Si Puteri Duyung (The Little Mermaid). Kalaupun banyak yang belum tahu jalan ceritanya, minimal Anda tahu kisah ini pernah difilmkan oleh Walt Disney. Nah, kisah Si Nelayan Muda dan Jiwanya adalah ‘hutang budi’ terbesar Wilde kepada Andersen. Kemiripan motif antara kedua kisah itu sedemikian mencolok, sehingga mustahil Anda membaca Andersen tanpa menemukan kemiripan ini.
Kisah Si Nelayan Muda dan Jiwanya berangkat dari sebuah dialog tentang jiwa dalam si Puteri Duyung. Si putri duyung sehabis menyelamatkan nyawa seorang pangeran yang kapalnya terhantam badai bertanya pada neneknya: ‘Kalau manusia tidak tenggelam, apakah mereka bisa hidup abadi? Si nenek menjawab: ‘Oh, mereka juga akan mati, bahkan lebih cepat dari kita. Tapi kita tak punya jiwa yang abadi, dan kita tak bisa hidup lagi setelah mati. Kita hanya akan jadi buih di laut setelah mati nanti. Sebaliknya, manusia punya jiwa yang hidup selamanya. Karena itu mereka bisa mengunjungi tempat-tempat indah yang belum dikenal; tempat yang tak akan pernah bisa kita lihat seumur hidup.’ Jawaban ini membuat si puteri duyung sedih.
Si puteri duyung jatuh cinta pada pangeran itu dan ingin hidup bersamanya. Ia bertekad untuk mengorbankan apa saja demi mendapatkan sang pangeran dan bisa hidup abadi. Ia pun berniat menemui penyihir laut untuk minta bantuan.
Dalam Si Nelayan Muda dan Jiwanya, si nelayan jatuh cinta pada puteri duyung, dan demi mendapatkannya ia menemui penyihir di puncak gunung.
Kembali pada kisah Si Puteri Duyung, si penyihir laut tahu bahwa tamunya ini ingin membuang siripnya dan menukar sirip itu dengan sepasang kaki hingga ia mirip manusia dan agar si pangeran jatuh cinta padanya. Lalu si penyihir memberi si puteri duyung secawan air yang akan membuat siripnya terbelah dua dan menjelma menjadi sepasang kaki yang indah. Dalam Si Nelayan Muda dan Jiwanya, tokoh kita ingin membuang jiwanya, dan si penyihir memberinya sebilah pisau.
Si puteri duyung harus berkorban dan menanggung risiko demi menebus keistimewaan barunya yang berupa sepasang kaki itu. Setiap langkah yang ia pijakkan akan terasa pedih bagaikan menginjak sebilah pisau. Dalam Si Nelayan Muda dan Jiwanya, tokoh kita mengalami konflik batin karena sang Jiwa selalu memerintahkannya berbuat jahat, sementara sang Jiwa hanya menjawab bahwa ia memerintahkan itu karena si nelayan tak memberinya hati.
Si puteri duyung tahu pasti dirinya akan meninggal pada pagi setelah malam pernikahan si pangeran. Dirinya bisa tetap hidup asalkan tega membunuh si pangeran pada malam itu dengan menghunjamkan pisau pemberian kelima kakaknya. Namun ketika saatnya tiba, ia justru melemparkan pisau itu ke tengah lautan. Dalam Si Nelayan Muda dan Jiwanya, sang Jiwa tak bisa masuk kembali ke dada tokoh kita karena hati si nelayan muda telah begitu sesak oleh cinta. Ketika bersamaan dengan itu gelombang laut membawa jasad si puteri duyung yang telah mati hanyut ke pantai, si nelayan muda terus menciumi jasad itu dalam kepiluan mendalam, terus menekuri sosok tak bernyawa itu meski sang Jiwa sudah memperingatkan dia akan datangnya gelombang besar. Akhirnya, luapan perasaan cinta membuat hati si nelayan muda pecah, dan karena itulah sang Jiwa punya kesempatan untuk masuk ke dalam dadanya dan menyatu bersamanya kembali. Namun si nelayan muda sudah tak bernyawa.
Sungguh keduanya adalah sepasang cerita yang kesejajaran motif-motifnya sangat mengagumkan!
Kisah ini pun turut menguatkan tema yang mendominasi dongeng Wilde sejak halaman-halaman pertama: bahwa pengorbanan pada akhirnya selalu berujung pada kesedihan dan kematian.
***
Sebagai seorang ‘profesor estetika’, Wilde sangat sadar akan rasa bahasa dan kosakata. Ia pernah menyatakan: ‘Kenikmatan puisi tidaklah berasal dari subjeknya, tetapi dari bahasa dan ritme.’ Ia sengaja menghindari istilah yang terlalu sering dipakai atau frasa-frasa yang telanjur lazim. Jika sudah menemukan kata atau istilah yang sangat ia sukai, ia akan rajin menggunakannya sehingga menjadi ciri khas. Tidak heran jika naskah asli Pangeran Bahagia dan Rumah Delima dipenuhi kosakata antik, kuno, dan langka, yang sering hanya bisa ditemukan artinya dalam kamus paling lengkap. (Sangat beralasan jika pembaca menduga Wilde adalah kolektor batu mulia. Kenyataannya ia punya banyak koleksi porselin Cina sejak kuliah di Oxford.) Penerjemah berusaha mempertahankan selera bahasa ini dan sebisa mungkin mencari padanan yang tak kalah kunonya dalam kosakata Melayu lama atau Sanskerta.
***
Kembali kita pada kehidupan Wilde, bagaimanakah ia menjalani tiga tahun sebelum akhir hayatnya? Memang Wilde pernah menulis ‘aku cukup bahagia tidur di atas rumput di bawah bintang-bintang musim panas sejauh cinta masih ada dalam hatiku.’ Tapi ketika akhirnya dibebaskan, ia pun menyadari bahwa hidup menjadi amat sangat sulit. Ia tidak betah menetap di satu tempat dan ia pun berkelana ke Napoli, Sisilia, kembali ke Paris, lalu ke Napoule, Nice, Swiss, kembali ke Paris lagi, ke Le Havre, Palermo, Roma, sebelum kembali lagi ke Paris untuk terakhir kali.
Catatan kenangan tentang Wilde yang bagi saya paling menyayat hati adalah hasil tulisan Dame Nellie Melba:
Perjumpaan terakhirku dengan Wilde amat sangat mencekam. Suatu pagi di Paris aku sedang berjalan-jalan ketika di sudut jalan aku berjumpa seorang pria berperawakan tinggi namun kumuh. ‘Madame Melba, Anda tidak tahu siapa saya. Saya Oscar Wilde,’ katanya. ‘Dan saya akan melakukan hal yang tak mengenakkan. Saya akan meminta uang pada Anda.’ Kukeluarkan segala yang kupunya dari dalam dompetku, dan ia meraihnya dengan cepat, menggumamkan kata ‘thanks’ dan pergi.
Kepergian dua wanita yang paling ia cintai menambah dalam penderitaan Wilde. Ibunya, Esperanza, berpulang ketika Wilde masih di penjara, dan Constance meninggal di Genoa pada bulan April 1898 setelah menjalani operasi perut.
Menjelang ajal, di tengah kesempitan ia masih sempat melontarkan paradoks meski kali ini dalam nada yang benar-benar pahit: ‘Aku menulis ketika aku belum tahu apa itu hidup. Kini setelah aku mengenal hidup aku tak punya apa pun lagi untuk ditulis.’
Akhirnya Wilde menghembuskan napas terakhirnya di Hotel d’Alsace pada 30 November 1900.
***
Sebagai penutup, Anda yang sedang membaca buku ini saya berharap Anda sekarang seperti Oscar Wilde yang sedang berada dalam fase Oxford, melahap semua buah dari pohon yang tumbuh di taman dunia ini, termasuk tentu saja butir-butir lezat buah delima. Salam perpisahan saya adalah sebagaimana yang disimak Wilde dari mulut Whitman: aku hanya bisa bilang bahwa kau muda dan menyala seperti api, dan ladang ini luas, dan jika kau menghendaki nasihat dariku, kubilang padamu ‘maju terus.’ Goodbye, readers, God bless you.
***
oleh Nurul Hanafi
Esai ini dimuat sebagai Kata Pengantar dalam Pangeran Bahagia & Rumah Delima karya Oscar Wilde.