Orang Terkaya di Babilonia Bab 1

Uang adalah alat ukur kesuksesan duniawi. 

Uang memungkinkan orang menikmati kesenangan terbaik yang dapat ditawarkan dunia. 

Uang dapat menjadi berlimpah bagi mereka yang memahami hukum sederhana yang mengatur cara memperolehnya. 

Uang sekarang tunduk pada hukum yang sama seperti ketika orang-orang kaya mengerumuni jalanan di Babilonia, enam ribu tahun silam.


UANG ITU BANYAK

BAGI MEREKA YANG MEMAHAMI

ATURAN SEDERHANA UNTUK MEMPEROLEHNYA

 

1
Mulai gemukkan pundi-​pundimu

2
Kontrol pengeluaranmu

3
Lipatgandakan emasmu

4
Jagalah harta bendamu

5
Jadikan kediamanmu sebagai investasi yang menguntungkan

6
Jamin pendapatan di masa depan

7
Tingkatkan kemampuanmu untuk meningkatkan penghasilanmu

 


Di hadapanmu terbentang masa depan bagai jalan menuju kejauhan. Di sepanjang jalan itu terhampar segala ambisi yang ingin kau capai, serta segala keinginan yang ingin kau penuhi.

Untuk memenuhi segala ambisi dan keinginan itu, kau harus berhasil mengelola keuanganmu. Gunakan prinsip-​prinsip keuangan seperti yang terpapar di halaman-​halaman berikut. Biarkan prinsip-​prinsip ini memandumu keluar dari derita dompet tipis menuju kehidupan yang lebih bahagia dan lebih memuaskan berkat dompet yang penuh uang.

Layaknya hukum gravitasi, prinsip-​prinsip ini bersifat universal dan abadi. Sebagaimana telah terbukti untuk banyak orang, semoga prinsip-​prinsip ini terbukti pula untukmu, sebagai kunci yang tepat untuk membuat dompetmu lebih tebal, saldo rekeningmu lebih banyak, dan uangmu terus beranak-​pinak.


Pengantar

Kesejahteraan kita sebagai bangsa bergantung pada kesejahteraan kita sebagai individu.

Buku ini membahas kunci kesuksesan pribadi kita. Sukses artinya pencapaian sebagai hasil dari usaha dan kemampuan kita sendiri. Persiapan yang tepat adalah kunci kesuksesan kita, sebab tindakan-​tindakan kita tidak bisa lebih bijaksana daripada pikiran-​pikiran kita, dan pikiran-​pikiran kita tidak bisa lebih bijaksana daripada pemahaman kita.

Buku ini disebut-​sebut sebagai obat ampuh bagi dompet yang tipis dan merupakan panduan andal bagi pemahaman finansial. Memang, itulah tujuannya: untuk memberikan pencerahan kepada mereka yang punya ambisi menjadi kaya raya, sehingga membantu mereka memperoleh uang, menabung uang, dan membuat tabungan mereka menghasilkan lebih banyak uang.

Di halaman-​halaman selanjutnya, kita akan dibawa kembali ke Babilonia, suatu negeri di mana prinsip-​prinsip dasar keuangan dikenali, dikembangkan, dan digunakan di seluruh dunia.

Kepada para pembaca baru, penulis berharap agar halaman-​halaman di buku ini dapat memberi inspirasi untuk meningkatkan saldo rekening demi kesuksesan finansial yang lebih besar, dan solusi untuk masalah keuangan pribadi seperti yang dilaporkan dengan antusias oleh para pembaca lain dari seluruh dunia.

Kepada para eksekutif bisnis yang telah membagikan cerita-​cerita ini kepada teman, sanak saudara, karyawan, dan rekan kerja, penulis menyampaikan rasa terima kasih. Tidak ada iklan yang lebih hebat dari informasi para praktisi itu, karena mereka sendiri telah menerapkan prinsip-​prinsip dalam buku ini dan menuai hasilnya.

Babilonia menjadi kota paling sejahtera di dunia karena para penduduknya adalah orang-​orang terkaya pada masanya. Mereka menghargai nilai uang. Mereka mempraktikkan prinsip-​prinsip keuangan yang bijaksana dalam memperoleh uang, menyimpan uang, dan membuat uang mereka menghasilkan lebih banyak. Mereka mengupayakan sendiri apa yang kita semua dambakan: pendapatan yang melimpah untuk masa depan.


Orang yang Mendambakan Emas

Bansir, pembuat kereta kuda dari Babilonia, benar-​benar sedang patah semangat. Dari tempat duduknya yang tersandar di dinding, dia menatap dengan sedih rumahnya yang sederhana dan bengkelnya yang terbuka. Di dalam bengkel itu terdapat kereta kuda yang baru setengah selesai.

Istrinya berulang kali menampakkan diri di pintu rumahnya yang terbuka. Curi-​curi pandang istrinya itu mengingatkannya bahwa kantung bekal makanannya hampir kosong dan dia harus bekerja menyelesaikan kereta kudanya, memalu dan memotong, memoles dan mengecat, merentangkan kulit di sekeliling roda. Dia harus menyelesaikan kereta kuda itu dan mengirimkannya sehingga dia bisa mendapat uang dari pelanggannya yang kaya.

Namun, tubuhnya yang kekar dan berotot terduduk diam bersandar di dinding. Pikirannya yang lamban sedang bergumul dengan sebuah masalah yang tidak bisa dia temukan jawabannya.

Matahari tropis yang panas, iklim tipikal lembah Eufrat, menghajarnya tanpa ampun. Bulir-​bulir keringat terbentuk di atas alisnya dan tanpa terasa menetes ke dadanya yang berbulu.

Di luar rumahnya menjulang dinding tinggi berjenjang yang mengelilingi istana raja. Di dekatnya, berdiri menara Kuil Bel yang berukir indah, membelah langit biru. Ternaungi oleh bayangan bangunan megah itu adalah rumahnya yang sederhana dan banyak rumah lainnya yang lebih sederhana dan tidak terurus. Seperti inilah Babilonia—campuran kemegahan dan kemelaratan, kekayaan yang menyilaukan dan kemiskinan yang menyedihkan, semua bercampur baur tanpa rancangan di dalam dinding pelindung kota tersebut.

Di belakangnya, jika dia mau menoleh, kereta-​kereta kuda orang kaya berderak-​derak dan berdesakan di samping para pedagang bersandal serta para pengemis yang bertelanjang kaki. Bahkan orang kaya pun terpaksa menyingkir ke pinggir untuk memberikan jalan bagi barisan para budak pengangkut air, yang sedang mengerjakan ‘tugas dari Raja’, masing-​masing membawa sekantong air dalam wadah kulit kambing yang berat untuk disiramkan ke taman gantung.

Bansir terlalu larut dalam permasalahannya sendiri sehingga tidak mendengar atau menyadari keriuhan kota yang sibuk itu. Bunyi dentingan senar lira[1] yang familier menyadarkannya dari lamunan. Dia menoleh dan melihat senyum di wajah sahabatnya—Kobbi, si musisi.

“Semoga para dewa memberkatimu dengan segala kebaikan, Kawan,” kata Kobbi dengan salam yang panjang. “Namun sepertinya para dewa telah begitu murah hati hingga kau tidak perlu bekerja keras. Aku turut bersuka cita dengan keberuntunganmu. Semoga kau berkenan membaginya denganku. Aku yakin pundi-​pundimu pasti gemuk, karena kalau tidak, kau akan sibuk di bengkelmu. Ambillah dua shekel[2] saja dan pinjamkan kepadaku sampai selesai pesta makan para bangsawan malam ini. Percayalah, kau tidak akan kehilangan uang itu. Aku akan mengembalikannya.”

“Jika aku punya dua shekel,” balas Bansir muram, “tidak akan aku pinjamkan kepada siapa pun—bahkan tidak kepadamu, Sahabat; karena itulah satu-​satunya hartaku—seluruh hartaku. Tidak ada orang yang meminjamkan seluruh hartanya, bahkan kepada sahabatnya sekalipun.”

“Apa?” seru Kobbi terkejut, “Kau tidak punya satu shekel pun di pundi-​pundimu, tetapi duduk seperti patung bersandar di dinding! Mengapa tidak menyelesaikan kereta kuda itu? Bagaimana kau memenuhi keinginanmu untuk menjadi kaya? Ini bukan seperti dirimu, Kawan. Ke mana energimu yang tak pernah habis itu? Adakah sesuatu yang menyulitkanmu? Apakah Dewa memberimu masalah?”

“Ini pasti siksaan dari Dewa,” kata Bansir. “Ini berawal dari mimpi, mimpi yang tidak masuk akal. Di mimpi itu aku menjadi orang kaya. Dari ikat pinggangku tergantung pundi-​pundi yang indah, menggembung penuh koin. Banyak shekel yang kulemparkan sesuka hati kepada para pengemis; banyak kepingan perak yang kugunakan buat membeli perhiasan untuk istriku dan apa pun yang kuinginkan untuk diriku; banyak kepingan emas yang membuatku merasa masa depanku terjamin sehingga aku tidak khawatir menghabiskan perak. Perasaan puas yang luar biasa menggelimangiku! Kau tidak akan mengenalku sebagai seorang kawan pekerja keras. Kau juga tidak akan mengenal istriku, yang bebas dari kerutan di wajahnya serta berkilau dengan kebahagiaan. Dia kembali menjadi gadis ceria seperti di hari-​hari awal pernikahan kami.”

“Sungguh mimpi yang menyenangkan,” komentar Kobbi, “tetapi mengapa kemunculan perasaan yang menyenangkan itu justru mengubahmu menjadi sebuah patung murung yang bersandar di dinding?”

“Mengapa? Karena ketika aku bangun dan mengingat betapa kosongnya pundi-​pundiku, muncul perasaan berontak dalam diriku. Mari kita bicarakan itu bersama. Karena, seperti yang para pelaut katakan, kita berlayar di kapal yang sama. Ya, kita berdua. Sebagai anak kecil, kita menghadap kepada pendeta untuk mempelajari kebijaksanaan. Sebagai remaja, kita saling berbagi kesenangan. Sebagai pria dewasa, kita selalu menjadi kawan dekat. Kita selalu saling membantu. Kita puas bekerja berjam-​jam dan menghabiskan penghasilan kita dengan bebas. Kita telah mengumpulkan banyak koin di tahun-​tahun lalu, tetapi untuk mengetahui kebahagiaan yang bersumber dari kekayaan, kita harus memimpikannya. Bah! Apa kita ini domba yang bodoh? Kita tinggal di kota terkaya di dunia. Para pelancong mengatakan, tidak ada yang menyetarai kota ini dalam hal kekayaan. Di sekitar kita banyak kekayaan dipamerkan, tetapi kita tidak memiliki apa-​apa. Setelah separuh umur kita dihabiskan untuk bekerja keras, sahabatku, pundi-​pundimu masih kosong dan kau berkata kepadaku, “Bolehkah aku meminjam dua shekel saja sampai selesai pesta para bangsawan malam ini?” Lalu, bagaimana jawabanku? Apa aku mengatakan, “Ini pundi-​pundiku; aku membagi isinya dengan senang hati?” Tidak, kuakui bahwa pundi-​pundiku sekosong pundi-​pundimu. Mengapa bisa begini? Mengapa kita tidak bisa memperoleh perak dan emas—yang banyak dan bukan hanya cukup untuk membeli makanan dan pakaian?”

“Pikirkan juga anak-​anak kita,” lanjut Bansir, “akankah mereka mengikuti jejak ayah mereka? Haruskah mereka, keluarga mereka, anak-​anak mereka, dan keluarga anak-​anak mereka hidup di tengah-​tengah lautan emas, namun, seperti kita, harus berpuas diri hanya menyantap susu kambing dan bubur?”

“Belum pernah, selama bertahun-​tahun persahabatan kita, kau berbicara seperti ini sebelumnya, Bansir,” Kobbi kebingungan.

“Belum pernah selama bertahun-​tahun itu aku berpikir seperti ini. Dari awal fajar sampai kegelapan senja menghentikanku, aku bekerja membuat kereta kuda terbaik yang dibuat manusia, sambil berharap suatu hari para dewa akan menghargai kerja kerasku dan menganugerahkan kepadaku kekayaan besar. Tapi para dewa belum pernah mengabulkannya. Akhirnya, aku menyadari mereka tidak akan mengabulkan harapanku. Oleh karenanya, hatiku sedih. Aku berharap menjadi orang yang kaya raya. Aku berharap memiliki tanah dan ternak sendiri, memiliki pakaian yang indah, dan koin di pundi-​pundiku. Aku bersedia bekerja demi semua ini dengan semua kekuatan di ototku, dengan semua keterampilan di tanganku, dengan semua kecerdasan di otakku, tetapi kuharap jerih payahku akan diganjar dengan setimpal. Apa yang salah dengan kita?

Sekali lagi aku bertanya kepadamu! Mengapa kita tidak bisa memiliki barang-​barang seperti yang begitu banyak dimiliki oleh mereka yang punya emas untuk membelinya?”

“Apakah aku tahu jawabannya?” jawab Kobbi. “Keadaanku sendiri tidak lebih baik darimu. Penghasilanku dari bermain lira ini cepat habisnya. Seringkali aku harus memutar otak agar keluargaku tidak kelaparan. Juga, aku sendiri mendambakan sebuah lira yang cukup besar sehingga bisa benar-​benar melantunkan alunan musik yang menggelorakan pikiranku. Dengan alat seperti itulah aku bisa memainkan musik yang lebih indah daripada yang pernah sang raja dengar sebelumnya.”

“Kau harus punya lira yang seperti itu. Tidak ada orang di Babilonia yang mampu memainkan musik lebih merdu daripada dirimu; sedemikian merdunya sampai bukan hanya raja tetapi bahkan para dewa pun akan senang. Namun bagaimana kau bisa mendapatkannya sedangkan kita berdua semiskin budak raja? Dengarkan lonceng itu. Lihat, mereka datang.”

Bansir menunjuk ke barisan panjang para pengangkut air yang setengah telanjang dan bersimbah keringat, bekerja keras menempuh jalan sempit dari sungai. Mereka berjalan berlima-​lima, masing-​masing membungkuk membawa sekarung air di punggungnya.

“Lihat pemimpin mereka,” Kobbi menunjuk ke arah pemegang lonceng yang berjalan di depan tanpa mengangkut air. “Orang terkemuka di negerinya sendiri, itu sudah pasti.”

“Ada banyak orang dalam barisan itu,” kata Bansir, “yang senasib dengan kita. Orang-​orang jangkung dan berambut pirang dari utara, orang-​orang berkulit hitam dan penuh tawa dari selatan, orang-​orang berkulit cokelat berperawakan kecil dari negeri-​negeri tetangga. Semuanya berjalan beriringan dari sungai ke taman gantung, bolak-​balik, hari demi hari, tahun demi tahun. Tidak ada kebahagiaan yang dinanti. Tidur di atas ranjang jerami—makan bubur gandum keras. Kasihan sekali mereka, Kobbi!”

“Aku pun kasihan pada mereka. Tetapi, kau membuatku memahami bahwa kita sedikit lebih baik, setidak-​tidaknya kita masih menjadi orang merdeka.”

“Itu benar, Kobbi, meski berat. Kita tidak ingin melanjutkan tahun demi tahun menjalani kehidupan seperti budak. Bekerja, bekerja, bekerja! Tidak mencapai apa-​apa.”

“Bisakah kita mencari tahu bagaimana orang lain memperoleh emas sehingga kita dapat mencontoh mereka?” tanya Kobbi.

“Mungkin ada rahasia yang bisa kita pelajari jika kita menanyakannya pada mereka yang memang mengetahuinya,” jawab Bansir serius.

“Hari ini,” ujar Kobbi, “aku berpapasan dengan kawan lama kita, Arkad. Dia sedang mengendarai kereta kencananya. Kukira dia tidak akan mempedulikanku. Mana ada orang kaya yang sempat memperhatikan kawan lamanya yang begitu sederhana? Ternyata dia melambaikan tangan sehingga semua orang melihatnya menyampaikan salam dan melemparkan senyum persahabatannya kepada Kobbi, si musisi.”

“Dia dikenal sebagai orang terkaya di seluruh Babilonia,” lamun Bansir.

“Begitu kaya hingga raja konon meminjam emasnya untuk menutupi masalah keuangan,” jawab Kobbi.

“Begitu kaya,” potong Bansir, “aku khawatir jika aku bertemu dengannya di kegelapan malam, aku akan tergoda untuk mengambil pundi-​pundi gemuknya.”

“Omong kosong,” cela Kobbi, “kekayaan seseorang tidak berada di dalam pundi-​pundi yang dia bawa. Pundi-​pundi yang gemuk akan kosong dengan cepat jika tidak ada aliran emas yang mengisinya ulang. Arkad memiliki penghasilan yang terus-​menerus membuat pundi-​pundinya penuh, sebebas apa pun dia menghabiskannya.”

“Penghasilan, itu intinya,” seru Bansir tiba-​tiba. “Aku berharap memiliki penghasilan yang akan terus mengalir ke dalam pundi-​pundiku ketika aku sedang duduk bersandar di dinding atau bepergian ke negeri yang jauh. Arkad pasti tahu bagaimana seseorang bisa mendapatkan penghasilan untuk dirinya sendiri. Apa menurutmu dia bisa menjelaskankannya kepada orang yang pikirannya lamban seperti diriku?”

“Kurasa dia mengajarkan pengetahuannya kepada anaknya, Nomasir,” balas Kobbi.

“Bukankah dia pergi ke Nineveh dan, seperti yang diceritakan di penginapan, tanpa bantuan ayahnya, dia menjadi salah satu orang terkaya di kota itu?”

“Kobbi, kau membuatku memikirkan hal yang jarang terpikirkan.” Cahaya baru terpancar di mata Bansir. “Tidak ada ruginya meminta nasihat bijaksana dari seorang kawan baik dan Arkad selalu menjadi kawan baik. Tidak apa-​apa meski pundi-​pundi kita sekosong sarang elang satu tahun silam. Jangan biarkan itu menghalangi kita. Kita sudah lelah menjadi orang miskin di tengah lautan emas. Kita ingin menjadi orang kaya. Ayo, kita temui Arkad dan tanyakan bagaimana kita bisa memperoleh penghasilan untuk diri kita sendiri.”

“Kau memberikan inspirasi sejati, Bansir. Kau memberikanku pemahaman baru. Kau membuatku menyadari mengapa kita tidak pernah menemukan kekayaan sedikit pun. Kita tidak pernah mencarinya. Kau telah bekerja keras dengan sabar membuat kereta kuda terkokoh di Babilonia. Usaha kerasmu didedikasikan untuk hal itu. Dan kau berhasil. Aku berusaha keras menjadi pemain lira yang terampil. Dan aku berhasil. Kalau kita mengerahkan usaha terbaik kita dalam bidang-​bidang tertentu, kita dapat meraih keberhasilan. Jadi, para dewa ingin kita melanjutkannya. Sekarang, akhirnya, kita mendapat pencerahan, secerah sinar matahari terbit, sehingga menyadarkan kita untuk belajar lagi agar kita bisa lebih kaya lagi. Dengan pemahaman baru ini kita akan menemukan cara-​cara terhormat untuk meraih keinginan-​keinginan kita.”

“Mari kita temui Arkad hari ini juga,” ajak Bansir. “Juga, mari kita ajak kawan-​kawan lama kita lainnya, yang nasibnya tidak lebih baik dari kita, untuk bergabung dengan kita agar mereka juga bisa mendapatkan pengetahuan dari Arkad.”

“Kau adalah kawan yang paling bijaksana, Bansir. Tak heran kau memiliki banyak kawan. Aku sepenuhnya sepakat. Ayo, kita pergi hari ini bersama kawan-​kawan kita.”


Orang Terkaya di Babilonia

Dahulu kala, di Babilonia hiduplah seorang yang sangat kaya bernama Arkad. Dia termasyhur akan kekayaannya. Dia juga terkenal akan kedermawanannya. Dia murah hati dalam beramal. Dia juga murah hati kepada keluarganya. Dia royal dalam membelanjakan hartanya. Meski begitu, setiap tahun kekayaannya bertambah lebih cepat dari yang dia habiskan.

Lalu kawan-​kawannya di masa kecil datang menemuinya dan berkata: “Kau, Arkad, lebih beruntung daripada kami. Kau telah menjadi orang terkaya di seluruh Babilonia sedangkan kami berusaha keras untuk bertahan hidup. Kau dapat mengenakan pakaian terindah dan menikmati makanan yang lezat, sedangkan kami harus puas dengan mengenakan pakaian yang seadanya untuk keluarga kami dan memberi mereka makan ala kadarnya.

Padahal, dulu kita setara. Kita belajar di guru yang sama. Kita memainkan permainan yang sama. Baik saat belajar maupun bermain, kau tidak lebih unggul dari kami. Dan setelah tahun-​tahun itu, kau tidak lebih terhormat daripada kami.

Kau juga tidak bekerja lebih keras atau lebih sungguh-​sungguh, sejauh pengamatan kami. Lalu, mengapa takdir memilihmu untuk menikmati segala hal bagus dalam hidup dan mengabaikan kami yang sama-​sama layak mendapatkannya?”

Setelah itu, Arkad memprotes mereka, berkata, “Apabila kalian tidak memperoleh lebih dari cukup untuk bertahan hidup, itu karena kalian gagal mempelajari hukum-​hukum yang mengatur tumbuh kembangnya kekayaan, atau kalian tidak mematuhinya.

Takdir adalah dewi kejam yang tidak menganugerahkan kebaikan yang kekal kepada siapa pun. Sebaliknya, dia membawa kehancuran kepada hampir setiap manusia yang mendapatkan kekayaan bukan berkat kerja keras mereka sendiri. Dia menjadikan orang-​orang sebagai pemboros yang sewenang-​wenang, yang tak lama kemudian menghambur-​hamburkan semua yang mereka miliki dan diliputi oleh nafsu dan keinginan besar yang tidak mampu mereka penuhi. Tetapi, orang-​orang lainnya yang sang dewi sukai menjadi kikir dan menimbun harta mereka, takut menghabiskan apa yang mereka miliki karena menyadari bahwa mereka tidak memiliki kemampuan untuk menggantinya. Mereka kemudian dikepung oleh rasa takut akan perampok dan hidup dalam kekosongan dan kesengsaraan yang sukar dipahami.

Mungkin ada lagi orang-​orang lainnya yang mendapatkan kekayaan bukan berkat kerja keras mereka sendiri dan dapat terus meningkatkannya lalu melanjutkan hidup sebagai warga kota yang bahagia dan puas. Tetapi orang-​orang itu amat sedikit, aku tahu tentang mereka hanya dari kabar angin. Pikirkanlah orang-​orang yang mewarisi kekayaan mendadak, dan lihat seperti apa jadinya.”

Kawan-​kawannya mengakui kebenaran kata-​katanya tentang orang-​orang yang mereka tahu telah mewarisi kekayaan, dan mereka meminta Arkad menjelaskan kepada mereka bagaimana dia bisa memiliki begitu banyak kekayaan. Jadi, dia melanjutkan: “Selama masa mudaku, aku melihat sekitarku dan memahami bahwa semua hal-​hal baik membuat kita bahagia dan tenang. Dan aku menyadari bahwa kekayaan meningkatkan kebahagiaan dan ketenangan itu. Kekayaan adalah kekuatan. Dengan kekayaan, banyak hal bisa dilakukan.

Seseorang bisa menghias rumahnya dengan perabotan mewah. Seseorang bisa berlayar ke laut yang jauh. Seseorang bisa berpesta dengan makanan lezat dari negeri yang jauh. Seseorang bisa membeli perhiasan dari perajin emas dan pengupam batu. Seseorang bahkan bisa membangun kuil megah untuk para dewa. Seseorang bisa melakukan semua ini dan banyak hal lainnya yang memberikan kesenangan untuk pikiran dan kepuasan untuk batin.

Dan ketika aku menyadari semua ini, aku memutuskan untuk menuntut bagianku atas hal-​hal baik dalam hidup. Aku tidak mau menjadi salah satu dari mereka yang berdiri dari kejauhan, dengan iri menyaksikan orang lain menikmati hidup. Aku tidak mau puas hanya dengan mengenakan pakaian paling murah yang seadanya. Aku tidak akan merasa puas dengan menjadi orang miskin. Sebaliknya, aku akan menjadikan diriku tamu di perjamuan mewah ini.

Sebagaimana yang kalian tahu, aku adalah anak dari pedagang sederhana, seseorang dari keluarga besar tanpa harapan akan mendapat warisan. Sebagaimana yang kalian katakan dengan terang-​terangan, aku tidak memiliki kekuasaan atau pengetahuan yang unggul. Jadi aku memutuskan bahwa jika aku ingin meraih cita-​citaku, aku harus meluangkan waktu untuk belajar.

Mengenai waktu, semua orang memilikinya dengan berlimpah. Kalian, masing-​masing dari kalian, telah melewatkan waktu yang cukup banyak untuk membuat diri kalian kaya. Tetapi, kalian mengakui; kalian tidak memiliki apa-​apa untuk dibanggakan selain keluarga kalian, yang benar-​benar kalian sayangi.

Mengenai belajar, bukankah guru kita yang bijak telah mengajarkan kepada kita bahwa belajar ada dua jenis: jenis pertama adalah hal-​hal yang sudah kita pelajari dan ketahui, jenis kedua adalah latihan yang mengajari kita cara mencari tahu apa yang kita tidak ketahui?

Dengan demikian, aku memutuskan untuk mencari tahu bagaimana seseorang bisa mengumpulkan kekayaan, dan ketika aku telah menemukan caranya, aku menganggapnya sebagai tugasku untuk mewujudkannya dan aku dapat melakukan tugas itu dengan baik. Karena, bukankah tidak bijak jika kita menikmati sambil merenungkan di bawah terangnya sinar matahari segala kesedihan yang akan menimpa kita ketika kita berangkat menuju kegelapan dunia roh?

Aku menemukan pekerjaan sebagai pencatat, dan setiap hari selama berjam-​jam aku bekerja keras dengan tablet tanah liat[3]. Minggu demi minggu, bulan demi bulan, aku bekerja keras, tetapi upahku tidak kelihatan hasilnya. Makanan, pakaian, penebusan dosa untuk para dewa, dan hal-​hal lainnya yang tidak dapat kuingat, menghabiskan seluruh penghasilanku. Tetapi tekadku sudah bulat.

Dan suatu hari Algamish, si pemberi pinjaman, datang ke rumah penguasa kota dan memesan salinan Hukum Kesembilan. Dia berkata kepadaku, ‘aku membutuhkannya dalam dua hari, dan jika tugas itu selesai tepat pada waktunya, dua tembaga akan kuberikan kepadamu.’

Jadi, aku bekerja keras, tetapi naskah hukum itu begitu panjang, dan ketika Algamish kembali, pekerjaan itu belum selesai.

Dia marah. Andai saja aku budaknya, dia pasti sudah menghajarku. Tetapi mengetahui bahwa penguasa kota tidak akan mengizinkannya melukaiku, aku tidak takut. Lalu aku berkata kepadanya, ‘Algamish, kau orang yang sangat kaya. Bila kau katakan kepadaku bagaimana caranya menjadi kaya, maka sepanjang malam aku akan mengukir tanah liat ini, dan ketika matahari terbit, pekerjaannya akan selesai.’

Dia tersenyum dan menjawab, ‘Kau sungguh licik, tetapi kita akan menyebutnya sebagai perjanjian.’

Sepanjang malam itu aku mengukir, meski punggungku sakit dan bau asap membuat kepalaku pusing sampai-​sampai mataku hampir tidak bisa melihat. Tetapi ketika Algamish kembali saat matahari terbit, tablet-​tabletnya sudah selesai.

‘Sekarang,’ kataku, ‘beri tahu aku yang kau janjikan.’

‘Kau telah memenuhi bagianmu dalam perjanjian kita, Nak,’ ujarnya ramah, ‘dan sekarang aku siap memenuhi bagianku. Aku akan memberitahumu hal-​hal yang ingin kau ketahui ini karena aku semakin tua, dan lidah yang sudah tua senang mengoceh. Ketika anak muda datang kepada orang yang sudah tua untuk mendapat nasihat, dia menerima pengetahuan yang mungkin harus dia peroleh sendiri selama bertahun-​tahun. Tetapi seringnya anak-​anak muda mengira bahwa orang yang sudah tua hanya mengetahui pengetahuan di hari-​hari yang sudah berlalu, dan dengan demikian tidak menguntungkan. Tetapi ingatlah ini, matahari yang bersinar hari ini adalah matahari yang bersinar ketika ayahmu lahir, dan masih akan tetap bersinar ketika cucu terakhirmu kembali ke pangkuan kegelapan.

Pikiran anak muda adalah cahaya yang bersinar terang bagaikan meteor yang seringkali membuat langit cemerlang, tetapi kebijaksanaan orang yang sudah tua bagaikan bintang tetap yang sinarnya tidak berubah sehingga pelaut bisa bergantung kepadanya untuk mengarahkan perjalanan.

Camkan baik-​baik perkataanku, karena jika tidak, kau akan gagal memahami kebenaran yang akan kuberi tahu, dan kau akan berpikir bahwa pekerjaanmu semalaman sia-​sia.’

Kemudian dia menatapku tajam dari bawah alisnya yang kusut dan berkata dengan nada yang rendah dan tegas, ‘Aku menemukan jalan menuju kekayaan ketika aku memutuskan bahwa sebagian dari seluruh penghasilanku harus kusimpan. Demikian juga kau.’

Lalu dia lanjut menatapku dengan tatapan yang bisa kurasakan menusukku dan tidak mengatakan apa-​apa lagi.

‘Itu saja?’ tanyaku.

‘Itu sudah cukup untuk mengubah hati seorang penggembala domba menjadi hati seorang pemberi pinjaman,’ jawabnya.

‘Tetapi bukankah semua yang kudapatkan adalah milikku?’ tanyaku.

‘Sama sekali tidak,’ jawabnya. ‘Tidakkah kau membayar pembuat pakaian? Tidakkah kau membayar pembuat sandal? Tidakkah kau membayar untuk apa yang kau makan? Dapatkah kau hidup di Babilonia tanpa mengeluarkan koin? Apa hasil dari penghasilanmu bulan lalu? Dari penghasilanmu tahun lalu? Bodoh! Kau membayar semua orang kecuali dirimu sendiri. Kau bekerja untuk orang lain. Kau seperti budak yang bekerja hanya demi makanan dan minuman yang diberikan oleh majikanmu, tetapi kau sendiri tak punya apa-​apa selain itu. Apabila kau menyimpan untuk dirimu sendiri sepersepuluh dari semua penghasilanmu, berapa yang kau miliki dalam sepuluh tahun?’

Aku tak terlalu bodoh dalam soal hitung-​menghitung, maka aku menjawab, ‘Sebanyak yang aku dapatkan dalam setahun.’

‘Yang kau katakan itu setengah benar,’ bantahnya. ‘Setiap keping emas yang kau tabung adalah seorang budak yang bekerja untukmu. Setiap tembaga yang dihasilkannya adalah anaknya yang juga bisa menghasilkan untukmu. Jika kau ingin menjadi kaya, yang kau tabung harus menghasilkan, dan anak-​anaknya harus menghasilkan, sehingga semuanya bisa membantu memberimu jumlah berlimpah-​limpah seperti yang kau dambakan.

Kau pikir aku mencurangimu atas kerja kerasmu sepanjang malam, tetapi aku sedang membayarmu seribu kali lipat jika kau memiliki kecerdasan untuk menangkap kebenaran yang kutawarkan padamu.

Sebagian dari seluruh pendapatannmu harus disimpan. Jumlahnya tidak boleh kurang dari sepersepuluh, tak peduli sesedikit apa pun yang kau hasilkan. Bahkan bisa lebih sebanyak yang kau mampu. Bayar dirimu dulu. Jangan membeli dari pembuat baju dan pembuat sandal lebih dari yang mampu kau bayarkan dari keseluruhan penghasilanmu dan tetap cukupkan untuk makanan, amal, dan penebusan dosa kepada dewa.

Kekayaan itu bagaikan pohon, tumbuh dari biji yang sangat kecil. Tembaga pertama yang kau tabung adalah biji yang darinya pohon kekayaanmu akan tumbuh. Semakin cepat kau menanam biji itu, semakin cepat pohon itu akan tumbuh. Dan semakin setia kau memupuk dan menyirami pohon itu dengan menabung secara konsisten, semakin cepat kau akan dapat menikmati kesenangan di bawah naungannya.

Setelah mengatakan itu, dia mengambil tabletnya dan pergi.

Kupikirkan dalam-​dalam apa yang dia katakan kepadaku, dan itu tampak masuk akal. Jadi, aku memutuskan untuk mencobanya. Setiap kali aku dibayar, aku mengambil satu dari setiap sepuluh keping tembaga dan menyimpannya. Ajaibnya, aku tidak kekurangan dana. Kehidupanku nyaris tak ada bedanya dengan sebelum menabung. Ketika simpananku mulai tumbuh, aku sering tergoda untuk mengambilnya dan membeli barang-​barang bagus yang ditawarkan para pedagang yang dibawa oleh unta dan kapal dari negeri Fenisia. Tetapi aku menahan diri.

Dua belas bulan setelah Algamish pergi, dia kembali lagi dan berkata kepadaku, ‘Nak, sudahkah kau membayar dirimu tidak kurang dari sepersepuluh dari semua penghasilanmu selama tahun kemarin?’

Aku menjawab dengan bangga, ‘Ya, Tuan, sudah kulakukan.’

‘Bagus,’ jawabnya dengan wajah berseri-​seri, ‘dan apa yang kau lakukan dengannya?’

‘Aku memberikannya kepada Azmur, pembuat bata. Dia memberitahuku bahwa dia hendak melakukan perjalanan ke laut yang jauh. Di Tirus dia akan membelikan untukku perhiasan langka dari orang Fenisia. Ketika kembali, kami akan menjual barang-​barang ini dengan harga tinggi dan membagi penghasilannya.’

‘Setiap orang bodoh harus belajar,’ geramnya, ‘tetapi mengapa memercayai pengetahuan seorang pembuat bata dalam hal perhiasan? Apakah kau pergi ke pembuat roti untuk bertanya tentang bintang? Tidak, percayalah, kau harus pergi ke ahli nujum, kalau memang kau bisa berpikir. Tabunganmu hilang, anak muda, kau telah mencabut pohon kekayaanmu hingga akarnya. Tetapi tanam lagi yang lain. Coba lagi. Dan lain kali jika kau memerlukan nasihat mengenai perhiasan, pergilah ke penjual perhiasan. Jika kau ingin mengetahui tentang domba, pergilah ke gembala. Nasihat adalah satu hal yang diberikan secara gratis, tetapi berhati-​hatilah untuk hanya mengambil nasihat dari orang yang ahli di bidangnya. Barangsiapa yang meminta nasihat tentang tabungannya dari orang yang tidak berpengalaman di bidang itu, akan membayar dengan tabungannya sendiri apabila nasihat itu terbukti keliru.’ Setelah mengatakan ini, dia pun pergi.

Dan apa yang dikatakannya terbukti. Karena orang Fenisia adalah penipu dan menjual kepada Azmur sepotong kaca tak berharga yang menyerupai permata. Tetapi seperti yang telah dianjurkan Algamish, aku lagi-​lagi menabung setiap sepersepuluh tembaga, karena aku sekarang telah membentuk kebiasaan itu sehingga tidak sulit lagi.

Lagi-​lagi, dua belas bulan kemudian, Algamish datang ke ruangan pencatat dan menghampiriku.

‘Kemajuan apa yang telah kau buat sejak terakhir aku melihatmu?’

‘Aku telah membayar diriku dengan setia,’ jawabku, ‘dan tabunganku telah kupercayakan kepada Aggar si pembuat perisai untuk membeli perunggu, dan setiap bulan keempat, dia membayar kepadaku.’

‘Itu bagus. Lalu apa yang kau lakukan dengan bayaran sewa itu?’

‘Aku mengadakan pesta jamuan dengan madu, anggur, dan kue. Aku juga membeli jubah berwarna merah. Suatu hari nanti aku akan membeli keledai muda untuk dikendarai.’ Kemudian Algamish tertawa, ‘Kau memakan anak-​anak tabunganmu. Lalu, bagaimana kau mengharapkan mereka bekerja untukmu? Dan bagaimana mereka bisa memiliki anak-​anak yang juga akan bekerja untukmu? Dapatkan terlebih dulu pasukan budak emas, lalu banyak pesta bisa kau nikmati tanpa penyesalan.’ Setelah mengatakan ini, dia pergi lagi.

Aku tidak melihatnya lagi selama dua tahun. Ketika dia kembali sekali lagi, wajahnya penuh dengan kerutan dan matanya layu, karena dia sudah menjadi orang yang sangat tua. Lalu dia berkata kepadaku, ‘Arkad, sudahkah kau meraih kekayaan yang kau dambakan?’

Lalu aku menjawab, ‘Belum semuanya yang kuinginkan, tetapi sebagian sudah kumiliki dan itu menghasilkan lagi, dan penghasilan itu menghasilkan lagi.’

‘Dan apakah kau masih meminta nasihat dari pembuat bata?’

‘Mereka memberi nasihat yang baik tentang pembuatan bata,’ jawabku.

‘Arkad,’ lanjut Algamish, ‘kau telah belajar dengan baik. Pertama, kau belajar untuk hidup dengan pengeluaran yang lebih sedikit dari penghasilan. Selanjutnya, kau belajar untuk mencari nasihat dari orang-​orang yang kompeten di bidangnya. Dan terakhir, kau telah belajar untuk membuat emas bekerja untukmu.

Kau telah mengajari dirimu sendiri cara memperoleh uang, cara menyimpannya, dan cara menggunakannya. Oleh sebab itu, kau kompeten untuk sebuah posisi yang bertanggung jawab. Aku sudah tua. Anak-​anakku hanya memikirkan bagaimana menghabiskan uang tanpa memikirkan untuk menghasilkannya. Keuntungan usahaku besar dan aku khawatir terlalu banyak yang harus kuurus. Apabila kau bersedia pergi ke Nippur dan mengurus tanahku di sana, aku akan menjadikanmu mitraku dan kau akan mendapat bagian dari tanahku.’

Lalu aku pergi ke Nippur dan mengurus tanah miliknya yang sangat luas. Dan karena aku penuh ambisi serta telah menguasai tiga hukum mengelola kekayaan dengan sukses, aku mampu meningkatkan nilai tanahnya berkali-​kali lipat.

Dengan demikian, aku menjadi makmur, dan ketika roh Algamish pergi ke pangkuan kegelapan, aku mendapat bagian dari tanahnya sebagaimana yang telah dia atur di bawah hukum.” Demikianlah Arkad berbicara, dan setelah dia menyelesaikan ceritanya, salah satu kawannya berkata, “Kau sungguh beruntung karena Algamish menjadikanmu ahli waris.”

“Hanya beruntung karena aku ingin menjadi kaya sebelum aku pertama bertemu dengannya. Selama empat tahun, bukankah aku membuktikan keteguhan tujuanku dengan menyimpan sepersepuluh dari seluruh penghasilanku? Apakah kau menyebut seorang nelayan sekadar beruntung apabila dia menghabiskan waktu bertahun-​tahun mempelajari kebiasaan ikan sehingga meski angin berubah-​ubah, jalanya bisa menangkap ikan yang banyak? Kesempatan adalah dewi angkuh yang tidak membuang-​buang waktu dengan mereka yang tidak menyiapkan diri.”

“Kau memiliki tekad yang kuat untuk tetap bertahan setelah kehilangan tabungan tahun pertamamu. Kau luar biasa dalam hal itu,” kata yang lain.

“Tekad?” seru Arkad. “Omong kosong. Apakah menurutmu tekad memberikan manusia kekuatan untuk mengangkat beban yang tidak bisa diangkut unta, atau menarik muatan yang tidak bisa ditarik lembu? Tekad hanyalah tujuan yang teguh dalam melaksanakan sebuah tugas yang kau tetapkan untuk dirimu sendiri hingga selesai. Jika aku menetapkan sebuah tugas untuk diriku sendiri, seremeh apa pun, aku akan menyelesaikannya. Bagaimana lagi aku akan percaya pada diriku untuk melakukan hal-​hal penting? Jika kukatakan pada diriku, ‘Selama seratus hari ketika aku berjalan menyeberangi jembatan ke kota ini, aku akan memungut sebuah kerikil di jalan dan melemparkannya ke sungai,’ aku akan melakukannya.

Jika di hari ketujuh aku melewati jembatan itu dan lupa melakukannya, aku tidak akan berkata kepada diriku, ‘Besok aku akan melempar dua kerikil sekaligus.’ Alih-​alih, aku akan menelusuri kembali langkahku dan melempar sebuah kerikil. Tidak pula pada hari kedua puluh aku akan berkata kepada diriku, ‘Arkad, ini sia-​sia. Apa faedahnya bagimu melempar sebuah kerikil setiap hari? Lemparlah segenggam dan selesai.’ Tidak, aku tidak akan mengatakannya atau melakukannya. Ketika aku sudah menetapkan tugas untuk diriku, maka aku menyelesaikannya.

Oleh karena itu, aku berhati-​hati agar tidak memulai tugas yang sulit dan tidak praktis, sebab aku lebih suka menikmati waktu senggangku.”

Kemudian, seorang kawan lainnya berkata, “Apabila yang kau katakan itu benar adanya, dan tampak masuk akal seperti yang kau katakan, maka sederhananya, apabila semua orang melakukannya, tidak akan ada cukup kekayaan untuk dibagikan.”

“Kekayaan tumbuh di mana pun manusia mengusahakannya,” balas Arkad. “Jika seorang yang kaya membangun istana baru, apakah emas yang dia keluarkan hilang? Tidak, pembuat bata mendapat sebagian, buruh mendapat sebagian, dan arsitek mendapat sebagian. Dan semua orang yang bekerja membangun bangunan itu mendapat bagiannya. Lalu ketika istananya selesai dibangun, bukankah hasilnya sepadan dengan biayanya? Dan bukankah tanah tempat istana itu berdiri menjadi lebih bernilai karena ada istana? Dan bukankah tanah yang bersebelahan dengannya menjadi lebih bernilai? Kekayaan tumbuh dengan cara ajaib. Tidak ada orang yang dapat meramalkan batasannya. Bukankah orang Fenisia membangun kota besar di pesisir tanah tandus dengan kekayaan yang berasal dari kapal-​kapal niaga mereka?”

“Lalu, apa yang kau nasihatkan untuk kami supaya kami juga bisa menjadi kaya?” tanya kawannya yang lain. “Tahun-​tahun sudah berlalu sedangkan kami sudah tidak muda lagi dan tidak punya apa-​apa untuk disimpan.”

“Aku nasihatkan kalian untuk menerapkan kebijaksanaan Algamish dan berkata kepada diri kalian, ‘Sebagian dari seluruh penghasilanku harus kusimpan.’ Katakan ini setiap pagi ketika kalian bangun tidur. Katakan di siang hari. Katakan di malam hari. Katakan ini setiap jam setiap hari. Katakan pada dirimu sampai kata-​kata ini menjadi kumpulan huruf api yang menyala-​nyala di langit.

Biarkan kata-​kata itu tertanam dalam dirimu. Penuhi dirimu dengan pikiran itu. Lalu ambillah berapa pun dengan bijaksana. Jangan biarkan bagian itu kurang dari sepersepuluh dan simpanlah. Bila perlu, atur pengeluaranmu, tetapi sisihkan bagian itu lebih dulu. Tak lama, kau akan menyadari perasaan kaya karena memiliki harta yang kau kumpulkan sendiri. Ketika harta itu tumbuh, kau akan lebih bersemangat. Kesenangan hidup baru akan menggetarkan hatimu. Kau akan lebih bersemangat untuk memulai usaha yang lebih besar guna menghasilkan lebih banyak lagi. Sebab dengan penghasilan yang bertambah, bukankah persentase bagian yang disimpan untuk dirimu sendiri juga akan bertambah?

Maka belajarlah untuk membuat hartamu bekerja untukmu. Jadikan dia budakmu. Jadikan anak-​anaknya dan anak-​anak dari anak-​anaknya bekerja untukmu.

Jamin pemasukan untuk masa depanmu. Lihatlah orang-​orang yang sudah lanjut usia dan jangan lupa bahwa di hari-​hari yang akan datang itu kau juga akan menjadi salah satu di antara mereka. Oleh karena itu, investasikan hartamu dengan sangat hati-​hati agar tidak hilang. Bunga yang sangat tinggi atas investasimu kadang bagai Siren[4] licik yang bernyanyi untuk menggoda mereka yang tidak waspada, dan mengempaskannya pada batu karang kerugian dan penyesalan.

Siapkan juga bekal untuk keluargamu agar tidak kekurangan ketika para dewa memanggilmu ke alam mereka. Siapkan selalu untuk perlindungan seperti itu dengan cara menyisihkan sebagian kecil dari pendapatanmu secara berkala. Oleh sebab itu, orang yang ingat hari esok tidak akan menunda-​nunda sampai memiliki kekayaan besar untuk melaksanakan tujuan yang bijak tersebut.

Berundinglah dengan orang-​orang bijak. Carilah nasihat dari orang-​orang yang pekerjaan sehari-​harinya mengelola uang. Biarkan mereka menyelamatkanmu dari kesalahan seperti yang kubuat ketika memercayakan uangku kepada Azmur, si pembuat bata. Pendapatan yang kecil tapi aman lebih baik daripada yang berisiko.

Nikmati hidup selagi kau masih ada di sini. Jangan menyiksa diri atau berusaha menabung terlalu banyak. Apabila sepersepuluh dari seluruh pendapatanmu dapat kau simpan dengan nyaman, puaslah dengan bagian ini. Hiduplah sesuai dengan pemasukanmu dan jangan biarkan dirimu kikir dan takut mengeluarkan uang. Hidup itu menyenangkan dan penuh dengan hal-​hal bermanfaat dan pantas dinikmati.”

Kawan-​kawannya berterima kasih kepadanya dan pergi. Beberapa orang diam saja karena tidak bisa membayangkan dan tidak bisa memahami. Beberapa orang mencibir karena mereka pikir orang kaya seharusnya berbagi dengan kawan-​kawan lama yang tidak beruntung. Tetapi beberapa orang mendapat pencerahan baru. Mereka menyadari bahwa Algamish selalu kembali ke ruangan pencatat karena dia sedang mengawasi seseorang yang bekerja untuk keluar dari kegelapan menuju cahaya. Ketika orang itu telah menemukan cahaya, sebuah tempat telah menantinya. Tidak ada yang dapat mengisi tempat tersebut sampai orang itu sendiri mengembangkan pemahamannya, sampai dia siap untuk sebuah kesempatan.

Orang-​orang tercerahkan inilah yang, di tahun-​tahun berikutnya, berkali-​kali mengunjungi Arkad, yang menerima mereka dengan senang hati. Arkad berdiskusi dengan mereka dan memberi mereka pengetahuannya secara cuma-​cuma sebagaimana yang selalu senang dilakukan oleh manusia yang berpengalaman luas. Dan dia membantu mereka dalam menginvestasikan tabungan mereka sehingga menghasilkan untung yang bagus dengan aman dan tidak akan rugi atau terjerat dalam investasi yang tidak menguntungkan.

Titik balik dalam kehidupan orang-​orang ini tiba di hari ketika mereka menyadari kebenaran yang disampaikan Algamish kepada Arkad dan dari Arkad diteruskan kepada mereka.

Sebagian dari seluruh pendapatanmu harus disimpan


[1] Alat musik dawai klasik.

[2] Satuan mata uang pada masa itu.

[3] Di masa lampau, penggunaan kertas belum ada. Orang-​orang dengan gigih mengukir tulisan di atas tablet tanah liat yang masih basah. Setelah selesai, tablet-​tablet ini dipanggang dan menjadi batu keras.

[4] Makhluk mitologi Yunani yang menggoda pelaut dengan nyanyiannya.