Posted on

Attar, Penyair Berwatak Mistis Religius [Esai]

Karya Attar, yang dalam bahasa aslinya berjudul Mantiqu’t-Thair dan berbentuk puisi yang berwatak mistis religius, agaknya ditulis dalam pertengahan kedua abad kedua belas Masehi. Sejak waktu itu, setiap selang beberapa tahun terbit edisi baru di negeri-negeri Timur Tengah dan Timur Dekat.

Terjemahan bahasa Indonesia atas karya itu dikerjakan dari teks terjemahan bahasa Inggris dari C. S. Nott, berjudul The Conference of the Birds.

Semula Nott mengerjakan terjemahan itu terutama untuk kepentingan sendiri dan beberapa sahabatnya; tetapi karena terjemahannya itu merupakan terjemahan paling utuh yang pernah terdapat dalam bahasa Inggris selama itu, maka agaknya telah menarik kalangan publik yang lebih luas. Maka diterbitkanlah The Conference of the Birds itu buat yang pertama kali pada tahun 1954 di London dan selanjutnya beberapa kali mengalami cetak ulang.

Dalam penerjemahan ke bahasa Inggris, buat sebagian besar Nott mempergunakan terjemahan Garcin de Tassy dalam bahasa Perancis yang berbentuk prosa dan yang dikerjakan dari teks bahasa Parsi yang diperbandingkannya dengan teks dalam bahasa Arab, Hindu dan Turki (Paris, 1863). Di samping itu, Nott juga mempergunakan sumber penjelasan dari teks dalam bahasa Parsi lewat sahabatnya, seorang Sufi, selain juga dari terjemahan-terjemahan dalam bahasa Inggris yang masih ada. Dari yang tersebut terakhir itu ia mempergunakan tiga buah terjemahan, yang semuanya kelewat diperingkas. Yang pertama terjemahan Edward Fitzgerald, bersajak dan agak sentimental; yang kedua terjemahan Ghulam Muhammad Abid Saikh, terlalu harfiah, berupa 1170 bait dari 4674 masnawi dalam bahasa aslinya (India, 1911); yang ketiga (dan yang terbaik dari semuanya itu) ialah terjemahan Masani, berbentuk prosa, meskipun hanya kira-kira setengah dari aslinya yang diterjemahkan (Mangalore, India, 1924). Ketiga buah terjemahan itu sudah lama tidak dicetak lagi. Terjemahan Garcin de Tassy lengkap, dan, seperti dikatakannya, “Seharfiah yang dapat saya usahakan untuk bisa dimengerti.” Tassy juga mempertahankan keharuman, semangat dan ajaran puisi Attar itu.

Dalam terjemahan Inggris itu Nott tidak menyertakan paroh terakhir dari Madah Doa—dalam teks Hindu bagian itu tidak terdapat, dan dalam teks Turki diperingkas. Tentang Akhirul Kalam yang mengakhiri karya Attar itu, Nott hanya menyertakan bagian pertamanya, karena selebihnya, oleh sebab terdiri dari cerita-cerita kecil (anekdot), akan merupakan antiklimaks. Dalam teks-teks Hindu dan Turki Akhirul Kalam itu dihilangkan sama sekali, sedang dalam manuskrip-manuskrip lain berbeda-beda adanya. Nott juga tidak menyertakan atau hanya menyarikan saja beberapa cerita kecil (anekdot) dalam karya Attar itu, baik karena cerita-cerita kecil itu terasa bersifat mengulang-ulang atau karena artinya “gelap”. Tetapi segala yang berhubungan dengan “Sidang” atau “Musyawarah” burung-burung itu, sebagaimana yang dituturkan dalam manuskrip aslinya, disajikan dalam terjemahan Nott itu.

Dalam penomoran bagian-bagian, Nott mengikuti terjemahan Tassy, yaitu menurut manuskrip aslinya.

Nott membubuhkan pula catatan-catatan tentang Attar dan Kaum Sufi. Untuk ini, di antara sumber-sumber lain, ia mempergunakan sumber keterangan dari The Dictionary of Islam dan Encyclopaedia of Islam.

Kecuali itu, ia pun membubuhkan pula Glossarium dengan maksud agar pembaca, dengan lebih dulu membaca keterangan-keterangan dalam Glossarium itu, akan dapat menangkap lambang-lambang, kias dan sebagainya yang terdapat dalam karya Attar itu dengan lebih jelas.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia di sini sepenuhnya mengikuti terjemahan Inggris Nott. Hanya Glossarium itu tidak diberikan sebagai bagian yang tersendiri, melainkan diberikan di sana-sini sebagai catatan kaki, dan itu pun hanya diambil mana yang kiranya perlu dijelaskan bagi pembaca Indonesia.

Sementara itu, dalam menelaah karya Attar (dari terjemahan Nott), penerjemah Indonesia banyak menemukan bagian-bagian yang dapat dicari rujukannya dalam Al-Quran. Dan dengan menemukan rujukan-rujukannya dalam Al-Quran, bagian-bagian yang semula gelap baginya, dapat dicerahkan. Hal-hal demikian, dalam terjemahan Indonesia, dibubuhkan pula sebagai catatan kaki. Dalam mencari rujukan-rujukan dalam Al-Quran itu penerjemah Indonesia mempergunakan The Meaning of the Glorious Koran dari Mohammed Marmaduke Pickthall, di samping The Holy Qur’an dari Maulawi Sher ‘Ali.

Demikianlah catatan-catatan kaki itu, seperti juga Glossarium dalam terjemahan Nott, dimaksudkan untuk seberapa mungkin mencerahkan bagian-bagian yang gelap dalam karya Attar itu.

***

Ditulis oleh Hartojo Andangdjaja


Esai ini dimuat sebagai Pengantar dalam Musyawarah Burung karya Fariduddin Attar.

Posted on

Arti Tagore bagi Kita [Esai]

Apakah arti Tagore bagi kita?

Prosa-prosa lirik berbahasa Belanda yang memperlihatkan pengaruh Tagore dalam majalah-majalah pemuda tahun 1917, penerjemahan The Gardener lewat bahasa Belanda ke dalam bahasa Jawa oleh pangeran yang kemudian menjadi Mangkunegoro VII di Solo (R. M. A. Soerjo Soeparto) pada tahun 1919, penerjemahan Melatiknoppen, prosa-prosa lirik bergaya Tagorik karya Noto Soeroto ke dalam bahasa Indonesia oleh Muh. Yamin (ketika itu M. Jamin) dalam majalah Jong Sumatra tahun 1921, dan kemudian penerjemahan ke dalam bahasa Indonesia atas karya-karya Tagore yang literer maupun yang non-literer sejak tahun-tahun dua puluhan hingga tahun-tahun empat puluhan yang dikerjakan oleh Muh. Yamin (Di dalam dan di loear Lingkoengan Roemah Tangga, Menantikan Soerat dari Radja), Amal Hamzah (Gitanjali, Bunga Serodja dari Gangga), Anas Ma’ruf (Tjitra), Darmawidjaya (Tamu) dan Tatang Sastrawiria (Nasionalisme), semua ini memperlihatkan bahwa juga di Indonesia Tagore menemukan pencinta-pencintanya.

Namun demikian, apakah Tagore tidak terlalu tua bagi kita? Demikian mungkin pembaca-pembaca modern akan bertanya.

Dan pertanyaan demikian timbul, mungkin karena dalam karya-karya Tagore bergema semangat India Purba. Atau karena di sana mengembang kabut mistisisme. Atau katakanlah misalnya, seperti pernah dikatakan William Butler Yeats, karena dalam karya-karya Tagore perempuan kehilangan arti badaniahnya, tidak menjasmani, dan karena itu kehilangan artinya sebagai perempuan yang nyata. Dan sejumlah ‘karena’ lagi tentu masih bisa disebutkan.

Tapi sebenarnyakah demikian? Terlalu tuakah Tagore bagi kita?

Rabindranath Tagore (1861–1941) dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang mewarisi nilai-nilai religi dari India Purba sebagai kekayaan rohani yang berharga. Ayahnya, Maharshi Devendranath Tagore, konon selalu memulai hari paginya dengan resitasi Upanishad dan sajak-sajak Hafiz. Tapi serempak dengan itu, dalam suasana kebangunan India modern di zamannya, keluarga itu adalah juga perintis pembaharuan yang menerima pikiran-pikiran modern dari Barat. Kakeknya, Dwarkanath Tagore, adalah seorang pendukung cita-cita Raja Ramohan Ray dalam usahanya menyebarluaskan pendidikan modern. Juga Maharshi Devendrananth Tagore, adalah salah seorang pemimpin Brahmo-Samaj, gerakan pembaharuan yang dirintis oleh Raja Ramohan Ray, bapak renaissans India itu. Malah sepeninggal Raja Ramohan Ray, Maharshi dipandang sebagai penggantinya.

Lingkungan keluarga tempat Tagore dibesarkan itu dapat kita lihat sebagai latar belakang yang memperjelas gambaran kepribadian Tagore kepada kita. Demikianlah dari lingkungan keluarganya sejak semula Tagore telah mewarisi nilai-nilai religi India Purba dan pikiran-pikiran modern dari Barat. Semangat India Purba dan semangat Barat modern bertemu dalam jiwa Tagore yang kreatif, yang sanggup menciptakan harmoni antara keduanya tanpa menimbulkan perpecahan.

Tukang Kebun
dalam terjemahan Indonesia ini adalah himpunan 85 lirik tentang cinta dan kehidupan, buah karya Tagore di masa mudanya.

Dalam segala karya Tagore, selain terlihat betapa besar cintanya kepada alam, juga terlihat betapa besar cintanya kepada manusia dan kehidupan.

Cinta Tagore kepada manusia membuat dia tak asing akan beragam perasaan yang mungkin dihayati manusia. Dan satu di antara beragam perasaan itu ialah perasaan cinta antara laki-laki dan perempuan, cinta dalam arti asmara. Demikianlah dalam Tukang Kebun cinta asmara itu diungkapkan dalam beragam nuansa kesedihan dan kegirangannya, kekecewaan dan harapannya, kecemasan dan keberaniannya, permainan lembut dan kesungguhan dan mesranya. Apabila dalam cinta ini, seperti kata Yeats, perempuan dalam karya-karya Tagore kehilangan arti badaniahnya, tidak menjasmani dan karena itu kehilangan artinya sebagai perempuan yang nyata, itu adalah karena perempuan dalam kejelitaannya bagi Tagore adalah manifestasi dari keindahan yang hanya bisa disentuh dengan roh, dengan jiwa, seperti diungkapkannya dalam Tukang Kebun, lirik ke-49:

Kupegang kedua tangannya dan kutekankan dia ke dadaku.
Kucoba memenuhi lenganku dengan kejelitaannya, merampas senyumnya manis dengan ciuman berulang-ulang, mereguk cerlang matanya hitam dengan mataku.
Tetapi ah, manakah itu? Siapa bisa meregangpisahkan kebiruan itu dari langit?
Kucoba mendekap keindahan; ia terlucut lepas; hanya tubuh itu juga ditinggalkannya dalam tanganku.
Letih dan sia-sia aku pun pulang.
Betapa dapat jasad menjamah keindahan, yang hanya ruh saja dapat menjamahnya?

Dan cinta dalam kualitas demikian itu dalam karya-karya Tagore di masa-masa kemudian berkembang menjadi cinta kepada Tuhan, karena keindahan–jadi juga kejelitaan perempuan–adalah manifestasi dari Keindahan Tuhan juga.

Namun itu tidak berarti bahwa Tagore menolak cinta badaniah. Hanya cinta badaniah ini bagi Tagore mestilah memiliki artinya yang transendental, mengantarkannya ke arah cinta yang lebih luhur, ke arah cinta kepada Tuhan. Dengan demikian ia tidak terjatuh ke dalam sikap seorang epikuris atau hedonis yang melewati batas. Dan dalam segalanya Tagore tak ingin akan segala yang melewati batas. Ia ingin berada dalam batas-batas keseimbangan, keselarasan, harmoni. Karena pada hakikatnya hidup adalah keselarasan, harmoni.

Dan karena itulah pula maka ia pun menolak ascetism yang berat sebelah dan melewati batas dalam sikapnya yang membelakangi dunia, menafikan kehidupan duniawi ini, seperti dinyatakan dalam Tukang Kebun, lirik ke-43:

Tidak, Kawanku, aku tidak akan meninggalkan dapur dan rumahku, dan lari ke sunyi belantara, jika tak ada tawa gembira yang berdenting dalam kerindangannya yang penuh gema itu, dan jika tak ada mantel kuning muda yang ujungnya berkibaran di angin; jika kesunyiannya itu tidak dimesrai bisik-risik yang lembut halus.
Aku tidak akan jadi pendeta.

Demikianlah ia menolak ascetism karena mencintai kehidupan ini. Dan cintanya pada kehidupan membuat dia memandang bumi tempat kita hidup ini tidak hanya sebagai pentas di mana manusia berperan, tetapi lebih dari itu, sebagai ibu yang mengasihi anak-anaknya, memberi mereka pangan dan kesenangan, meskipun apa yang dapat diberikannya itu jauh dari sempurna. Dan justru karena ketaksempurnaan kasih bumi itu, manusia mesti mencintainya, memujanya dengan kegiatan-kegiatan manusiawinya, dengan kerja. Ini dapat kita baca dalam Tukang Kebun, lirik ke-73:

Kemewahan tak terbatas bukan milikmu, ibu debu yang muram dan sabar.
Engkau bekerja untuk mengisi mulut anak-anakmu, tetapi pangan sukar didapat.
Hadiah kegirangan yang kauberikan kepada kami tak kunjung sempurna.
………………………………………………………
Berabad-abad kau bekerja, dengan warna dan nyanyian, namun sorgamu tak juga terbina, hanya kesan sedihnya semata yang ada.
Atas ciptaan keindahanmu mengembang kabut airmata.
Ingin kutuangkan nyanyianku ke dalam hatimu kelu, dan kasihku ke dalam kasihmu.
Ingin kupuja kau dengan kerja.
Telah kulihat wajahmu lembut, dan aku cinta pada debumu pilu, Ibu Bumi

Ya, dengan kerja kita puja bumi ini.

Dan apa yang terdengar dalam Tukang Kebun ini akan menemukan pengucapannya yang lebih mantap dalam karya-karya Tagore di masa-masa kemudian, yang mengimplikasikan pandangannya, seperti diuraikan dalam Sadana, bahwa dengan bekerja kita tidak saja menolong bumi ini, tetapi juga membantu Tuhan, karena Tuhan memanifestasikan diri-Nya juga dalam kegiatan manusiawi mengasuh dunia ini.

Demikianlah apa yang masih sayup terdengar dalam Tukang Kebun ini akan makin nyaring terdengar dalam karya-karya Tagore yang kemudian sebagai suara yang memancarkan ide tentang perhubungan antara Tuhan sebagai Pencipta dengan ciptaan-Nya, ialah alam dan segala yang terkembang di sana.

Ide itu diuraikan Tagore dalam bukunya Sadana dan merupakan satu ide sentral yang memancar dalam seluruh karya Tagore.

Dalam Sadana Tuhan disebutnya sebagai Yang Baka (infinit) dan segala ciptaan-Nya disebutnya sebagai Yang Fana (finit).

Yang Baka itu memanifestasikan diri-Nya dalam Yang Fana, ialah dalam beragam bentuk kegirangan di mana-mana, dalam alam, dalam manusia dan segala kegiatan manusiawinya.

Demikianlah alam sebagai Yang Fana adalah manifestasi dari Yang Baka. Karena itu alam dalam karya-karya Tagore tidak saja dipakai sebagai lambang, yang lebih banyak berhubungan dengan segi teknik literer, tetapi juga, dan malahan terutama, alam itu adalah suatu kenyataan yang hidup (a living reality). Dalam Gitanjali, lirik ke-59 misalnya kita baca:

Ya, tahu aku, ini hanyalah kasih-Mu semata-mata, o kekasih hatiku! Cahaya emas yang menari di atas daun, awan yang tiada bertuju ini, yang berlayar di atas langit, angin yang menyisir lalu yang mengusap sejuk di keningku.
(terjemahan: Amal Hamzah)

Dan bermesra dengan alam, dengan dunia ini–dan bukan meninggalkannya seperti dilakukan para sannyasin–berarti juga bermesra dengan Yang Baka, merasakan kehadirannya dalam Yang fana, alam itu. Demikianlah dalam baris-baris selanjutnya dalam lirik ke-59 itu dapat kita baca:

Cahaya pagi meluapi mataku. Inilah berita-Mu kepada hatiku. Wajah-Mu tunduk ke bawah, mata-Mu memandang ke dalam mataku dan hatiku menyentuh kaki-Mu.
(terjemahan: Amal Hamzah)

Tetapi manifestasi dari Yang Baka itu baru mencapai kesempurnaannya yang penuh dalam jiwa manusia. Sebab di sana Kemauan Yang Baka bertemu dengan kemauan manusia. Di sana Yang Baka itu datang, tidak sebagai Raja, tetapi sebagai tamu. Ia akan menunggu di luar pintu dengan kesabaran yang tak berwatas. Ia tidak akan merusak pintu dengan kekerasan dan kekuasaan seorang raja. Ia tidak akan masuk bila tidak dipersilakan. Akan dibukakankah pintu untuk-Nya atau tidak, hal itu dikembalikan pada kemauan bebas dalam jiwa manusia. Bila jiwa manusia dengan kemauan bebasnya membukakan pintu untuk-Nya, maka akan terjadilah pertemuan itu, permesraan itu, dan Kemauan pun bertemu dengan kemauan, dalam kasih, dalam kebebasan. Maka puja yang mengalun dalam Gitanjali, lirik ke-22 adalah:

Mereka yang mengasihi aku di dunia ini mau menjaga keselamatanku dengan berbagai cara.
Tetapi tidak demikian dengan kasih-Mu yang lebih besar dari kasih mereka itu. Engkau membebaskan aku.
Mereka tak berani membiarkan aku sendiri, supaya sekejap pun aku jangan lupa kepadanya. Tetapi hari bersusun lalu dan Engkau tak jua tampak.
Meskipun tidak kuseru Engkau dalam doaku, walaupun tidak kusimpan Engkau dalam hatiku, tetapi kasih-Mu padaku senantiasa menunggu kasihku.
(terjemahan: Amal Hamzah)

Pertemuan antara Kasih dari Yang Baka dan kasih dalam jiwa manusia ini adalah suatu intensi. Tetapi tenggelam dalam intensi ini semata manusia akan kehilangan keseimbangannya. Ia hanya hendak menyatukan diri dengan Yang Baka dalam renungan-renungannya semata, mabuk dalam dunia internalnya sendiri. Sedang Yang Baka, yang memanifestasikan dirinya pula di dunia eksternal, ia lupakan. Maka intensi itu mesti diimbangi dengan ekstensi. Dan ekstensinya ialah: merealisasikan Yang Baka itu juga dalam perbuatan, dalam segala kegiatan manusiawi. Carilah juga Yang Baka itu di sana, sebab:

Di mana petani meluku tanah yang keras, di mana pembuat jalan memukul Batu, di situlah Dia.
Bersama orang-orang ini Ia berpanas dan berhujan dan pakaiannnya dilekati debu.
Tanggalkanlah pakaian sucimu dan turunlah ke tanah yang berdebu itu, seperti Dia.
(Gitanjali, terjemahan: Amal Hamzah)

Dalam kerja, dalam kegiatan manusiawi kita menyatukan diri dengan Yang Baka, membantu Dia dalam pekerjaan-Nya yang besar mengasuh dunia ini:

Carilah Dia dan tolonglah Dia dalam bekerja, dengan keringat di kening tuan.

Demikianlah baris penutup lirik itu.

Maka dapatlah disimpulkan, bahwa persatuan dengan Yang Baka itu dapat dicapai manusia dalam persentuhan mesranya dengan alam, dalam jiwanya sendiri dan dalam kegiatan manusiawinya di tengah kehidupan ini.

Apabila itulah semangat India Purba yang bergema dalam karya-karya Tagore, maka semangat itu telah mendapat interpretasi baru dan menjadi semangat baru, karena sikap menyambut-hidup telah menggantikan sikap menafikan-hidup yang lama itu. Dan apabila itulah mistisisme dalam karya-karya Tagore, maka itulah mistisisme yang tidak hanya berusaha mencapai persatuan dengan Yang Baka di dunia internal, dalam jiwa manusia semata, tetapi juga mencarinya ke luar, ke dunia eksternal, ke tengah
alam dan kegiatan manusia.

Demikianlah Yang Baka itu adalah kaki langit maha raya. Kaki langit yang tidak hanya berada dalam kesayupan jauh di muka kita, tetapi juga yang ada beserta kita, karena setiap langkah kita menuju kepadanya selalu bergetar dengan irama kehadirannya. Kita telah, sedang, dan akan menuju kepadanya, karena kita adalah saat-saat dalam maharaya-Nya yang tak terbatas; saat-saat dalam kepribadian Tuhan yang besar.

Itulah ide sentral yang memancar dalam seluruh karya Tagore. Itulah–sebagai jawab atas pertanyaan di alinea pertama pengantar ini–arti Tagore bagi kita. Dan itulah Tagore. Ia telah membukakan kaki langit itu bagi kita.

Semoga kita tidak terlalu kecil untuk itu.

***

Ditulis oleh Hartojo Andangdjaja


Esai ini dimuat sebagai Pengantar dalam Tukang Kebun karya Rabindranath Tagore.

Posted on

Kronologi F. Scott Fitzgerald [Biografi]

1896
Francis Scott Key Fitzgerald lahir di St. Paul, Minnesota, sebagai anak ketiga dari lima bersaudara dari pasangan Edward Fitzgerald dan Mary McQuillan.

1909
Ketika berumur 14 tahun, tulisan pertama Fitzgerald yang berjudul The Mystery of the Raymond Mortage dimuat di majalah sekolah.

1913
Masuk ke Princeton University. Fitzgerald berkenalan dengan orang-orang yang kelak menjadi sahabat dekat dan memberi pengaruh baginya, di antaranya penulis Edmund Wilson dan John Peale Bishop.

1915
Bertemu Ginevra King, cinta pertama sekaligus inspirasi bagi sejumlah karakter wanita dalam karya-karyanya. Tapi kedekatan mereka tak berlangsung lama.

1917
Meninggalkan kuliah, bergabung dengan tentara Amerika. Fitzgerald mulai menulis novel yang diberinya judul The Romantic Egoist.

1918
Fitzgerald dan Zelda Sayre bertemu di klub jazz, Alabama. Penerbit Scribner menolak The Romantic Egoist. Tapi, merasakan bakat besar penulis muda itu, Fitzgerald diminta merevisinya kembali.

1919
Bekerja sebagai juru iklan di New York. Fitzgerald melamar Zelda, tapi Zelda menolak lamaran itu karena Fitzgerald masih kesulitan keuangan. Dia berhenti bekerja sebagai juru iklan, pindah bersama orangtuanya di St. Paul. Dia menulis ulang The Romantic Egoist. Maxwell Perkins, editor utama Scribner, menyetujui naskah itu diterbitkan dengan judul This Side of Paradise.

1920
This Side of Paradise terbit sebagai novel pertama Fitzgerald. Dia menikah dengan Zelda di New York. Kumpulan cerpen pertamanya, Flappers and Philosopher terbit pada akhir tahun.

1921
Anak pertama dan satu-satunya lahir, dinamai Frances Scott “Scottie” Fitzgerald.

1922
The Beautiful and Damned terbit. Beberapa bulan kemudian Fitzgerald menerbitkan kumpulan cerpen keduanya, Tales of the Jazz Age, yang memuat The Curious Case of Benjamin Button dan The Diamond as Big as the Ritz. Dia mengontrak rumah di Long Island dan tinggal di sana selama dua tahun.

1923
Drama The Vegetable terbit.

1924
Fitzgerald dan keluarganya pindah ke Prancis. Mereka tinggal di sana selama tujuh tahun.

1925
Menerbitkan The Great Gatsby, novel yang dianggap sebagai pencapaian terbesar Fitzgerald.

1930
Zelda menderita gangguan mental, menghabiskan waktu hampir setahun dirawat di rumah sakit. Pengalaman ini dituangkan Fitzgerald ke dalam cerpen One Trip Abroad.

1931
Fitzgeral dan keluarganya kembali ke Amerika.

1934
Novel Tender is the Night terbit.

1937
MGM menawari Fitzgerald kontrak enam bulan untuk bekerja sebagai penulis skenario.

1939
Mulai menulis novel terakhirnya, The Last Tycoon.

1940
Fitzgerald ditemukan meninggal akibat serangan jantung di apartemennya. Dia dimakamkan di Maryland, tempat ayahnya lahir.

1948
Zelda meninggal di Asheville.

***

Ditulis oleh Noor Cholis

Posted on

Kronologi Mark Twain [Biografi]

1835
Samuel Langhorne Clemens dilahirkan di Florida, Missouri, anak keenam dari pasangan John Marshall dan Jane Lampton Clemens.

1839
Keluarga Clemens pindah ke Hannibal, Missouri, sebuah kota di tepian Sungai Mississippi, yang kelak menjadi model bagi kota fiksional St. Petersburg dalam The Adventures of Tom Sawyer dan The Adventures of Huckleberry Finn.

1847
Sang ayah, John Clemens, meninggal dunia, menyebabkan keluarga Clemens mengalami kesulitan keuangan.

1851
Samuel muda meninggalkan bangku sekolah untuk bekerja di Hannibal Journal. Tulisan pertamanya diterbitkan di koran tersebut.

1857
Mulai belajar menyelami seluk beluk dunia pelayaran sungai, dengan tujuan untuk menjadi nahkoda kapal. Selama dua tahun ‘mempelajari’ sungai Mississippi membuatnya akrab dengan istilah-istilah pelayaran, salah satunya adalah mark twain, sebuah kode yang menandakan kedalaman yang aman untuk dilalui kapal. Pengalaman ini kelak dituangkan dalam karya Life on the Mississippi.

1858
Adiknya, Henry, meninggal dalam kecelakaan kapal di Pennsylvania. Peristiwa ini terus menghantui Samuel sepanjang hidupnya.

1861
Perang Saudara Amerika meletus, menghentikan seluruh aktifitas pelayaran sungai. Samuel bergabung dengan milisi Konfederasi selama dua minggu. Pengalamannya dalam perang ini tertuang dalam The Private History of a Campaign that Failed.

1862
Pindah ke Nevada bersama kakaknya, Orion, yang ditunjuk sebagai sekretaris gubernur Teritori Nevada. Sempat mengadu nasib menjadi penambang, dan gagal, kemudian bekerja sebagai wartawan koran di Virginia City. Pertama kali menggunakan nama pena ‘Mark Twain’. Sejumlah petualangannya selama berada daerah Barat kelak diceritakan dalam buku Roughing It.

1864
Bepergian ke California bagian utara, singgah di Calaveras County sebelum menetap di San Francisco.

1865
Cerita pendeknya yang berjudul Jim Smiley and His Jumping Frog (kelak diberi judul The Celebrated Jumping Frog of Calaveras County) dimuat di Saturday Press tanggal 18 November. Cerita ini disukai orang-orang dan mengangkat nama Mark Twain sebagai seorang penulis.

1866
Bepergian ke Hawai sebagai koresponden bagi koran California. Memberikan ceramah publik pertama.

1867
Kumpulan cerpen pertamanya terbit, The Celebrated Jumping Frog of Calaveras County and Other Sketches. Berkenalan dengan Olivia Langdon yang kelak menjadi istrinya.

1869
Buku pertamanya, catatan perjalanan berjudul The Innocents Abroad, terbit dan menjadi penjualan terlaris.

1870
Menikah dengan Olivia Langdon. Mereka tinggal di New York.

1871
Bekerja sebagai editor dan penulis di koran pagi Buffalo Express.

1872
Pindah ke Hartford, Connecticut. Menerbitkan Roughing It.

1875
Menerbitkan kumpulan cerita, Sketches New and Old.

1876
Menerbitkan The Adventures of Tom Sawyer.

1880
Menerbitkan A Tramp Abroad.

1881
Menerbitkan novel The Prince and the Pauper.

1884
Mendirikan penerbitan sendiri yang diberinya nama Charles L. Webster and Company. Namun keputusan ini kelak berdampak buruk bagi kondisi keuangannya.

1885
The Adventures of Huckleberry Finn terbit sebagai buku pertama yang diterbitkan Charles L. Webster and Company.

1889
Menerbitkan novel Connecticut Yankee in King Arthur’s Court.

1890
Menerbitkan The Man That Corrupted Hadleyburg and Other Stories and Sketches.

1891
Setelah sejumlah kegagalan dalam usaha, Mark Twain memindahkan keluarganya ke Eropa untuk biaya hidup yang lebih murah.

1895
Menyelenggarakan dua tur keliling dunia untuk membayar hutang-hutangnya.

1897
Menerbitkan esai autobiografi How to Tell a Story and Other Essays.

1904
Wafatnya sang istri, Olivia Langdon. Mark Twain pindah ke New York City dan mulai menulis otobiografi.

1908
Pindah ke sebuah rumah di Connecticut yang dia beri nama Stormfield.

1909
Sebuah cerpen panjang berjudul Captain Stormfield’s Visit to Heaven menjadi cerpen terakhir yang dipublikasikan semasa Mark Twain masih hidup.

1910
Mark Twain meninggal pada usia 74 di Reading, Connecticut.

(Foto oleh Mathew Brady, February 1871)

***

Ditulis oleh Afris Irwan

Posted on

Mark Twain, Bapak Sastra Amerika Modern [Esai]

Siapa saja yang mengenal Mark Twain pasti sudah tidak asing dengan sepasang novelnya yang fenomenal: Petualangan Tom Sawyer (1876) dan Petualangan Huckleberry Finn (1884). Lahir beberapa hari sebelum komet Halley terlihat di bumi tahun 1835, Mark Twain meninggal pada tahun yang sama ketika komet tersebut muncul kembali tahun 1910. Dan seperti komet Halley yang terlihat di bumi sekali 75 tahun, 75 tahun setelahnya lagi, bahkan sampai kini belum ada penulis yang mampu menyaingi predikat Mark Twain sebagai ‘orang paling jenaka yang pernah dihasilkan Amerika’, seperti yang diungkapkan William Faulkner. Predikat ini juga mewakili kemampuannya membius pengunjung di gedung pertunjukan sebagai pelawak tunggal. Tengok saja sekarang nama Mark Twain diabadikan tiap tahun sebagai penghargaan untuk komedian paling berpengaruh di Amerika.

Mark Twain adalah penulis yang sarat pengalaman. Dia pernah mengenyam sederet pekerjaan demi mencapai kemapanan ekonomi (perlu diketahui Mark Twain kehilangan ayahnya waktu dia masih berumur 12 tahun). Sebagai juru cetak, nahkoda kapal, penambang emas, pelawak tunggal, pernah dijalaninya, sampai memasuki dunia jurnalis tahun 1863. Tiga tahun setelah menjadi jurnalis, dia menerbitkan karya pertamanya, kumpulan cerpen The Celebrated Jumping Frog of Calaveras County and Other Sketches (1867). Beberapa tahun kemudian disusul kumpulan cerpen Mark Twain’s Autobiography and First Romance (1871), Sketches New and Old (1875).

Untuk urusan menulis cerpen, Mark Twain boleh dibilang sangat produktif. Sepanjang hidupnya, dia telah menulis seratus cerpen lebih. Sayang, dari sekian banyak cerpen-cerpennya itu masih sedikit yang diterjemahkan ke bahasa Indonesia, alih-alih Petualangan Tom Sawyer dan Petualangan Huckleberry Finn sudah berulang kali diterjemahkan dengan edisi yang berbeda-beda. Mengingat Mark Twain tak pernah mengkurasi cerpen-cerpen terbaiknya untuk dirangkum ke dalam satu buku, mungkin ini menjadi salah satu alasan mengapa cerpennya kurang dilirik ketimbang esai atau catatan penjalanannya.

***

Buku ini memuat sembilan cerpen pilihan, termasuk antaranya cerpen-cerpen yang belum pernah dipublikasikan sampai Mark Twain meninggal. Dimulai dari kisah Katak Terkenal dari Calaveras (1867), tentang seorang lelaki bernama Smiley yang selalu dinaungi keberuntungan tiap kali mengadakan taruhan dengan orang lain, bahkan untuk hal konyol semisal pacuan katak. Ini adalah bentuk komedi absurd ala Mark Twain, sebab tujuan dari taruhan bukan lagi demi memperoleh hadiah kemenangan, melainkan gengsi dan perasaan tak mau mengalah. Kita dapat mencermati ini dalam penggalan paragraf berikut:

Suatu kali bininya Parson Walker sakit lumayan lama, dan terlihat seolah mereka nggak bakalan mampu nyelamatin dia; tapi suatu pagi Parson Walker datang dan Smiley menyambut untuk nanyain keadaannya, dan Parson bi-lang kondisinya membaik—berkat Tuhan Yang Maha Pengasih—dan berkata sangat bijak kalau dengan rahmat Tuhan dia akan sembuh; dan tanpa mikir Smiley ngomong, ‘Yah, meski begitu aku akan bertaroh dua setengah dolar binimu nggak bakalan sembuh.

Dalam Si Perusak Hadleyburg (1899) kita akan mendapati betapa reputasi kejujuran sebuah kota hancur gara-gara penduduknya tergiur memperebutkan harta dari seorang lelaki misterius, ditenggarai motif balas dendam. Tema kisah ini agak mirip dengan Hilangnya Gajah Putih (1882), sama-sama tentang ‘pencarian’, tapi yang terkena dampak psikologis dalam Hilangnya Gajah Putih mencakup satu individu saja, yakni seorang utusan kerajaan yang gagal mengemban amanah.

Lalu ada dua kisah yang dibumbui unsur fantasi: Cerita Seram (1888) merujuk pada hoax patung Raksasa Cardiff yang menggemparkan Amerika pada abad 20; sementara tokoh utama dalam Kekasih Alam Mimpi (1898) menciptakan dunia imaji sendiri, seolah kita dituntun membaca sebuah cerita di dalam cerita. Adapun kisah penutup, Doa Perang (1905) adalah prosa bergaya puisi tentang seorang lelaki asing yang membuat pernyataan mengejutkan di hadapan khalayak ramai mengenai kondisi perang yang sesungguhnya. Ujung-ujungnya lelaki asing ini disinyalir sebagai orang gila, sebab apa yang selama ini dibayangkan masyarakat mengenai perang tidaklah semengerikan yang disampaikan si lelaki asing. Ini bukanlah gambaran naif dari pengarang yang cuma mengandalkan khayalan belaka. Mark Twain pernah terjun dalam perang saudara sebagai tentara Konfederasi tahun 1861, walau cuma selama dua minggu.

***

Penulis-penulis Amerika seperti Ernest Hemingway dan William Faulkner secara terang-terangan memuji Mark Twain sebagai Bapak Sastra Amerika Modern. Nilai lebih dari karya-karya Mark Twain bukan semata-mata kemampuannya dalam membangun konsep cerita, melainkan bagaimana dia menyuntikkan budaya lokal Amerika ke dalam tulisannya. Misalnya penggunaan dialek lokal kaum budak kulit hitam. Bahkan dalam cerpennya berjudul Sebuah Kisah Nyata, Diceritakan Ulang Kata demi Kata Persis Seperti yang Kudengar (1876), Mark Twain menggunakan logat bicara budak kulit hitam.

***

Dalam karya-karya Mark Twain, kita tentu sering kali mendapati keberagaman bahasa, baik dialek lokal, kata slang, maupun bahasa santai yang dipakai dalam percakapan sehari-hari. Terkait ini, penerjemah dengan sengaja berusaha untuk mengadaptasinya ke ragam bahasa Indonesia yang lebih sesuai. Hasil kreasi penerjemah dapat dinikmati seperti pada penggalan paragraf dalam Katak Terkenal dari Calaveras berikut.

Mungkin kau ngerti tentang katak, mungkin juga nggak; mungkin kau sudah pengalaman, mungkin juga hanya seorang amatiran, bisa dibilang gitu. Toh, aku punya pendapat sendiri, dan aku pengen tarohan empat puluh dolar ia bisa ngalahin lompatan katak mana pun di Calaveras County.

Beberapa kisah, seperti Kanibalisme di Gerbong Kereta (1868) dan Vonis Gila (1870), justru bertebaran dengan istilah formal, karena dua kisah ini merujuk pada prosedur lembaga pemerintahan.

***

Sepilihan kisah dalam buku ini kami hadirkan tidak sebatas untuk memperkenalkan Mark Twain sebagai penulis cerpen yang piawai. Kecenderungan penerjemah untuk mengadaptasi gaya kepenulisan Mark Twain ke ragam bahasa Indonesia yang lebih sesuai, tanpa bermaksud menciderai, mengurangi atau menambahi apa yang ada dalam cerita-ceritanya, kiranya dapat dinikmati jika kita ingin mengenal Mark Twain secara mendalam. Semoga buku ini meninggalkan kesan baik bagi pembaca.

(Ilustrasi oleh Jody Hewgill)

***

Ditulis oleh Gita Karisma


Esai ini dimuat sebagai Pengantar dalam Katak Terkenal dari Calaveras karya Mark Twain.

Posted on

Pernikahan Ny. Rubah [Cerpen]

Pada zaman dulu hiduplah seekor rubah tua berekor sembilan yang mencurigai bahwa istrinya berselingkuh, dan ia ingin membuktikan hal itu. Maka ia pun membaringkan tubuhnya di bawah bangku, tidak bergerak sedikit pun, dan berlaku seolah ia sudah mati. Ny. Rubah masuk ke kamar di lantai atas, mengurung diri, sementara pelayannya, Nona Kucing, duduk memasak di samping tungku.

Setelah tersiar kabar bahwa si tua Tn. Rubah telah meninggal, para penggemar Ny. Rubah pun berdatangan. Si pelayan mendengar ada ketukan di pintu depan. Ia membukanya, dan mendapati bahwa itu adalah seekor rubah muda yang kemudian bertanya:

“Apa kabarmu, Nona Kucing?
Apakah kau tidur atau terbangun?”

Si pelayan menjawab:

“Aku tak sedang tidur, aku terjaga,
Tahukah Anda kumasak apa?
Membikin bir dan mentega,
Singgah bersantap maukah Anda?”

“Tidak, terima kasih, Nona,” sahut si rubah muda, “sedang apa Ny. Rubah?” Si pelayan menjawab:

“Di kamarnya ia berada,
Meratap dalam nestapa
Menangis merah dua matanya
Karena Pak Rubah telah tiada.”

“Oh, katakan padanya, Nona, ada rubah muda ingin bersua, ingin bercengkerama dengannya.”

“Tentu saja, Tuan muda.”

Si kucing naik ke tangga, trip, trap. Di pintu ia mengetuk tok, tok.

“Nyonya Rubah, di dalamkah Anda?”

“Oh ya, kucing manis,” teriak dia.

“Ada penggemarmu di pintu muka.”

“Penampilannya bagaimana? Punyakah dia sembilan ekor, mirip mendiang suamiku?”

“Oh, tidak,” sahut si kucing. “Cuma ada satu ekornya.”

“Kalau begitu kutolak dia.”

Nona Kucing turun tangga, mengusir si penggemar pergi. Segera setelah itu ada ketukan lain, seekor rubah kedua hendak merayu. Dia punya dua batang ekor, tapi nasibnya tak lebih baik dari tamu pertama. Setelah itu masih ada lagi tamu-tamu lain, masing-masing dengan jumlah ekor lebih banyak dari tamu sebelumnya. Tapi mereka semua terusir, sampai akhirnya datanglah rubah berekor sembilan, mirip Tuan Rubah.

Mendengar itu, Ny. Rubah girang, berkata pada si
kucing:

“Buka pintunya yang lebar
Dan buanglah Pak Rubah ke luar.”

Tapi baru saja perkawinan hendak dirayakan, si tua Tuan Rubah bergerak di bawah bangku, menyerang semua tamu, lalu mengusir mereka dan Ny. Rubah keluar rumah.


Cerpen ini dimuat dalam Kumpulan Dongeng karya Grimm Bersaudara.

Posted on

Grimm Bersaudara dan Kisah-Kisahnya yang Mendunia [Esai]

Dua puluh lima cerita yang terkumpul dalam buku ini adalah dongeng-dongeng terbaik dari Jacob dan Wilhelm Grimm atau biasa dikenal sebagai Grimm Bersaudara. Mereka adalah dua bersaudara dari Jerman yang hidup dan berkarya di awal abad 19. Dongeng-dongeng mereka sangatlah digemari, terkenal di seluruh dunia, dan terus dibaca oleh anak-anak maupun orang dewasa hingga sekarang.

Namun sebenarnya, yang sangat jarang diketahui adalah bahwa Grimm Bersaudara bukanlah pengarang dongeng-dongeng tersebut. Dongeng-dongeng tersebut sudah ada jauh sebelum mereka berdua lahir, karena merupakan bagian dari khazanah cerita rakyat atau sastra lisan bangsa Eropa. Jacob dan Wilhelm Grimm hanyalah menuliskan cerita-cerita lisan tersebut, mengumpulkannya, kemudian menerbitkannya dalam bentuk buku.

Beberapa dongeng dalam kumpulan ini mempunyai popularitas luar biasa di seluruh dunia, seperti misalnya dongeng Puteri Salju, Cinderella, Si Kecil Bertopi Merah, Hansel dan Gretel, dan Rapunzel. Dongeng-dongeng itu membekaskan kesan yang kuat bagi pembaca berusia kanak-kanak, dan kesan itu mereka pertahankan hingga dewasa. Mungkin setelah membaca buku ini Anda merasa heran mengapa Cinderella bukannya mengenakan sepatu kaca melainkan sepatu emas. Atau mungkin Anda bingung kenapa Si Kecil Topi Merah dan neneknya tidak mati setelah ditelan si Serigala hidup-hidup. Atau mengapa kisah Puteri Mawar berhenti sampai di pernikahan puteri itu dengan sang pangeran saja. Dalam ingatan Anda mungkin jalan ceritanya adalah lain. Belum lagi kalau Anda membaca kisah Si Jempol. Bukankah si Jempol mempunyai enam orang kakak? Kenapa bisa berbeda begini ceritanya?

Pembaca sama sekali tidak perlu khawatir dan sama sekali tidak ada yang salah dalam hal ini, karena dengan demikian dongeng-dongeng yang Anda maksud adalah dongeng yang sama versi Charles Perrault, penulis Prancis abad 17 itu.

Perbedaan alur dongeng-dongeng yang dikumpulkan oleh Grimm Bersaudara dan Charles Perrault memang cukup signifikan. Maka kemudian beberapa pengamat membanding-bandingkan kualitas mereka dan mengambil berbagai kesimpulan. Tapi bagi saya kesimpulan itu kadang kala reduktif dan ceroboh. Adegan kekerasan, kanibalisme, dan supernatural adalah hal yang umum didapati dalam cerita rakyat di Eropa, dan baik Grimm Bersaudara maupun Perrault memunculkan unsur itu. Secara umum fantasi dongeng versi Grimm Bersaudara juga tak kalah memukau dibanding dongeng versi Perrault.

Namun dengan asumsi bahwa Anda lebih akrab dengan versi Perrault, adalah wajar jika Anda menyimpulkan betapa dongeng Hansel dan Gretel dan dongeng Si Jempol adalah yang paling membingungkan di antara seluruh koleksi. Alur cerita Hansel dan Gretel (sedikit) mirip dengan alur cerita Si Jempol versi Perrault, sedangkan kisah berjudul Hansel dan Gretel tidak ada dalam khazanah cerita Perrault. Dengan demikian, kisah Si Jempol versi Grimm berbeda jauh dengan kisah Si Jempol versi Perrault.

Lalu bagaimana dengan pengalaman saya? Mungkin mirip dengan pengalaman pembaca. Baru belakangan saya sadari bahwa kisah si Jempol yang saya kenal sejak masa kecil ternyata adalah kisah versi Charles Perrault.

***

Mengenai pengaruh yang ditimbulkan oleh dongeng-dongeng Grimm Bersaudara terhadap para pengarang sesudahnya, setidaknya saya mendapati bahwa Oscar Wilde adalah salah satu di antara mereka yang terpengaruh secara langsung sekaligus bereaksi dengan menawarkan cara pandang tersendiri. Wilde menulis dua kumpulan dongeng orisinal, Pangeran Bahagia dan Rumah Delima—keduanya telah diterbitkan pula dalam satu buku oleh Kakatua. Kisah Teman Setia adalah contoh yang mencolok, menunjukkan reaksi Wilde atas kisah Hans yang Mujur. Manusia cebol yang banyak bertebaran dalam kisah Grimm Bersaudara dan mempunyai kemampuan istimewa bisa didapati pula dalam Ulang Tahun Sang Infanta. Motif kemunculan seekor binatang yang dengan tulus membantu manusia dalam kisah Burung Emas dan Cinderella bisa pula didapati dalam tiga kisah Wilde Pangeran Bahagia, Burung Bulbul dan Mawar, dan Anak Bintang. Hanya saja jika dalam dongeng Grimm tokoh yang sering berwatak lalim atau tidak terpuji adalah seorang raja (Tiga Helai Rambut Emas si Raksasa) dan ibu tiri (Cinderella) maka dalam dongeng Wilde sosok itu diwakili oleh pemuka agama (Si Nelayan Muda dan Jiwanya).

***

Sebenarnya saya bermaksud menyertakan lebih banyak dongeng yang mengandung unsur kecerdikan atau humor dalam buku ini, namun sayangnya dongeng semacam itu sangatlah sedikit di antara seluruh khazanah dongeng Grimm Bersaudara. Meski begitu saya cukup bangga bisa menampilkan di sini kisah Hans yang Mujur, Penjahit Kecil yang Pemberani, Pernikahan Ny. Rubah, Tiga Perawan Tua, dan Tiga Anak yang Beruntung. Unsur humor ada pula dalam kisah Tiga Helai Rambut Emas Si Raksasa, meski sangat halus dan hampir tak terasa. Tema cerita dalam buku ini juga cukup variatif sehingga pembaca akan selalu merasakan kesegaran membaca setiap cerita dan merasa nyaman untuk membacanya hingga selesai. Mereka adalah kisah-kisah yang mendunia dan abadi.

***

Ditulis oleh Nurul Hanafi


Esai ini dimuat sebagai Kata Pengantar dalam Kumpulan Dongeng karya Grimm Bersaudara.

Posted on

Pangeran Kodok [Cerpen]

Di suatu sore yang cerah, seorang puteri merias diri, mengenakan topi dan selopnya, lalu berjalan seorang diri menuju hutan. Ketika sampai di sebuah perigi yang sejuk airnya, ia duduk untuk beristirahat sejenak. Di tangannya ia membawa sebuah bola emas, mainan kesayangannya, dan ia selalu melambung-lambungkan bola itu ke udara, bermain lempar tangkap seorang diri.

Suatu saat, bola itu ia lambungkan tinggi sekali sehingga ia gagal menangkapnya kembali. Bola itu jatuh, terpental, lalu menggelinding dan akhirnya tercebur ke tengah perigi. Sang puteri menatap perigi itu, mendapati bahwa airnya begitu dalam sehingga ia bahkan tak bisa melihat dasarnya. Lalu ia menangis, meratapi kehilangannya, dan berkata, “Aduh! Andai saja aku bisa mengambil bola itu kembali, akan kuberikan semua pakaian dan perhiasan yang kumiliki, dan segala milikku di dunia ini.”

Selagi bicara seperti itu, seekor kodok menongolkan kepalanya dari dalam air dan berkata, “Puteri, kenapa kamu menangis keras sekali?”

“Aduh!” keluhnya, “apa yang bisa kau perbuat untukku, kodok jelek? Bola emasku kecebur perigi.”

Si kodok berkata, “Aku tidak butuh mutiara, atau perhiasan, atau pakaian bagusmu. Tapi kalau kamu mau mencintaiku dan membiarkanku hidup bersamamu dan makan pakai piring emasmu dan tidur di peraduanmu, akan kuambilkan bola itu untukmu.”

“Sungguh tak masuk akal,” pikir sang puteri, “kodok ini bisa bicara! Ia bahkan takkan pernah bisa meloncat ke luar perigi untuk mengunjungiku, meski ia mungkin bisa mengambilkan bola itu untukku. Jadi lebih baik kusanggupi saja permintaannya.”

Lalu sang puteri berkata pada si kodok: “Ya. Kalau kau berhasil mengambilkan bola itu untukku, akan kukabulkan permintaanmu.”

Si kodok menenggelamkan kepalanya kembali, menyelam dalam air, dan setelah beberapa saat ia pun muncul kembali dengan membawa bola itu di mulutnya, dan melemparkan bola itu ke tepi perigi. Sang puteri segera memungut bola itu dan menjadi luar biasa senang karena mendapatkan bola itu kembali. Sama sekali tak menggubris si kodok, sang puteri segera berlari pulang secepat mungkin. Si kodok memangil-manggilnya: “Kembali, sang puteri. Bawalah aku bersamamu seperti janjimu!” Tapi sang puteri sama sekali tidak berhenti.

Keesokan harinya ketika sang puteri duduk menghadap makan malam, ia mendengar suara aneh di luar pintu. Tap . . . tap, plas . . . plas. Seolah ada orang menaiki tangga marmar. Segera setelah itu ia dengar suara pelan ketukan di pintu, dan sebuah suara memanggilnya lirih:

“Sang puteri terkasih, bukalah pintu
Di sini aku kekasih hatimu!
Ingatlah kata yang kita ucapkan
Di tepi perigi teduhnya hutan.”

Lalu sang puteri lari menuju pintu dan membukanya, dan terlihatlah olehnya si kodok yang keberadaannya sudah sama sekali ia lupakan. Melihat ini sang puteri sedih sekaligus ketakutan, lalu menutup pintu secepat mungkin dan kembali ke kursinya. Sang raja, ayahnya, melihat ada sesuatu yang membuatnya ketakutan, dan bertanya ada masalah apa.

“Ada kodok jelek di luar sana,” kata sang puteri. “Di depan pintu. Ia pernah mengambilkan bola untukku, dan kubilang dia boleh tinggal di sini bersamaku, karena kupikir dia tak akan pernah bisa keluar dari perigi itu. Ternyata dia sudah ada di situ dan pengen masuk.”

Selagi bicara seperti ini, si kodok mengetuk pintu kembali dan berkata:

“Sang puteri terkasih, bukalah pintu
Di sini aku kekasih hatimu!
Ingatlah kata yang kita ucapkan
Di tepi perigi teduhnya hutan.”

Maka sang raja berkata pada anaknya ini: “Karena kau sudah berjanji, kau harus menepatinya. Jadi biarkan kodok itu masuk.”

Akhirnya sang puteri membuka pintu, membiarkan si kodok masuk, lalu tap . . . tap, plas . . . plas, si kodok langsung meloncat-loncat ke tengah ruang, terus meloncat hingga akhirnya sampai ke kaki meja tempat sang puteri duduk.

“Tolong angkat aku ke atas kursi, dan biarkan aku duduk di sampingmu,” kata si kodok pada sang puteri. Dengan menahan rasa jijik, sang puteri mengangkat tubuh kodok itu. Segera setelah itu si kodok bilang: “Dekatkan piringmu kepadaku sehingga aku bisa ikut makan.” Sang puteri pun menuruti permintaan ini, sehingga si kodok bersantap sebanyak yang ia suka, sedangkan sang puteri hanya diam saja karena tidak mungkin ia makan sepiring berdua dengan seekor kodok.

Setelah makan cukup banyak, si kodok berkata: “Aku sekarang lelah. Bawalah aku ke kamarmu dan taruhlah aku di atas ranjangmu.”

Kembali sang puteri menuruti permintaannya meski sangat enggan. Ia angkat tubuh si kodok dan menaruhnya di atas bantal ranjangnya sendiri, dan si kodok pun tidur sepanjang malam.

Segera setelah hari berganti pagi, si kodok bangun, meloncat-loncat turun ke lantai bawah, lalu keluar rumah.

“Nah, akhirnya pergi juga dia!” kata sang puteri dengan lega. “Aku tak akan lagi dibuat repot olehnya.”
Tapi ia salah, karena malam harinya sang puteri kembali mendengar suara ketukan yang sama di muka pintu, dan ternyata itu adalah si kodok. Ia datang kembali dan berkata:

“Sang puteri terkasih, bukalah pintu
Di sini aku kekasih hatimu!
Ingatlah kata yang kita ucapkan
Di tepi perigi teduhnya hutan.”

Ketika sang puteri membuka pintu, si kodok kembali masuk, dan tidur di atas bantal sang puteri seperti kemarin sampai pagi datang.

Di malam ketiga si kodok datang kembali dan melakukan hal yang sama. Tapi ketika sang puteri terbangun keesokan harinya, ia tercengang. Ia tidak lagi melihat keberadaan si kodok, dan yang ada kini adalah seorang pangeran tampan, berdiri menatapnya di samping ranjang dengan sepasang mata berbinar indah.

Sang pangeran mengatakan bahwa ia telah disihir oleh peri jahat sehingga dirinya berubah menjadi seekor kodok, dan ia ditakdirkan untuk tetap tinggal di perigi itu sampai seorang puteri datang membebaskannya dari perigi itu dan membiarkan dia makan sepiring dengannya dan tidur di atas ranjangnya selama tiga malam.

“Kau telah mematahkan sihir jahatnya, dan kini aku tidak punya keinginan lain kecuali mengajakmu ke istana ayahku, dan di sana kita akan menikah, dan aku akan mencintaimu sampai mati.”

Sang puteri, tentu saja, tidak perlu menunggu lama untuk bilang ‘ya’; dan selagi mereka bicara sebuah kereta datang dengan ditarik delapan ekor kuda gagah. Berhiaskan helai-helai bulu angsa dan tali kekang bersepuh emas, kereta itu dikendalikan oleh pengiring setia sang pangeran, Heinrich, yang selalu menangis pedih selama junjungannya itu berada dalam kutukan sihir.

Mereka berpamitan kepada sang raja, naik ke atas kereta kencana, dan dengan penuh kegembiraan mereka menuju istana sang pangeran, tempat mereka hidup bahagia bertahun-tahun lamanya.


Cerpen ini dimuat dalam Kumpulan Dongeng karya Grimm Bersaudara.

Posted on

Burung Bulbul dan Mawar [Cerpen]

burung bulbul dan mawar

“Dia bilang, dia mau berdansa denganku asalkan aku membawakan untuknya kuntum-kuntum mawar merah,” keluh si pelajar muda; “tapi di seluruh tamanku tak ada mawar merah.”

Dari sarangnya di pohon ek burung Bulbul mendengarnya, dan ia menatap pemuda itu melalui celah dedaunan, dan terheran-heran.

“Tak ada bunga mawar merah di tamanku!” keluhnya, dan matanya yang indah berkaca-kaca. “Ah, betapa kebahagiaan tergantung oleh hal-hal kecil! Aku telah membaca semua kata yang dituliskan oleh para arif cendekia, dan semua saripati falsafah telah kuhisap, namun karena menginginkan setangkai mawar hidupku jadi memar.”

“Akhirnya! Inilah dia, seorang pecinta sejati,” kata si burung Bulbul. “Malam demi malam aku telah bernyanyi untuknya, meski aku tak mengenal dia: malam demi malam telah kusampaikan kisahnya pada bintang-bintang, dan kini aku melihat dia. Rambutnya gelap seperti kuntum sedap malam, dan bibirnya semerah mawar hasratnya; tapi asmara membikin wajahnya sepucat gading, dan kesedihan menerakan stempel di atas alisnya.”

“Sang Pangeran akan menggelar pesta dansa besok malam,” bisik si Pelajar Muda, “dan kekasih hatiku akan ada di sana. Jika aku bawakan untuknya bunga mawar merah, ia akan berdansa bersamaku hingga fajar. Jika kubawakan untuknya mawar merah, aku boleh mendekap tubuhnya, dan akan ia rebahkan kepalanya di pundakku, dan tanganku akan berjalinan dengan tangannya. Tapi di kebunku tak ada bunga mawar merah, jadi aku hanya akan duduk kesepian, sementara kekasih hatiku berlalu begitu saja. Tak akan ia pedulikan diriku, dan hatiku akan remuk.”

“Inilah dia pecinta sejati,” kata si burung Bulbul. “Apa yang bagiku bahan nyanyian, baginya bahan nestapa; apa yang bagiku sumber keriangan, baginya sumber kepedihan. Sungguh Cinta itu hal luar biasa. Ia lebih mulia dari batu zamrud dan lebih mahal dari batu indah baiduri. Mutiara dan buah delima tak bisa ditukar untuk membelinya, bahkan tak ada pula pasar yang memajangnya. Para saudagar tak bisa membelinya, dan tak bisa pula ia diperbandingkan dengan emas.”

“Para musisi akan duduk di balkon mereka,” kata si Pelajar Muda, “memainkan instrumen berdawai, dan kekasih hatiku akan menari diiringi harpa dan violin. Ia akan berdansa dengan lincahnya seolah kakinya tak menginjak lantai, dan para dayang bergaun meriah akan berputar-putar di sekitarnya. Tapi ia tak akan berdansa bersamaku, karena tak ada padaku mawar merah untuknya;” dan ia hempaskan tubuhnya di rerumputan, membenamkan wajah di kedua tangan, dan menangis.

“Kenapa dia menangis?” tanya seekor Kadal Hijau mungil ketika ia lewat di samping pemuda itu dengan ekor terangkat.

“Iya, kenapa sih?” tanya seekor Kupu-kupu yang tengah mengepak-ngepak mengejar cahaya mentari.

“Iya, kenapa sih?” bisik sekuntum bunga Daisy pada tetangganya, dengan suara lembut dan rendah.

“Ia menangis, menginginkan mawar merah,” kata si Bulbul.

“Mawar merah?” pekik mereka; “alangkah konyol!” dan si Kadal mungil yang bertabiat agak sinis langsung tertawa.

Tapi si burung Bulbul paham rahasia kedukaan si Pelajar, dan ia duduk diam di ranting pohon ek sambil memikirkan misteri Cinta.

Tiba-tiba ia membentangkan kedua sayap coklatnya, bersiap terbang, lalu melayang di udara. Bagai sebuah bayangan, ia lintasi hutan kecil itu dalam sekejap, dan bagai bayangan pula ia menyeberangi taman.

Di tengah bentangan rumput berdirilah sebatang pohon Mawar, dan ketika si Bulbul melihatnya ia langsung menukik dan menemukan setangkai yang mencuat di angkasa.

“Berikan padaku sekuntum mawar merah,” pekiknya, “dan akan kudendangkan untukmu nyanyian termanis dariku.”

Tapi si Pohon menggelengkan kepalanya.

“Mawarku putih,” sahutnya, “seputih buih di lautan, dan lebih putih dari salju di puncak gunung. Tapi pergilah kau ke tempat saudaraku yang tumbuh di samping Jam Surya, dan mungkin ia akan memberi apa yang kau pinta.”

Maka si Bulbul pun terbang ke arah Pohon Mawar yang tumbuh di dekat Jam Surya.

“Beri aku sekuntum mawar merah,” pekiknya, “dan akan kudendangkan untukmu nyanyian termanis dariku.”

Tapi si Pohon menggelengkan kepalanya.

“Mawarku berwarna kuning,” sahutnya; “sekuning rambut puteri duyung yang duduk di atas batu ambar, dan lebih kuning dari bunga dafodil yang bermekaran di lembah sebelum dipangkas mata sabit. Tapi pergilah kau ke tempat saudaraku yang tumbuh dekat jendela si Pelajar, dan mungkin ia akan memberimu apa yang kau inginkan.”

Maka si burung Bulbul pun terbang ke arah Pohon Mawar yang tumbuh dekat jendela si Pelajar.

“Beri aku bunga mawar merah,” pekiknya, “dan akan kudendangkan untukmu nyanyian termanis dariku.”

Tapi si Pohon menggelengkan kepala.

“Mawarku berwarna merah,” sahutnya, “semerah kaki merpati, dan lebih merah dari terumbu karang yang melambai-lambai di goa dasar laut. Tapi musim dingin telah membekukan urat-uratku, dan embun beku membungkam kuncupku, dan badai mematahkan ranting-rantingku, sehingga tahun ini aku sama sekali tak punya bunga.”

“Aku hanya ingin satu kuntum mawar merah,” pekik si Bulbul, “hanya satu kuntum! Tidak adakah cara bagiku untuk mendapatkannya?”

“Ada,” sahut Pohon Mawar; “tapi caranya sangat sukar sehingga aku tak berani menyampaikannya padamu.”

“Katakan padaku,” kata si Bulbul, “aku tidak takut.”

“Kalau kau menginginkan mawar merah,” kata si Pohon, “kau harus menciptakannya dari musik purnama, dan mewarnainya dengan kucuran darah hatimu. Kau harus bernyanyi untukku dengan dada tertusuk duri. Sepanjang malam kau harus menyanyi untukku, dan duri itu harus mencabik hatimu, dan seluruh darah hidupmu harus mengalir ke dalam nadiku, dan menjadi darahku.”

“Maut adalah harga mahal untuk membeli setangkai mawar merah,” pekik si Bulbul, “dan hidup sangatlah mahal dibandingkan semuanya. Menyenangkan rasanya duduk di tengah hutan lebat dan menyaksikan sang Surya mengendarai kereta kencananya, dan Rembulan mengendalikan kereta mutiara. Aroma bunga hawthorn tercium harum, dan rumpunan bunga bluebell yang bersembunyi di lembah begitu manis, seperti halnya bunga heather yang mekar di bukit. Namun Cinta itu lebih baik dari Hidup; jadi apa artinya hati seekor burung dibandingkan dengan hati seorang manusia?”

Maka ia membentangkan kedua sayap coklatnya, bersiap terbang, lalu melayang di udara. Bagai sebuah bayangan, ia lintasi taman itu dalam sekejap, dan bagai bayangan pula ia menembus hutan.

Pelajar Muda itu masih terbaring di atas rumput, tempat di mana si kekasih hati meninggalkannya, dan air mata masihlah belum kering dari kedua pelupuknya yang indah.

“Bergembiralah!” pekik si Bulbul, “bergembiralah, karena kau akan mendapatkan bunga mawar merah. Aku akan menciptakannya dari musik yang kulantunkan kala purnama dan mewarnainya dengan darah dari hatiku sendiri. Sebagai balasannya, aku hanya minta agar kau menjadi kekasih yang setia, karena Cinta lebih arif dari Filsafat, meski Filsafat itu arif, dan lebih kuat dari Kekuasaan, meski Kekuasaan itu perkasa. Kedua sayapnya berwarna api, dan begitu pula dengan tubuhnya. Bibirnya semanis madu, dan napasnya bagaikan gaharu.”

Si Pelajar menengadahkan pandang dari atas rerumputan dan menyimak, tapi ia tak bisa paham apa yang tengah dikatakan si Bulbul, karena ia hanya tahu hal-hal yang tertuliskan dalam buku.

Tapi pohon ek paham, dan merasa sedih, karena ia sangat sayang pada si Bulbul kecil yang membangun sarang di rerantingnya.

“Nyanyikan untukku satu lagu terakhir,” bisiknya, “aku akan jadi sangat kesepian kalau kau pergi.”

Maka si Bulbul pun bernyanyi untuk pohon ek itu, dan suaranya bagaikan gelembung air dalam bejana perak.

Ketika si burung selesai bernyanyi, si Pelajar bangkit dan mencabut sebuah notes dan pensil dari saku bajunya.

“Cara ia bernyanyi memang menarik hati,” katanya pada diri sendiri, sambil berjalan menembus hutan kecil—“itu tak bisa kuingkari; tapi apakah ia punya perasaan? Aku khawatir, tidak. Kenyataannya ia lebih mirip pelukis; yang ada hanyalah gaya namun tanpa kejujuran. Ia tak akan mengorbankan diri untuk yang lain. Ia hanya memikirkan musik, dan semua orang tahu bahwa seni itu egois. Namun harus diakui pula bahwa dalam lagunya itu terkandung nada-nada indah. Sungguh sayang bahwa nada-nada itu tak berarti apa pun atau membawa manfaat praktis!” Dan ia pun masuk ke kamarnya lalu berbaring di atas ranjang mungilnya dan mulai memikirkan kekasih hatinya; dan, beberapa lama kemudian, ia tertidur.

Dan ketika rembulan bangkit dan bersinar di langit tinggi, si burung Bulbul terbang ke atas pohon Mawar dan menusukkan dadanya ke arah duri pohon itu. Sepanjang malam ia bernyanyi dengan dada tertancap duri, dan Rembulan yang sedingin kristal menganjurkan wajah ke bawah untuk menyimak dendangnya. Sepanjang malam ia bernyanyi dan duri itu semakin dalam menghujam ke dadanya, dan darah hidupnya mengalir keluar.

Pertama ia bernyanyi tentang kelahiran cinta di hati seorang pemuda dan seorang pemudi. Lalu di pucuk Pohon Mawar pun mekarlah sekuntum mawar yang sangat mengagumkan, kelopaknya terbuka satu per satu, seiring bergantinya lagu demi lagu. Awalnya mawar itu pucat, bagaikan kabut yang menaungi sungai—pucat bagaikan kaki-kaki sang pagi, dan perak bagaikan sayap-sayap fajar. Bagaikan bayang-bayang mawar di cermin perak, bagaikan bayang-bayang mawar di permukaan kolam, begitulah kuntum yang mekar di pucuk pohon mawar itu.

Tapi pohon itu memekik pada burung Bulbul agar makin dalam menusukkan duri itu ke dadanya. “Tekan lebih kuat, Bulbul mungil,” pekik si Pohon, “atau fajar akan datang sebelum mawar itu sempurna.”

Maka si Bulbul menusukkan duri itu lebih dalam ke dadanya, dan nyanyiannya pun kian keras, karena ia menyanyikan lahirnya asmara di hati seorang pria dan wanita.

Dan semburat warna merah muda pun bangkit dari helai-helai kelopak mawar, bagaikan wajah pengantin pria saat sedang mencium mempelainya. Tapi duri itu belum mencapai hati, sehingga hati mawar itu pun masih tetap putih. Sedangkan darah dari hati si Bulbul sajalah yang bisa memerahkan hati sekuntum mawar.

Dan si Pohon memekik pada si Bulbul agar menusukkan duri lebih dalam lagi. “Lebih dalam, Bulbul mungil,” teriak si Pohon, “atau Pagi akan datang sebelum mawarnya merah sempurna.”

Dan si Bulbul pun menusukkan duri lebih dalam, dan akhirnya sampai ke hati, membuat ia menjerit kesakitan.

Pedih, pedih sekali luka itu, dan kian liarlah lagunya, karena ia menyanyikan lagu tentang Cinta yang disempurnakan oleh Maut, tentang Cinta yang mati tidak di dalam kubur.

Dan mawar yang mengagumkan itu pun menjadi merah terang, bagaikan cahaya langit di timur. Merah pula bagian tangkainya, dan bagian hatinya pun merah bagaikan mirah delima.

Tapi suara si burung Bulbul menjadi kian lirih, dan sayap-sayap kecilnya mulai lelah, dan kedua matanya kabur. Nyanyiannya kian lemah, dan kerongkongannya serasa tersumbat.

Lalu ia lontarkan musik terakhirnya. Si Rembulan Putih mendengarnya, dan ia lupa akan datangnya fajar, tetap tinggal di langit. Si mawar merah mendengarnya, dan ia gemetar karena girang, lalu membuka kelopak bunganya menjemput udara dingin pagi. Gema membawa ujung lagu ini ke dalam goanya yang ungu di bukit dan membangunkan para gembala yang sedang terlelap dalam mimpi. Ujung lagu ini mengalir menembus rumpunan gelagah di sungai, dan gelagah membawa pesannya kepada lautan.

“Lihat! Lihat!” teriak si Pohon, “mawarnya sudah sempurna sekarang.” Tapi si Bulbul tak menjawab, karena ia terbaring mati di tengah rerumputan dengan duri menancap di hatinya.

Dan siang harinya si Pelajar membuka jendela dan menatap ke luar.

“Wah, betapa beruntung!” serunya; “di sini ada mawar merah! Aku belum pernah melihat mawar yang seperti ini sepanjang hayatku. Begitu indahnya, sehingga aku yakin ia punya nama latin yang panjang.” Dan ia julurkan lengannya ke bawah untuk memetiknya.

Lalu ia kenakan topi dan lari menuju rumah sang Profesor dengan membawa mawar itu di tangannya.
Anak gadis si Profesor sedang duduk di ambang pintu, menggulung kain sutera biru dengan gelendong, dan anjing kecilnya berbaring di samping kakinya.

“Kau bilang kau mau berdansa denganku kalau aku bawakan untukmu sekuntum mawar merah,” seru si Pelajar. “Ini dia, mawar termerah di seluruh dunia. Kau akan menyelipkannya di dadamu, malam ini, dan sambil kita berdansa bersama akan kunyatakan betapa aku cinta padamu.”

Tapi si gadis berkerut kening. “Aku khawatir itu tidak akan cocok dengan warna gaunku,” sahutnya; “dan, lagi pula, keponakan sang bendahari telah mengirimkan untukku permata sungguhan, dan semua orang tahu permata jauh lebih berharga dibanding bunga.”

“Aduh, kau sungguh tak tahu rasa terima kasih,” kata si Pelajar dengan marah; dan ia lemparkan mawar itu ke jalanan, lalu jatuh ke got, dan sebuah kereta menggilasnya.

“Tak tahu terima kasih?” kata si gadis. “Kuberi tahu ya, kamu sangatlah kasar; dan lagi pula, kamu ini siapa? Hanya seorang Pelajar. Aku tidak percaya kau punya sepatu yang ada ketimang peraknya seperti punya keponakan bendahari;” lalu ia bangkit dari kursinya dan masuk ke rumah.

“Sungguh konyol Cinta itu!” kata Pelajar saat ia berjalan menjauh. “Gunanya tak sampai separuh dari kegunaan logika, karena ia tak membuktikan apa pun, dan ia selalu menyuruh seseorang hanya untuk kemudian tertipu, dan membuat orang percaya pada hal-hal yang tidak benar. Ia sungguh tak punya nilai praktis, dan di zaman di mana segalanya harus praktis ini aku akan kembali mempelajari Filsafat dan Metafisika.”

Maka ia pun kembali ke kamarnya dan mengeluarkan sebuah buku tebal berdebu dan mulai membaca.


Cerpen ini dimuat dalam Pangeran Bahagia & Rumah Delima karya Oscar Wilde.