1
Alkisah, pada zaman dahulu di negeri Arab, hiduplah seorang pemimpin kabilah, seorang Sayid yang sangat termasyhur. Bani Amir nama kabilah itu. Tidak ada seorang pun yang dapat menandingi kejayaan sang Sayid. Kegagahberaniannya telah masyhur di seluruh jazirah Arab. Kedermawanannya kepada para fakir miskin dan keramah-tamahannya dalam menjamu para musafir telah terkenal ke mana-mana. Namun, meski dicintai oleh semua orang dan mendapatkan tempat terhormat layaknya seorang sultan atau kalifah, dia tidak merasa bahagia. Sebuah kesedihan yang sangat mendalam menggerogoti hatinya dan menggelapkan hari-harinya. Sang Sayid tidak memiliki anak.
Apalah artinya kekuasaan yang besar dan kekayaan yang melimpah bagi seorang laki-laki apabila ia tidak memiliki anak? Apa gunanya kemuliaan dan kekuasaan bila tidak ada yang akan mewarisinya kelak? Apa artinya semua kesenangan hidup itu jika ia tidak dapat merasakan kebahagiaan dan keceriaan yang dibawa oleh seorang anak? Hal inilah yang selalu dipikirkannya sepanjang waktu. Dan, semakin ia memikirkannya, semakin besar kesedihannya. Tidak pernah ia berhenti berdoa kepada Tuhan agar dianugerahi seorang anak. Namun, doa-doanya tidak kunjung terkabul. Ia merindukan bulan purnama yang tak kunjung muncul, sebuah kebun mawar yang tak pernah berbunga. Meskipun demikian, ia tidak pernah berhenti berharap.
Keinginannya yang membara untuk memperoleh keturunan telah membakar jiwanya sampai pada suatu titik di mana ia melupakan semua hal lain. Karena satu hal yang sangat diidamkan hatinya, namun tidak dimilikinya, ia mengabaikan semua kenikmatan yang telah dianugerahkan Tuhan kepadanya—kesehatannya, kejayaannya, kekuasaannya. Namun, bukankah demikian sifat manusia? Ketika keinginan-keinginan kita tidak juga terpenuhi dan doa-doa yang selalu kita panjatkan tidak kunjung dikabulkan Tuhan, apa pernah kita berpikir bahwa itu semua Dia lakukan demi kebaikan kita? Kita selalu merasa yakin bahwa kita mengetahui apa yang kita butuhkan. Namun, kebutuhan seringkali keliru dengan keinginan. Dan hal-hal yang kita inginkan—namun tidak kita butuhkan—kadang menjadi penyebab kejatuhan kita. Tentu saja jika kita dapat melihat apa yang disimpan masa depan untuk kita, kita tidak akan pernah salah dalam mengajukan keinginan. Tapi masa depan adalah hal yang tersembunyi dari pandangan kita. Benang takdir seseorang terbentang jauh menembus dunia kasatmata, kita tidak dapat melihat ke mana ia akan berujung. Siapa yang dapat mengetahui bahwa kenikmatan pada hari ini dapat membawa kesengsaraan di keesokan hari, atau kesengsaraan pada hari ini akan berbuah kenikmatan di hari esok?
Dan demikianlah, sang Sayid selalu berdoa, berpuasa, dan berderma, hingga, ketika ia baru saja akan menyerah, Tuhan akhirnya mengabulkan permintaannya. Ia dianugerahi seorang anak laki-laki. Seorang anak yang menawan bagaikan sekuntum mawar yang baru merekah, laksana sebuah berlian yang kecemerlangannya dapat mengubah malam menjadi siang. Untuk merayakan kelahiran anak yang sangat didambanya itu, sang Sayid membuka pundi-pundi hartanya kemudian menebarkan emasnya seolah-olah emas itu adalah pasir. Ia ingin membagi kebahagiaannya kepada semua orang. Sebuah pesta perayaan besar-besaran pun diadakan.
Sang anak diasuh dengan penuh kasih sayang dan kelembutan. Seorang perempuan dipekerjakan untuk menyusui dan merawatnya agar kelak ia tumbuh menjadi seorang laki-laki yang besar, sehat, dan kuat. Dan memang begitulah kenyataannya. Empat belas hari setelah hari kelahirannya, sang bayi telah menyerupai bulan purnama dengan segala keelokannya, memancarkan cahaya ke seluruh permukaan bumi, dan mempesonakan mata semua orang yang memandangnya. Pada hari kelima belas, orangtuanya memberinya nama Qais. Namun semua ini mereka lakukan secara diam-diam, tersembunyi dari orang-orang, agar bayi itu terhindar dari pengaruh jahat.
Setahun telah berlalu, ketampanan bayi laki-laki itu telah merekah sempurna. Ia tumbuh menjadi seorang anak yang ceria dan periang, sekuntum bunga yang dirawat dengan penuh kelembutan di dalam kebun mawar kebahagiaan masa kanak-kanak. Di akhir usianya yang ketujuh, garis-garis kedewasaan mulai tampak di pipinya yang merah mawar. Siapa pun yang memandangnya, bahkan dari kejauhan sekalipun, akan mendoakan keberkahan Tuhan atasnya. Dan, di akhir usianya yang kesepuluh, orang-orang mulai menceritakan kisah-kisah tentang ketampanannya, seolah mereka sedang mengisahkan sebuah dongeng.
2
Menyadari kebutuhan anaknya akan pendidikan, sang Sayid kemudian menempatkan Qais di bawah bimbingan seorang guru yang sangat termasyhur akan ketinggian ilmunya, seorang ulama yang kepadanyalah semua bangsawan Arab mempercayakan anak-anak mereka untuk dapat memperoleh kearifan serta kecakapan yang dibutuhkan untuk menghadapi kerasnya kehidupan di gurun pasir. Sudah saatnya membuang mainan-mainan sang anak dan menggantinya dengan buku-buku pelajaran.
Qais adalah seorang murid yang tekun dan memiliki semangat belajar yang tinggi. Dalam waktu yang singkat ia telah mengalahkan teman-teman sekelasnya dalam semua bidang pelajaran. Ia adalah murid terbaik yang pernah diajar oleh sang guru. Qais sangat unggul dalam membaca dan menulis. Ketika ia berbicara, baik itu dalam diskusi serius atau hanya sebuah percakapan biasa, lidahnya akan menebarkan mutiara-mutiara kearifan. Betapa menyenangkan bila mendengarkannya berbicara.
Namun kemudian, sesuatu yang sungguh tidak pernah diduga terjadi. Teman-teman sekelas Qais, sama halnya dengan Qais, adalah anak-anak dari golongan terhormat suku-suku Arab, dan di antara mereka juga terdapat beberapa anak perempuan. Suatu hari sang guru menerima seorang murid baru, seorang gadis yang sangat cantik. Qais dan semua murid laki-laki di kelas itu seketika jatuh hati pada sang gadis.
Nama gadis itu adalah Laila, berasal dari kata bahasa Arab “lail,” yang berarti “malam,” karena di bawah bayangan rambutnya, wajahnya bersinar bagaikan bulan purnama yang memancarkan keindahan cahaya. Matanya hitam, dalam, dan bersinar-sinar bagaikan mata seekor rusa. Dan dengan sebuah kibasan bulu matanya, ia mampu mengubah seluruh dunia menjadi puing-puing. Mulutnya yang mungil terbuka hanya untuk mengucapkan hal-hal yang indah. Apabila ada orang yang menggodanya—baik dengan kata-kata maupun dengan senyuman—pipinya akan memerah, seolah mawar-mawar merah merekah pada pipinya yang seputih susu.
Hati yang sekeras apa pun akan segera mencair begitu memandang keajaiban ciptaan ini. Namun, di antara semua teman-temannya, Qais-lah yang memiliki hasrat paling besar terhadap Laila. Ia telah tenggelam di dalam lautan cinta bahkan sebelum ia mengerti makna cinta itu sendiri. Ia telah menyerahkan hatinya kepada gadis ini bahkan sebelum ia menyadari betapa berharga hati yang telah diserahkannya itu. Perasaan Laila pun tidak jauh berbeda, ia telah jatuh cinta kepada Qais. Api telah menyala di dalam hati mereka, dan cahayanya saling memantul di antara mereka. Lantas apa yang bisa mereka lakukan untuk menjinakkan nyalanya? Tidak ada. Mereka masih remaja. Dan remaja menerima apa pun yang terjadi pada diri mereka tanpa banyak pertanyaan. Cinta bagaikan bejana anggur yang telah mengisi penuh cawan mereka, dan mereka meminum apa pun yang dituangkannya. Lalu mereka menjadi mabuk karena tidak menyadari kekuatan sang anggur. Mabuk yang pertama kali adalah mabuk yang paling memusingkan. Jatuh yang pertama kali adalah jatuh yang paling menyakitkan. Luka pertama selalu menjadi yang terperih.
Dan keadaan ini terus berlanjut, mereka terhanyut begitu jauh sehingga sulit untuk kembali. Mereka terpesona oleh kekuatan gaib yang sumbernya tidak mereka kenali, yang pengaruh sihirnya terlalu kuat untuk mereka lawan. Mereka meminum lebih banyak lagi anggur dari cawan cinta, siang dan malam. Semakin banyak mereka minum, semakin dalam mereka terbenam ke dalam satu sama lain. Mata mereka menjadi buta dan telinga mereka menjadi tuli terhadap dunia di sekeliling mereka. Qais dan Laila telah kehilangan diri mereka, dan mereka saling menemukan satu sama lain.
(Lukisan: Adegan pertemuan terakhir Laila dengan Majnun, dari manuskrip kuno ‘Khamsa’)