1984 Bab 1

 

Satu

 

Hari yang cerah dan dingin di bulan April, jam berdentang tiga belas kali. Winston Smith, dengan dagu menempel ke dada untuk menghindari embusan angin celaka, buru-buru menyelinap melalui pintu kaca Wisma Kemenangan, tetapi masih kurang cepat untuk mencegah pusaran debu pasir ikut masuk bersamanya.

Lobi itu berbau kubis rebus dan karpet tua. Di salah satu sisi ruangan terdapat sebuah poster berwarna yang tertempel di dinding, ukurannya terlalu besar untuk dipajang di dalam ruangan. Poster itu hanya berupa gambar wajah yang teramat besar, lebarnya lebih dari satu meter: wajah seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh lima tahun, dengan kumis hitam yang lebat dan paras yang sangat tampan. Winston memilih naik tangga. Tak ada gunanya mencoba naik lift. Bahkan pada masa jaya pun lift itu jarang bisa digunakan, apalagi sekarang ketika aliran listrik dipadamkan pada waktu siang. Pemadaman ini bagian dari kampanye penghematan dalam rangka persiapan menyambut Minggu Benci. Apartemennya terletak di lantai tujuh, dan Winston, yang berusia tiga puluh sembilan dan menderita varises di atas pergelangan kaki kanannya, meniti tangga dengan perlahan bahkan sampai perlu beristirahat beberapa kali sepanjang perjalanan. Di setiap selasar tangga, pada dinding seberang lift, tertempel poster wajah besar yang terkesan mengawasi itu. Wajah itu digambar sedemikian rupa sehingga matanya seakan mengikuti setiap gerak-gerikmu. Tulisan yang tertera di bawah wajah itu berbunyi: BUNG BESAR MENGAWASIMU.

Di dalam apartemen terdengar suara merdu seseorang sedang membacakan daftar angka yang berkaitan dengan produksi besi gubal. Suara itu berasal dari sebuah lempengan logam persegi panjang mirip sebuah cermin buram yang menyatu dengan permukaan dinding sebelah kanan. Winston memutar satu tombol dan suara itu jadi agak lirih meski kata-katanya masih bisa terdengar. Alat itu (namanya teleskrin) bisa dilirihkan tetapi sama sekali tidak bisa dimatikan. Dia mendekati jendela: di kaca tampaklah sesosok tubuh kecil dan ringkih, kecekingan tubuhnya dipertegas oleh pakaian kerja terusan warna biru yang merupakan seragam Partai. Rambutnya pirang cerah, wajahnya aslinya ceria, kulitnya kesat akibat memakai sabun murahan dan pisau cukur tumpul serta hawa musim dingin yang baru saja berakhir.

Di luar, bahkan dilihat lewat kaca jendela yang tertutup, dunia tampak dingin. Di jalan di bawah sana, pusaran angin kecil memutar-mutar debu serta sobekan-sobekan kertas, dan meski matahari bersinar cerah dan langit tampak biru, segalanya tampak suram, kecuali poster-poster yang tertempel di mana-mana. Wajah berkumis hitam itu menatap ke bawah dari setiap penjuru kekuasaan. Ada satu tertempel di dinding depan rumah yang berada tepat di seberang wisma. BUNG BESAR MENGAWASIMU, itu tulisan yang tertera, sementara sepasang mata hitam itu menatap tajam mata Winston. Di pinggir jalan di bawah sana tertempel satu poster lagi, robek pada satu sudutnya sehingga berkelepak tertiup angin, bergantian menyingkap dan menutupi satu kata SOSING. Di kejauhan sebuah helikopter terbang rendah di antara atap, melayang-layang sesaat seperti seekor langau biru, lalu terbang menikung dan melesat pergi. Itu patroli polisi, sedang memata-matai jendela rumah-rumah. Tapi patroli itu bukan masalah besar. Hanya Polisi Pikiran yang patut dikhawatirkan.

Suara dari teleskrin di belakang Winston masih mengoceh tentang produksi besi gubal dan terlampauinya target Rencana Pembangunan Tiga Tahun tahap Kesembilan. Teleskrin itu berfungsi sebagai alat penerima sekaligus pengirim pesan. Suara apa pun yang dibuat Winston, asalkan lebih keras dari bisikan lirih, akan tertangkap oleh alat itu; selain itu, selama dirinya masih berada dalam lingkup pengawasan lempengan logam itu, dia bisa dilihat sekaligus didengar. Tentu saja tak ada cara untuk mengetahui apakah seseorang sedang diawasi atau tidak pada satu waktu tertentu. Seberapa sering, atau dengan sistem apa, Polisi Pikiran terhubung ke peralatan milik perorangan masihlah berupa dugaan. Paling mudah membayangkan bahwa mereka senantiasa mengawasi setiap orang sepanjang waktu. Bagaimanapun juga Polisi Pikiran bisa terhubung ke peralatanmu kapan pun mereka kehendaki. Kau harus menjalani hidup—bertahan hidup berdasarkan kebiasaan yang lama-lama menjadi insting—dengan anggapan bahwa setiap suara yang kau hasilkan akan didengar, dan setiap gerakan akan diamati, kecuali dalam gelap.

Winston terus memunggungi teleskrin. Itu lebih aman; meski dia sendiri tahu bahkan gerak-gerik punggung pun bisa mengungkapkan sesuatu. Satu kilometer jauhnya, gedung Kementerian Kebenaran yang menjadi tempat kerjanya menjulang tinggi dan putih di atas lanskap yang kotor. Ini, pikirnya dengan kebencian samar-samar—ini adalah London, salah satu kota besar Airstrip One, yang merupakan provinsi terpadat ketiga di Oceania. Dia berusaha memeras ingatan masa kecilnya untuk mengetahui apakah London selalu tampak seperti ini. Apakah pemandangan deretan rumah abad kesembilan belas yang reyot ini, yang dinding miringnya disokong balok kayu, jendelanya ditambal kardus, atapnya diganti seng bergelombang, dan pagar halamannya morat-marit ini, selalu tampak seperti ini sejak dulu? Lalu bagaimana dengan lokasi-lokasi bekas pengeboman yang bertaburan debu melayang berpusar-pusar dan ditumbuhi bebungaan willowherb yang berserakan di antara puing-puing itu; serta tempat-tempat bom menyapu bersih bangunan sehingga tinggal sepetak tanah lapang yang kemudian di situ bermunculan koloni gubuk kayu yang kekumuhannya serupa kandang ayam itu? Tapi usahanya sia-sia, dia tetap tak bisa mengingatnya: tak ada yang tersisa dari masa kecilnya kecuali serangkaian tablo yang disorot sinar terang-benderang, tanpa latar belakang apa pun dan nyaris semuanya tidak dapat dipahami.

Kementerian Kebenaran—Kemenbar dalam Newspeak[1]—tampak sangat berbeda dengan objek lain yang terlihat di sekelilingnya. Bangunan itu berbentuk piramida raksasa dari beton putih yang mengkilap, tingkatan teras demi terasnya menjulang setinggi tiga ratus meter ke angkasa. Dari tempatnya berdiri, Winston masih bisa membaca huruf-huruf elegan yang warna putihnya mencolok mata, tiga slogan Partai:

PERANG ADALAH DAMAI

KEBEBASAN ADALAH PERBUDAKAN

KEBODOHAN ADALAH KEKUATAN

Gedung Kementerian Kebenaran konon terdiri tiga ribu ruangan yang terletak di atas permukaan tanah dan ruang-ruang bawah tanah yang tak kalah banyaknya. Hanya ada tiga bangunan lain dengan tampilan dan ukuran serupa itu yang tersebar di wilayah London. Ukuran keempat gedung ini benar-benar mengerdilkan bangunan lain di sekitarnya sehingga dari atap Wisma Kemenangan seseorang akan dapat melihat keempatnya sekaligus. Gedung-gedung ini merupakan rumah dari empat kementerian yang berbagi kewenangan dalam pemerintahan. Kementerian Kebenaran menangani berita, hiburan, pendidikan, dan seni. Kementerian Perdamaian menangani perang. Kementerian Kasih Sayang berwenang menjaga hukum dan ketertiban. Dan Kementerian Kemakmuran yang bertanggung jawab dalam bidang ekonomi. Nama keempatnya dalam bahasa Newspeak: Kemenbar, Kemendam, Kemenkasa, Kemenmak.

Kementerian Kasih Sayang adalah yang paling ditakuti. Gedungnya tanpa jendela satu pun. Winston belum pernah masuk ke Kementerian Kasih Sayang maupun berada dalam jarak setengah kilometer dari gedung itu. Mustahil masuk ke gedung itu kecuali ada urusan resmi, itu pun hanya bisa dilakukan setelah melewati labirin kawat berduri, pintu-pintu baja, dan ceruk-ceruk tersembunyi tempat bersarangnya senapan mesin. Bahkan jalan-jalan menuju pembatas paling luar pun selalu dikawal penjaga-penjaga berwajah gorila berseragam hitam yang menenteng pentungan.

Winston membalik badan tiba-tiba. Dia telah mengatur wajahnya untuk menampilkan raut optimisme tenang yang merupakan tampilan yang dianjurkan ketika menghadap teleskrin. Dia melintasi ruangan menuju dapur kecil. Dengan meninggalkan kantor pada jam seperti ini, dia telah mengorbankan makan siangnya di kantin, dan dia sadar tak ada makanan di dapur kecuali sebongkah roti berwarna kusam yang sebetulnya adalah jatah sarapan besok. Dia mengambil sebotol cairan bening dari rak, label putihnya bertuliskan GIN KEMENANGAN. Ketika dibuka terciumlah bau minyak yang memualkan, mirip arak Cina. Winston menuang nyaris secangkir penuh, bersiap-siap menerima sensasi kesetrum, lalu menenggaknya habis seperti minum obat.

Seketika wajahnya berubah merah dan airmatanya menetes. Cairan itu rasanya seperti asam nitrat, terlebih lagi ketika menelannya seseorang akan merasa bagian belakang kepalanya seperti digebuk pentungan karet. Namun setelah itu sensasi terbakar di dalam perutnya mereda dan dunia mulai tampak lebih ceria. Diambilnya sebatang rokok dari bungkusan kusut berlabel ROKOK KEMENANGAN, tetapi dengan ceroboh memegangnya tegak sehingga tembakaunya jatuh berhamburan ke lantai. Pengambilan kedua lebih sukses. Dia kembali ke ruang tengah lalu duduk menghadap meja kecil di sebelah kiri teleskrin. Dari laci meja dia mengeluarkan wadah pena, sebotol tinta, dan buku tulis tebal berukuran kuarto yang bagian belakangnya merah dan sampulnya bermotif marmer.

Entah mengapa teleskrin di ruangan tengah itu dipasang di posisi yang janggal. Alih-alih dipasang di dinding ujung seperti lazimnya sehingga bisa mengawasi seluruh ruangan, teleskrin ini malah dipasang di sisi dinding panjang yang menghadap jendela. Di sebelah teleskrin itu terdapat ceruk dangkal yang sepertinya dimaksudkan sebagai tempat rak buku sewaktu apartemen ini dibangun, dan di sinilah Winston duduk. Apabila duduk menghimpit dinding ceruk ini, Winston bisa tetap berada di luar lingkup pandang teleskrin. Tentu saja suaranya masih akan terdengar, tetapi selama tetap dalam posisi seperti itu, dirinya tidak akan terlihat. Tata ruang yang tidak lazim inilah yang menjadi salah satu pemicu Winston melakukan apa yang hendak dikerjakannya sekarang.

Pemicu lainnya adalah buku yang baru saja dia keluarkan dari laci itu. Buku itu memiliki keindahan istimewa. Kertas warna krem yang halus itu, sedikit menguning karena usia, adalah jenis kertas yang tidak lagi diproduksi setidaknya dalam empat puluh tahun terakhir. Namun dia memperkirakan buku itu usianya jauh lebih tua. Dia melihat buku itu tergeletak di etalase sebuah toko barang loakan yang pengap di kawasan kumuh kota (kini dia tidak ingat tepatnya di daerah mana) dan langsung dilanda hasrat menggebu-gebu untuk memilikinya. Anggota Partai sebetulnya dilarang mengunjungi toko-toko biasa (istilahnya ‘berniaga di pasar bebas’), tetapi aturan ini tidak diterapkan secara ketat mengingat ada sejumlah barang, misalnya seperti tali sepatu dan pisau cukur, yang mustahil didapatkan lewat cara lain. Dia melirik sekilas ke kanan-kiri jalan lalu menyelinap masuk dan membeli buku itu seharga dua setengah dolar. Waktu itu dia belum tahu demi keperluan apa membeli buku itu. Dia membawanya pulang dalam tas, diliputi rasa bersalah. Meski tidak ada tulisannya, memiliki buku tetaplah riskan.

Hal yang akan dia lakukan sekarang adalah mulai menulis catatan harian. Meski ini bukanlah tindakan ilegal (apalah yang ilegal jika hukum sudah tidak ada lagi), tetapi jika ketahuan sudah pasti dia akan dihukum mati, atau setidaknya menjalani dua puluh lima tahun di kamp kerja paksa. Winston memasang mata pena ke tangkainya lalu mengisapnya untuk menghilangkan minyak yang menyumbat. Pena adalah alat kuno, jarang digunakan bahkan sekadar untuk menorehkan tanda tangan, dan dia bersusah payah membelinya secara sembunyi-sembunyi semata karena dia merasa bahwa kertas krem seindah itu hanya layak ditulisi menggunakan pena asli alih-alih dicoret-coret dengan pulpen. Sebetulnya dia tidak terbiasa menulis tangan. Selain catatan-catatan yang sangat ringkas, biasanya dia mendiktekan segalanya pada mesin catatkata, yang tentu saja tak mungkin digunakan untuk keperluan ini. Dia mencelupkan mata pena ke wadah tinta kemudian untuk sesaat dirinya disergap keraguan. Suatu debaran menjalar meremas-remas perutnya. Menulisi kertas itu merupakan satu tindakan yang akan menentukan nasibnya. Dengan huruf-huruf kecil yang kaku dia menulis:

4 April 1984

Dia bersandar. Perasaan tak berdaya melumpuhkan dirinya. Pertama, dia tidak tahu secara pasti bahwa sekarang memang tahun 1984. Pastilah sekitar tahun itu, karena dia cukup yakin sekarang usianya tiga puluh sembilan, dan meyakini dirinya lahir tahun 1944 atau 1945; namun sekarang ini mustahil dapat menentukan tanggal yang pasti dalam rentang satu dua tahun.

Tiba-tiba satu pertanyaan muncul dalam benaknya, untuk siapa dia menulis catatan harian ini? Untuk masa depan, untuk generasi mendatang. Sejenak pikirannya melayang-layang pada tanggal yang meragukan itu, lalu lamunannya terhenti setelah menumbuk kata pikirganda dalam Newspeak. Untuk pertama kalinya dia menyadari besarnya dampak dari tindakan yang telah dilakukannya. Bagaimana kau bisa berkomunikasi dengan masa depan? Pada hakikatnya hal itu mustahil dilakukan. Entah karena masa depan mungkin serupa dengan masa kini sehingga tidak akan menghiraukan persoalannya, atau malah sama sekali berbeda sehingga kemelut yang dialaminya akan menjadi tidak berarti.

Untuk beberapa waktu lamanya dia duduk melongo memandangi lembaran kertas itu. Teleskrin telah berganti memutar musik militer yang melengking. Herannya, dia seakan tidak hanya kehilangan kemampuan untuk mengungkapkan diri, tetapi bahkan sudah lupa pada apa yang hendak disampaikannya tadi. Berminggu-minggu lamanya dia telah mempersiapkan diri untuk momen ini, tetapi tidak pernah terlintas di pikirannya bahwa akan ada hal lain yang dibutuhkan selain keberanian. Sebatas menuliskannya sebenarnya mudah saja. Dia hanya perlu memindahkan monolog kegelisahan yang mengalir tiada henti di pikirannya selama bertahun-tahun ke atas kertas. Namun pada saat ini bahkan monolog itu pun telah mengering. Terlebih lagi sekarang bisul varisesnya mulai terasa gatal tak tertahankan. Dia enggan menggaruknya karena jika dilakukan nantinya justru akan meradang. Detik demi detik berlalu. Dia tidak menyadari apa pun kecuali lembaran kertas kosong di hadapannya, gatal pada kulit di atas pergelangan kakinya, suara musik yang menggelegar, dan sedikit sensasi memabukkan akibat menenggak gin itu.

Tiba-tiba dia mulai menulis dengan panik tanpa benar-benar menyadari apa yang ditulisnya. Tulisan tangannya yang kecil mirip tulisan anak-anak bertaburan dari atas ke bawah halaman, awalnya sebatas mengabaikan huruf kapital dan lama-kelamaan bahkan tanpa tanda titik:

4 April 1984. Tadi malam ke bioskop. Semuanya film perang. Ada satu yang sangat bagus tentang sebuah kapal penuh pengungsi yang dibom di suatu tempat di Mediterania. Penonton sangat terhibur menyaksikan adegan seorang laki-laki gembrot yang berusaha berenang menjauh dari helikopter yang memburunya, pertama diperlihatkan adegan laki-laki itu terkatung-katung di air seperti seekor lumba-lumba, kemudian penonton melihatnya lewat teropong pembidik senapan dari helikopter itu, selanjutnya badannya penuh lubang dan air di sekelilingnya berubah warna merah muda dan dia langsung tenggelam seolah tubuhnya bocor kemasukan air, penonton bersorak gembira ketika laki-laki itu tenggelam, kemudian ditampilkan adegan sebuah sekoci penyelamat penuh anak-anak dengan sebuah helikopter melayang-layang di atasnya, ada seorang perempuan paruh baya yang sepertinya yahudi duduk di haluan memeluk seorang bocah laki-laki berusia sekitar tiga tahun, bocah itu berteriak ketakutan dan menyurukkan kepalanya ke sela-sela payudara perempuan itu seolah sedang berusaha membenamkan dirinya ke dalam tubuh perempuan itu dan perempuan itu melingkarkan lengannya pada tubuh bocah itu sembari menenangkannya meski dia sendiri pucat ketakutan, terus berusaha menutupi tubuh bocah itu seolah dia pikir lengannya akan mampu menahan peluru yang menerjangnya, kemudian helikopter itu menjatuhkan bom 20 kilogram ke tengah-tengah mereka tampak kilatan dahsyat dan sekoci itu hancur berkeping-keping, selanjutnya ada adegan hebat memperlihatkan potongan lengan seorang bocah terlempar tinggi ke udara sebuah helikopter yang dilengkapi kamera di bagian hidungnya pastilah yang merekamnya dan terdengar tepuk tangan meriah dari deretan kursi anggota partai tetapi seorang perempuan yang duduk di bagian untuk kaum prol di gedung itu tiba-tiba mulai berteriak-teriak dan menimbulkan kegaduhan tidak sepantasnya menayangkan adegan itu di depan anak-anak tidak pantas menampilkannya di depan anak-anak sampai polisi mengiringnya menggiringnya ke luar aku rasa dia tidak akan diapa-apakan tak ada yang menggubris omongan prol reaksi khas kaum prol mereka tak pernah—

Winston berhenti menulis, salah satunya karena dia terserang kram. Dia tidak tahu apa yang membuatnya menumpahkan rentetan omong kosong ini. Namun anehnya ketika dia sedang menulis itu, satu ingatan yang sangat berbeda menyembul dengan jernihnya dalam pikirannya, saking jernihnya sampai dia nyaris merasa mampu menuliskannya. Sekarang dia menyadari bahwa insiden lain inilah yang serta-merta membuatnya memutuskan untuk pulang dan mulai menulis catatan harian pada hari ini.

Insiden ini terjadi pada pagi tadi di Kementerian, jika sesuatu yang samar-samar itu memang sungguh-sungguh terjadi.

Hampir pukul sebelas nol nol, dan di Departemen Arsip tempat Winston bekerja, kursi-kursi diseret dari bilik-bilik ruang kerja dan disusun di tengah aula menghadap sebuah teleskrin besar dalam rangka persiapan untuk agenda Dua Menit Benci. Winston baru saja mengambil tempat di salah satu kursi barisan tengah ketika dua orang yang pernah dilihatnya, tapi belum pernah berbicara dengannya, tiba-tiba masuk ke ruangan. Salah satunya adalah seorang gadis yang sering berpapasan dengannya di koridor. Dia tak tahu namanya, tapi dia tahu gadis itu bekerja di Departemen Fiksi. Agaknya—karena Winston kadang melihat tangannya berlumuran oli dan menenteng kunci pas—gadis itu bekerja sebagai mekanik di salah satu mesin penulisan novel. Tampangnya judes, berusia sekitar dua puluh tujuh tahun, berambut hitam lebat, wajah berbintik-bintik, dan gerak-geriknya tangkas serta atletis. Sehelai selempang merah tipis, lambang Barisan Muda Mudi Antiseks, dililitkan beberapa kali pada bagian pinggang seragam kerjanya, cukup ketat sampai menonjolkan lekuk pinggulnya. Winston tidak menyukai gadis itu sedari pertama kali melihatnya. Dia tahu sebabnya. Lantaran penampilan gadis itu entah bagaimana mengingatkannya pada suasana lapangan hoki dan pemandian air dingin dan kegiatan jelajah alam serta kebersihan pikiran secara umum. Dia memang tidak suka pada hampir semua perempuan, apalagi yang masih muda dan cantik. Para perempuanlah, terutama yang masih muda, yang selalu menjadi pendukung Partai paling fanatik, penelan mentah-mentah slogannya, mata-mata dan pengendus pembelotan amatir. Namun gadis yang satu ini terkesan lebih berbahaya dari kebanyakan perempuan lain. Suatu kali ketika mereka berpapasan di koridor, gadis ini meliriknya sekilas, tapi lirikan itu seakan langsung menembus jiwanya dan untuk sesaat dirinya tercekam teror hitam. Bahkan pernah terlintas di benaknya bahwa gadis itu mungkin saja seorang agen Polisi Pikiran. Memang itu sangat kecil kemungkinannya. Namun tetap saja dia merasakan kegelisahan aneh bercampur dengan rasa takut dan permusuhan setiap kali gadis itu ada di dekatnya.

Seorang lagi adalah laki-laki bernama O’Brien, anggota Partai Sentral dan pemangku suatu jabatan yang sangat penting dan sangat tinggi sehingga Winston hanya memiliki sedikit gambaran tentang pekerjaannya. Keheningan sesaat melanda kerumunan orang di deretan kursi itu sewaktu melihat seragam hitam anggota Partai Sentral berjalan mendekat. O’Brien bertubuh besar dan kekar dengan leher gemuk dan wajah yang kasar, jenaka, brutal. Terlepas dari penampilannya yang sangar, sikapnya menunjukkan pesona tertentu. Dia punya cara yang khas sewaktu membetulkan letak kacamata di atas hidungnya, yang anehnya mampu melucuti kecurigaan orang terhadap dirinya—suatu cara yang sulit dijelaskan tetapi anehnya terkesan sangat beradab. Satu gerak isyarat yang, jika masih ada yang mampu mengingat hal ini, mengingatkan orang pada sikap seorang bangsawan abad kedelapan belas yang menawarkan kotak bubuk tembakaunya. Winston telah melihat O’Brien mungkin sampai belasan kali dalam beberapa tahun ini. Dia amat tertarik kepadanya, bukan semata-mata karena terpesona melihat kontras antara sikap sopan O’Brien dengan perawakannya yang mirip petinju bayaran. Yang utama adalah karena Winston memiliki keyakinan diam-diam—atau mungkin tepatnya bukan keyakinan melainkan sekadar harapan—bahwa ketaatan politis O’Brien tidaklah sempurna. Sesuatu di wajahnya terang-terangan menyiratkan hal itu. Namun sekali lagi, barangkali bahkan bukan ketidaktaatan yang tersirat di wajahnya itu, melainkan hanya kecerdasan. Apa pun itu, O’Brien menampilkan kesan sebagai seseorang yang bisa diajak bicara, apabila dengan suatu cara Winston bisa memperdaya teleskrin dan mengajak laki-laki itu bicara empat mata. Winston belum pernah melakukan upaya sekecil apa pun untuk membuktikan dugaan ini, dan memang tidak ada cara untuk melakukannya. Pada kesempatan ini O’Brien melirik jam tangannya, melihat sudah hampir pukul sebelas nol nol dan rupanya memutuskan untuk tetap berada di Departemen Arsip sampai berakhirnya agenda Dua Menit Benci. Dia menempati barisan yang sama dengan Winston, hanya berjarak dua kursi jauhnya. Seorang perempuan kecil berambut pirang kusam yang bekerja di bilik sebelah Winston duduk di antara mereka. Gadis berambut hitam itu duduk persis di belakangnya.

Beberapa saat kemudian, suara gemeretak melengking, seperti suara mesin raksasa yang berjalan tanpa pelumas, menggelegar dari teleskrin besar di ujung ruangan. Ini jenis suara yang membuat gigi ngilu dan menegakkan bulu kuduk seseorang. Agenda Benci telah dimulai.

Seperti biasa, wajah Emmanuel Goldstein si Musuh Bangsa, muncul di layar. Terdengar desis mencemooh di antara para hadirin. Perempuan kecil berambut pirang kusam itu menciap-ciap takut campur muak. Goldstein adalah seorang pengkhianat dan pembelot yang, dulunya (kapan tepatnya tak ada yang ingat), pernah menjadi salah satu dedengkot Partai, kedudukannya hampir setara Bung Besar, tapi kemudian terlibat dalam gerakan kontra revolusioner, dijatuhi hukuman mati tetapi secara misterius melarikan diri dan menghilang. Agenda dari Dua Menit Benci bervariasi setiap harinya, tetapi tak ada yang tidak menampilkan Goldstein sebagai tokoh utama. Dialah pengkhianat utama, orang paling pertama yang menodai kemurnian Partai. Semua kejahatan berikutnya terhadap Partai, semua bentuk pengkhianatan, semua aksi sabotase, doktrin-doktrin sesat, gerakan-gerakan sempalan, bersumber dari ajarannya. Di suatu tempat di luar sana dia masih hidup dan mempersiapkan komplotannya: mungkin di suatu tempat seberang lautan, di bawah pengayoman pemodal asingnya, atau bahkan mungkin—berdasarkan rumor yang sesekali terdengar—di suatu persembunyian di Oceania.

Rongga dada Winston terasa sesak. Dia tak pernah bisa melihat wajah Goldstein tanpa gejolak emosi yang menyakitkan. Wajah tirus seorang Yahudi dengan rambut keriting lebat berwarna putih laksana mahkota kesucian dan janggut kambing tipis—seraut wajah cerdas tapi entah bagaimana tampak memuakkan, dengan semacam kepikunan kakek-kakek yang tersirat pada hidung panjang dan ramping tempat kacamatanya bertengger. Wajah itu mirip domba dan suaranya pun mirip domba. Goldstein melontarkan serangan berbisa seperti biasanya terhadap doktrin-doktrin Partai—serangan yang sangat bombastis dan sangat jahat sehingga seorang bocah pun seharusnya bisa memahami tipu dayanya, tetapi masih cukup masuk akal untuk menimbulkan kekhawatiran bahwa seseorang, yang kurang akal, mungkin akan terperdaya. Dia mencaci maki Bung Besar, mencela kediktatoran Partai, menuntut penyelesaian damai secepatnya dengan Eurasia, mendukung kebebasan berbicara, kebebasan pers, kebebasan berserikat, kebebasan berpikir, dia berteriak-teriak histeris bahwa revolusi telah dikhianati—semua ini disampaikan dengan gaya pidato polisilabel cepat yang merupakan semacam parodi dari gaya berpidato para orator Partai, dan bahkan berisi kata-kata Newspeak: malah lebih banyak kata-kata Newspeak daripada yang biasanya digunakan oleh anggota Partai dalam kehidupan sehari-hari.

Sementara itu, agar jangan sampai muncul keraguan sedikit pun tentang kenyataan yang coba-coba ditutupi oleh ocehan munafik Goldstein ini, di belakang kepalanya yang terpampang di teleskrin itu ditayangkan barisan pasukan Eurasia yang seakan tiada habisnya—baris demi baris serdadu bertubuh kekar dengan wajah Asia tanpa ekspresi, muncul di layar lalu menghilang, digantikan oleh sosok lain yang sama persis. Suara derap berirama yang menjemukan dari sepatu bot para serdadu menjadi suara latar bagi suara Goldstein yang mengembik-embik.

Belum sampai tiga puluh detik agenda Benci berlangsung, seruan-seruan kemarahan tak terkendali tertumpah dari separuh hadirin di ruangan. Wajah mirip domba yang angkuh di layar, ditambah kekuatan mengerikan tentara Eurasia di belakangnya, terlalu berat untuk ditanggung: selain itu, sebatas melihat atau bahkan memikirkan Goldstein spontan akan menimbulkan rasa takut dan amarah dalam diri seseorang. Dialah sasaran kebencian yang lebih ajek dibandingkan Eurasia atau Eastasia, karena ketika Oceania berperang dengan salah satu dari negara adidaya ini, umumnya akan berdamai dengan yang satunya lagi. Tetapi anehnya meski Goldstein dibenci dan dicaci semua orang, meski setiap hari, bahkan sampai seribu kali dalam sehari, baik di panggung orasi, di teleskrin, di koran, di buku, teorinya selalu dibantah, dilumat, dicemooh, dipajang di depan umum sebagai sampah memprihatinkan—terlepas dari semua usaha ini, pengaruhnya sepertinya tidak pernah pudar. Selalu saja ada korban baru yang termakan oleh hasutannya. Setiap harinya selalu ada mata-mata dan penyabot, yang bertindak di bawah pengarahannya, yang dibongkar kedoknya oleh Polisi Pikiran. Dia adalah komandan suatu pasukan rahasia besar, jaringan komplotan bawah tanah yang berjuang menggulingkan Negara. Persaudaraan, konon itulah namanya. Ada juga desas-desus tentang sebuah buku jahanam, berupa ikhtisar dari semua ajaran sesat, yang ditulis oleh Goldstein dan diedarkan secara sembunyi-sembunyi di berbagai tempat. Buku itu tak berjudul. Orang-orang menyebutnya, jika memang itu memungkinkan, hanya dengan nama buku. Namun orang-orang mengetahui hal-hal seperti ini hanya lewat desas-desus saja. Baik Persaudaraan maupun buku bukanlah subjek yang akan dibicarakan anggota biasa Partai jika bisa menghindarinya.

Pada menit kedua agenda Benci meningkat menjadi ajang kericuhan. Orang-orang melompat bangkit dari kursi masing-masing dan berteriak sekeras-kerasnya dalam upaya untuk menenggelamkan suara mengembik menjengkelkan yang datang dari layar itu. Wajah perempuan pirang kusam itu berubah merah semu sedangkan mulutnya megap-megap seperti ikan terjebak di darat. Bahkan wajah sangar O’Brien sampai memerah. Dia duduk sangat tegak, dadanya yang kokoh tampak membusung dan gemetar seakan sedang menghadapi terjangan ombak. Gadis berambut hitam di belakang Winston mulai berteriak ‘Babi! Babi! Babi!’, lalu sekonyong-konyong menyambar sebuah kamus Newspeak tebal dan melemparnya ke arah layar. Kamus itu menghantam hidung Goldstein dan terpental: tak ada pengaruhnya, suara itu terus berlanjut. Ketika kesadarannya tergugah sejenak, Winston mendapati dirinya ikut-ikutan berteriak dan tumitnya menendang-nendang pijakan kaki kursi dengan keras. Hal mengerikan tentang agenda Dua Menit Benci bukanlah bahwa seseorang terpaksa ikut serta melampiaskan emosinya, melainkan bahwa mustahil bagi seseorang untuk tidak ikut bergabung dalam keberingasan ini. Dalam rentang tiga puluh detik, kepura-puraan biasanya tidak lagi diperlukan. Ekstase ketakutan dan dendam membara, keinginan untuk membunuh, menyiksa, menggodam wajah itu sampai remuk, seakan menjalar dari satu orang ke orang lain di kerumunan itu seperti arus listrik, mengubah seseorang menjadi orang gila yang berteriak ugal-ugalan, bertentangan dengan kehendaknya sendiri. Namun amarah yang dirasakan ini adalah emosi yang sifatnya abstrak dan tidak terarah sehingga dapat digeser dari satu sasaran ke sasaran lain tak ubahnya pancaran obor las. Oleh karena itulah pada satu momen, kebencian Winston tidak tertuju pada Goldstein, melainkan malah tertuju pada Bung Besar, Partai, dan Polisi Pikiran; dan pada momen-momen seperti itulah dia bersimpati pada sosok pembangkang kesepian di layar yang tengah dimaki-maki itu, satu-satunya penjaga kebenaran dan kewarasan di jagat kebohongan ini. Namun sesaat kemudian dirinya melebur dengan orang-orang di sekelilingnya, dan dia merasa semua hujatan terhadap Goldstein itu memang beralasan. Pada saat-saat seperti ini kebencian terpendam Winston terhadap Bung Besar berubah menjadi pemujaan, dan sosok Bung Besar jadi tampak agung, menjelma menjadi seorang pelindung gagah berani yang tak terkalahkan, berdiri sekokoh batu karang menghadapi serbuan pasukan Asia, dan Goldstein, terlepas dari kesendiriannya, ketidakberdayaannya, serta kesangsian atas keberadaannya, tampak seperti seorang penyihir jahat, yang sebatas kekuatan suaranya saja sudah mampu mengobrak-abrik sendi-sendi peradaban.

Bahkan, pada momen-momen tertentu, sangat memungkinkan untuk mengalihkan kebencian seseorang ke berbagai sasaran lain sesuai kehendaknya. Tiba-tiba, dengan semacam kegigihan yang membuat seseorang tersentak bangun dari mimpi buruk, Winston berhasil mengalihkan kebenciannya dari wajah yang terpampang di layar menuju gadis berambut hitam di belakangnya. Suatu khayalan yang indah dan jelas terbayang di benaknya. Dia akan mendera gadis itu dengan pentungan karet sampai mampus. Dia akan memancang telanjang gadis itu lalu menghujaninya dengan panah seperti Santo Sebastian. Dia akan menggagahi dan menggorok lehernya pada momen klimaks. Apalagi kini dia kian menyadari kenapa dirinya membenci gadis itu. Dia membencinya karena gadis itu muda, cantik, dan menentang seks, karena dia ingin tidur dengannya tetapi keinginan itu mustahil terlaksana, karena di sekeliling pinggangnya yang lentur dan mungil itu, pinggang yang seakan mengundang seseorang untuk memeluknya itu, terlilit selempang merah memuakkan yang menjadi simbol militan kesucian.

Agenda Benci mencapai puncaknya. Suara Goldstein benar-benar menjadi embikan domba, dan untuk sesaat wajahnya berubah menjadi wajah domba. Kemudian wajah domba itu lebur menjadi sesosok tentara Eurasia yang berderap maju, tampak besar dan mengerikan, bedil mitraliurnya meraung-raung, dan tampak seakan melompat ke luar dari layar sampai-sampai beberapa orang di barisan terdepan terhenyak mundur di kursi mereka. Namun dengan segera terjadilah sesuatu yang membuat semua hadirin mendesah lega, sosok mengerikan itu lebur menjadi wajah Bung Besar yang berambut hitam dan berkumis hitam, wajah sarat kekuatan dan ketenangan misterius yang tampak sangat besar hingga nyaris memenuhi seluruh layar. Tak ada yang menyimak ucapan Bung Besar. Hanya beberapa kata pengobar semangat, kata-kata yang dilontarkan di tengah kecamuk peperangan, yang meski tidak kedengaran jelas tetapi dapat memulihkan rasa percaya diri sebatas dengan mendengarnya. Kemudian wajah Bung Besar memudar perlahan dan tergantikan oleh tiga slogan Partai yang terpampang dalam huruf kapital tebal:

PERANG ADALAH DAMAI

KEBEBASAN ADALAH PERBUDAKAN

KEBODOHAN ADALAH KEKUATAN

Namun wajah Bung Besar seakan masih terus bertahan beberapa saat lamanya di layar, seolah pengaruh yang ditimbulkannya pada bola mata semua hadirin tertanam begitu kuat sehingga tidak lekas pudar. Perempuan kecil berambut pirang kusam itu mencondongkan tubuhnya ke depan melampaui sandaran kursi di depannya. Dengan gumaman gemetar yang terdengar seperti mengucapkan “Penyelamatku!” dia menjulurkan kedua tangannya ke arah layar. Kemudian dia menangkupkan tangan ke wajahnya. Tampak jelas dia tengah melafalkan doa.

Pada saat ini, seluruh hadirin menyenandungkan ‘B-B! … B-B! … B-B!’ dalam nada rendah, lamat-lamat, dan ritmis—berulang kali, sangat pelan, dengan jeda panjang antara ‘B’ pertama dan kedua—suara berdengung berat yang entah kenapa terdengar sangat bengis, di latar belakangnya seakan terdengar suara derapan langkah kaki telanjang dan dentaman genderang. Mungkin selama tiga puluh detik mereka terus melakukannya. Itu merupakan bagian pengulangan lagu yang sering terdengar pada momen-momen emosi meluap-luap. Meski aslinya adalah penggalan dari semacam himne bagi kebijaksanaan dan keagungan Bung Besar, tetapi fungsinya lebih sebagai tindakan hipnosis diri, suatu cara melarutkan kesadaran dengan sengaja melalui iringan suara ritmis. Isi perut Winston jadi beku. Dalam agenda Dua Menit Benci dia memang tak kuasa menahan diri untuk ikut larut dalam kegilaan massal, tetapi senandung ‘B-B! … B-B!’ yang tidak manusiawi ini selalu membuatnya ngeri. Tentu saja dia ikut menyenandungkan bersama yang lain: mustahil tidak melakukannya. Berusaha untuk menyembunyikan perasaan, untuk mengendalikan raut wajah, untuk turut melakukan hal yang dilakukan orang lain, adalah reaksi naluriah. Tetapi ada selang beberapa detik ketika sorot matanya barangkali telah mengkhianatinya. Dan tepat pada momen inilah insiden penting itu terjadi—apabila memang nyata-nyata terjadi.

Sekilas dia menatap mata O’Brien. O’Brien telah berdiri. Dia baru saja melepas kacamatanya dan sedang membetulkan letaknya dengan gerakan khasnya itu. Hanya sepersekian detik tatapan mereka bertemu, dan dalam waktu sesingkat itu Winston tahu—benar, dia tahu!—bahwa O’Brien memikirkan hal yang sama dengan dirinya. Sebuah pesan gamblang telah disampaikan. Seakan-akan sumbat pikiran keduanya terbuka dan mengalirlah pikiran itu dari satu orang ke yang lain lewat perantaraan mata mereka. “Aku bersamamu,” demikianlah sepertinya O’Brien berkata kepadanya. “Aku tahu persis yang kau rasakan. Aku tahu tentang kejijikanmu, kebencianmu, kemuakanmu. Tapi jangan khawatir, aku berada di pihakmu!” Kemudian kilasan kecerdasan itu lenyap, dan wajah O’Brien sama kosongnya seperti wajah-wajah lain.

Sebatas itu saja, dan kini dia sudah ragu apakah itu benar-benar terjadi. Insiden-insiden semacam itu tak pernah ada kelanjutannya. Sebatas melestarikan keyakinan atau harapan dalam dirinya bahwa ada orang selain dirinya yang memusuhi Partai. Barangkali desas-desus adanya komplotan rahasia yang besar memang benar—barangkali Persaudaraan benar-benar ada! Namun, mengesampingkan adanya penangkapan, pengakuan, dan eksekusi yang terus terjadi tanpa henti, mustahil untuk memastikan bahwa keberadaan Persaudaraan bukanlah mitos belaka. Kadang dia percaya, kadang tidak. Tak ada bukti, hanya sekadar kilasan-kilasan yang mungkin punya arti tertentu tetapi mungkin juga tidak: potongan-potongan percakapan yang kebetulan terdengar, corat-coret di dinding toilet—bahkan, suatu kali saat dua orang asing bertemu, gerak tangan samar-samar yang kelihatan seolah menjadi isyarat sandi. Semua ini hanyalah dugaan: kemungkinan besar dirinya telah membayangkannya. Dia kembali ke bilik kerjanya tanpa memandang O’Brien lagi. Gagasan untuk menindaklanjuti kontak sesaat mereka nyaris tak pernah terlintas di benaknya. Itu akan menjadi tindakan yang sangat berbahaya bahkan seandainya dia tahu bagaimana cara melakukannya. Selama sedetik, dua detik, mereka bertukar pandang, dan itulah akhir cerita. Namun bahkan peristiwa sekecil itu pun akan tetap dikenang apabila seseorang menjalani hidup terkurung kesepian.

Winston bangkit dari sandaran dan duduk tegak. Dia berserdawa. Gin itu meruap naik dari lambungnya.

Pandangannya kembali fokus pada lembar kertas itu. Dia mendapati bahwa selagi dirinya duduk termenung tanpa daya, tangannya juga sedang menulis, seolah bergerak secara otomatis. Dan itu bukan lagi tulisan cakar ayam yang kikuk seperti sebelumnya. Penanya meluncur dengan lincah di atas lembaran kertas halus itu, di sana tertera kata-kata dalam huruf kapital yang rapi:

TUMBANGKAN BUNG BESAR

TUMBANGKAN BUNG BESAR

TUMBANGKAN BUNG BESAR

TUMBANGKAN BUNG BESAR

TUMBANGKAN BUNG BESAR

berulang kali sampai memenuhi setengah halaman.

Dia tak mampu menahan debaran rasa panik. Itu memang konyol, karena menuliskan kata-kata ini toh tidak lebih berbahaya dibandingkan tindakan awal menulis catatan harian itu; tetapi sejenak sempat terpikir olehnya untuk merobek kertas yang telah dicoret-coret itu dan mencampakkan seluruh usahanya ini.

Namun dia mengurungkannya karena dia tahu itu sama-sama tak ada gunanya. Tak akan ada bedanya apakah dia menulis TUMBANGKAN BUNG BESAR ataupun tidak menuliskannya. Juga tak akan ada bedanya apakah dia melanjutkan catatan hariannya ataupun menyudahinya. Apa pun yang dilakukannya, Polisi Pikiran tetap akan menangkapnya. Dia telah melakukan—akan tetap melakukan, bahkan seandainya dia tidak pernah menggoreskan pena itu di atas kertas—kejahatan utama yang mencakup segala-galanya. Kejahatan pikiran, demikian istilahnya. Kejahatan pikiran bukanlah hal yang bisa disembunyikan selamanya. Seseorang mungkin saja bisa lolos untuk sementara, bahkan sampai bertahun-tahun, tetapi cepat atau lambat Polisi Pikiran pasti akan menangkapnya.

Kejadiannya selalu pada malam hari—penangkapan selalu terjadi pada malam hari. Dibangunkan tiba-tiba dari tidur, tangan kasar mengguncang bahumu, sorot cahaya menyilaukan matamu, kerumunan wajah-wajah bengis di sekeliling tempat tidur. Dalam kebanyakan kasus, tak ada pengadilan, tak ada laporan penangkapan. Orang-orang lenyap begitu saja, selalu pada malam hari. Namamu dihapus dari daftar, setiap catatan tentang semua yang pernah kau lakukan akan dihapus, keberadaan dirimu pada masa lalu tidak diakui dan kemudian dilupakan. Kau dihapus, dilenyapkan: diuapkan, itu istilah yang lazim digunakan.

Untuk sesaat dia diliputi ketakutan meluap-luap. Dia mulai mencoret-coret dengan cepat:

Mereka akan menembakku aku tak peduli mereka akan menembak di tengkukku aku tak peduli tumbangkan bung besar mereka selalu menembak di tengkuk aku tak peduli tumbangkan bung besar—

Dia menyandarkan punggungnya, merasa agak malu pada dirinya sendiri, dan meletakkan penanya. Sesaat kemudian dia tersentak kaget. Terdengar suara ketukan di pintu.

Secepat ini! Dia duduk diam membisu, dengan sia-sia berharap bahwa siapa pun yang mengetuk pintunya mungkin akan pergi setelah satu kali percobaan. Ternyata tidak, ketukan itu terdengar lagi. Tak ada gunanya menunda-nunda. Jantungnya berdebar seperti tabuhan drum, tetapi wajahnya mungkin tak menunjukkan ekspresi apa-apa lantaran sudah terbiasa. Dia bangkit lalu berjalan dengan enggan menuju pintu.

II

Sewaktu tangannya sudah memegang kenop pintu barulah Winston melihat bahwa dia telah meninggalkan buku itu dalam kondisi terbuka di atas meja. Tulisan TUMBANGKAN BUNG BESAR tertera nyaris memenuhi satu halaman, dengan huruf-huruf yang cukup besar sampai bisa terbaca dari setiap penjuru ruangan. Itu betul-betul suatu keteledoran yang fatal. Namun dia sadar bahkan dalam kondisi panik sekalipun dia tak ingin mengotori kertas krem itu dengan menutup buku saat tintanya masih basah.

Dia menghela napas lalu membuka pintu. Seketika gelombang kelegaan yang hangat menjalari sekujur tubuhnya. Seorang perempuan berpenampilan lesu dan kuyu dengan rambut tipis dan wajah berkerut-kerut berdiri di depan pintu.

“Oh, kamerad,” ujarnya dengan suara memelas, “Rasanya aku tadi mendengarmu masuk. Bersediakah kau datang dan memeriksa bak cuci piring kami. Salurannya mampet dan—”

Dia adalah Nyonya Parsons, istri seorang tetangga yang tinggal di lantai yang sama. (‘Nyonya’ adalah sebutan yang kurang disetujui Partai—kau seharusnya memanggil semua orang dengan sebutan ‘kamerad’—tetapi dengan beberapa perempuan tertentu panggilan itu spontan digunakan.) Usianya kisaran tiga puluhan, tetapi tampak lebih tua. Seolah ada debu yang mengendap di kerutan-kerutan wajahnya. Winston mengikutinya menyusuri lorong. Pekerjaan reparasi amatiran ini nyaris menjadi gangguan sehari-hari. Wisma Kemenangan merupakan bangunan apartemen tua yang dibangun sekitar tahun 1930 dan kini kondisinya sudah bobrok. Plester dinding dan langit-langitnya terus-menerus mengelupas, pipanya pecah sewaktu tertutup lapisan es, atapnya bocor ketika ada salju, dan sistem pemanasnya sering kurang berfungsi optimal jika sedang tidak dimatikan total dengan alasan penghematan. Segala macam perbaikan, kecuali yang dapat dikerjakan sendiri, harus mendapat persetujuan dari suatu komite khusus yang kerjanya cenderung menghambat sampai dua tahun, bahkan sebatas perbaikan kaca jendela.

“Tentu hanya karena Tom sedang tak ada di rumah,” kata Nyonya Parsons lamat-lamat.

Apartemen keluarga Parsons lebih besar dari apartemen Winston, dan kekumuhannya berbeda. Segalanya tampak berantakan dan remuk terinjak-injak, seolah tempat ini baru saja dikunjungi seekor binatang besar dan liar. Peralatan olahraga—tongkat hoki, sarung tinju, bola sepak yang kempis, sepasang celana kolor terbalik—berserakan di lantai, sedangkan di atas meja ada tumpukan piring kotor dan buku-buku latihan yang sudutnya tertekuk. Di dinding terdapat spanduk merah dari Barisan Pemuda dan Barisan Mata-mata, serta poster Bung Besar berukuran standar. Di sini juga tercium bau kubis rebus, bau yang sudah umum di seluruh gedung ini, tetapi telah bercampur dengan bau keringat tengik yang lebih menyengat, yang—pertama kali mengendusnya orang akan langsung tahu, entah bagaimana caranya—tak lain adalah bau keringat seseorang yang saat ini tidak berada di ruangan. Di ruangan lain ada seseorang sedang berusaha menirukan irama musik militer yang masih terdengar dari teleskrin dengan sisir yang dililiti selembar tisu toilet.

“Itu anak-anak,” ujar Nyonya Parsons sembari melirik dengan agak khawatir ke arah pintu. “Mereka belum keluar rumah seharian ini. Dan tentunya—”

Dia terbiasa tidak menyelesaikan ucapannya. Bak cuci piring itu nyaris penuh tergenangi air kotor kehijauan yang baunya lebih busuk dari kubis. Winston berlutut untuk memeriksa sambungan siku pipanya. Dia benci harus menggunakan tangannya, dan dia benci harus membungkuk karena selalu membuatnya terbatuk-batuk. Nyonya Parsons memandangnya tanpa daya.

“Tentu kalau Tom ada di rumah dia akan segera memperbaikinya,” ujarnya. “Dia suka memperbaiki barang-barang. Tom itu sangat terampil menggunakan tangannya.”

Parsons adalah sejawat Winston di Kementerian Kebenaran. Badannya gemuk tetapi orangnya giat dan gobloknya kelewatan, ibarat seonggok daging penuh semangat tapi tak punya otak—salah satu pekerja keras yang kesetiaannya tak perlu disangsikan lagi, golongan orang yang menjadi tulang punggung stabilitas Partai, lebih dari Polisi Pikiran. Baru pada usia tiga puluh lima tahun dia terpaksa dikeluarkan dari keanggotaan Barisan Pemuda, dan sebelum diterima menjadi anggota Barisan Pemuda dia masih bertahan sebagai anggota Mata-mata selama satu tahun melebihi batas usia yang diperbolehkan. Di Kementerian dia ditempatkan sebagai pegawai rendahan yang menangani pekerjaan-pekerjaan yang tak membutuhkan kecerdasan, tetapi di luar itu dia menjadi pentolan dalam Komite Olahraga dan komite-komite lain yang mengatur penyelenggaraan kegiatan jelajah alam, demonstrasi spontan, kampanye penghematan, dan kegiatan-kegiatan sukarela pada umumnya. Dengan penuh kebanggaan dia akan menyampaikan kepadamu, di sela-sela kepulan asap dari pipanya, bahwa setiap malam dia selalu hadir di Balai Kegiatan Masyarakat selama empat tahun terakhir ini. Bau keringat yang menyengat, semacam pengakuan tak disadari tentang beratnya kehidupan yang ditanggungnya, selalu mengikutinya ke mana pun, dan bahkan tetap tertinggal setelah dia pergi.

“Punya kunci pas?” tanya Winston sembari mengutak-atik mur pada sambungan siku.

“Kunci pas,” kata Nyonya Parsons, tubuhnya langsung lemas seakan tak punya tulang belakang. “Aku tak tahu. Mungkin anak-anak—”

Terdengar derapan sepatu bot dan suara melengking dari mulut yang ditempelkan pada sisir saat anak-anak menerjang ke ruang tamu. Nyonya Parsons datang membawa kunci pas. Winston membuka sambungan pipa untuk mengalirkan genangan air dan dengan jijik memunguti gumpalan rambut yang menyumbat pipa. Dia cuci jemarinya sebersih mungkin dengan air dingin yang mengucur dari keran dan kembali ke ruangan lain.

“Angkat tangan!” bentak satu suara galak.

Seorang bocah laki-laki berusia sembilan tahun yang tampan dan berpenampilan garang menyembul dari balik meja dan mengacungkan pistol mainan ke arahnya, sementara adik perempuannya yang terpaut dua tahun menirukan gerakan kakaknya dengan sepotong kayu. Keduanya mengenakan celana pendek biru, kemeja abu-abu, dan syal merah yang merupakan seragam Mata-mata. Winston mengangkat tangannya tinggi-tinggi dengan perasaan tidak tenang melihat kebengisan yang ditunjukkan bocah laki-laki itu sehingga gertakannya terkesan tidak main-main.

“Kau pengkhianat!” teriak bocah itu. “Kau penjahat pikiran! Kau mata-mata Eurasia! Akan kutembak kau, akan kuuapkan kau, akan kukirim kau ke tambang garam!”

Tiba-tiba keduanya melompat-lompat mengelilinginya sembari meneriakkan ‘Pengkhianat!’ dan ‘Penjahat pikiran!’, si gadis kecil menirukan setiap gerakan kakaknya. Kelakuan ini entah bagaimana terasa agak mengerikan, tak ubahnya lompatan gogor yang tak lama lagi tumbuh menjadi harimau pemangsa manusia. Mata bocah itu memancarkan semacam kebuasan yang licik, semacam keinginan terang-terangan untuk memukul atau menendang Winston dan semacam kesadaran bahwa dirinya cukup mampu melakukannya. Untung saja yang dia pegang bukan pistol sungguhan, pikir Winston.

Mata Nyonya Parsons silih berganti memandang dengan gelisah dari Winston ke anak-anaknya. Di ruang tamu yang keadaannya lebih terang ini Winston melihat dengan saksama bahwa memang debu betulan yang mengendap di kerutan wajah Nyonya Parsons.

“Mereka jadi rewel,” katanya. “Karena kecewa tak bisa pergi menonton hukuman gantung, itu sebabnya. Aku sangat sibuk sehingga tak bisa mengantar mereka, sedangkan Tom tidak bisa pulang kantor tepat pada waktunya.”

“Kenapa kita tidak pergi menonton penggantungan?” rengek si bocah dengan suara lantang.

“Mau nonton penggantungan! Mau nonton penggantungan!” nyanyi si gadis cilik sembari terus melompat-lompat.

Beberapa tawanan Eurasia, yang bersalah melakukan kejahatan perang, akan digantung di Alun-alun pada petang ini, seingat Winston. Peristiwa ini diselenggarakan sebulan sekali, dan merupakan tontonan yang digemari. Anak-anak selalu merengek-rengek minta diajak pergi menonton. Winston berpamitan kepada Nyonya Parsons dan melangkah ke pintu. Namun belum sampai enam langkah menyusuri lorong, tengkuknya terhantam sesuatu yang rasanya sangat menyakitkan. Seakan ada kabel panas yang menusuk kulitnya. Dia balik badan tepat pada waktu Nyonya Parsons menyeret putranya kembali ke ambang pintu selagi bocah itu memasukkan katapel ke sakunya.

“Goldstein!” pekik bocah itu sementara pintu tertutup di belakangnya. Namun yang paling mengejutkan Winston adalah ekspresi ketakutan sekaligus ketidakberdayaan yang muncul pada wajah kuyu perempuan itu.

Setibanya di apartemennya, dia melangkah cepat melewati teleskrin dan duduk menghadap meja lagi, masih mengusap-usap tengkuknya. Musik dari teleskrin sudah berhenti. Gantinya adalah suara tegas dan ringkas khas militer yang sedang membacakan, dengan semacam kegembiraan yang terasa biadab, deskripsi persenjataan Benteng Apung yang baru saja berlabuh di antara Islandia dan Kepulauan Faroe.

Dengan anak-anak seperti itu, pikir Winston, kehidupan perempuan malang itu pastilah selalu dibayang-bayangi ketakutan. Dalam satu dua tahun lagi, mereka akan mengawasinya siang-malam untuk mencari-cari gelagat pembangkangan. Hampir semua anak-anak zaman sekarang ini mengerikan. Yang paling celaka adalah bahwa lewat organisasi-organisasi seperti Barisan Mata-mata ini, anak-anak secara sistematis diubah menjadi makhluk kecil yang buas dan bandel, namun hasil didikan ini tidak menghasilkan kecenderungan sedikit pun dalam diri anak-anak ini untuk membangkang terhadap disiplin Partai. Sebaliknya mereka malah memuja Partai beserta segala sesuatu yang berhubungan dengannya. Lagu-lagu, pawai, spanduk, jelajah alam, latihan perang-perangan, yel-yel slogan, pemujaan kepada Bung Besar—semua itu seperti permainan meriah bagi mereka. Seluruh kebuasan mereka diarahkan ke pihak luar, kepada musuh negara, kepada orang asing, pengkhianat, penyabot, penjahat pikiran. Nyaris wajar bagi orang berusia di atas tiga puluh tahun menjadi ketakutan pada anak-anaknya sendiri. Dan ketakutan itu sangat berdasar, karena hampir setiap minggunya surat kabar Times memuat artikel yang menguraikan bagaimana seorang bocah lihai—‘pahlawan kecil’ adalah istilah yang umumnya digunakan—mencuri dengar sejumlah komentar menghujat lantas mengadukan orangtuanya sendiri kepada Polisi Pikiran.

Rasa perih akibat peluru katapel itu sudah memudar. Dia ambil pena dengan setengah hati, bertanya-tanya adakah hal lain yang bisa ditulisnya di catatan harian itu. Tiba-tiba dia mulai memikirkan O’Brien.

Bertahun-tahun silam—berapa lama tepatnya? Pastilah tujuh tahun—dia bermimpi sedang berjalan melintasi satu ruangan yang gelap gulita. Dan seseorang yang duduk di sampingnya berkata ketika dia melewatinya: “Kita akan bertemu di tempat yang tidak ada kegelapan.” Kata-kata itu diucapkan sangat pelan, seakan sambil lalu—suatu pernyataan, bukan perintah. Dia terus berjalan tanpa berhenti. Anehnya adalah bahwa pada saat itu, di dalam mimpi, kata-kata itu tidak terlalu berkesan baginya. Barulah kemudian dan secara bertahap kata-kata itu tampaknya menjadi bermakna. Sekarang dia tak bisa mengingat apakah sebelum atau sesudah mimpinya itulah dia pertama kalinya melihat O’Brien; juga tidak bisa mengingat kapan pertama kalinya dia mengidentifikasi suara dalam mimpi itu sebagai suara O’Brien. Bagaimanapun juga, identifikasi itu masih tetap sama. O’Brien-lah yang berbicara kepadanya dalam kegelapan.

Winston tidak pernah bisa memastikan—bahkan setelah pagi ini bertukar pandang sekilas pun masih sulit memastikan—apakah O’Brien itu kawan atau lawan. Bahkan tampaknya soal ini tidak terlalu penting. Terjalin saling pengertian di antara mereka, itu lebih penting dari sekadar afeksi atau keberpihakan. “Kita akan bertemu di tempat yang tidak ada kegelapan,” demikian katanya. Winston tidak tahu apa artinya, hanya saja dia merasa entah bagaimana hal itu akan terwujud.

Suara dari teleskrin berhenti. Terdengar suara terompet mengalun jernih dan merdu memenuhi udara yang mandek. Suara serak itu kembali terdengar:

“Perhatian! Mohon perhatiannya! Kabar singkat baru saja tiba dari medan pertempuran Malabar. Pasukan kita di India Selatan berhasil meraih kemenangan gemilang. Kami telah mendapat izin untuk menyampaikan bahwa tindakan-tindakan yang kami sampaikan berikut ini mungkin akan bisa mengakhiri perang dalam waktu dekat. Inilah warta beritanya—”

Kabar buruk datang, demikian pikir Winston. Dan benar saja, setelah menyampaikan uraian mengerikan tentang penumpasan suatu pasukan Eurasia, disertai ulasan jumlah korban jiwa dan tawanan yang luar biasa banyaknya, tibalah waktunya pengumuman bahwa, terhitung mulai minggu depan, jatah cokelat akan dikurangi dari tiga puluh gram menjadi dua puluh gram.

Winston berserdawa lagi. Setelah pengaruh gin itu memudar yang tertinggal hanyalah perasaan murung. Teleskrin itu—mungkin untuk merayakan kemenangan, mungkin juga untuk menenggelamkan ingatan tentang berkurangnya jatah cokelat—mengumandangkan lagu kebangsaan ‘Oceania, Kami Berbakti Padamu.’ Winston seharusnya berdiri tegak sebagai tanda penghormatan. Tapi dalam posisinya sekarang dia tak terlihat dari teleskrin.

‘Oceania, Kami Berbakti Padamu’ dilanjutkan musik yang lebih ringan. Winston melangkah menuju jendela, memunggungi teleskrin. Siang itu masih dingin dan cerah. Di suatu tempat nun jauh di sana, sebuah bom roket meledak diiringi gemuruh lamat-lamat dan menggema. Sekitar dua puluh sampai tiga puluh bom semacam itu berjatuhan setiap minggunya di London sekarang ini.

Di jalan di bawah sana, embusan angin terus mengepakkan poster yang robek di bagian sudutnya, dan kata SOSING silih berganti muncul dan menghilang. Sosing. Prinsip-prinsip sakral Sosing. Newspeak, pikirganda, masa lalu yang dapat diubah. Dia merasa seolah sedang mengembara di belantara bawah laut, tersesat dalam sebuah dunia mengerikan dan dialah yang menjadi monster mengerikan itu. Seorang diri. Masa lalu sudah tiada, sedangkan masa depan masih sulit dibayangkan. Adakah kepastian yang dimilikinya bahwa sesosok manusia yang masih hidup saat ini berada di pihaknya? Dan bagaimanakah caranya mengetahui bahwa kekuasaan Partai tidak akan bertahan selamanya? Seakan hendak menjawab pertanyaannya, tiga slogan yang terpampang di dinding putih gedung Kementerian Kebenaran kembali terlihat olehnya:

PERANG ADALAH DAMAI

KEBEBASAN ADALAH PERBUDAKAN

KEBODOHAN ADALAH KEKUATAN

Dia mengeluarkan koin dua puluh lima sen dari sakunya. Di situ juga tertera slogan-slogan yang sama dalam huruf-huruf kecil yang jelas, dan pada sisi sebaliknya terdapat gambar kepala Bung Besar. Bahkan dari sekeping koin pun mata itu terus memburumu. Mata itu ada di koin, perangko, sampul buku, spanduk, poster, dan bungkus rokok—di mana-mana. Senantiasa ada mata yang mengawasimu dan suara yang mengepungmu. Baik sewaktu kau tidur atau terjaga, bekerja atau bersantap, di dalam atau di luar ruangan, di kamar mandi atau di kamar tidur—tak ada celah untuk lolos. Satu-satunya yang masih kau miliki hanyalah beberapa sentimeter kubik yang ada di dalam tempurung kepalamu.

Matahari sudah condong, dan tak terhitung banyaknya jendela Kementerian Kebenaran yang tidak lagi tersorot cahaya jadi tampak suram bagaikan celah pengintaian sebuah benteng. Nyalinya mengkeret di hadapan bangunan piramida raksasa itu. Bangunan sekuat itu mustahil digempur. Seribu bom roket pun tak akan bisa merobohkannya. Dia bertanya-tanya lagi untuk siapa gerangan dia menulis buku harian itu. Untuk masa depan, untuk masa lalu—untuk sebuah zaman yang mungkin hanyalah angan-angan belaka. Lagipula yang menunggu di depannya bukanlah kematian melainkan kemusnahan. Buku harian itu hanya akan menjadi abu sedangkan dirinya menjadi uap. Hanya Polisi Pikiran yang akan membaca semua yang telah ditulisnya sebelum mereka menghapus dirinya dari kehidupan dan menghapus dirinya dari ingatan zaman. Bagaimana mungkin bisa menyampaikan permohonan ke masa depan sedangkan tidak ada satu pun jejakmu, bahkan sekadar coretan kata-kata tanpa nama di selembar kertas, yang masih tersisa?

Teleskrin berdentang empat belas kali. Dia harus berangkat dalam sepuluh menit lagi. Dia harus kembali ke kantor pukul empat belas tiga puluh.

Anehnya, dentingan jam itu seakan memompakan semangat baru. Dia tak ubahnya sesosok hantu kesepian yang menyuarakan kebenaran yang tak akan pernah didengar siapa pun. Namun asalkan dia terus menyuarakannya, entah dengan cara bagaimana kesinambungannya tak akan terputus. Tidak jadi soal apakah suaramu akan didengar, asalkan tetap menjaga kewarasanmu maka kau telah melestarikan warisan umat manusia. Dia kembali ke meja, mencelupkan pena, lalu menulis:

Kepada masa depan atau masa lalu, kepada suatu masa ketika pikiran bebas, ketika manusia berbeda satu sama lain dan tidak hidup sendirian—kepada suatu masa ketika kebenaran sungguh ada dan yang sudah terjadi tak bisa diingkari:

Dari zaman keseragaman, dari zaman kesendirian, dari zaman Bung Besar, dari zaman pikirganda—salam!

Aku sudah mati, pikirnya. Baru sekarang terpikir olehnya, ketika dia mulai dapat merumuskan pikirannya, bahwa dirinya telah mengambil langkah yang menentukan. Konsekuensi dari setiap tindakan sudah termasuk dalam tindakan itu sendiri. Dia menulis:

Kejahatan pikiran bukanlah penyebab kematian: kejahatan pikiran ADALAH kematian itu sendiri.

Sekarang, setelah memaklumi dirinya sendiri sebagai orang mati, penting baginya untuk bertahan hidup selama mungkin. Dua jari tangan kanannya terkena tinta. Justru hal sepele semacam inilah yang akan membuatmu celaka. Beberapa orang fanatik yang resek di Kementerian (seorang perempuan, mungkin: seseorang seperti perempuan kecil berambut pirang kusam itu atau gadis berambut hitam dari Departemen Fiksi itu) mungkin akan bertanya-tanya mengapa dia menulis selama istirahat makan siang, mengapa dia menggunakan sebuah pena kuno, apa yang telah ditulisnya—kemudian memberi isyarat kepada pihak berwenang. Dia pergi ke kamar mandi dan dengan hati-hati menggosok noda tinta itu dengan sabun kasar berwarna cokelat tua, yang menggores kulit seseorang seperti amplas sehingga sangat cocok digunakan untuk keperluan ini.

Dia masukkan buku harian itu ke dalam laci. Memang tak ada gunanya berpikir untuk menyembunyikannya, tetapi setidaknya dia bisa memastikan apakah keberadaan buku ini sudah ditemukan atau belum. Sehelai rambut yang diletakkan melintang di halaman muka buku akan terlalu kentara. Maka dengan ujung jarinya dia menjumput butiran debu putih yang meski halus tetapi masih bisa terlihat dan menempatkannya di tepian sampul sehingga pasti jatuh apabila buku itu dipindahkan.

III

Winston bermimpi tentang ibunya.

Seingatnya, dia baru berusia sepuluh atau sebelas tahun ketika ibunya lenyap. Ibunya seorang perempuan agak pendiam berperawakan tinggi dan tegak laksana patung, dengan gerakan lamban dan rambut pirang yang indah. Samar-samar dia mengingat ayahnya sebagai sosok berperawakan kurus dan berkulit gelap yang selalu mengenakan pakaian berwarna gelap dengan rapi (hal yang paling diingat Winston adalah sol sepatu ayahnya yang sangat tipis) dan memakai kacamata. Keduanya pastilah turut dilenyapkan dalam salah satu gelombang pertama pembersihan besar-besaran di tahun lima puluhan.

Dalam mimpi itu ibunya sedang duduk di suatu tempat yang berada jauh di bawahnya sembari mendekap adik perempuannya. Winston sama sekali tak ingat pada adiknya, kecuali sebagai seorang bayi kecil yang lemah, selalu diam, dengan mata bulat yang selalu tampak waspada. Keduanya sedang mendongak memandangnya. Mereka berada di suatu tempat di bawah tanah—mungkin di dasar sumur atau liang makam yang sangat dalam—dan meski sudah berada jauh di bawahnya tetapi tempat itu terus ambles. Mereka berada di kabin sebuah kapal karam, mendongak memandangnya melalui air yang kian gelap. Masih ada udara di dalam kabin itu, keduanya masih bisa melihat dirinya, demikian juga dia masih bisa melihat keduanya, meski begitu keduanya terus tenggelam, makin tenggelam ke dalam perairan hijau yang sebentar lagi pasti akan melenyapkan mereka dari pandangan untuk selamanya. Dia berada di tempat yang terang dan lapang sementara keduanya terus terbenam menjemput ajal, dan keduanya berada di bawah sana sebab dia berada di atas sini. Dia tahu itu dan mereka pun tahu itu, dan dia bisa melihat wajah mereka menunjukkan pemahaman akan hal itu. Tidak ada kekecewaan baik di wajah maupun di hati mereka, hanya pemahaman bahwa mereka harus mati agar dia tetap hidup, dan bahwa hal ini merupakan bagian dari tatanan kehidupan yang tak dapat dihindari.

Dia tidak dapat mengingat apa yang telah terjadi, tetapi dalam mimpinya itu dia tahu bahwa entah bagaimana nyawa ibu dan adiknya telah dikorbankan demi hidupnya. Ini adalah salah satu mimpi yang, meski masih mempertahankan suasana mimpi yang sangat khas itu, merupakan kelanjutan alam pikiran seseorang, sehingga di dalam mimpi itu dia tetap menyadari sejumlah fakta dan gagasan yang masih terasa segar dan berharga setelah dia terbangun. Hal yang sekarang tiba-tiba mengejutkan Winston adalah bahwa kematian ibunya, hampir tiga puluh tahun lalu, terasa tragis dan menyedihkan dengan cara yang tak mungkin dapat diresapi lagi sekarang ini. Menurutnya, tragedi adalah milik zaman kuno, zaman ketika masih ada privasi, cinta dan persahabatan, ketika seluruh anggota keluarga saling dukung tanpa perlu tahu alasannya. Kenangan tentang ibunya mengoyak hatinya sebab ibunya mati karena menyayanginya, ketika dirinya masih terlalu muda dan egois sehingga belum dapat membalas kasih sayangnya, dan karena entah bagaimana, dia tak mampu mengingat, ibunya telah mengorbankan diri demi suatu konsep kesetiaan yang sifatnya personal dan tak tergoyahkan. Hal-hal seperti itu, menurut pandangannya, mustahil dapat dirasakan pada hari-hari ini. Sekarang ini yang ada adalah ketakutan, kebencian, dan kesakitan, tetapi tak ada yang namanya kesyahduan perasaan, tidak ada kesedihan yang mendalam ataupun pelik. Semua inilah yang seakan dilihatnya di dalam mata ibu dan adiknya sewaktu keduanya mendongak memandangnya menembus air hijau sejauh ratusan depa di bawahnya dan terus tenggelam.

Tiba-tiba dirinya sedang berdiri di padang berumput pendek dan empuk, pada suatu petang musim panas ketika pancaran miring sinar matahari menyepuh permukaan tanah. Pemandangan alam yang sedang disaksikannya ini kerap muncul berulang kali dalam mimpi-mimpinya sehingga dia tidak sepenuhnya yakin apakah memang pernah melihatnya di dunia nyata atau tidak. Dalam pikirannya ketika sedang terjaga, dia menyebutnya sebagai Negeri Kencana. Hamparan padang rumput kuno yang rerumputannya dimamah kelinci, dengan setapak berkelok-kelok dan sarang tikus tanah di sana-sini. Di rumpun perdu yang seakan membentuk pagar morat-marit di ujung seberang, dahan-dahan pepohonan elm meliuk-liuk pelan tertiup angin, daun-daunnya mengombak bergerombol seperti rambut perempuan. Di suatu tempat di dekat sana, meski tidak terlihat, ada sungai yang airnya jernih dan mengalir lambat tempat ikan-ikan wader berenang di lubuk-lubuk yang dinaungi pepohonan dedalu.

Si gadis berambut hitam berjalan menghampiri dirinya melintasi padang rumput. Seakan dengan satu gerakan tangkas dia merobek pakaiannya lalu mencampakkannya ke samping dengan jijik. Tubuhnya putih dan mulus, tapi itu tidak membangkitkan gairah dalam diri Winston, dan memang dia nyaris tidak memandangnya. Perasaan yang menguasai dirinya pada waktu itu adalah rasa kagum atas sikap gadis itu ketika mencampakkan pakaiannya ke samping. Sikap yang tampak anggun dan cuek itu seakan mampu memusnahkan seluruh peradaban, seluruh sistem pemikiran, seolah Bung Besar, Partai, dan Polisi Pikiran dapat disapu bersih tanpa sisa hanya dengan satu gerakan lengan yang mengesankan itu. Gerakan ini pun adalah milik zaman kuno. Winston terbangun dengan kata ‘Shakespeare’ terucap di bibirnya.

Teleskrin melengkingkan suara peluit yang memekakkan telinga yang terus berlanjut dalam nada yang sama selama tiga puluh detik. Pukul nol tujuh lima belas, waktunya para pegawai kantoran bangun. Winston beringsut bangun dari tempat tidur—telanjang, karena anggota Partai Cabang hanya menerima kupon pakaian senilai tiga ribu per tahun sedangkan sehelai piyama harganya enam ratus—dan menyambar satu singlet kumal dan sepasang celana pendek yang tergeletak di kursi. Senam Kesegaran Jasmani akan dimulai tiga menit lagi. Sekonyong-konyong dia terserang batuk hebat sampai badannya terbungkuk-bungkuk yang hampir selalu dialaminya setiap kali bangun tidur. Batuk itu benar-benar mengosongkan paru-parunya sehingga dia baru bisa bernapas lagi setelah berbaring telentang sembari mengambil napas dalam-dalam berulang kali. Pembuluh darahnya sampai bertonjolan akibat batuk itu, dan varisesnya mulai terasa gatal.

“Kelompok tiga puluh sampai empat puluh!” seru satu suara perempuan yang melengking. “Kelompok tiga puluh sampai empat puluh! Segera ambil tempat masing-masing. Tiga puluh sampai empat puluh!”

Winston bergegas berdiri siaga di depan teleskrin yang sudah menayangkan gambar seorang perempuan muda, langsing namun berotot, mengenakan tunik ketat dan sepatu olahraga.

“Tekuk lengan lalu rentangkan!” katanya cepat. “Sesuai hitunganku. Satu, dua, tiga, empat! Satu, dua, tiga, empat! Ayo, kamerad, tunjukkan semangatmu! Satu, dua, tiga, empat! Satu, dua, tiga, empat! … ”

Rasa sakit akibat serangan batuk itu belum benar-benar menghapus kesan yang ditimbulkan mimpinya dari pikiran Winston, dan gerakan senam yang berirama justru memulihkan kesan itu. Sewaktu mengayunkan lengannya ke depan dan ke belakang secara otomatis, menampilkan wajah tegas dan gembira yang dianggap sebagai ekspresi yang pantas selama berlangsungnya Senam Kesegaran Jasmani, pikirannya berjuang menelusuri kembali periode samar-samar dari masa kanak-kanaknya. Itu sangat sulit. Segala yang terjadi pada masa-masa sebelum akhir tahun lima puluhan tampak remang-remang. Apabila tidak ada arsip-arsip dari sumber luar yang dapat dijadikan rujukan, bahkan gambaran umum kehidupan seseorang pun akan kehilangan kejelasannya. Kau ingat peristiwa-peristiwa besar yang mungkin saja tidak pernah terjadi, kau ingat rincian kejadian-kejadian tapi tidak dapat menangkap kembali suasananya, dan ada periode kekosongan panjang yang tidak mencantumkan apa pun. Segalanya sudah berbeda sejak masa itu. Bahkan nama negara, juga bentuknya di atas peta, sudah berbeda. Airstrip One, misalnya, disebut dengan nama lain pada masa itu: dulunya dinamakan Inggris atau Britania, meski London, dia merasa cukup yakin, sejak dulu disebut London.

Winston tidak mampu mengingat dengan pasti suatu masa ketika negaranya tidak terlibat peperangan, tetapi jelas ada jeda perdamaian yang cukup panjang waktu dia masih kanak-kanak, karena salah satu ingatannya paling awal adalah terjadinya serangan udara yang mengejutkan semua orang. Mungkin saat itulah bom atom dijatuhkan di Colchester. Dia tidak ingat serangan itu sendiri, yang diingatnya hanyalah tangan ayahnya menggandeng tangannya sewaktu mereka bergegas turun, terus turun menuju suatu tempat jauh di kedalaman bumi, terus berputar-putar menyusuri tangga spiral yang berderak ketika dipijak dan akhirnya membuat kakinya sangat letih sehingga dia mulai merengek dan mereka harus berhenti untuk beristirahat. Ibunya, yang berjalan lamban setengah melamun, mengikuti mereka meski agak jauh tertinggal di belakang. Ibunya menggendong adik bayinya—atau mungkin saja yang dibawanya hanya sebuntel selimut: Winston tidak begitu yakin apakah adiknya sudah lahir pada waktu itu. Akhirnya mereka tiba di sebuah tempat ramai dan penuh sesak yang tak lain adalah stasiun kereta bawah tanah.

Orang-orang ada yang duduk memenuhi lantai ubin, dan ada juga yang duduk berimpitan di sejumlah dipan besi bertingkat. Winston, ibunya, serta ayahnya mendapat tempat di lantai, di dekat mereka ada seorang lelaki tua dan seorang perempuan tua duduk bersebelahan di dipan. Lelaki tua itu mengenakan setelan jas hitam yang rapi dan topi pet hitam yang terdorong ke belakang oleh rambutnya yang sangat putih: wajahnya merah pucat dan matanya yang biru berlinangan airmata. Dia berbau gin. Bau itu seakan menguar dari kulitnya menggantikan keringat, dan orang-orang bisa saja membayangkan bahwa airmata yang mengalir dari matanya itu sebagai gin murni. Meski agak mabuk dia juga menderita kesedihan yang nyata dan tak tertahankan. Winston mengerti, dengan pemahamannya yang masih lugu, bahwa sesuatu yang mengerikan, sesuatu yang tak termaafkan dan tak dapat dipulihkan lagi, baru saja terjadi. Rasanya dia juga tahu apa yang terjadi. Seseorang yang disayangi lelaki tua itu, mungkin seorang cucu perempuannya yang masih kecil, telah terbunuh. Setiap beberapa menit lelaki tua itu terus mengulangi:

“Kita harusnya jangan percaya pada mereka. Sudah kubilang, kan, Bu? Itulah akibatnya kalau percaya mereka. Sudah kubilang berulang kali. Kita harusnya jangan percaya pada jahanam-jahanam itu.”

Namun siapa jahanam yang seharusnya tidak mereka percayai itu, Winston tidak bisa mengingatnya sekarang.

Sejak saat itu, perang benar-benar terus berkobar tiada henti, meski pada kenyataannya yang dimaksud itu tidak selalu perang yang sama. Selama beberapa bulan pada masa kanak-kanaknya terjadi sejumlah pertempuran yang membingungkan di jalanan London, beberapa di antaranya mampu dia ingat dengan jelas. Namun sungguh mustahil untuk merunut sejarah secara keseluruhan pada periode itu, untuk mengetahui siapa yang memerangi siapa pada waktu itu, karena tidak ada catatan tertulis maupun sumber lisan yang pernah menyebutkan keberadaan aliansi lain selain yang sudah ada. Sekarang ini, misalnya, pada tahun 1984 (jika memang sekarang tahun 1984), Oceania berperang melawan Eurasia dan bersekutu dengan Eastasia. Tak pernah ada pernyataan baik resmi maupun yang sifatnya pribadi yang mengakui bahwa ketiga kekuatan adidaya ini pernah dikelompokkan dalam kubu berbeda. Padahal, seperti yang diketahui betul oleh Winston, baru empat tahun lalu Oceania berperang melawan Eastasia dan bersekutu dengan Eurasia. Namun ini hanyalah sepenggal pengetahuan rahasia yang kebetulan dimilikinya karena ingatannya tidak dapat dikendalikan dengan baik. Secara resmi pergantian sekutu ini tidak pernah terjadi. Oceania berperang melawan Eurasia: maka sejak dulu Oceania selalu berperang melawan Eurasia. Musuh yang sedang dilawan saat ini selalu ditampilkan sebagai pihak yang luar biasa jahatnya, maka dari itu mustahil terjalin kesepakatan damai baik di masa lalu maupun di masa mendatang.

Ngerinya, renungnya untuk kesepuluh ribu kalinya sambil mendorong bahunya ke belakang dengan menahan kesakitan (dalam posisi tangan berkacak pinggang, mereka memutar-mutar badan dari pinggang ke atas, gerakan yang dianggap baik untuk melatih otot-otot punggung)—ngerinya adalah bahwa semua itu mungkin saja benar. Jika Partai bisa mengubek-ubek masa lalu dan menyatakan bahwa suatu peristiwa tertentu tidak pernah terjadi—bukankah itu jelas lebih mengerikan daripada sekadar siksaan dan kematian?

Partai menyatakan bahwa Oceania tidak pernah bersekutu dengan Eurasia. Sedangkan dirinya, Winston Smith, tahu bahwa baru empat tahun yang lalu Oceania pernah bersekutu dengan Eurasia. Lantas di mana pengetahuan itu berada? Itu hanya ada dalam kesadarannya sendiri, yang bagaimanapun juga harus segera dimusnahkan. Apabila semua orang lain menerima kebohongan yang dipaksakan Partai—apabila semua catatan menyampaikan kisah dusta yang sama—maka kebohongan itu akan meresap ke dalam sejarah dan menjadi kebenaran. ‘Barangsiapa mengendalikan masa lalu,’ demikian slogan Partai, ‘akan mengendalikan masa depan; barangsiapa mengendalikan masa kini akan mengendalikan masa lalu.’ Namun masa lalu, meski sifatnya dapat digonta-ganti, tidak pernah diubah. Apa pun yang benar pada saat ini, selalu benar sejak dulu sampai selama-lamanya. Sesederhana itu. Yang dibutuhkan hanyalah serangkaian dominasi terus-menerus atas ingatanmu sendiri. ‘Kontrol realitas,’ demikian istilahnya: dalam Newspeak disebut ‘pikirganda.’

“Istirahat di tempat!” seru instruktur perempuan itu dengan nada lebih ramah.

Lengannya terkulai ke samping dan Winston perlahan-lahan menghirup napas. Pikirannya meluncur menuju semesta pikirganda yang berliku-liku seperti labirin. Mengetahui sekaligus tidak mengetahui, menyadari kebenaran sejati sembari menyampaikan dusta yang dibangun dengan hati-hati, secara bersamaan memegang dua pendapat yang saling bertolak belakang, mengetahui bahwa keduanya bertentangan tetapi tetap meyakini keduanya, memakai logika untuk melawan logika, menyangkal moralitas sekaligus menuntutnya, meyakini bahwa demokrasi mustahil diterapkan tetapi yakin bahwa Partai merupakan penjaga demokrasi, melupakan segala yang harus dilupakan, lantas mengingatnya kembali pada saat dibutuhkan, kemudian cepat-cepat melupakannya lagi: dan yang paling penting adalah menerapkan proses yang sama terhadap proses itu sendiri. Justru inilah yang paling pelik: secara sadar menginduksi ketidaksadaran, kemudian kembali menjadi tidak menyadari tindakan hipnosis yang baru saja kau lakukan. Bahkan untuk memahami kata pikirganda pun harus menggunakan metode pikirganda.

Instruktur perempuan itu berseru agar mereka siaga lagi. “Sekarang mari kita lihat siapa yang bisa menyentuh jari kaki!” katanya penuh semangat. “Luruskan dari pinggang ke bawah, ayo kamerad. Satu-dua! Satu-dua! … ”

Winston benci gerakan ini karena membuat bagian tumit sampai pantatnya nyeri dan seringkali mengakibatkan dirinya terserang batuk-batuk lagi. Sensasi setengah melenakan dari kontemplasinya jadi buyar. Masa lalu, demikian renungnya, bukan hanya sudah diubah, tetapi benar-benar dihancurkan. Karena bagaimana mungkin kau bisa menetapkan fakta paling gamblang sekalipun kalau tak ada catatan tentang hal itu di luar ingatanmu sendiri? Dia berusaha mengingat pada tahun berapakah dia pertama kali mendengar sebutan Bung Besar. Dia berpikir sebutan itu pastilah muncul sekitar tahun enam puluhan, meski mustahil untuk dapat memastikannya. Dalam sejarah Partai, tentu saja Bung Besar ditampilkan sebagai pelindung dan pemimpin besar Revolusi sejak hari-hari paling awal. Masa-masa perjuangannya yang gagah berani secara bertahap terus direntangkan mundur sampai menjangkau tahun empat puluhan dan tiga puluhan yang gegap-gempita, zaman ketika para kapitalis yang memakai topi bundar aneh itu masih berkendara lalu lalang di jalanan London dengan mobil besar berkilauan atau kereta kuda berjendela kaca. Sulit diketahui berapa banyak dari legenda ini yang terbukti benar dan berapa banyak yang merupakan hasil rekaan. Bahkan Winston tak ingat pada tahun berapa Partai didirikan. Dia tidak yakin pernah mendengar kata Sosing sebelum tahun 1960, tapi mungkin saja dalam ragam bahasa Oldspeak—yaitu, ‘Sosialisme Inggris’—kata itu sudah ada sebelumnya. Segalanya tampak samar-samar bagai terselimuti kabut. Memang kadang kau bisa mengenali suatu kebohongan mencolok. Misalnya, tidak benar klaim yang dinyatakan dalam buku-buku sejarah resmi bahwa Partai-lah yang menemukan pesawat terbang. Dia ingat pesawat terbang sudah ada sejak masa kecilnya. Namun tetap saja kau tak bisa membuktikan apa-apa. Tak pernah ada buktinya. Hanya satu kali sepanjang hidupnya dia pernah memegang bukti dokumenter yang tak diragukan keabsahannya tentang pemalsuan fakta sejarah. Dan pada kesempatan itu—

“Smith!” bentak suara melengking dari teleskrin. “6079 Smith W! Ya, kau! Ayo, membungkuk lebih rendah! Berusahalah lebih keras. Jangan malas. Ayo, lebih rendah! Nah, begitu lebih baik, kamerad. Sekarang istirahat di tempat, seluruh kelompok, dan perhatikan gerakanku.”

Keringat panas tiba-tiba mengalir di sekujur tubuh Winston. Wajahnya tetap tak menunjukkan ekspresi apa-apa. Jangan pernah menunjukkan kejengkelan! Jangan pernah menunjukkan kebencian! Satu kilasan di mata saja bisa mengungkap rahasiamu. Dia berdiri tegak memperhatikan instruktur perempuan itu mengangkat kedua lengannya ke atas kepala dan—tidak bisa dikatakan dengan gerakan anggun, tetapi dengan gerakan yang sangat rapi dan efisien—membungkukkan badan dan menyelipkan ruas pertama jari-jari tangannya di bawah jari-jari kakinya.

Seperti itu, kamerad! Begitulah yang ingin kulihat dilakukan kalian semua. Perhatikan aku lagi. Usiaku tiga puluh sembilan dan punya empat anak. Sekarang perhatikan.” Perempuan itu membungkuk lagi. “Kalian lihat lututku tidak sampai ditekuk. Kalian bisa melakukannya jika berusaha,” lanjutnya sembari menegakkan badan. “Siapa pun yang berusia di bawah empat puluh lima pasti mampu menyentuh jari kakinya. Tidak semua orang mendapat kehormatan untuk bertempur di garis depan, tetapi paling tidak kita harus menjaga kebugaran. Ingatlah pemuda-pemuda kita yang berada di medan Malabar! Juga para pelaut di Benteng Apung! Pikirkan apa saja yang harus mereka hadapi. Sekarang cobalah lagi. Itu lebih baik kamerad, jauh lebih baik,” lanjut perempuan itu menyemangati ketika Winston, dengan memaksakan diri, berhasil menyentuh jari kakinya tanpa menekuk lutut, untuk yang pertama kalinya dalam beberapa tahun ini.

[1] Newspeak adalah bahasa resmi Oceania.