Posted on

James Joyce dan Musik [Esai]

Biografi James Joyce

Kalau Anda menantang Samuel Beckett dalam bermain catur atau menantang Ernest Hemingway dalam lomba berburu, jangan harap Anda dapat mengalahkan mereka dengan mudah. Hal yang sama berlaku kalau Anda menantang James Joyce dalam lomba bernyanyi. Kalau saja Joyce memilih jalan hidup alternatif selain sebagai penulis, besar kemungkinan pilihannya akan jatuh sebagai musisi. Sebab sedari kecil ia sudah mewarisi suara tenor merdu dari ayahnya, ditambah ia juga mahir dalam bermain piano dan gitar. Ia sendiri pun seorang pengagum musik klasik. Selama merantau ke berbagai kota, seperti Trieste dan Swiss, ia sering menghabiskan waktunya menonton pertunjukan opera Bellini dan Wagner—dua komposer favoritnya. Musiklah yang menjadi pemandu kiblat menulisnya. Adapun cara manjur baginya untuk menggali inspirasi selama proses menulis adalah dengan bermain piano sendirian sambil melantunkan lagu-lagu klasik.

Joyce adalah pengamat yang peka, baik rupa ataupun nada. Telinganya sangat sensitif terhadap keadaan di sekelilingnya. Ini tentu saja menjadi modal yang kuat bagi seorang pecinta musik. Kalau kita cermati betul novel A Portrait of the Artist as a Young Man (1916), di dalamnya banyak bertebar kiasan dari sumber bunyi. Salah satu bagian yang paling mencolok adalah ketika ia memadukan keselarasan bunyi antara tetesan air mancur dengan dentum pukulan bola kasti: pick, pack, pock, puck.

Sewaktu masih dididik di sekolah Jesuit Clongowes—setara sekolah dasar—Joyce bukanlah murid yang terlalu menonjol dalam prestasi akademik. Ia cenderung suka menyendiri dan justru tak disenangi gurunya karena ia suka berkata kotor dan menyumpah serapah. Barangkali dari sini Joyce muda pelan-pelan mulai belajar menyimpan ledakan kata-kata dalam kepalanya. Baru ketika dewasa ia meluapkan seluruhnya dalam sebuah novel setebal hampir seribu halaman yang diberinya judul Ulysses (1922), dengan gaya penulisan eksperimental monolog batin, atau lebih dikenal dengan sebutan stream consciousnessUlysses, yang digambarkan para penulis sesudahnya bagaikan ‘bom’ adalah penyempurnaan monolog batin yang pernah diterapkan oleh Virginia Woolf dan William Faulkner.

Joyce punya pandangan tersendiri, bagaimana menjalani hidup yang dapat menunjang proses kreatifnya sebagai penulis. Menginjak masa remaja ia sudah biasa bergumul dalam dunia malam bersama alkohol, mendatangi wanita penghibur di kawasan lokalisasi paling ramai di Dublin. Adapun judul Chamber Music sebetulnya diambil dari bunyi dentingan kencing seorang wanita yang sedang bersamanya dalam suatu bilik. Di masa mudanya yang penuh gejolak ini, beruntung kemudian ia berkenalan dengan Nora Barnacle, gadis sederhana yang berasal dari Galway. Ini menjadi titik terpenting dalam perjalanan hidup Joyce. Baginya, Nora adalah dayang, sumber inspirasinya dalam menulis. Wanita inilah yang boleh dibilang paling berpengaruh atas lahirnya karya-karya fenomenal Joyce.

Namun sebelum mendapat pengakuan dari dunia luas atas terbitnya Ulysses, nasibnya hampir semiris Pramoedya, sama-sama dibuang oleh bangsanya sendiri. Ia terlunta-lunta mengembara ke negeri lain oleh karena karyanya dituduh mengandung hujatan agama. Dan ia kurang mendapat dukungan dari kalangan seniman di negerinya sendiri meskipun ia adalah seorang nasionalis.

Kariernya sebagai penulis yang penuh lika-liku dimulai dengan Chamber Music (1907), kumpulan puisi romantik yang kaya akan kandungan nuansa musik di setiap baitnya. Keseluruhan puisi ditulis sebelum ia menginjak usia 25 tahun dan kelak menjadi cikal bakal lahirnya A Portrait of the Artist as a Young Man dan Ulysses. Sebagai penulis yang mencoba memadukan sastra dengan musik dan estetika, ia meletakkan batu pijakan baru dalam kesusastraan dunia, meskipun kadang disalahpahami pembaca karena gaya menulisnya terkesan seolah-olah ia dalam keadaan mabuk. Maka suatu kali ia pernah berkata, “Kalau ada bagian dari karyaku yang tak kau pahami, cukup yang perlu kau lakukan adalah membacanya dengan keras.”

oleh Gita Karisma

Posted on

Bilik Musik Joyce [Esai]

Bilik Musik James Joyce

 

Sebagian besar puisi-puisi dalam buku Bilik Musik ditulis Joyce semasa awal karier kepenulisannya. The Holy Office (1904), Chamber Music (1907), dan Gas from a Burner (1912) ditulis sebelum umurnya menginjak kepala tiga. Selama rentang waktu tersebut ia kesulitan mencari penerbit untuk kumpulan cerpennya, Dubliners. Sudah sekian banyak penerbit menolak, dengan alasan karyanya berpotensi menuai kontroversi. Pernah yang terpahit, salah satu penerbit yang semula sudah menyetujui dan membukukan naskahnya, mendadak berubah pikiran, membakar hasil cetakannya kembali. Penolakan demi penolakan yang diterimanya tentu berat bagi Joyce sebagai penulis muda, apalagi ketika itu keluarganya jatuh melarat, adapun hubungannya dengan teman-temannya tidak berlangsung baik. Maka jangan heran kalau puisi-puisi Joyce umumnya berisikan gonjang-ganjing yang dialaminya semasa muda. Beruntung kemudian Dubliners diterbitkan tahun 1914, itu pun bukan oleh penerbit di Irlandia melainkan di Inggris.

Chamber Music terdiri dari tiga puluh empat puisi romantik, ditulis sebelum Joyce bertemu dengan Nora Barnacle, yang kelak menjadi istrinya. Seperti yang pernah ia ungkapkan, “Ketika aku menulis Chamber Music, aku adalah pemuda kesepian yang biasa berjalan seorang diri di tengah malam sambil berharap suatu hari nanti seorang gadis akan mencintaiku.” Dua puisi terakhir, XXXV dan XXXVI ditambahkannya beberapa hari sebelum naskah dicetak. Meskipun beberapa sumber menyebutkan bahwa judulnya terinspirasi dari bunyi dentingan kencing seorang wanita dalam jambang, nyatanya puisi-puisi dalam Chamber Music memang kental dengan nuansa musik, terutama dari kekuatan rimanya yang padu, sehingga banyak musisi ternama yang mengadaptasinya ke dalam lirik lagu.

Sebelum pergi merantau keluar dari Irlandia, Joyce telah menerbitkan puisi panjang berjudul The Holy Office tahun 1904, berisikan sindiran terhadap kebangkitan sastra Irlandia yang dinilainya kolot dan tidak berbobot, terutama para seniman yang masih memegang erat seni konservatif. Menurut Joyce, seni Irlandia belum akan berkembang selama kebebasan berekspresi ditekan oleh batasan yang ditetapkan gereja. Ia berkaca pada keberhasilan Thomas Aquinas dalam membuka pandangan gereja pada abad pertengahan, yaitu dengan menggali pemikiran klasik Yunani, zaman ketika berbagai kepercayaan belum ditemukan.
Selepas lulus kuliah Joyce sempat setahun tinggal di Paris. Ia kembali ke Dublin tahun 1912 setelah mendapat kabar bahwa ibunya meninggal, sekaligus memantau kumpulan cerpennya, Dubliners, yang dikirimkannya ke penerbit Mounsel & Company. Namun, naskah yang semula sudah disetujui tahu-tahu ditolak. Kesal dikhianati, ia menulis puisi satir Gas from a Burner, dapat dilihat betapa baris-baris awal puisi itu ditujukan kepada George Roberts, pimpinan penerbit Mounsel & Company. Joyce, yang ketika itu masih berusia 22 tahun merasa dirinya dikucilkan, tidak didukung sama sekali oleh penulis Irlandia lainnya. Ia, yang menganggap dirinya ‘anak emas’ Irlandia merasa tersisih. Bukannya mendapat pujian, karyanya malah dituduh mengandung hujatan agama.

Merasa sudah tak dihargai oleh bangsanya sendiri, maka demi melanjutkan karier menulisnya, Joyce meninggalkan Irlandia. Bersama kekasihnya, Nora Barnacle, mereka pernah menetap di berbagai kota, mulai dari Paris, Trieste, dan Zurich. Selama hidup berkelana itulah ia menulis Pomes Penyeach (dinamai demikian karena satu puisi dihargai satu penny), sehingga beberapa dari judul puisinya diambil dari nama-nama tempat seperti San Sabba, Fontana, dan Bahnhofstrasse. Ada beberapa puisi ditulis buat istri dan anaknya, ada pula tentang gambaran kerinduan akan kampung halamannya. Toh ia tak pernah kembali ke Irlandia meskipun permintaan itu datang dari W.B. Yeats, pelopor kebangkitan sastra Irlandia. Puisi terakhir yang ditulisnya adalah Ecce Puer tahun 1932. Puisi ini ditujukan buat kelahiran cucu lelakinya yang diberi nama Stephen, sekaligus memperingati ayahnya yang baru meninggal.

Dalam memahami karya Joyce, kita boleh sepakat bahwa disamping memahami kata demi kata, unsur yang tak kalah penting adalah memahami perjalanan hidup penulisnya itu sendiri. Sebab bukan hanya A Portrait of the Artist as a Young Man, boleh dikatakan hampir seluruh karya Joyce adalah autobiografi, tentang bagaimana perjuangan Stephen Dedalus merangkai sayapnya untuk terbang menggapai matahari, sesuai ambisinya, “mengekspresikan diri dengan seni yang sebebas mungkin, dalam sepi, diam, dan terasing.”

***

oleh Gita Karisma


Esai ini dimuat sebagai Kata Pengantar dalam Bilik Musik karya James Joyce.